Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 30 - Berjanji

Chapter 30 - Berjanji

Di hari Selasa minggu depan Sastra sedang berada di kelas bersama Isabel. Sastra bisa merasakan sesuatu yang empuk seperti bantal di bawah kepalanya. Dia menatap ke langit-langit kelas sambil menikmati momen itu. Intinya Isabel duduk di lantai meluruskan kakinya sambil bersandar, sedangkan Sastra tidur di pahanya.

"Kamu gak papa tah gak ikut eskulmu hari ini?" tanya Sastra. Dia berusaha mendongak untuk menatap mata Isabel. Dengan lembut Isabel menjawab, "Aman, kamu manggil aku buat ngomongin sesuatu kan, pasti penting jadi sekali-kali bolos gak papalah. Jadi kamu mau ngomongin apa?" 

"Uhh jadi gini, kayaknya aku gak bisa tampil pas HEXA…" Isabel kaget mendengar itu, "Loh, emang ada apa?"

"Tanggal 11 November kakakku nikah di Jakarta jadi aku harus keluar kota, kebetulan kan tanggalnya sama kayak HEXA." 

"Hmm kalau gitu nanti aku juga sendirian dong, gak ada yang nemenin." Raut wajah Isabel tampak sedih sesuai dugaan Sastra. Dia tau kalau Isabel tidak bisa melakukan apapun untuk merubah situasi ini begitu juga dengannya. "Well, kamu bisa nonton bareng temen-temen yang lain, kayak Tiana, Becca sahabatmu atau bahkan Lily dan Lulu." Isabel kemudian tertawa sambil berkata, "Siapa yang mau nonton bareng anak kembar itu, mereka itu ngeselin tau gak sih?" 

"Nah, kalau gitu coret aja nama mereka biar gak bisa ikut nonton," kata Sastra dengan sarkas. "Tapi kalau gak salah kita pakai tiket masuk deh, bukan daftar kehadiran…" Lalu Sastra menjawab, "Oh, kalau gitu aku gak tau, terserahlah mereka mau ngapain bukan urusan kita." Isabel menutup mulutnya dengan telapak tangannya untuk menahan tawa. Dia tampak mengingat sesuatu, tetapi ia simpan untuk dirinya sendiri. "Kenapa kamu ketawa?" lalu Isabel menjawab, "Kamu inget gak dulu pas kamu sembunyi di kamar mandi. Kalau gak salah mereka itu bukannya cepet-cepet balik ke sekolah untuk nganter kostumnya, tapi malah makan es krim di Mixue. Aku gak bisa lupain mukamu pas ndelosor di kamar mandi." 

"Hah, kok malah nyambungnya ke sana, eh aku pas itu ketakutan loh. Bayangkan kamu di posisiku setakut apa dan harus tampil di depan banyak orang. Ah udahlah, kamu bikin kesel." Sastra mengangkat kepalanya dari paha Isabel untuk duduk, tetapi Isabel menarik kepalanya lagi. Bruk, kepalanya jatuh lagi ke paha Isabel seakan dia tidak membiarkan Sastra untuk pergi. 

"Ngobrolnya belum selesai Sas, masih banyak yang mau aku omongin. Apa ya, oh ya jangan lupa bulan Oktober depan ada pameran lukisan, jangan lupa dateng loh. Awas kalau ada acara nikahan lagi, apa kali ini bapakmu yang nikah?" 

Aslinya Sastra tidak marah pada Isabel. Dia tidak bisa menemukan pemicu yang bisa membuatnya marah kepada Isabel. Dia berkata, "Bapakku sudah nikah 2 kali ini yang ke dua. Kamu sudah pernah ketemu ibu tiriku kan?" Isabel menjawab, "Belum, pernahnya ketemu kakak sama pembantumu." Sastra meletakkan tangannya di dagu seakan sedang berpikir lalu berkata, "Hmm, kukira sudah pernah ketemu, tapi emang dia itu sering keluar entah kemana."

"Emang kamu segitu bencinya ya sama ibu tirimu?" Sastra menjawab dengan nada kesal, "Mau gak benci gimana, tiba-tiba dia berlagak sok sebagai ibuku. Dia sama sekali bukan ibuku dan ayahku kayak nempel terus dengannya. Kalau dibilang obsesi bukan yah, tapi dia itu akan ketakutan kalau ibu tiriku gak ada. Ibu tiriku juga sering minta barang-barang yang bermerek mahal, emang matre dia." 

"Aneh, aku baru tau kalau ada orang yang kayak gitu, btw aku mau lihat trik sulap Sas." Mendengar permintaan itu muncul pertanyaan di benak Sastra. Bagaimana dia bisa mengorbankan bantal terempuk di dunia hanya untuk trik sulap? Ditambah tasnya berada jauh dan dia tidak bisa menggapainya selagi berbaring. Lalu Sastra menjawab, "Emoh, males tasku jauh dan aku lagi enak-enaknya tidur." 

"Yaudah mending kamu tidur di lantai aja kalau gak mau." Saat Isabel akan mendorong kepala Sastra dari pahanya Sastra berteriak, "Stop stop, oke satu trik aja. Aku capek seharian belajar." "Oke," jawab Isabel dengan senang hati. 

Kebetulan saat itu Sastra membawa karet bekas dari makanan yang ia beli di kantin. Dia berkata, "Bel, coba kamu perhatikan trik ini. Aku cuma pakai karet aja biar kamu gampang melihatnya." "Oke tunjukin triknya kayak gimana, pasti kubongkar rahasianya," tantang Isabel. "Sek, kamu gak boleh lihat, tutup matamu." Isabel yang yakin bisa memecahkan rahasia dari trik ini pun menutup matanya. 

Sastra menyatukan karet itu yang tadinya berbentuk lingkaran jadi menempel. Lalu ia jepit ujung karet itu dengan telunjuk dan jempolnya sebelum menarik karetnya ke bawah. Ia menjepit karet itu dengan tangan kirinya dan saat sudah ditarik ke bawah ia menutup karet itu dengan sisa jari kirinya. Lalu ia menjepit ujung karet yang sudah ditarik, menggunakan jempol tangan kirinya. Ia membuka karet itu seolah-olah saling terhubung. 

"Buka matamu," kata Sastra. Lalu dia mengangkat kedua tangannya sambil berkata, "Nah perhatikan jangan sampai terlewatkan." Setelah mengatakan itu Sastra langsung melepaskan jempol tangan kirinya dan membuat talinya seakan-akan putus. Sastra berhenti selama 2 detik agar Isabel dapat memperhatikan karetnya. "Nah aku sambungkan lagi karetnya," katanya sambil menyambungkan karet yang putus itu. Lalu Sastra melepaskan penyangga tangan kanannya dan menarik karet itu dengan tangan kanannya untuk membuktikan kalau karetnya sudah kembali utuh. Setelah itu Sastra melepaskan semua jari di tangan kirinya yang menahan karet itu, kecuali telunjuk dan jempol. Hingga akhirnya karet itu kembali seperti semula. "Tadah, tuh trik sulap yang kamu mau. Lagian aku mager." 

"Ah, aku tau pasti tadi karetnya gak bener-bener putus. Kayaknya kamu tarik ga sih jadinya kelihatan kalau jadi satu karet." Isabel mengambil karet Sastra lalu coba mengulangi apa yang dilakukan Sastra. Karena Isabel sudah benar Sastra memberinya selamat, "Yup, betul tumben kamu pinter." "Kalau kayak gini aja aku juga bisa," jawab Isabel dengan sombong. Kemudian dia memainkan karet itu di atas wajah Sastra. 

"Isabel…" lalu Isabel menjawab, "Apa?"

"I love you…" Sastra mengatakan itu secara tidak terduga dan random. Membuat Isabel sendiri kaget hingga pipinya memerah. Tanpa Isabel sadari dia menampar wajah Sastra lalu berdiri secara tiba-tiba. Kepala Sastra pun terbentur lantai sampai mengeluarkan suara benturan yang keras. "Ini sudah ke lima kalinya kamu buat kepalaku kebentur!" teriak Sastra sambil merintih kesakitan. Dia bisa merasakan rasa sakit di depan dan di belakang kepalanya dalam waktu bersamaan. 

"Yaudah salah sendiri, bilang gituan tiba-tiba. Aku mau ke lapangan aja liat anak main badminton." Setelah mengatakan itu Isabel pergi meninggalkan Sastra sendiri di kelas. 

Setelah rasa sakit kepalanya agak memudar Sastra memutuskan untuk turun ke lapangan. Di lapangan terdapat Lily, Lulu, Tiana dan Isabel. Seperti biasanya Lily dan Lulu bertanding badminton, sedangkan yang lainnya menonton. "Hya!" teriak Lulu sambil melakukan smash. Lily berhasil menangkis kok yang menukik ke arah kirinya. Kok itu melambung ke udara lagi sebelum dismash lagi oleh Lulu. Kali ini Lily gagal untuk menangkis kok itu dan koknya jatuh ke tanah. 

"Itu poin ke berapa?" tanya Sastra sambil duduk di samping Isabel. Tiana menjawab. "Itu poin terakhirnya Lulu dia menang." Lalu dari lapangan terdengar sorakan, "Yey, aku menang! Kita istirahat dulu aja Lily, cape." Lily patuh pada kembarannya itu lalu duduk di samping Tiana. Mereka meletakkan raketnya dan minum botol Aqua mereka. Melihat raket yang tidak dipakai itu Sastra jadi ingin bermain badminton. Sehingga dia bertanya, "Bel, kamu gak mau main badminton, a? 

"Boleh, Lily Lulu pinjem raketnya ya. Aku mau tanding sama Sastra." Isabel berdiri lalu mengambil salah satu raket milik Lily dan Lulu. Si kembar itu tidak keberatan dan menjawab, "Pakai aja kita juga masih cape dari tadi main." Sastra kemudian mengambil raket yang tersisa. 

Kemudian Sastra dan Isabel mengambil posisi masing-masing. Kok dipegang oleh Sastra, jadi dia yang akan melakukan servis. Saat ancang-ancang untuk melakukan servis tiba-tiba terdengar suara Martin yang berteriak. "Jangan ikuti aku terus, sudah pulang sana! Kamu gak ada kerjaan lain apa selain ngikuti aku?!" Martin berlari dengan kencang yang dikejar oleh Cecil. Setiap kali Cecil akan menangkapnya dia selalu mengelak dan meloloskan diri. Lalu Cecil juga berteriak, "Kan sudah kubilang aku mau ngajak kamu latihan musik. Hari ini aku sudah bawa gitar, di ruang musik juga sudah ada keyboard. Kita tinggal main aja." 

"Ngapain hari ini kan masih besok, udah Cecil kamu pulang aja!" lalu Martin sampai ke belakang Sastra dan bersembunyi di baliknya. Martin memegangi bahu Sastra sehingga membuatnya tidak bisa bermain badminton. "Sas, lindungi aku dari setan itu. Woy jangan deket-deket aku," kata Martin sambil menghindari Cecil. Setiap kali tangan Cecil akan menangkapnya Martin akan berpindah ke kanan atau ke kiri. Punggung Sastra juga ikut ditarik hingga dia berputar-putar. 

"Stop, kalian kejar-kejaran di tempat lain aja aku mau main badminton!" Sastra mendorong Martin hingga melepaskan bahunya. Dengan cepat Cecil berhasil menangkap Martin. Mendengar itu Cecil berhenti dan berkata, "Badminton? Ohhh, mending kita main badminton Martin, 2 vs 2 sama mereka. Gimana kalian mau gak?" Setelah berpikir Isabel menjawab, "Ayo kalau mau main, nanti kalian lawan aku sama Sastra. Lebih baik gini kan daripada lari-lari." 

"Ampun… Jauhkan aku dari anak ini," kata Martin dengan sedih. Namun, dia terpaksa menjadi pasangan Cecil dalam permainan badminton. Cecil mengambil 2 raket sekolah yang ada di aula lalu menyerahkannya ke Martin. Isabel pindah tempat ke samping Sastra, posisi semula Isabel diisi oleh Martin dan Cecil. 

"Ini dia!" teriak Cecil sambil melakukan servis bawah. Kok itu melambung tinggi ke samping kanan lapangan. Kok itu terlempar tinggi, jadi jaraknya tidak terlalu jauh. Dengan mudah Sastra menangkisnya. Lalu Kok itu jatuh tepat di depan kaki Martin. "Tin, kenapa gak kamu tangkis koknya?" lalu Martin menjawab, "Males aku, sudah dari awal aku gak mau main…" 

Terpaksa Cecil menggendong permainan itu sendiri. Kadang Martin membantu kadang dia diam saja. Pertandingan itu jadi berat sebelah dan kurang menegangkan. Sampai-sampai Sastra ikut kesal tidak hanya Cecil. Dia berkata, "Ayo main yang bener Tin, masa kamu digendong cewek." Lulu dari barisan penonton ikut menyahut, "Nah loh, cupu emang Martin. Gak mau main yang bener." Akhirnya karena banyak temannya yang complain dia mau bermain dengan serius. "Oke oke, aku main serius sekarang. Gak usah nge roasting terus," kata Martin. 

Kemudian pertandingan berlanjut dan kali ini kedua tim bermain dengan serius. Sastra tau kalau Isabel tidak bisa terlalu lelah. Lalu dia bertanya, "Kamu masih bisa main gak, Bel? Kalau udah cape kita berhenti aja." "Gak papa, habis ini kita juga menang, aku bisa lanjutkan sampai akhir," jawab Isabel. Napasnya ngos-ngosan dan wajahnya terlihat agak pucat. "Jangan sampai aku gendong ke UKS lagi loh," kata Sastra. Isabel tidak menjawabnya dan hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. 

Sekarang poinnya timku 20 dan timnya Martin 19. Dikit lagi kita menang, semoga Isabel bisa bertahan. 

Di saat dia memikirkan itu kok jatuh ke wilayahnya. Sekarang poin mereka 20 sama dan tinggal 1 poin lagi sebelum salah satu dari mereka menang. Isabel berkata, "Maaf tadi aku gak bisa nangkisnya." Suaranya lirih penuh rasa bersalah. Sastra menepuk pundak Isabel lalu berkata, "Gak papa, kita cuma main aja kan, gak ada yang serius." Sejak Martin bermain serius skor timnya naik dari 16 ke 20 dan tidak memberikan 1 poin pun pada tim Sastra.

Martin memegang kok di tangan kirinya lalu melakukan servis. Kok itu melambung jauh ke depan dengan tinggi setara dengan kepalanya. Sastra yang berada di depan menangkis koknya ke bawah. Namun, Cecil dapat menjaga agar koknya tidak menyentuh tanah. Kok itu kembali melambung tinggi. "Smash koknya Isabel!" teriak Sastra. Lalu Isabel berteriak sambil melakukan Smash. "Hya!" Cecil berlari ke belakang dan berhasil menangkis smash Isabel. Tanpa menunggu kok itu datang padanya Sastra berlari lalu melakukan Smash lagi. 

Whoosh!

Suara raket itu bagaikan memecahkan sound barrier. Melempar kok itu jauh ke samping kiri kaki Martin. Lalu Tiana yang bertugas sebagai wasit berkata, "Pemenangnya adalah tim Sastra dan Isabel!" "Yey, kita menang!" teriak Isabel sampai raketnya terjatuh. Sastra sendiri juga tidak menyangka kalau dia akan menang. Kebahagiaannya saat itu terpampang jelas di wajahnya yang penuh senyum.

Setelah bermain badminton Sastra dan Isabel kembali ke kelas untuk mengambil tas mereka. Sastra mengambil tas selempangnya di bangku belakang, sedangkan Isabel mengambil tasnya di bangku depan Sastra. Sebelum mereka keluar kelas Isabel berkata, "Sastra aku punya rencana…" "Rencana apa?" tanya Sastra. Lalu Isabel mendekat ke Sastra sambil menjawab, "Gimana kalau akhir tahun nanti kita Christmas date. Soalnya suasana natal itu beda banget, kayak indah banget. Aku pengen kamu bisa merasakannya." Sastra tersenyum lalu menjawab, "Boleh juga, itu bisa sebagai gantinya soalnya aku gak bisa nemenin kamu pas HEXA." "Janji ya?" ucap Isabel sambil mengulurkan jari kelingkingnya. Sastra mengulurkan kelingkingnya juga. Lalu kedua kelingking mereka menyatu membentuk pinky promise. "Janji," kata Sastra. Setelah tangan jari mereka terlepas Sastra beranjak pergi dan berkata, "Ketemu besok lagi ya, Bel."

Saat Sastra berada di depan pintu Isabel memanggilnya. "Sastra," lalu Sastra berbalik dan menjawab, "Apa?" 

"I love you…"