Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 27 - Sekilas Geng Triloka

Chapter 27 - Sekilas Geng Triloka

Di hari Rabu Sastra menikmati waktu istirahatnya dengan duduk di taman sambil memakan risol mayo yang ia beli. Di hadapannya ada Isabel sedang meminum susu cokelat yang juga ia beli di kantin. Isabel pun berhenti minum lalu bertanya pada Sastra, "Kamu ada kabar gak gimana nasibnya yang bunuh Snowy itu? Sudah sejak Senin kemarin, harusnya ada suatu hukuman yang dikasih kan?" "Aku juga kurang tau, kayaknya dia itu dikeluarkan dari sekolah, yang pasti dia udah ketangkep dan masalahnya selesai," kata Sastra. Lalu Isabel berkata, "Iya juga sih, tapi kayak gak ada perubahan setelah dia ketangkep. Kayak gak ada yang bener-bener peduli gitu sama masalah ini."

"Bagi mereka ini hanya berita yang tidak ada efeknya ke kehidupan mereka, jadi mereka gak terlalu peduli. Jika mereka peduli pun itu karena mengikuti orang lain. Yah begitulah, orang tidak akan peduli dengan hal yang tidak menguntungkan bagi mereka..."

"Oh ya Sas, kamu tau gak kalau katanya di sekolah ini pernah ada yang liat hantu noni belanda yang gentayangan?" Dengan heran Sastra menjawab, "Perasaan ini bangunan sekolah biasa deh, bukan bangunan belanda, ngapain ada noni belanda di sini?" "Gak tau, ya paling meninggal di daerah sini gitu, apa jangan-jangan hantunya mau membalaskan dendam kayak di film-film," ucap Isabel. Sastra pun menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Gak ada yang namanya hantu bel, paling itu bohongan kayak cerita hantu kamar mandi yang gentayangan di toilet dan mengganggu anak yang gak nyiram pupnya."

Sekarang Isabel yang bingung, "Emang ada hantu begitu?" Lalu Sastra menjawab, "Ada dulu pas aku SD, sampai anak-anak gak berani sendirian ke kamar mandi, sek namanya itu kalau gak salah ada mister-misternya gitu, entahlah lupa." Isabel pun langsung menceletuk, "Aku tau pasti Mr. Beast!" "What, Mr. Beast itu di Amerika, kalau ada hantu Mr. Beast ya seneng aku depet uang, udahlah gak masuk akal, lupakan aja."

Tiba-tiba ada anak laki-laki yang mendatangi mereka. Dia terlihat tengil dan perawakannya kurang serius. Rian berhenti di dekat Sastra lalu berkata, "Ah, Sastra akhirnya ketemu kamu, dari kemarin aku nyariin kamu. Katanya anak-anak, kamu yang nangkep si pembunuh kucing itu. Aku belum sempet bilang terima kasih ke kamu soalnya udah bantu bersihkan namaku."

Aku sama sekali gak punya niatan bantu apa-apa, cuma buat nangkep pelakunya aja.

Sastra pun menjawab, "Sama-sama kak, aku cuma melaksanakan tugasku sebagai anggota klub Arcana." "Oh ya, aku aku harus membalas budi ke kamu," tetapi Sastra menyelanya, "Gak perlu kak, kita lakukan ini dengan ikhlas kok." "Enggak enggak, aku tetep harus balas jasamu. Gimana kalau kamu kuajak nonton pertandingan khusus anak geng Triloka nanti pas pulang? Pasti kamu belum pernah liat kan, ini juga rahasia gak untuk anak-anak pada umumnya. Member only kayak gitu katanya, gimana?"

"Emangnya pertandingan apa di geng Triloka nanti? Gak berbahaya kan?" Lalu Rian menyangkalnya, "Gak berbahaya kok, kita cuma jadi penonton aja, kalau kamu mau ikut kita berangkat bareng pas pulang." Sastra menoleh kepada Isabel dan menatap matanya seakan meminta pendapatnya. Isabel hanya menggerakkan kedua bahunya ke atas mengekspresikan rasa bingungnya juga. Namun, semuanya kembali pada keputusan Sastra sendiri. Dia pun berkata, "Oke, aku mau ikut nonton. Kita mau ketemu dimana dan harus bawa apa, kak?"

"Gak usah panggil aku kak anjay, kamu gak perlu bawa apa-apa, nanti pas pulang kutunggu di lobby. Oh ya, jangan lupa bawa uang buat taruhan kalau kamu mau." Kemudian Rian pergi meninggalkan mereka menuju ke kantin. Sekarang Sastra meragukan keputusannya untuk mengikuti ajakan Rian, tetapi dia sudah tidak bisa menolaknya. Sastra tidak punya nomor teleponnya untuk memberi tau kalau dia batal ikut. Bisa saja Sastra ke kelas Rian untuk memberi tahunya atau tetap ikut. Jadi, dia mau tidak mau harus ikut.

Isabel yang penasaran pun berkata, "Siapa tadi itu Sas?" Sambil melanjutkan makan risolnya Sastra menjawab, "Itu anak yang minggu lalu dipaksa buat ngaku sebagai pembunuh Snowy, dia juga minta tolong nyari pembunuh sebenarnya biar dia gak kena tuduhan." Namun, Isabel masih khawatir dan berkata, "Oooh, yang kita tanyai dulu ya, dia keliatannya anak geng Triloka, mending kamu jauh-jauh dari geng itu deh Sas, daripada kena pengaruh buruknya." Sastra mengangguk dan menjawab, "Iya, ini aku cuma sekali aja soalnya diajak, aku gak akan bener-bener gabung."

Di saat pulang Sastra langsung pergi menuju lobby dengan membawa tas selempangnya. Suasana di lobby sudah lumayan padat dengan anak. Sastra berhenti sejenak sambil mencari keberadaan Rian di sana. Dia sengaja datang agak terlambat supaya Rian sudah datang dan menunggunya daripada dia harus menunggu Rian. Tidak lama kemudian ada suara yang memanggilnya, "Sastra sini, kumpul sini sebentar." Suara itu datang dari bangku taman dan ternyata Rian ada di sana. Sastra sampai membatin, Bukannya dia pesen kita ketemuan di lobby ya? Kenapa dia malah nongkrong di bangku taman?

Sastra pun berjalan ke bangku taman tempat dimana Rian sedang duduk. Dengan agak kesal dia bertanya, "Kenapa kamu ada di taman, bukannya kita ketemunya di lobby?" "Oh ya tah? Aku pasti lupa, seingetku kita ketemu di taman kan tadi pas istirahat," kata Rian dengan tidak bersalah. "Lupakan aja, yang penting kita sudah ketemu. Jadi bagaimana setelah ini?" Alih-alih menjawab pertanyaan Sastra, Rian menunjuk ke lobby dan menyuruh, "Kamu taruh tasmu di sana dulu, ngerepotin nantinya kalau kamu bawa."

"Oke," tanpa meragukannya Sastra pun menaruh tas selempangnya di lobby supaya tidak hilang. Meski di lobby terdapat banyak orang, tetapi di sana dekat dengan ruang guru dan terdapat cctv jadi kemungkinan tasnya diambil oleh seseorang tidak terlalu tinggi. Sastra juga merasa tasnya akan mengganggu aktivitasnya nanti karena berat dan memakan tempat

Lalu Rian dan Sastra pergi ke luar gerbang sekolah dan menyeberang jalan. Sambil berjalan Sastra pun bertanya, "Memangnya tempatnya ada di mana?" Rian menjawab, "Gak jauh ada di deket sini, kamu tau restoran steak di depan kan?" "Ya?" lalu Rian melanjutkan, "Nah, itu dia tempatnya, pokoknya kamu ikut aja jangan khawatir."

Setelah melewati beberapa ruko dan bangunan akhirnya mereka sampai di restoran steak yang terkenal di daerah itu. Lalu Rian berkata lagi, "Habis ini kita lewat pintu belakang, pintu depan buat pelanggan aja, itu peraturannya." Tanpa komentar Sastra mengikuti Rian menuju tempat parkir yang luas. Kemudian mereka masuk ke dalam bangunan itu melalui pintu belakang. Sebelum masuk Rian mengetuk pintu sebanyak 2 kali ketukan cepat dan 3 kali ketukan lambat. Baru setelah itu seseorang dari dalam restoran berkata, "Password?" Lalu Rian membisikkan passwordnya dan pintu itu terbuka.

Ruangan itu adalah gudang belakang restoran yang dekat dengan dapur. Sehingga Sastra dapat mencium aroma daging steak yang menggugah selera. Ditambah lagi ini adalah waktu pulang dan Sastra belum makan apapun selain makan siangnya. Di pinggir ruangan terdapat tangga turun menuju ruang bawah tanah dan di depannya ada orang yang membukakan pintu tadi. Dia menjaga tangga itu dan hanya membiarkan anggota saja yang boleh masuk. Rian berkata sesuatu padanya hingga akhirnya dia mengangguk dan membiarkan Sastra turun ke bawah bersama Rian. Di ujung tangga itu masih terdapat pintu lagi yang tertutup rapat. Rian hanya perlu mengetuk 2 kali seperti biasanya baru dibukakan pintu.

Suasana di sana sangat berbeda seakan Sastra memasuki ruang klub eksklusif. Saat pertama kali masuk Sastra dapat mencium aroma rokok yang lumayan kuat. Namun, di sana terdapat AC dan ventilasi yang lumayan bagus sehingga asap rokoknya dihisap keluar. Ruangan itu sangatlah luas hampir sebesar restoran itu sendiri. Di tengah-tengah ruangan terdapat platform tinggi yang di atasnya terpasang ring tinju. Kebanyakan orang-orang di sana adalah anak SMA 13 yang masih mengenakan seragam sekolah. Mereka sedang mengobrol satu sama lain sambil menunggu pertandingan dimulai. Beberapa anak duduk di dekat bartender yang menyajikan mereka minuman seperti kopi, jus, soda, tetapi tidak ada minuman yang berbau alkohol. Lalu ada meja yang agak besar di dekat tembok yang di atasnya terdapat banyak uang dan di belakangnya terdapat layar berisikan nama-nama.

"Selamat datang di Underground Lair of Triloka Gang," kata Rian. Lalu dia lanjut berkata, "Kamu pasti kaget kan, pertama kali masuk ke dalam sini. Tempat ini memang untuk member only, tapi kita bisa mengundang satu orang luar untuk ikut." Sastra pun bertanya, "Jadi, kita akan menyaksikan pertandingan tinju hari ini?" "Ya, pertandingan tinju antara si Babi Hutan dan penantang barunya, dia lagi naik daun baru 2 bulan dia sudah bisa memenangkan 10 pertandingan dalam win streak. Makannya sekarang dia berani untuk menantang posisi Bhurloka."

"Bhurloka?" lalu Rian menjawab, "Ya, itu salah satu dari 3 panglima geng Triloka yang ada di bawah pimpinan Mukyaloka, tapi biasanya kita panggil mereka bos besar. Selain Bhurloka ada Bhuvarloka, itu bagian yang ngurusi geng motor dan Svarloka, itu bagian marketing atau humas, pokoknya yang berhubungan sama koneksi." Rian berhenti untuk melihat ke sekelilingnya. Lalu dia mengajak Sastra pergi ke meja yang terdapat komputer dan layar besar di belakangnya. Rian berkata, "Nah, ini alasan aku suruh kamu bawa uang. Kamu bisa taruhan siapa yang akan menang, tinggal pilih salah satu. Di layar itu sudah ada persentase kemenangan setiap pemain dan jadwal pertandingannya."

Ah, di layar itu keliatan banyak nama dan jadwal, berarti hampir setiap hari ada pertandingan tinju di sini. Tapi hari ini hanya ada 1 pertandingan antara Agung dan lawannya... Martin?! Aku baru tau kalau Martin itu anak geng Triloka. Ditambah lagi dia petinju yang sudah menang 10 pertandingan berturut-turut.

"Jadi kamu atau kalian mau taruhan atau tidak?" tanya orang yang duduk di hadapan mereka. Lalu dengan ragu Sastra menjawab, "Aku pilih Martin, ini uangnya." Sastra memberikan 1 lembar uang berwarna merah lalu dia mengisikan informasi yang ditentukan. Orang itu merobek kertas dan memberikannya ada Sastra. "Jika pilihanmu menang kamu bisa kembali ke sini lagi untuk menukarkannya dengan uang," kata orang di depannya. Sastra mengangguk lalu menghadap ke arah ring tinju di tengah ruangan. Dia membatin, Aku pengen tau seberapa kuat Martin sampai bisa menantang yang katanya 1 dari 3 panglima geng Triloka.

Dap, dap dap...

Dari jauh terdengar suara derap langkah yang terkesan terburu-buru. Tiba-tiba seorang cewek berhenti tepat di depan Rian dan memukul wajahnya. Rian tidak sempat mengelak dan akhirnya jatuh setelah terkena pukulan itu. Dia berkata dengan marah, "Anjing! Risa kenapa kamu ada di sini?!" Sambil menahan pukulannya Risa menjawab, "Tentu buat balas dendam ke kamu, perkelahian kita di kantin masih belum selesai cuma karena ada guru dan anak yang ngelerai." Lalu Risa menendang dengan kaki kanannya ke kepala Rian, tetapi Rian melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Dia menendang berkali-kali di perut, kepala dan bagian tubuh lainnya sebelum akhirnya dihentikan oleh seorang laki-laki. Sastra menyadari sesuatu, yaitu keduanya memiliki pin bertuliskan OSIS di dada mereka.

Laki-laki itu pun menarik Risa pergi sambil berkata, "Udah Risa, kamu bilang mau nyari Rian buat ngomong bukan buat masalah kayak gini. Kalau kamu kayak gini aku terpaksa bawa kamu keluar." Laki-laki itu tampak khawatir saat melihat beberapa penjaga yang berdiri di sudut ruangan mulai mendatangi mereka. Akhirnya Risa berhenti menyerang dan mengikuti arahan laki-laki itu. "Awas kamu Rian!" katanya sambil menunjukkan jari tengah. "Anjing kau, cewek biadab, pergi sana! Buat masalah aja," teriak Rian.

Melihat itu Sastra membatin, Kalau cowok yang melakukan kekerasan pada cewek pasti langsung salah, tapi giliran cewek yang melakukannya orang justru gak peduli. Hmm, sungguh dilema, tapi kasian Rian, sayangnya aku gak mau bantu nanti aku dipukul juga.

Saat kedua anak OSIS itu sudah pergi baru Sastra membantu Rian berdiri. Baju seragam batiknya jadi penuh dengan debu dan tampak kusut. Kemudian dia menepuk-nepuk bajunya supaya lebih bersih. "Makasih bro, emang anjing cewek itu," lalu Rian mengeluarkan 1 pak rokok dari sakunya dan mengambil 1 puntung rokok, dia berkata, "Kamu mau gak?" Sastra dengan ramah menolak, "Oh, enggak makasih, tapi aku gak merokok." "Sayang banget, sekali-kali kamu harus merokok lah, menikmati hidup sebagai remaja," katanya. Sastra menolak rokok itu bukan karena dia takut dengan iklan yang menggambarkan efek rokok sampai membuat leher bolong atau kepala meledak, melainkan karena dia memiliki seleranya sendiri. Dia lebih suka sesuatu yang berkelas, seperti cigar.

Rian meletakkan puntung rokok itu di bibirnya lalu menunduk sambil menyalakan api di koreknya. Lalu dia mendongak dan mengambil puntung rokoknya dengan jari telunjuk kanan. Asap pun keluar dari mulutnya yang mengepul di atas kepalanya.

Tidak lama kemudian seseorang naik ke atas ring dan menyita semua perhatian orang-orang yang ada di sana. Dia berkata, "Selamat sore semuanya, apa kalian sudah tidak sabar menantikan pertandingan hari ini?! Tentunya pertandingan hari ini sangatlah spesial, karena petarung pertama kita telah memenangkan 10 pertandingan secara berturut-turut. Langsung saja kita sambut Martin Andika!" Wasit sekaligus MC itu pun menunjuk ke arah kirinya di mana Martin berdiri. "Petarung kita selanjutnya adalah salah satu petarung terkuat yang pernah ada di Underground Lair. Si Babi Hutan yang menerjang setiap lawannya dan terus memenangkan pertandingan, mari kita sambut Bhurloka Agung Achilles!"

Keduanya berada di dua sisi yang berlawanan dan bersama tim yang mendukung mereka. Agung tampak sangar dengan perawakan yang besar dan tim pendukungnya yang juga tampak garang. Sastra pun bertanya, "Siapa itu yang dukung Agung dan Martin?" lalu Rian menjawab, "Itu kalau gak salah yang dukung Agung itu memang salah satu divisi gengnya yang terdiri dari kelas 11 sampai 12. Nah kalau yang dukung si Martin itu cuma temen se kos-kosannya." Sastra tidak kaget mendengar perbedaan yang cukup drastis di antara mereka. Salah satu faktor Martin kurang pendukung karena dia masih baru di geng ini dan dia juga masih kelas 10.

Setelah penyambutan selesai keduanya langsung mendekat dan berhadap-hadapan dengan mengenakan sarung tinju masing-masing. Para penonton lain ikut mendekat tidak terkecuali Sastra dan Rian. Mereka dengan antusias menantikan pertandingan yang akan segera dimulai.