Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 28 - Martin vs Agung

Chapter 28 - Martin vs Agung

Sambil menyilangkan tangannya Sastra bertanya, "Kamu kan sudah pernah lihat pertandingan-pertandingan yang dimenangkan Martin, menurutmu gimana gaya bertarungnya?" Rian menjawab dengan antusias, "Dia itu agresif, jadi mulai dari awal dia langsung memojokkan lawannya, tapi gak tau yah kalau sekarang kayak gimana. Karena Agung sendiri tak terkalahkan dan badannya juga besar." 

Di atas ring wasit yang memakai sarung tangan itu menepuk kedua pundak petarung lalu mundur dan memberikan mereka ruang. Kedua petarung itu telanjang dada memperlihatkan tubuh bagian atas mereka yang lumayan berotot. Tubuh Agung tampak lebih besar daripada Martin, lengannya berotot, tetapi perutnya tidak sixpack dan juga tidak buncit. Rambut pendek dan wajah dinginnya menambah aura yang dapat membuat orang ketakutan. Martin sendiri juga tidak terlalu berotot, dia tampak kurus, tetapi gesit. Dia juga mengikat rambut gondrongnya supaya tidak mengganggu. Martin mengenakan celana pendek berwarna merah, sedangkan Agung mengenakan celana pendek berwarna hitam. 

"Hari ini kamu akan kalah, lihat aja," kata Martin. Dia masih tampak cengengesan seperti biasanya, meski sudah berusaha tampak serius dan intimidatif. Agung diam saja dan tidak menghiraukan tantangan Martin. 

Ting ting…

Ronde pertama pun dimulai, tetapi keduanya masih belum menyerang satu sama lain. Martin meletakkan kaki kirinya di depan sambil menjaga posisi tanganya di samping depan pipi. Suara musik yang keras menambah ketegangan dari ronde pertama itu. Lalu Martin mulai menyerang dengan mendaratkan jab ke depan yang dihindari oleh Agung. Saat dia di bawah, Agung mendaratkan pukulan jab, straight, jab tepat di wajah Martin. 

Martin terpukul mundur dan mengambil jarak untuk sesaat. Keduanya bergerak memutar sebelum Martin menyerang lagi. Dia melakukan double jab, straight dan hook. Namun, Agung menerima semua pukulannya dan tampak tak terpengaruh. Agung maju ke depan lalu memukulkan jab. Martin menahan serangannya lalu balik memukul jab. Keduanya saling bertukar pukulan dengan agak santai. Mereka terjebak dalam pacing itu cukup lama sampai mengetes kesabaran Martin.

Martin yang tidak tahan lagi kembali menyerang dengan kombinasi pukulan yang sama. Agung menahan semua pukulan itu dengan kedua tangan yang dihimpit ke tengah-tengah. Lalu saat martin sibuk memukul dan bagian depannya kosong, Agung langsung memukul tepat di wajahnya hingga Martin mundur. Namun, Agung masih belum selesai, karena dia maju dan kembali memukuli wajahnya. Penonton pun bersorak saat Agung mulai agresif dan memojokkan Martin sampai ke tali ring. Mereka bersorak, "Agung! Agung! Agung! Agung!" Meski begitu, banyak juga penonton yang mendukung Martin, tetapi mereka diam saja karena kalah jumlah dan suara.

Saat Martin menahan semua pukulan itu, akhirnya dia dapat menyelipkan diri ke samping dan langsung mengambil jarak. Dia membatin, Cok, pukulannya terlalu kuat dan tepat sasaran aku sampai gak bisa ngelak tepat waktu. Ketahanannya juga kuat, pukulanku kayak gak ada apa-apanya. Kalau terus begini aku harus ubah strategiku.

Kemudian mereka berputar lagi sambil saling berhadapan, tetapi suara bel berbunyi 3 kali menandakan ronde pertama sudah habis. Martin pun kehilangan kesempatannya untuk membalas serangan Agung. Setidaknya dia bisa merencanakan strategi untuk ronde selanjutnya. Lalu kursi kecil ditaruh di sudut ring. Martin pun duduk di atasnya lalu minum botol yang diberikan teman-teman kosnya. Salah satu dari mereka berkata, "Kamu harus menang Tin, kita sudah patungan buat turnamen ini." "Iya iya, aku menangin," jawab martin dengan kesal. Dia melihat lawannya yang duduk berseberangan dengannya yang juga sedang beristirahat dengan tenang. Martin tidak suka melihat Agung yang tampak tidak terpengaruh dengan pertandingan ini.

Sastra pun melihat ke belakang ring yang terdapat 3 juri duduk di belakang meja. Dia tidak menyangka pertandingan tinju ilegal ini memiliki 3 juri. Lalu Sastra bertanya, "Rian, pertandingan ini ada berapa ronde?" Rian menjawab, "Cuma ada 6 ronde aja, dikit kan? Meskipun begitu ini malah buat petarung semakin agresif jadi gak santai-santai. Soalnya ronde mereka cuma sedikit dan mereka harus mendapat poin lebih banyak. Setiap ronde waktunya 2 menit istirahatnya juga pendek." 

Setelah istirahat ronde kedua pun dimulai, kali ini Martin menyerang dengan lebih agresif. Kaki kanannya maju sambil memukul straight lalu hook kiri. Lagi-lagi Agung mengelak dan memukul uppercut tepat di dagu Martin. Martin yang terpental memutuskan untuk mundur ke belakang lalu mengitarinya sambil beberapa kali meninju Agung. Martin memanfaatkan setiap kesempatan yang ia punya untuk menyerang dan berada pada posisi ofensif, sedangkan Agung terpaksa menjadi defensif lagi.

Di tengah-tengah keramaian dan sorakan penonton yang sangat antusias, terdengar suara pintu yang terbuka. Dari luar masuklah seorang pemuda yang tampan dengan hidung yang mancung. Dia memakai jaket kulit merah yang menambah kharismanya. Di bagian belakang jaket itu ada gambar kepala harimau dengan taring yang panjang. Matanya merah dan tampak mengintimidasi. Harimau itu adalah simbol dari geng Triloka yang menggambarkan kekuatan, perlindungan, dan keberanian. Di bawah jaket itu dia masih mengenakan seragam batik sekolahnya. Dia berjalan ke depan melihat pertandingan dari jauh lalu berkata pada dirinya sendiri, "Hahaha, ternyata pertandingannya sudah dimulai, beraninya mereka mulai tanpaku." 

Sastra yang menyadari keberadaan orang itu lalu melihat ke belakang. Kemudian dia bertanya pada Rian, "Siapa orang itu?" Rian menoleh dan menyipitkan matanya melihat pemuda itu dari jauh. Lalu dia kaget setengah takut dan menjawab, "Itu dia, bos besar yang memegang gelar Mukyaloka, namanya Adelard Xandria. Dia di sekolah cuma anak kelas 11 kayak aku, tapi kalau di geng Triloka dia yang paling disegani, dia juga punya julukan The Prince of Revolution." 

Mendengar Adelard yang katanya disegani Sastra masih merasa tidak percaya dan bertanya lagi, "Memangnya apa yang dia lakukan sampai disegani kayak gitu?" Rian memalingkan wajahnya dan menatap pada ring tinju sambil berkata, "Kamu gak akan mau tau, aku juga lebih baik tidak membicarakannya. Ini ada hubungannya sama masa lalu kelam SMA 13 yang berhubungan sama revolusi sebelum akhirnya sekolah kita ganti nomer." Sastra dapat merasakan rasa takut dari nada bicaranya. Dia pun tidak menanyakan lebih lanjut tentang Adelard dan masa lalu sekolahnya. 

Adelard berjalan di belakang kerumunan orang menuju kursi VIP untuk menyaksikan pertandingan lebih jelas. Sastra sekilas melihat sesuatu yang familiar di kerah Adelard. Yang ia lihat adalah collar chain pin berbentuk bintang yang dikenakan khusus oleh anggota klub Arcana. Dalam hati dia bertanya-tanya, Apa aku salah lihat? Gak mungkin, dia juga anggota Arcana klub? Ketua geng kayak gini jadi anggota klub, memangnya dia punya kekuatan magis apa?

Pikiran Sastra berhenti ketika mendengar suara bel yang menandakan ronde selesai. Kemudian dia melihat ke arah ring tinju, di sana Martin terlihat lumayan lelah. Dia duduk di sudut ring sambil beristirahat dan mengusap keringatnya. "Yah, kalau dari awal dia sudah gini gimana mau menangnya?" keluh Rian. Lalu Sastra bertanya, "Sebenarnya kamu dukung siapa sih?" "Aku gak dukung siapa-siapa, harusnya kamu kecewa Sas, kan kamu dukung Martin. Apalagi kamu sudah bayar 100.000 tadi." Dengan sepele Sastra menjawab, "Oh, gak papa kalau memang kalah. Aku masih punya banyak uang lain." "Hah, aku baru tau ada orang kayak kamu, memang kayaknya kamu kebanyakan uang," kata Rian. 

Lalu ronde ketiga pun dimulai, tetapi ronde ini tidak terlalu menarik dibandingkan ronde keempat. Di mana di ronde ini Martin tampak mendominasi dengan pukulan-pukulan cepatnya. Dia juga bergerak gesit menghindari serangan balasan dari Agung. Saat Martin melakukan kombinasi jab, straight dan hook, tiba-tiba Agung melakukan uppercut ke dagu Martin. Serangan itu membuat martin terpental hingga jatuh ke belakang. Tubuhnya terlentang dengan wajah yang pucat. Wasit langsung jongkok di samping martin dan menghitung mundur. Para pendukung Agung pun ikut menghitung mundur. Mereka bersorak, "Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…" 

Aku gak bisa kalah kayak gini, hari ini aku sudah izin gak ikut musik cuma buat bertanding di turnamen ini. Ini adalah finalnya, aku harus bisa mengalahkan Agung. Semua kerja kerasku sampai saat ini, dukungan temen-temen kosku, semuanya yang mendukungku… Aku gak bisa menyerah, tapi kepalaku rasanya sakit.

Lalu dari pinggir terdengar suara perempuan berteriak, "Ayo Martin kamu bisa menang, jangan malah tidur!" Martin menoleh kepada anak perempuan itu, ternyata dia adalah Cecil. Dia pun kaget setengah mati, bagaimana Cecil bisa masuk ke dalam Underground Lair yang khusus untuk anak geng Triloka saja. Namun, dia tidak peduli, Martin menatap pada Agung yang berdiri menjulang setinggi 2 meter di hadapannya. Akhirnya dengan susah payah Martin bangkit lagi, dengan tenaga yang tersisa dia tetap ingin menjadi pemenang. 

Hitungan mundur itu berhenti dan semuanya menatap Martin yang masih bisa bangkit. Dengan tubuh yang sempoyongan dan pikirannya yang masih berkabut, ia mengangkat kedua tangannya membentuk kuda-kuda. Lalu saat Martin akan menyerang lagi, terdengar bunyi bel yang mengakhiri ronde ke empat. Dia diselamatkan oleh habisnya waktu ronde itu. Lalu dengan sempoyongan dia berjalan ke sudut ring kemudian duduk. 

Cecil langsung berlari menghampirinya dan berkata, "Martin, kamu masih bisa lanjut kan? Kamu hampir pingsan tadi." Alih-alih menjawab itu dia malah bertanya, "Kenapa kamu ada disini Cecil? Ini cuma buat anggota Triloka aja, kamu kan…" Cecil langsung menyela, "Itu gak penting, pokoknya aku tadi ke kosmu, tapi gak boleh masuk. Trus temenmu ngasih tau kalau kamu di sini ya aku ikut aja. Gak nyangka ternyata kamu anak geng, ikut tinju pula." 

Martin tidak tau harus tertawa atau menangis, sehingga dia hanya menggelengkan kepalanya. Lalu bertanya, "Kamu ngapain ke kosku? Itu buat laki-laki jelas kamu diusir."

"Kamu belum absen dan gak izin pas musik, jadi aku cariin," sambil tertawa Martin menjawab "Yaudah, tapi kamu jangan bilang ke siapa-siapa kalau aku anak geng Triloka, Habis ini aku harus tarung lagi dan kurang 2 ronde, aku harus menang." 

Di area VIP, Adelard duduk di kursi kayu dengan bantalan yang empuk. Dia bersandar lalu mengambil gelas wine yang tersedia di atas meja di sampingnya. Di dalam gelas itu terdapat cairan berwarna merah yang tampak seperti darah. Lalu Adelard meminum sedikit cairan itu yang tampak agak kental dan berbau besi. Saat selesai meneguknya, dia menjilat sisa cairan yang masih ada di bibirnya sambil berkata, "Heh, jadi ini Martin yang memenangkan 10 pertandingan dan berani menantang Agung. Heheh, lucu sekali… Katakan Macan, apa menurutmu dia cocok sebagai tumbal?" Lalu ada suara dari siluet harimau yang tidur di samping kakinya yang hanya bisa terdengar dan terlihat oleh Adelard berkata, "Tidak, dia tidak berguna karena hidupnya akan segera berakhir." 

Ting ting…

Ronde kelima pun dimulai, dengan tenaga yang tersisa Martin berhadapan lagi dengan Agung. Agung berkata, "Kamu masih bisa bertarung?" "Tentu," lalu Agung menjawab, "Aku menghormati kegigihanmu itu." Lalu Agung bergerak ofensif dan menyerang secara bertubi-tubi. Entah perkataannya barusan itu tulus atau hanya untuk mengecoh Martin, tetapi yang pasti Martin langsung terpukul mundur karena serangannya. 

Dia mendapatkan awalan yang buruk dan harus mencari celah untuk menghindar. Karena kalau dia terus menahan serangan Agung, lama-kelamaan dia akan tumbang. Kerasnya pukulan Agung bukan main-main, di ronde sebelumnya Martin hampir dibuat pingsan dengan sekali pukulan. 

Saat Martin menghindar ke kiri, Agung juga ikut, tetapi Martin mulai mendaratkan pukulannya yang membuat Agung menjadi difensif. Mereka kembali bertukar pukulan dan saling menghindar. Kebanyakan pukulan Martin tepat dan mengenai kepala Agung. Anehnya Agung sama sekali tidak terlihat pusing dan wajahnya tetap datar dengan tatapan yang mengerikan. Martin terus memukul Agung dengan kombinasinya hingga akhirnya dia mengenai dagu Agung. Sekilas Martin melihat harapan untuk menang saat Agung mulai goyah dan mundur. Lalu Martin maju mengikuti Agung sampai memojokkannya di tali ring. Di sana dia memukuli Agung tanpa ampun hingga tangannya sendiri terasa sakit, meski sudah memakai sarung tinju. 

Tiba-tiba terdengar suara bel dan ronde itu telah usai. Martin pun mengumpat dalam hati, Cok, harusnya aku bisa buat dia KO tadi, dikit banget kalau aku mukulnya tepat sasaran pasti dia sudah KO. Tapi malah bel, anjing!

Di ronde ke enam ronde terakhir, Martin dapat melihat kalau Agung tampak lebih lemah dari sebelumnya. Dia tau itu dari sorot matanya yang terasa berbeda. Martin melakukan kombinasi double jab, straight dan hook kanan. Semua pukulan itu ditangkis oleh Agung dan dia membalas dengan hook kiri dan kanan. Saat depan wajahnya terbuka, Martin langsung memukul lurus dengan tangan kanannya. Dengan mudah Agung mengelak ke kiri lalu mengubah posisinya. Di saat itu Agung langsung memukul dengan keras pipi martin hingga membuatnya hampir terjatuh. 

Martin dengan tekad bulatnya terus melawan dan tidak berhenti hanya karena pukulan itu. Dia melangkah maju lalu memukul dengan kombinasi yang sering ia gunakan. Di ronde terakhir itu Martin harus bisa mengalahkan Agung supaya bisa benar-benar menang. Penampilannya di ronde ke lima sudah cukup baik dan dapat diberi poin lebih tinggi dibandingkan Agung. 

Agung juga tetap bertarung meladeni serangan Martin. Sekian banyak pukulan yang Martin daratkan, tetapi hampir semuanya gagal mengenai Agung. Dia pun merasa ada yang aneh, tetapi sebelum dia bisa menemukan apa hal aneh yang mengganggunya, tiba-tiba dia terkena pukulan tepat di wajahnya. Untuk kedua kalinya pukulan itu membuat Martin terlempar dan jatuh. Kali ini hidungnya terasa sakit seperti patah. Darah keluar dari hidungnya dan kepalanya terasa pusing.

Martin tidak sadar kalau 10 detik telah berlalu dan dia akhirnya kalah. Lalu Agung mendekat dan mengulurkan tangannya. Martin meraih tangan itu lalu berdiri dengan susah-payah. Dia pun berkata, "Meski aku kalah sekarang, aku akan mengalahkanmu suatu hari nanti." "Kita masih belum tau keputusan juri belum tentu aku yang menang," kata Agung. 

Kemudian tangan mereka berdua digandeng oleh wasit. "Pemenangnya adalah… Agung," lalu wasit itu mengangkat tangan Agung seraya semua penonton bersorak. Martin menundukkan kepalanya tidak mau menatap ke arah penonton. Meskipun Martin tidak berhasil mengalahkan Agung, dia tetap mendapatkan upah dari pertandingannya dan tambahan lagi karena melawan Agung.

Di barisan penonton Sastra bergumam dengan kecewa, "Sialan, tekor aku, duitku ilang…"