Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 25 - Kericuhan

Chapter 25 - Kericuhan

Sastra dan Fatih sedang duduk bersama di kantin sambil makan dan membicarakan topik apapun yang bisa mereka pikirkan. Suasana di sana juga cukup ramai dan mereka sudah mendapatkan makanan mereka karena datang sebelum bel berbunyi. Sambil mengunyah cimolnya Fatih berkata, "Katanya kamu yang nyelidiki kasus pembunuhan kucing Sas, gimana perkembangannya?" Dengan frustasi Sastra menjawab, "Entahlah penyelidikannya buntu, semua petunjuk yang sebelumnya sudah dikumpulkan ternyata gak ada hubungannya sama kasus, masa aku harus nanyain 300 anak lebih di sekolah ini. Pembunuhnya bisa jadi siapa saja, seandainya listrik sekolah gak sering mati pasti udah ketangkep."

"Sayang sekali, kudoakan biar cepet ketangkep. Mending kamu sholat istikhoroh dan doa minta jalan keluar, siapa tau dikasih petunjuk." Sastra tertawa dan menjawab, "Gak mungkin tiba-tiba dapet petunjuk gitu. Bukan aku gak percaya ya, tapi emang susah kalau sudah buntu begini."

Sebelum Fatih bisa menjawabnya terdengar kegaduhan dari depan ruang guru. Sastra dan Fatih langsung memalingkan pandangannya kesana, tetapi tidak bisa melihat kejadian itu dengan jelas. Ada banyak anak-anak yang menutupi pandangan mereka. Sastra berkata, "Ayo liat apa yang sedang terjadi di sana." "Ayo," kata Fatih sambil membawa mangkuk cimol dengannya.

Sastra berdesakan dengan kerumunan itu berusaha untuk mendapatkan penglihatan yang lebih jelas. Di depan ruang guru ada 3 anak yang seperti berada di panggung utama. Yang satu berbadan besar dengan nama Agung dan disampingnya terdapat pacarnya yang bernama Sydney. Agung adalah satu dari tiga panglima dengan posisi Bhurloka. Di geng Triloka dia juga dijuluki Babi Hutan, karena fisiknya yang kuat dan sering menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Sydney menghadap ke kerumunan lalu berkata dengan lantang, "Semuanya perhatikan, Rian ini adalah pembunuh Snowy yang sebenarnya. Dia sering mengaku akan membunuh Snowy karena dia benci sama Bu Rima. Bisa kalian bayangkan betapa kejamnya dia tega melakukan hal seperti itu. Tapi bajingan ini gak mau ngaku, kalau gitu mari kita buat dia ngaku langsung di depan ruang guru!"

Rian yang ditindih di lantai oleh Agung berteriak, "Bukan aku pelakunya! Kalian semua jangan percaya sama dia, meski aku tarung sana-sini gak mungkin aku tega bunuh kucing. Agh, hey jangan pelintir tanganku!" "Sudah diam aja, biar kamu diurus sama kesiswaan, sebentar lagi mereka datang," ucap Agung.

Bukannya itu Rian yang kemarin menjadi tersangka dan pas dihipnotis ternyata gak ada sangkutannya sama pembunuhan Snowy? Kenapa sekarang ada orang yang menuduhnya? Apa mungkin pasangan ini dari OSIS yang mencoba menjadikannya kambing hitam? Sialan, apa yang sebenarnya terjadi? Aku harus menanyainya lagi setelah kerusuhan ini berakhir.

Banyak anak yang saling berbisik dan membicarakan tentang Rian yang sedang dituduh tanpa bukti. Semakin banyak anak yang berkumpul maka semakin tersebar luas fitnahnya. Sastra yang berada di tengah-tengah kerumunan itu dapat mendengar jelas apa yang mereka bisikkan. Ada yang bilang kalau sebenarnya Rian sudah membunuh lebih banyak kucing, bahkan ada yang bilang kalau Rian pernah membunuh manusia. Dalam waktu yang singkat tersebarlah begitu banyak kabar angin.

Lalu satpam bergegas datang untuk membubarkan kerumunan itu. Ada 2 satpam yang datang, yang satu membubarkan anak-anak dan satunya membawa pergi Rian ke ruang tatib. Agung dan Sydney juga diminta ikut untuk memberi keterangan. "Pak, bukan saya pelakunya! Saya dijebak, saya gak pernah bunuh hewan apapun!" teriak Rian sambil berusaha membebaskan diri. Lalu Sydney berkata, "Katakan saja pada guru saat kita di sana, hehe." Sastra hanya bisa melihat mereka pergi dengan perasaan gatal untuk mencari tau lebih lanjut.

"Sas, ayo balik ke kelas sudah masuk," ucap Fatih dari belakangnya. Ternyata kejadian tadi menghabiskan 15 menit dari waktu istirahat mereka. "Oke," jawab Sastra yang kemudian berjalan bersama Fatih ke kelas.

Pas istirahat kedua aku harus tanya ke kak Yunita mungkin dia akan diberitahu guru tentang masalah ini. Sementara itu aku akan melanjutkan pelajaran seperti biasa.

Lalu pada pukul 11.30 pagi bel berbunyi menandakan istirahat kedua. Biasanya di jam itu Sastra akan makan bekalnya dan tidak memedulikan apapun selain makanannya, tetapi dia merasa harus mencari Yunita. Saat Sastra akan keluar dari kelas dia bertemu Isabel.

Mereka hampir saja tabrakan sampai Sastra bilang, "Awas Isabel, kenapa kamu muncul tiba-tiba?Aku harus ketemu sama seseorang." "Siapa itu? Jangan-jangan ketua klubmu itu ya, kenapa kalian deket gitu sih? Aku jadi… Gak terlalu suka kalau kalian gitu," kata Isabel. Sastra yang terburu-buru hanya menjawab, "Hah, apa maksudnya coba? Nanti aja kita ngobrol aku masih punya urusan." Sastra pun berjalan cepat meninggalkan Isabel, tetapi Isabel mengikutinya. Dia berkata, "Ikut dong, aku pengen liat kalian nangkep pembunuhnya Snowy. Kamu lagi mau ngurusin kasusnya kan?"

"Ya, aku mau nanyakan tadi kenapa ada kericuhan di depan ruang guru. Kalau kamu mau ikut boleh aja," jawab Sastra.

Sastra dan Isabel pun berjalan bersama ke kelas XI.A. Setelah sampai di sana Sastra mengetuk pintunya lalu masuk menemui Yunita, sedangkan Isabel menunggu di luar. "Permisi kak, aku mau tanya info tentang Rian," Yunita pun menjawab, "Ah Rian, tadi aku sempet dikasih tau guru kalau dia dibebaskan. Ya gak dibebaskan juga sih, tapi juga gak ditahan karena gak ada bukti yang kuat kalau dia pelakunya, jadi tidak bisa ditindak lanjut."

"Jadi apa dia pelakunya? Maksudnya kan ada 2 anak yang nuduh dia kalau berencana bunuh Snowy," kata Sastra. Lalu Yunita menjawab, "Mending kamu tanya langsung sama anaknya, dia dari kelas XI.J di atas. Aku mau makan dulu, tolong jangan ganggu." Dengan begitu Yunita mengeluarkan kotak bekalnya lalu mulai makan. Sastra merasa Yunita tidak akan memberikan lebih banyak informasi, jadi dia berterima kasih padanya lalu pergi keluar kelas.

"Gimana Sas, apa katanya?" tanya Isabel. "Tadi ada kericuhan di depan ruang guru, nah ada anak yang kemarin jadi tersangka itu dituduh sebagai pelaku sama 2 orang. Banyak juga yang nonton, tapi setelah itu mereka dibawa ke ruang tatib. Katanya kak Yunita dia dibebaskan karena gak ada bukti, nah sekarang aku mau tanya-tanya ke dia."

"Sekarang? Bukannya sudah mau masuk?" Lalu Sastra berkata, "Lah bukannya masuk jam 12 ya? Harusnya sekarang masih bisa." "Yaudah ayo," ajak Isabel.

Di depan kelas XI.J Sastra langsung bertemu Rian secara kebetulan. "Eh kamu Sastra kan, kebetulan aku lagi nyari kamu. Bantu aku biar gak dituduh lagi, aku sudah muak sama anak-anak nganggap aku sebagai pembunuhnya." Saat itu Isabel sedang berada di belakang Sastra saat Rian menghampirinya. Lalu Sastra berkata, "Kamu mau aku membersihkan namamu? Emang kamu bisa menjamin kalau kamu bukan pelakunya?"

"Nah itu tuh, aku juga gak tau yang pasti bukan aku pelakunya," ucapnya dengan khawatir. Lalu Sastra menjawab, "Yaudah ceritakan aja yang sebenarnya aku akan dengarkan. Baru aku bisa pikirkan jalan keluar." Mereka berdua pun duduk di bangku depan kelas. Lalu dia mulai bercerita, "Oke memang hari selasa aku mukul OSIS, tapi gak ada hubungannya dengan ini. Dulu aku sering bilang kalau aku benci dengan Bu Rima dan bilang akan bunuh kucingnya, tapi hanya sebatas itu aja." Sastra menyela, "Kamu bilang ke siapa aja?" "Cuma di kelas aja, paling ya bisa menyebar kalau mereka ngerumpi," jawabnya.

Jangan-jangan ada orang yang menjebaknya dan dia berasal dari kelas ini. Makannya Rian dijebak, tapi siapa?

Sastra mendongakkan kepalanya ke jendela kelas dan melihat ke kelas yang ramai. Dia berusaha mengenali seseorang yang mungkin bisa saja terlibat dengan kasus ini. Lalu Sastra mengenali seseorang. Dia lelaki yang satu ekskul dengannya di KIR. Namun, saat itu Sastra tidak mencurigai apapun. Dia kembali mengobrol dengan Rian dan berkata, "I see, gak ada informasi lain yang kamu sembunyikan? Kenapa gak bilang aja pas kemarin sesi hipnotis?"

"Gak ada, pokoknya anak yang namanya Sydney itu pacarnya Agung. Dia yang pertama kali ngajak Agung buat nuduh aku, kayaknya." Sastra bertanya, "Emang tiba-tiba aja? Gak ada hujan gak ada angin tiba-tiba dia nuduh kamu?" "Iya, makannya aku gak tau harus apa kalau mereka nyoba nuduh aku lagi," keluh Rian. Kemudian Sastra menatap tajam ke mata Rian seakan sedang menatap langsung ke jiwanya. Sastra melemahkan tatapannya lalu berkata, "Menurutku kalau kamu ketemu mereka lagi lawan aja, yah kalau misalnya mereka buat masalah duluan." "Hah maksudmu aku tarung sama Agung itu?" tanya Rian dengan bingung. Dia tidak menyangka akan mendapat jawaban se absurd itu. "Gak-gak cuma canda, jangan khawatir aku akan segera mencari pelakunya." Setelah mendapatkan informasi dari Rian Sastra tidak lupa berterimakasih padanya sebelum pergi.

Sastra berdiri lalu berjalan bersama Isabel menuju lorong di depan perpustakaan. Di sana Isabel bertanya padanya, "Jadi, cuma gitu doang kamu nanyainnya?" "Ya, emang mau gimana lagi, bagus dia mau ngasih info ke aku. Biasanya malah anak-anak seperti itu tertutup dan susah menggali info dari mereka."

"Oh gitu… Btw kamu belum makan siang kan, Sas? Tapi udah hampir jam 12 ini." Dengan nada yang sedih dia menjawab, "Yasudah, emang nasib aku gak bisa makan siang hari ini." Isabel langsung berhenti dan menggandeng tangan Sastra. "Ayo ke kantin aja Sas, mending kita makan bakso daripada ngelanjutin pelajaran mat. Lagian cuma ngerjakan latihan soal minggu depan juga bisa dikumpulin," kata Isabel sambil menarik tangan Sastra. Sastra tidak melawan Isabel dan membiarkan dirinya ditarik. Mereka berdua berlari ke kantin yang saat itu masih terbuka. Di depan bagian yang berjualan bakso Isabel memesan 2 porsi untuk dirinya dan Sastra. Baru setelah itu, keduanya duduk saling berhadapan di bangku yang kosong. "Kali ini aku yang traktir Sas," ucap Isabel. Anehnya Sastra setuju dengan Isabel dengan berkata, "Oke, makasih."

Tidak lama setelah itu bakso pesanan mereka datang. Tidak lupa Isabel membayar pesanan mereka berdua. Isabel juga yang pertama kali menyentuh baksonya, sedangkan Sastra menunggu Isabel untuk mulai makan terlebih dahulu karena dia ditraktir. Normalnya, mereka akan mendapatkan mangkuk plastik yang bisa langsung dibuang, tetapi kali ini mereka mendapatkan mangkuk keramik yang memiliki gambar ayam jago dan tanaman.

Di tengah-tengah makan Isabel berkata pada Sastra, "Aku gak suka kalau kamu deket sama ketua klubmu itu." Sastra yang kaget langsung berkata, "Hah apa maksudnya? Sejak kita di depan kelas kamu ngomongin itu terus."

Kesal mendengar itu Isabel sampai membatin, Bisa–bisanya dia jawab kayak gitu. Kenapa dia udah pinter, tapi tetep gak peka aja. Masa aku harus jelasin semuanya ke dia, minimal pahami perasaanku kek.

"Pas hari selasa dia kayak mau ngejauhin kita gitu, dia kan suruh kamu milih mau bantu aku atau mau neruskan penyelidikan. Aku sampai harus ke UKS sendirian buat ganti baju. Dia itu gak baik Sas, orangnya toxic." Lalu Sastra menjawab, "Ya emang orangnya kayak gitu. Dia kayak harus perfect dan teratur, mungkin itu efek buruk dari menjadi ketua klub Arcana. Maaf kalau dia buat kamu merasa gak enak, sebenarnya pas itu aku mau nganterin kamu."

"Bukan-bukan aku bukan mau kamu minta maaf, ah sudahlah kita bicarakan yang lain aja... Kamu sudah punya gambaran gak siapa pelakunya dari petunjuk yang dikasih Rian tadi?"

"Ada, menurutku Rian itu dijebak seolah-olah dia adalah pelakunya. Itu dia kenapa ada surat ancaman yang ditujukan pada Bu Rima. Semuanya dibuat seakan-akan si pelaku membenci Bu Rima dan orang yang tau kalau Rian pernah bilang dia akan bunuh Snowy itu anak sekelasnya, seperti kejadian tadi pagi yang dilakukan oleh temannya Sydney dan Agung. Terus dari ramalan kak Yunita, katanya motif pelaku adalah rasa takut bukan kebencian…" Tiba-tiba Isabel menyela, "Ah aku tau, biasanya pelaku itu ada di depan mata sejak awal. Kayak orang yang kamu kenal, biasanya di film-film gitu."

"Orang yang kukenal? Orang yang ada di depan mataku selama ini…" Di saat itu Sastra menyadari sesuatu. Intuisinya mengatakan bahwa seseorang yang juga berasal dari ekskulnya memiliki hubungan dalam kasus ini. Memori dari pertemuan KIR hari senin berputar dalam pikirannya dan semuanya mulai masuk akal. Senyuman muncul di bibirnya dan dalam hati Sastra sangat berterimakasih pada Isabel.