Di hari sabtu Sastra membuka lemari buku di kamarnya yang berisikan buku dari berbagai jenis literatur. Di bagian kiri atas terdapat buku Prometheus, buku kedokteran. Dia pernah membeli buku itu karena tertarik dengan ilmu kedokteran, sayangnya dia bosan dan buku itu ditinggalkan. Di bagian kanan terdapat buku-buku fiksi, novel ataupun buku pelajaran ilmiah.
Tujuan Sastra membuka lemari itu bukan untuk mengambil buku, melainkan untuk mengambil kameranya. Dia membuka kotak plastik yang berisikan kamera lalu mengeluarkan isinya. Pertama dia masukkan baterai kamera baru setelah itu memasukkan memory cardnya. Setelah yakin kalau baterainya sudah penuh dia mengambil lensa kamera lalu menutup kotak dan lemari itu.
Sastra menatap pada jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul 10.17 pagi. Dia sudah harus menjemput teman-temannya di taman depan lapangan tenis. Alasannya sama karena mereka malas mencari alamat rumah Sastra. Di dalam hati Sastra merasa sedih padahal rumahnya cukup besar, tetapi teman-temannya mengatakan kalau susah dicari.
Setelah itu Sastra memasukkan kameranya ke dalam tas cokelat dan berangkat ke taman mengendarai sepeda listrik birunya. Sesampainya di taman dia memarkir sepedanya di parkiran sebelah kiri. Di sana Martin sudah menunggunya. Dia langsung menyapa Sastra, "Halo Sas, kamu kok terlambat seh, ini lebih 15 menit. Tapi gak papa aku baru dateng 5 menit yang lalu juga, hehe."
Meski dalam hati Sastra merasa ingin menonjok wajah Martin dia membalas sapaan itu dengan senyum, "Ahaha, gak papalah cuma 15 menit doang, yang lainnya mana? Cuma kamu doang?" Martin langsung berbalik dan menunjuk 5 orang di belakangnya. Sastra membatin, Ah harusnya aku bisa lihat sendiri, emang tolol aku. Aku kelihatan tololnya aku kalau gini, emang aku salah kasih pertanyaan.
Untuk menghindari kecanggungan itu Sastra langsung menghampiri kelima temannya, "Halo guys, mau langsung ke rumahku a?" Teman-temannya yang melakukan berbagai hal seperti mengobrol, scroll HP, main ayunan dan main perosotan tampak tidak menghiraukannya. Lalu Isabel yang sedang bermain ayunan menjawab, "Sini Sas, mending kita main dulu. Ayunannya seru loh."
Sastra pun menjadi heran melihat pemandangan ini. Suara decitan ayunan itu juga membuatnya semakin stress. Lalu dari atas perusutan meluncurlah Levin yang diikuti oleh Fatih. Mereka tertawa dengan sangat bahagia layaknya anak TK. "Hey, kalian ngapain malah main, kita kan dateng buat syuting. Kalian gak liat apa ada papan gede tulisannya cuma anak dibawah 12 tahun yang boleh main?" Sastra pun mulai frustasi dengan tingkah laku kelompoknya.
Dari kursi yang agak jauh Becca berkata, "Santai Sas, ngapain buru-buru actress yang jadi protagonisnya aja belum dateng. Mending kamu main ayunan sama Isabel aja, hehe" Isabel yang mendengar ucapan Becca langsung menoleh, "Hah, maksudnya loh. Kamu jangan yang aneh-aneh Bec!" Lalu dengan centil Becca menjawab, "Heeh, bukannya kalian pacaran ya?"
Isabel tidak bisa menyembunyikan pipi merahnya lalu menjawab dengan jujur, "I-iya sih gak salah." Sastra menghela napas dengan berat lalu menghampiri Becca. Di depan becca ada meja kecil yang terhubung dengan tiang besi yang memiliki atap. Sastra meletakkan tasnya lalu mengeluarkan kameranya. Dia pasangkan lensa ke kameranya lalu menyimpan tutupnya di dalam tas sambil berkata, "Titip, kalian mau kufoto gak?"
Pertama dia mengambil foto Tiana dan Becca sampai mereka berteriak, "Woy jangan!" Namun, tetap difoto olehnya. Sastra mendapatkan foto yang sangat lucu hingga membuatnya sedikit tertawa. Wajah Tiana di foto itu terlihat jelek karena angle yang buruk, tidak perlu difilter lagi memang itu kenyataanya. Sastra kemudian lanjut ke teman-teman lainnya.
Di depannya ada Martin lalu Sastra memanggilnya, "Martin, cheese." Martin terlihat seperti model dengan pose tangan kiri di depan wajah, tangan kanan yang berada di bawah dan kaki yang dibuka lebar. Tidak salah lagi dia sedang melakukan Jojo pose. Selanjutnya Sastra memotret Levin dan Fatih yang sedang asyik bermain di area perosotan. Belakangan ini Levin dan Fatih juga tumbh semakin dekat bahkan bisa disebut sahabat.
Yang terakhir Sastra menghampiri Isabel yang sedang menendang tanah dan menghempaskan ayunannya ke belakang. Dia berdiri tepat di depannya hingga Isabel berteriak, "Sas, awas nanti kamu ketabrak!" Sastra mendekatkan eyecup kamera ke mata kanan lalu menekan shutter kameranya.
Cekrek…
Sastra mendapatkan hasil foto yang lumayan memuaskan. Di layar kameranya terlihat Isabel dengan senyumannya yang konyol dan ekspresi panik tampak jelas karena berayun ke arah Sastra. Lalu di atas gambar foto itu tertulis tanggal 2 September 2023. Isabel menghentikan ayunannya dan menghampiri Sastra sambil berkata, "Sas, hapus itu jelek tadi aku belum siap." "Iya, iya kuhapus nih." Sastra pura-pura menghapus fotonya di samping Isabel langsung. Yang sebenarnya dia lakukan hanya kembali ke mode memotret dan menutup review foto. Baru setelah itu Sastra memotret lebih banyak foto Isabel sesuai permintaannya.
Setelah beberapa lama di sana akhirnya si kembar tiba di lokasi syuting. Tidak mengherankan kalau artis selalu datang terlambat, tetapi 2 anak kembar ini sama sekali bukan artis. "Haloo, maaf ya terlambat, tadi macet jalanan." Dengan nada marah Becca berkata, "Kalian dari mana aja sih, udah ditungguin 30 menit. Kalau tugas yang niat dong!"
Tidak lama setelah mereka mulai cekcok Isabel datang untuk melerai, "Udah-udah mending kita mulai aja syutingnya, kan sudah lengkap." Becca terpaksa mundur dan tidak melanjutkan omelannya. Lalu Martin bertanya, "Emang mau syuting apa kita hari ini?" "Hari ini syutingnya masih bagian awal. Nah, awalnya itu Lily nanti kayak endorse produk terus diupload di Instagramnya. Habis itu dia kena cyberbully soalnya upload foto-foto yang bagi netizen itu gak disukai. Pokoknya sama kayak di script baca dong makannya."
Setelah itu mereka pun mulai melakukan syuting adegan pertamanya. Sastra menyiapkan kameranya dan menggantinya ke mode recording video. Di bangku dekat perosotan Lily bersiap-siap sambil memakai jaket putihnya. "Aduh Lily belum siap, gimana nih masa langsung syuting sih," ucap Lily dengan merengek. Becca yang berperan seperti sutradara mencoba menenangkan Lily, "Gak papa wes, nanti kalau salah diulangi lagi aja, ok?" Lily pun mengangguk pada Becca, namun masih menunjukkan rasa ragu.
Mau tidak mau Lily harus melakukan perannya sebagai protagonis. Sastra berada pada posisinya dan siap menekan tombol di kameranya ketika Becca sudah memberikan aba-aba. "Action!" teriak Becca. Kemudian Sastra memulai recordingnya dan mengikuti pergerakan Lily.
"Halo guys, kembali lagi sama aku Lily hari ini aku eh… Aduh ulang lagi aku lupa." Terpaksa Sastra harus mengulang videonya dari awal lagi. Becca menggelengkan kepalanya, tetapi dia tetap melanjutkan syutingnya. Dia berkata, "Oke mulai dari awal lagi, tiga dua satu action!" Sastra pun dengan cepat memulai rekaman videonya.
Pada akhirnya mereka harus melakukan 5 kali take video untuk adegan itu. "Udah wes Lily udah capek," setelah usai adegan itu dia langsung duduk di bangku. Di situ dia langsung membuka teh botolnya. Teh botol itu sempat digunakan dalam syuting endorse tadi. Kemudian Sastra bertanya pada Becca, "Kita sampai di sini aja tah, kalian gak mampir ke rumahku?" Becca yang tidak bisa memutuskannya sendiri bertanya, "Rek, kalian mau ke rumahnya Sastra tah?"
Mereka semua pun menoleh pada Becca. Tanpa ragu Lulu langsung berkata dengan lantang, "Ayo, kita nanti ditraktir pizza sama Sastra!" Sastra langsung membatin, Brengsek, habis uangku anjay pizza itu minimal 2 ratus ribu!
Sastra menanggapi, "Hmm boleh aja kalian ke rumahku, tapi aku gak janji kasih pizza ke kalian. Soalnya ayahku lagi sakit, jadinya ya gitu." Itu adalah taktik Sastra untuk membuat mereka merasa bersalah terutama Lulu karena seenaknya meminta pizza. Setidaknya jika sudah dipinjamkan rumah untuk syuting tidak meminta hal yang lain. Seperti diberi mobil Ferrari lalu mintanya kapal pesiar.
Lulu pun langsung menciut ketika Sastra menyebut ayahnya yang dirawat di rumah sakit. "Oh, ya maaf Sas," ucapnya dengan sedih. Lalu Levin berkata, "Sas, pinjem sepeda listrikmu. Aku sama Fatih mau naik." "Ya Sas, pinjemin dong aku yang nyetir jadi kamu gak usah khawatir," ucap Fatih. Kemudian Sastra balik bertanya, "Lah nanti siapa yang bawa sepeda motormu?" "Tinggal sini aja wes aman kan?" lalu Sastra menjawab, "Harusnya iya."
Dengan berat hati akhirnya Sastra meminjamkan sepeda listriknya pada mereka. Terpaksa dia harus berjalan bersama para gadis dan Martin. Sepanjang perjalanan Levin dan Fatih selalu mendahului mereka dan ketika ada jalan memutar mereka akan putar balik lalu mengikuti rombongan Sastra lagi. Sampai-sampai Sastra membatin, Ampun dah masa aku yang punya harus jalan kaki gini. Harusnya gak pernah kupinjemin.
Sesampainya di depan rumah, Sastra membukakan pintu gerbang agar mereka bisa masuk. "Guys, pelan-pelan sepedanya di sini agak naik." Untungnya Fatih patuh pada Sastra dan aman sentosa ketika memarkir sepeda listriknya.
Mereka akhirnya masuk ke dalam rumah Sastra dengan melepas sepatu. Di sana mereka disambut oleh Bella yang menawarkan makanan atau minuman pada mereka. Sastra hanya menjawab sambil melambaikan tangan kirinya, "Tidak perlu Bella, kami akan beli secara online sendiri aja. Kamu bisa siapkan minuman." Bella mengangguk lalu berjalan ke dapur untuk melaksanakan tugasnya.
Kemudian Sastra membawa mereka ke ruang keluarga atau nama lainnya ruang piano. Diberi nama ruang piano karena di sana terdapat grand piano yang sering dimainkan oleh kakaknya. "Jadi, kalian mau makan apa siang ini?" tanya Sastra. Kemudian dijawab oleh Tiana, "Mending makan mie gak seh?" "Iya, iya Sastra yang traktir," kata Lulu. Tiana pun membela Sastra, "Ojok ngono a, kasian Sastra mending patungan ae." Karena memang sudah lapar akhirnya mereka setuju dengan Tiana. Sambil menunggu pesanan mereka diantar Martin dan Levin mencoba memainkan piano. Sayangnya, mereka bukan pemain piano sehingga melodinya acak dan ngawur.
Tanpa Sastra sadari Isabel sudah berada di sampingnya dan membisikkan, "Sastra aku mau lihat burung merpatimu kan katamu kamu simpen di kamar." Kemudian dia berkata, "Oh, jam segini merpatinya gak di kamarku, tapi ada kujemur di balkon." "Yaudah, aku mau liat kalau gitu," paksa Isabel. Karena Isabel memaksanya Sastra pun menuntunnya ke balkon lantai dua. Mereka melewati kamar Sastra dan kamar ayahnya. Di depan kamar itu Isabel seakan merasa merinding, tetapi tetap diam saja.
Kemudian mereka sampai di balkon yang disinari cahaya matahari. "Kurr… Kurr," burung merpati itu melompat-lompat di dalam sangkarnya. Isabel pun menjadi senang hingga berkata, "Waaah, ini toh burungnya, tapi kayak sama dengan burung yang lain tuh." "Emang iya, kan semua merpatinya warna putih biar seragam. Cuma burung ini yang kupelihara secara pribadi." Sastra menggunakan kedua tangannya untuk menurunkan sangkar burung itu. Lalu Isabel bertanya, "Gak kamu kasih nama tah merpatinya?"
Dengan jujur Sastra menjawab pertanyaannya, "Jujur aku gak terlalu peduli sama merpati ini, lagian juga ada banyak yang serupa. Bagiku mereka cuma alat untuk sulap bukan manusia dan tidak spesial." "Kamu salah Sas, kalau kamu punya peliharaan, harus kamu sayang karena mereka spesial. Liat lucu kan burungnya, coba kupikirin nama buat burungnya… Ah gimana kalau kita namai dari gabungan nama kita? Coba pikirin namanya Sas." Setelah berpikir agak lama Sastra mengusulkan, "Menurutku kita bisa kasih nama dia, Sasbel."
"Nah bagus tuh, yang penting kamu ada namanya sekarang. Meski Sasbel, kedengarannya aneh, tapi gak papa. Kamu juga harus sayang sama hewan peliharaanmu, Sas. Emang kamu mau kalau dianggap alat buat sirkus?"
"Bel, ini sulap bukan sirkus," ucap Sastra. "Sama aja," Isabel berhenti sejenak sebelum bertanya dengan nada serius, "Aku mau tanya tentang papamu Sas, gimana keadaannya sekarang?" Seketika pembicaraan mereka menjadi berat. Sastra tidak menyukai pertanyaan ini, tetapi di sisi lain dia juga tidak mau berbohong pada Isabel. Sehingga dia jawab, "Aku dapet kabar kalau misalnya papaku sudah bangun, kalau gak besok nanti malem aku kunjungi."
Setelah mengatakan itu suasana di antara mereka seakan menjadi sunyi hanya ada suara burung merpati dan hembusan angin sepioi-sepoi. Lalu Isabel berkata, "Aku doakan semoga ayahmu cepat sembuh, Sas. Yang penting kamu tetap kuat aja, kalau ada apa-apa bilang, ya." Sastra hanya mengangguk pada ucapan Isabel.
Lalu Isabel berkata lagi, "Oh ya Sas, bulan Oktober nanti ada pameran lukisan punya kakakku, kamu mau ikut gak?" "Pameran lukisan? Lukisanmu juga ada di situ kah?" Dengan agak takut Isabel menjawab, "Eh, enggak cuma punya kakakku aja. Pokoknya ikut aja ya aku temenin." Dalam hati Isabel berkata, Sialan Abigail, kenapa dia memintaku mengajak Sastra. Apa yang dia rencanakan kenapa harus melibatkan Sastra, tapi aku gak punya pilihan lain.
Setelah itu mereka turun lagi ke bawah untuk makan siang. Baru setelah perut mereka kenyang mereka pulang satu per satu. Becca berkata kalau syutingnya dilanjutkan minggu depan di sekolah saja, jadi siang itu mereka bisa pulang.
Pada pukul 19.23 malam Sastra sudah berada di rumah sakit. Dia berjalan sendirian ke ruang inap ayahnya yang agak jauh dari lobby. Setelah itu dia masuk ke dalam ruangan itu sambil menenteng makanan di tangannya. "Oy Sastra, kamu dateng ngunjungi ayah toh, hahaha," ucap Novel ketika melihat putranya datang menjenguk. Sastra hanya tersenyum lalu meletakkan makanannya.
"Gimana keadaan papa?" tanyanya. "Oh aman, liat aku sudah sehat cuma katanya dokter belum boleh pulang. Padahal cuma luka di tangan aja, ini kan lama-laam bisa sembuh sendiri. Jadi, harusnya papa boleh pulang, tapi yah dokternya gitu," jawabnya dengan riang. Mendengar itu Sastra menjadi geram karena ayahnya menganggap hal ini sepele. Tanpa dia sadari mulutnya sudah berteriak, "Kenapa papa coba bunuh diri lagi hah! Papa pikir semua orang gak cemas gitu a? Aku-aku sampai harus menelepon ambulans terus menunggu siapapun untuk datang. Papa gak tau tah betapa takutnya waktu itu, bagaimana kalau papa bener-bener mati?! Nanti keluarga ini jadi apa, papa sendiri juga gimana?!"
Sastra sampai terengah-engah lalu dia perlahan menenangkan dirinya. Dia menahan keinginan untuk memukul ayahnya, alih-alih dia memukul pahanya sendiri 3 kali. Dalam hati dia mengumpat-umpat, tetapi dia berkata, "Maaf pa aku teriak, harusnya aku bisa mengontrol emosiku."
Wajah Novel berubah menjadi serius, tidak wajahnya lebih menunjukkan perasaan melankolis. Tanpa ia sadari air mata jatuh ke pipinya yang dia coba tutupi dengan kedua tangannya. Novel berkata dengan terisak, "Enggak, harusnya papamu yang minta maaf, papamu ini lemah, penakut dan pengecut. Semuanya adalah salahku, maaf karena membuat mamamu meninggal Sas. Tidak ada orang lain yang pantas disalahkan selain aku." Sastra pun mengelus-elus punggung ayahnya sambil berkata, "Sudah gak papa pa, setidaknya sekarang sudah lebih baik daripada dulu. Mending kita makan burger yang sudah kubelikan." Sastra mengeluarkan dua burger untuk ayahnya dan dirinya. Dia memberikan burger yang isinya ayam pada ayahnya sedangkan dia makan cheese burger.
Sastra pun bertanya lagi, "Aku masih gak paham alasan papa coba bunuh diri terus. Gak mungkin hanya karena kematian mama kan? Pasti ada yang lain, atau memang aku yang salah dan rasa sakit yang papa rasakan memang sesakit itu?" Novel menghentikan makannya dan menjawab, "Sebenarnya papa kadang mengalami seperti dunia ini gak nyata atau ilusi. Semuanya tampak sangat indah dan sangat nyata bahkan gak kelihatan kayak mimpi, kecuali ada satu hal yang aneh."
Novel menunjuk pada jam dinding di ruangan itu, "Setiap jam yang kutemui pasti akan berhenti. Entah itu jam dinding, jam tangan atau jam di HP sekalipun. Jadinya aku coba memotong tanganku dan ternyata berhasil kembali ke dunia nyata mungkin, tapi setelah melakukan itu semua jam berjalan seperti biasanya dan akhirnya aku berada di sini." Sastra merasa percaya tidak percaya dengan cerita ayahnya itu. Sudah sejak kematian ibunya Sastra melihat perubahan pada ayahnya. Seperti lama-kelamaan dia menjadi gila. Setelah mendengar penjelasan dari ayahnya dia menjadi semakin yakin. Di sisi lain Sastra merasa takut kalau nanti dia akan menjadi seperti ayahnya, karena mereka berdua terikat oleh darah.