Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 20 - Diskusi

Chapter 20 - Diskusi

Pagi itu Sastra baru saja keluar dari kamar mandi dan berjalan masuk ke kamarnya. Dia melihat ke arah jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul 05.15 pagi. Dia sudah bangun satu jam sebelumnya untuk melaksanakan solat subuh yang dilanjutkan dengan mandi. Di depan full body mirror yang menempel di pintu lemarinya dia mengenakan baju pramuka dan kemudian dia memakai hasduk pramuka merah putih.

Setelah itu dia turun ke ruang makan di dekat dapur dan duduk di salah satu bangkunya. Tidak lupa Sastra menyapa Bella yang sedang menyiapkan sarapan untuk dirinya, kakaknya dan ibunya. "Selamat pagi Bella," ucapnya. Kemudian Bella menjawab, "Selamat pagi kak, omeletnya akan segera jadi, tunggu sebentar ya." Suara Bella terdengar redup di balik sayup-sayup suara telur yang digoreng. Suaranya mendesis dan semakin keras ketika omeletnya dibalik. Sastra yang masih mengantuk tidak melanjutkan percakapannya dan diam di kursinya. Dia mengucek matanya sambil memikirkan kejadian yang sudah terjadi di minggu itu. 

Hari senin aku melakukan cap jari sama Isabel, terus saat pulang aku menemukan papa mencoba bunuh diri. Lalu aku panggilkan ambulans dan sekarang dia ada di rumah sakit. Keesokan harinya Isabel jatuh pingsan saat lari estafet. Lalu aku menggendong dia ke UKS. Di sana entah kenapa aku menceritakan kejadian yang ku alami padanya, padahal aku gak pernah cerita masalah apapun pada siapapun. Lalu dia memberiku hadiah kertas cap tangan itu. Ahahah, itu lucu sekali dia membawanya kemana-mana dan sekarang aku juga melakukan hal yang sama. Kertas itu kutaruh di buku diaryku. Terus besoknya nyari kucing dan dapet pin dari klub Arcana. Besoknya lagi pelajaran seperti biasa dan aku juga ke kantin bareng Isabel. Aku penasaran apa yang dirasakan papa itu benar-benar menyakitkan?

Tanpa Sastra sadari waktu telah berlalu dan Bella sudah menghidangkan nasi dan omelet di hadapannya. Ayu yang melihat Sastra masih melamun menegurnya, "Sas habiskan sarapanmu sebelum dingin. Habis ini kamu juga harus berangkat." Sastra pun tersadar dan mulai memakan hidangannya. Di meja makan itu hanya terdapat Ayu dan Sastra entah kemana ibu tirinya. Mungkin dia sudah pergi, mungkin dia tidak pulang atau mungkin dia masih tidur di kasurnya. Sastra tidak tau dan dia juga tidak peduli dengan wanita itu. Ketika sarapannya habis Sastra pergi ke kamarnya lagi untuk mengambil tasnya. Tidak lupa Sastra menjemur burung merpatinya di balkon. 

Hembusan angin membuat rambut Sastra terhempas ke belakang. Meski sepeda listriknya tidak memiliki kecepatan yang tinggi dia tetap melaju dengan cepat karena jalan yang menurun. Sesampainya di depan sekolah dia turun dari sepedanya lalu menuntun sepeda itu masuk sampai ke parkiran. Dia parkir sepeda listriknya di bagian khusus sepeda yang di sana juga terdapat satu sepeda listrik lain berwarna merah. 

"Pagi Sas!" suara itu terdengar dari belakangnya ketika dia sedang melintasi lapangan. Kemudian dia berbalik dan ternyata itu adalah Isabel. Kemudian Sastra menjawab, "Oh pagi Isabel, tumben kamu dateng awal." "Oh, itu soalnya ayahku mau ada urusan penting, aku kan dianter sama ayahku jadi harus menyesuaikan juga." Isabel pun berjalan lebih cepat untuk berada di samping Sastra. "Kita emangnya habis ini pelajaran apa Bel?" tanya Sastra. Lalu Isabel menjawab dengan agak ragu, "Hmm apa yah, harusnya P5 mungkin, soalnya aku lupa gak nyiapin buku semalem, hehe." Sastra terdiam tidak tau harus menjawab apa. Namun, dia tetap menjawab dengan rasa heran, "Terus hari ini kamu gimana ngikuti pelajarannya? Pelajaran hari ini sangat berbeda dari yang kemarin, meski kebanyakan P5." "Ya, dijalanin aja meski buku yang kubawa itu buku kemarin yang penting buku dan bisa dibuat nulis," jawabnya.

Sastra masih merasa ada yang janggal sehingga bertanya lagi, "Kalau kamu tau kamu lupa belum membawa buku hari ini kamu taunya kapan? Kalau kamu taunya di rumah kan bisa kamu langsung masukkan sesuai pelajaran hari ini." Isabel pun juga menjadi bingung kemudian menjawab, "Aku taunya pas lagi udah di jalan dan dari waktu aku tidur sampai bangun itu kayak gak inget blas. Jadinya gak kebawa deh, masa aku minta ayahku puter balik." Rasa janggal di hati Sastra masih belum hilang, tetapi tanpa dia sadari dia sudah berada di depan pintu kelas sehingga tidak bisa bertanya lebih lanjut. 

Keduanya berpisah untuk sementara demi menempati bangku mereka masing-masing. Di sebelah Isabel adalah Becca yang menyambutnya dengan riang, keduanya juga langsung mengobrol dengan sangat akrab. Sebaliknya Sastra duduk sendirian di bangku belakang. Tidak lama kemudian Martin datang dan duduk di sebelahnya. Martin menyapanya dengan wajah yang berseri-seri, sedangkan Sastra hanya menjawab salamnya dengan biasa. 

Kemudian setelah doa berakhir pelajaran P5 dimulai dan semua anak diminta berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Sastra dan Martin duduk bersebelahan di kursi yang ditata melingkari meja dimana mereka akan berdiskusi. Isabel tetap sama duduk di samping Becca dan anak perempuan lainnya. Mereka saling bertukar cerita dan bercanda untuk beberapa lama. Kemudian Fatih bertanya, "Kita mau buat film yang kayak gimana sih? Coba kalian kasih ide sesuatu, aku bingung." "Yang kayak film yang dulu pernah kukasih liat itu loh," jawab Becca. "Film yang ada bunuh diri di awal-awalnya itu?" 

"Ya, yang itu kan yang bundir itu kayak dibuli akhirnya gantung diri pas lagi meeting call." Isabel merasa tidak menyukai dengan plot cerita itu lalu mengeluh, "Kok gelap banget sih? Berarti nanti ada yang bunuh diri gitu di film kita?" "Ya, kurang lebih begitu," jawab Becca.

Sekarang Becca bertanya, "Jadi, siapa yang mau jadi karakter utamanya?" Semuanya langsung terdiam dan tidak ada yang mau mengajukan diri. Alasannya sudah jelas karena mereka malu untuk menjadi karakter utama dan masih belum tau tugasnya karakter utama nantinya apa. Sehingga Sastra merasa perlu bertanya tentang itu, "Emangnya plot ceritanya gimana? Peran karakter utamanya juga apa?" Pertanyaan itu ditujukan pada Becca yang jelas-jelas mengusulkan ide ini. Jadi akan masuk akal jika Becca sudah memikirkan plot dari filmnya.

"Nah, aku mikirnya tuh kayak gini, protagonisnya itu kena cyberbully karena upload sesuatu di sosial medianya trus akhirnya dia depresi dan bunuh diri. Agar semuanya kebagian peran nanti ada yang jadi ayah, manager, kelompok pembuli, psikiater, dokter dll, gimana rek?" Semua anak di sana tampak memikirkan ide dari Becca kecuali dua anak kembar. Mereka sedang asyik memainkan HP mereka masing-masing dan tidak menyimak diskusi kelompoknya.

Lalu Becca menunjuk ke Lily sambil berkata, "Nah Lily cocok jadi protagonisnya dia keliatan polos dan sad banget, cocok buat memerankan karakter yang depresi." Si kembar itu pun langsung kaget. Lily sontak menggelengkan kepalanya berusaha menolak, tetapi kembarannya berkata, "Ide bagus, Lily ini kesempatan buat kamu biar bisa lebih percaya diri lagi. Cuma jadi protagonis itu gampang, gak perlu tampil di banyak orang lagi, enak kan?" Dengan wajah polosnya yang dapat meluluhkan hati orang di sekitarnya dia merengek, "Tapi kan Lily malu, Lily juga gak pernah main peran protagonis. Gimana kalau nanti ditonton sekelas? Kan malu nantinya." Untuk menyelesaikan pemilihan protagonis itu Becca bertanya pada semua anak, "Apa ada yang keberatan kalau Lily jadi protagonis. Kalau misalnya keberatan berarti dia aja yang gantikan Lily." Otomatis tidak ada yang mengacungkan tangan.

Tiana yang ada di samping Lily menepuk pundaknya, "Gak papa Lily, kamu cuma jadi karakter utamanya, kita di sini akan bantu kamu." Tiana kemudian mengelus rambut Lily dengan lembut untuk menenangkannya. Melihat situasi ini Sastra membatin, Kenapa ini rasanya kayak membully ya? Demokrasi sudah tidak ada di muka bumi ini.

Sekarang Tiana bertanya, "Nanti kita syutingnya dimana? Sama pakai HP atau kamera?" Tanpa pikir panjang Lulu menjawab, "Aku tau, rumahnya Sastra aja kan besar, aku pernah ke sana dulu. Kalau syutingnya pakai apa, kita bisa pakai kameranya Sastra juga, gimana Sas?"

Sontak Sastra kaget ketika Lulu mengusulkan untuk melakukan syuting di rumahnya dan menggunakan kameranya. Isabel yang mengetahui kondisi ayah Sastra berusaha untuk mengusulkan hal yang lain. Dia berkata, "Masa kita ber 9 ke rumahnya Sastra semua, nanti kan ngerepotin. Mending di sekolah aja banyak anak yang syuting filmnya di sekolah kok." "Iya, kita juga syuting di sekolah, tapi kalau ada adegan kayak di kamar atau di rumahnya protagonis masa kita tetep di sekolah? Lebih bagus di kamar langsung," kata Lulu. 

Sastra sebenarnya tidak keberatan jika menggunakan rumahnya sebagai lokasi syuting. Lagipula ayahnya sedang berada di rumah sakit jadi rumahnya kosong untuk sementara waktu. Sastra pun menyela mereka, "Gak papa kalau mau syuting di rumahku. Ayahku ada di rumah sakit jadi rumahku kosong. Kalau mau pakai kameraku juga gak papa." Isabel pun berhenti memberikan usulan lain karena Sastra sudah bersedia. Kemudian Becca berkata,

Tiana langsung berkata, "Oh, maaf Sas kami gak tau kalau ayahmu lagi sakit. Kita beneran boleh?" Sastra tetap menjawab, "Gak papa, kalian gak perlu khawatirkan ayahku, pikirkan aja syutingnya." "Makasih kalau gitu Sas, tinggal nentuin kapan mau syutingnya," sahut Lulu. Martin yang dari tadi diam saja memberikan usulan, "Aku gak bisa hari minggu soalnya ke gereja, gimana kalau hari sabtu aja?" "Boleh-boleh aja," jawab Sastra. Karena mayoritas anak di kelompok itu non muslim akhirnya banyak yang setuju untuk syuting hari sabtu. 

Setelah itu mereka berdiskusi tentang siapa yang dapat peran apa dan sebagainya. Mereka juga menentukan alat, bahan, busana yang nanti dibutuhkan dalam proses syuting. Akhirnya mereka tidak kuat untuk meneruskan diskusi, sehingga mereka membicarakan hal yang lain dan saling bercanda. 

Di saat teman-temannya mengobrol, Isabel melamun sambil membatin, Aku masih penasaran kenapa ayahnya Sastra mencoba bunuh diri, tapi apa boleh ya aku tanya ke dia gitu? Gimana kalau ternyata dia marah dan gak mau ngomong sama aku. Ya sudahlah yang penting aku sudah mencoba mengusulkan tempat syuting yang lain. Tapi kalau emang Sastra mau ya gak papa.

Isabel yang berada di meja seberang Sastra hanya bisa memandangnya. Dia lihat Sastra yang sedang menatap layar HPnya dan matanya yang bergerak ke kanan dan ke kiri seperti sedang membaca sesuatu. Isabel ingin sekali berbicara dengannya, tetapi rasanya seperti Sastra sangat jauh darinya.

Setelah pelajaran P5 berakhir dilanjutkan dengan pelajaran selanjutnya. Pelajaran demi pelajaran Isabel lalui hingga akhirnya waktu sudah menunjukkan pukul 15.06 sore. Isabel kembali ke kelas setelah kegiatan pramuka berakhir. Di sana dia bertemu dengan Sastra yang berpamitan, "Aku pulang dulu ya, Bel" Dia menggenggam tangan kanan Isabel lalu melepaskanya perlahan. Hingga akhirnya dia tidak lagi di kelas. Senyuman Isabel memudar dan dia kembali sendirian di kelas yang juga mulai sepi. Banyak anak yang berpamitan pada Isabel entah itu dengan tos atau hanya sekedar salam. 

Kemudian Isabel turun ke lantai satu sambil memesan Gojek untuk mengantarnya pulang. Ketika dia melintas di depan parkiran guru, sudah tidak terlihat sepeda listrik biru. Dia merasa sedikit kecewa, tetapi akhirnya dia menunggu di depan gerbang seperti biasanya. Setelah kira-kira 8 menit sepeda motor itu datang kemudian Isabel diantarkan ke rumahnya. 

"Terima kasih pak," ucap Isabel pada pengendara motor itu sambil memberikan uang sepuluh ribu. Kemudian dia menggunakan kunci rumahnya untuk membuka gembok di gerbang dan untuk membuka pintu masuk rumahnya. Suasana rumahnya bagaikan kuburan, sangat sepi karena dia orang pertama yang pulang. Setelah merapikan tas, seragamnya dan mandi dia langsung rebahan di sofa ruang tamu. Di sana Isabel bermain HPnya untuk beristirahat karena sudah seharian dia melakukan aktivitas sekolah. Dia scroll Instagram, Tik-tok dan media sosial lainnya. Sekalian sambil menunggu waktu makan malam karena waktu masih menunjukkan pukul 15.56 sore. 

Kemudian Isabel mendengar suara motor yang berhenti di depan rumah. Dia merasa masa bodoh dengan siapapun yang datang sore itu. Dari dalam ruang tamu terdengar pintu gerbang di luar yang terbuka dan motor masuk ke dalam garasi. Kemudian suara derap langkah itu semakin dekat. Hingga pintu rumah pun terbuka. Orang yang masuk itu bukanlah ayah Isabel melainkan kakaknya yang bernama Abigail.

Dia mengucapkan salam kemudian masuk tanpa menghiraukan Isabel yang sedang tidur di sofa. Setelah itu Abigail pergi ke kamarnya untuk beres-beres. Entah setelah berapa lama akhirnya Abigail sudah berada di samping Isabel yang sedang bermain HP. Dia berkata, "Halo Isabel sudah lama kita gak ngobrol, cuma 1 minggu sih. Tapi ya lumayan lama, aku akan langsung ke intinya aja. Aku punya tugas baru buat kamu, hehe." 

Isabel tampak tidak menghiraukan ucapan Abigail yang berdiri tepat di samping sofa. Melihat Isabel yang tidak menghiraukannya Abigail menjadi marah. Dengan kasar dia menarik rambut Isabel sampai membuatnya duduk di sofa. "Hei, dengarkan kalau aku ngomong! Pokoknya kamu lakukan yang sama kayak tahun lalu, buatkan aku lukisan kayak tahun kemarin. Deadlinenya sama bulan Oktober." Isabel yang merasa kesakitan karena rambutnya dijambak mengerang, "Kalau gak kulakukan kenapa emangnya?!" Isabel sudah muak dengan penindasan dari kakaknya yang membuat hidupnya menderita. Kali ini dia mencoba untuk melawannya dan berharap kali ini berhasil.

Abigail menjambak rambut Isabel semakin keras hingga ia berteriak kesakitan. Tangan kanan Isabel berusaha memukul tangan Abigail, namun tetap tidak terlepaskan. Sambil tertawa Abigail berkata, "Heheh, kamu pikir aku gak tau kalau kamu punya pacar islam hah?" Dengan mata yang membelalak Isabel bertanya, "Maksudmu apa? Aku gak pernah punya pacar siapapun!" Isabel tidak tau bagaimana Abigail bisa mendapatkan informasi itu, tetapi dia merasa bulu kuduknya merinding. Detak jantungnya juga semakin cepat seakan mau copot. Abigail yang tawanya sudah agak mereda menunjukkan foto di HPnya. Itu adalah foto Isabel dan Sastra yang sedang berdua di Chatime. Isabel tidak sadar Abigail telah mengambil foto itu dan membuntutinya saat berkencan ke Chatime. 

"Ini buktinya, kamu mau aku bilang ini ke ayah? Heheh, siapa tau anak pendeta berpacaran, apalagi dengan anak yang beragama lain. Kamu mau tau apa yang akan terjadi? Kamu mau membuat orang lain terluka lagi, huh? Kamu memang anak yang terkutuk!" Abigail langsung membantingkan kepala Isabel ke sofa. Lalu dia berkata sebelum pergi, "Buatkan aku lukisannya. Jangan anggap aku hanya main-main, Isabel."

Isabel hanya bisa menangis di sofa itu dan memeluk tubuhnya yang terasa dingin. Semuanya terasa dingin dia merasa tidak ada yang datang membantunya. Dalam hatinya dia memanggil, Sastra tolong aku… Siapa saja tolong aku. Namun tidak ada yang datang dan dia tidak bisa membicarakan hal ini dengan siapapun