Sastra berjalan di dalam koridor dingin yang berwarna putih. Sesekali dia berpapasan dengan suster atau keluarga yang datang untuk menjenguk pasien. Dia menengok jam tangannya yang menunjukkan pukul 19.10 malam. Setelah dia pulang ke rumah Sastra mendapatkan telepon dari ibu tirinya yang mengabari untuk segera datang. Dia menyuruh Sastra membawa pakaian, alat mandi, selimut dan barang-barang yang dibutuhkan selama ayahnya di rumah sakit. Sehingga Sastra membawa banyak barang di dalam tas di kedua tangannya.
Saat dia sampai di depan kamar tempat dimana ayahnya dirawat, dia berhenti sambil meletakkan tasnya. Dia mengetuk 2 kali sebelum akhirnya pintunya terbuka. Endah berkata, "Masuk, makasih Sastra sudah bawain barang-barang buat ayahmu." Sastra menaruh tas dan barang lainnya di samping kasur. Ayahnya berada di ruangan bintang satu sehingga hanya terdapat 1 kasur. Ruangan itu cukup luas dengan jendela yang langsung bisa melihat pemandangan di luar. Namun, jendela itu telah ditutup dan menyisakan tirai biru gelap yang tampak hitam dengan minimnya pencahayaan.
Sastra melihat kondisi ayahnya yang masih belum sadar, namun dia tampak lebih baik dari sebelumnya. Luka di tangannya tampak sudah dijahit dan sekarang ditutupi dengan perban. Sastra bertanya, "Berapa lama papa akan tinggal di rumah sakit?" Dengan sepele Endah menjawab, "Yah tunggu aja sampai dia bangun, lagian tadi pagi dokternya bilang kalau papamu harus pulih sepenuhnya. Karena dia memiliki riwayat penyakit diabetes jadinya mungkin lebih lama lagi." Mendengar itu Sastra merasa sedih bercampur dengan iba.
"Malam ini aku mau pulang, kamu mau temenin ayahmu gak Sas? Kalau gak, aku akan nyuruh Bella menemaninya."
"Bella? Kalau bella yang jaga papa siapa yang bersihkan rumah dan memasak?" tanya Sastra. Endah tampak berpikir untuk beberapa saat. Lalu dia menjawab, "Yaudah kalau gitu, aku suruh tukang kebun kita buat jaga papamu, dia kan sudah bekerja di rumah cukup lama jadinya lumayan terpercaya." Setelah mengatakan itu Endah berdiri lalu memikul tas kecilnya. Dia mendekat ke samping Novel dan mencium keningnya. Kemudian dia berjalan ke arah pintu lalu membukanya dan sebelum dia pergi Endah bertanya, "Sas, kamu mau pulang sendiri atau bareng?" Sastra hanya menjawab, "Bareng, aku akan segera nyusul."
Lalu Endah menutup pintunya dan meninggalkan Sastra sendirian bersama ayahnya. Dia lalu maju beberapa langkah untuk melihat wajah ayahnya lebih dekat. Dia menyentuh tangan kanan ayahnya yang tersambung dengan infus yang menetes setiap detiknya. Infus itu menempel di pergelangan tangan kananya karena di bagian kirinya terdapat bekas luka yang masih belum sembuh. Lalu sebelum pergi Sastra menarik selimut ayahnya hingga menutupi sampai ke dada dan memastikan semua yang ayahnya butuhkan sudah ada.Baru setelah semuanya ditata, Sastra menysul ibu tirinya dan pulang ke rumah.
...
Keesokan harinya Sastra pergi ke klub Arcana untuk melaksanakan misi pertamanya supaya mendapat collar chain pin dan resmi menjadi anggota. Di pertemuan sebelumnya Sastra sudah membayarkan semua iuran masuk ke klub dan iuran per minggu yang ia lunasi untuk 6 bulan kedepan. Jadi, dia tidak perlu mengkhawatirkan soal pengeluaran, yang dia khawatirkan hanyalah bagaimana jika ayahnya tidak bangun lagi dan dia tidak mendapat kompensasi.
Atau jika waktu sudah berlalu terlalu lama hingga akhir september ayahnya baru pulih dan pulang sehingga meminta kompensasi di waktu itu sudah tidak relevan lagi. Masalah lainnya adalah dia tidak sudi jika harus meminta kompensasi dari ibu tirinya. Jadi, dalam beberapa pekan ke depan Sastra akan coba untuk berhemat, bahkan tidak membeli snack apapun saat waktu istirahat dan hanya memakan bekalnya saja. Meskipun begitu, dia masih lebih khawatir dengan keadaan ayahnya saat ini, uang bisa menunggu.
Ketika Sastra masuk ke dalam ruangan klub dia melihat ada 1 orang di sana dan itu adalah Yunita. "Permisi," kata Sastra sambil melepas alas kakinya. Kemudian dia masuk dan meletakkan tas selempangnya di atas sofa. Yunita yang sedang mengetikkan sesuatu di layar HPnya menyadari kehadiran Sastra lalu berkta, "Eh gak usah duduk habis ini kamu pergi lagi, maksudnya kita. Tadi siang klub Arcana mendapatkan request dari salah satu guru, jadi ini misi pertamamu." Sastra kemudian bertanya, "Misi apa itu?" Alih-alih menjawab pertanyaan Sastra, Yunita menyimpan HPnya lalu berjalan keluar klub. Melihat Sastra yang masih berdiri di depan sofa dia berteriak, "Ayo kita pergi, jangan bengong aja!"
Setelah beberapa lama berjalan akhirnya mereka sampai di depan ruang guru. Yunita mengetuk pintu ruang guru sambil mengucapkan salam, "Assalamualaikum, bu." Guru perempuan yang mengenakan jilbab duduk sambil menulis sesuatu itu menjawab, "Waalaikumsalam, silakan aja." Ruang guru itu lumayan sepi hanya terdapat 4 sampai 5 guru saja dan sisanya entah sudah pulang atau masih solat di masjid. Sastra mengikuti Yunita yang masuk ke dalam ruang guru sambil memberikan salam. Lalu Yunita berkata, "Ini bu Rima, anggota baru kami dan dia akan membantu mencarikan Snowy."
Snowy, Itu nama kucing kah? Aku baru tau kalau Bu Rima ternyata punya kucing. Bukan, mungkin itu hanya kucing sekolah.
"Ah, Sastra toh ternyata, ibu percaya sama kemampuanmu Sas. Ibu kan memang wali kelasmu jadi ibu mengenal betul kamunya kayak gimana." Sastra mengangguk dan berterima kasih atas pujian itu. Karena Sastra masih belum yakin dengan sesuatu yang bernama Snowy ini dia bertanya, "Snowy itu kucing ya bu? Kalau memang iya bolehkah saya tau lebih banyak tentangnya biar lebih gampang nyarinya." Bu Rima menepuk kepalanya dengan pelan lalu menjawab, "Ah, aku lupa belum memberitahu tentang Snowy, iya Snowy itu kucing yang tinggal di sekolah. Tadi pagi saya mau kasih makan di depan kantin, tapi saya cari kemana-mana tetap gak ketemu. Haduh, ibu sudah nyerah sampai sore ini pun belum ketemu, tolong kalian carikan ya. Biasanya dia jalan-jalan ke atap, ke parkiran belakang, taman atau bahkan di area dekat aula"
Huh, sebanyak itu tempatnya, apa gak bisa lebih spesifik lagi. Tck, coba kutanyakan hal lain.
"Bu, apa ada sesuatu yang ia suka?" tanya Sastra. Bu Rima tampak berpikir sejenak lalu membuka laci mejanya. Dia meletakkan dua benda di atas meja yaitu catnip dan Whiskas tuna sasetan. "Ini biasanya Snowy suka makan ini, tapi saya batasin soalnya kan mahal. Terus ini catnip dia juga suka sama ini," ucap Bu Rima. Sastra mengambil 2 benda itu lalu bertanya, "Boleh saya pinjam bu?" Bu Rima tanpa ragu menjawab, "Oh, boleh boleh aja yang penting Snowynya ketemu."
Yunita yang dari tadi menyimak pembicaraan mereka membuka tangannya yang disilangkan, lalu berkata, "Oke, kayaknya udah cukup mending kita sekarang langsung cari saja Snowy." Sastra mengangguk lalu keduanya memberikan salam pada Bu Rima sebelum pergi meninggalkan ruang guru.
Siapa sangka misi pertamaku mencari kucing. Ahaha, kenapa klubnya ini kayak main-main aja ya. Masa suruh nyari kucing guru yang mungkin sudah mati di suatu tempat. Hmm, plotwist dong jadinya.
Di luar Yunita berhenti lalu bertanya pada Sastra, "Jadi kamu sudah menentukan bagaimana cara mencari Snowy? Mungkin kamu bisa pakai trik sulapmu itu, Sas." Sastra menjawab, "Meski aku ahli dalam sulap bukan berarti aku bisa memunculkan kucingnya secara tiba-tiba. Menurutku kita harus mencari ke seluruh sekolah, tapi mengutamakan area yang sering ia kunjungi." Sastra berpikir sejenak sebelum melanjutkan, "Kita juga bisa pakai catnip ini untuk memancing Snowy, aku akan mulai dari kantin." Yunita hanya menyimak Sastra dan tidak membantu atau menuntunnya dalam hal apapun. Lalu dia hanya berkata, "Oke, kita lakukan sesuai rencanamu."
Namun Sastra berhenti karena menyadari sesuatu, "Kenapa gak dicari melalui ramalan aja, kak? Bukaannya kamu peramal?" Yunita menggelengkan kepalanya sambili menjawab, "Ini kan misimu supaya kamu dapet pin, jadi harus kamu sendiri yang menemukannya. Aku gak mau bantu, hanya mengawasi aja." Dengan jawaban yang seperti itu, Sastra tidak punya pilihan lain selain memakai rencananya sendiri.
Kemudian Sastra berjalan ke kantin dan mencoba menaburkan catnip di lantai. Saat itu di kantin ada beberapa anak yang sedang duduk membicarakan sesuatu. Sastra menghampiri mereka lalu bertanya, "Permisi kalian lihat kucing gak di sekitar sini?" Salah satu dari mereka menjawab, "Kucing? Emangnya kucing yang mana? Warnanya apa?" "Ah warnanya… Kak warna kucingnya apa?" tanyanya pada Yunita.
Dengan nada mencemooh dia menjawab, "Gimana bisa kamu gak tau warnanya apa? Harusnya kamu tanya tadi, sudahlah warna kucingnya putih." Sayangnya, setelah diberitahu warna kucing itu mereka tetap tidak melihatnya. Setelah menunggu 10 menit dan tidak ada kucing yang datang dia berkata pada Yunita, "Mungkin kucingnya gak ada di sini, menaburkan catnip juga gak efektif, lama-lama catnipnya akan cepet habis sebelum kucingnya ketemu."
"Terus kamu punya ide lain?" Dengan yakin Sastra menjawab, "Aku ada satu, aku mau buat catnip spray, efek catnipnya akan sama tapi alih-alih menaburkan catnipnya aku hanya perlu menyemproykan air yang sudah dicampur dengan catnip." Yunita bertanya lagi, "Emangnya kamu mau buat gimana caranya?" "Nah, aku mau pinjem kompor dan panci di dapur buat merebus catnipnya baru bisa jadi catnip spray." Yunita tampak menahan tawanya, tetapi tidak menghentikan Sastra.
Kemudian keduanya sampai di depan dapur di bawah tangga. Sastra mencoba mengetuk pintunya yang tertutup, tetapi tidak ada jawaban. Lalu dia mencoba memutar gagang pintunya. Setelah pintunya terbuka ternyata tidak ada orang di sana. Sastra pun bertanya, "Ini boleh dipakai gak dapurnya kak?" Yunita hanya mengangkat kedua bahunya sambil berkata, "Terserahmu, aku cuma mengawasi."
Mulut Sastra membuat suara tck sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukannya saja. Di dalam, Sastra meletakkan panci yang sudah terisi air separuh di atas kompor. Lalu dia memutar tuas kompor ke suhu yang paling tinggi. Api dari kompor itu langsung menjadi besar dan Sastra menunggu sampai airnya mendidih. Setelah mendidih dia menaburkan catnip ke dalam panci itu. Aroma catnip lama kelamaan menyebar di sekitar panci itu.
Yunita pun bertanya, "Kenapa tidak dibakar saja catnipnya mungkin itu akan lebih cepat memanggil kucingnya. Kan kalau terbakar aroma dan zatnya lebih cepat menyebar melalui udara." Sastra menjawab, "Kalau dibakar nanti catnip akan berubah ke senyawa yang berbahaya jika dihirup. Jika senyawa itu dihirup manusia mungkin hanya akn menyebabkan batuk-batuk, tapi bagi kucing yang paru-parunya lebih sensitif efeknya bisa sampai menyebabkan iritasi paru-paru. Aku gak tau spesifiknya senyawa apa saja, tapi kurang lebih efeknya seperti itu."
Kemudian setelah selesai menjelaskan itu Sastra mematikan kompornya. Dia mengambil sebuah kain yang digunakan untuk menyaring air dan daun catnip dari panci. Setelah itu dia tuangkan airnya pada botol semprotan kosong yang ia 'pinjam' dari ruang OB. Dengan bangga dia berkata, "Ini dia sudah jadi. Kak tolong ambil satu aku buat dua biar kakak bisa bantu nyari juga." Sebelum Yunita bisa menolak Sastra sudah memberikan botol itu padanya. Yunita menghela napas dan akhirnya terpaksa membantu.
Setelah merapikan barang-barang yang tadi digunakan di dapur mereka berdua keluar sambil memegang catnip spray yang siap digunakan. Setelah itu mereka berkeliling sekolah mengikuti informasi tentang tempat yang sering dikunjungi oleh Snowy sambil menyemprotkan catnip. Mulai dari taman sampai ke lapangan dan ke sebelah aula. Akhirnya Sastra pun lelah dan memutuskan untuk duduk di kursi yang berada di samping aula. Area itu adalah area terakhir yang perlu didatangi, dia juga sudah menyemprotkan catnip di sekitarnya.
Sastra pun mengecek jam tangannya yang menunjukkan pukul 16.36 sore. Dia pun berkata, "Aku sudah cape kak, mungkin kucingnya benar-benar hilang." "Masa kamu udah nyerah, harusnya kamu bisa menyelesaikan ini. Inget kamu harus nyelesaikan misi ini agar dapet pin anggota klub Arcana. Coba kamu gunakan sulapmu mungkin itu akan berhasil." Dengan frustasi Sastra menjawab, "Kak gak ada sulap yang bisa memunculkan kucing…"
Tiba-tiba Sastra berhenti saat mendengar suara, "Meow, meow…"
Entah darimana suara itu berasal, tetapi suara itu terdengar sangat jelas. Yunita langsung mengangkat tangan kanannya sambil berkata, "Stop diam ada suara kucing di sini." Sastra pun langsung berdiri dan mencari asal dari suara itu. Lalu Sastra melihat sesuatu di atas balkon, "Itu, di sana ada kucing putih di atas atap." Lebih tepatnya itu adala semacam balkon yang terhubung dengan dinding yang menopang atap aula. "Nah, itu dia Snowy, cepat bawa turun," perintah Yunita. "Hah maksudnya aku harus memanjat ke atas sana?" tanya Sastra.
"Iya dong, sek pinjem Whiskas yang tadi dikasih Bu Rima. Pasti dia sudah laper soalnya belum makan dari pagi." Sastra pun memberikan Whiskas itu pada Yunita dan segera mengambil tangga. Di sebelah aula terdapat ruang celah antara tembok pembatas tanah sekolah dengan bangunan sebelah yang digunakan sebagai gudang untuk meja atau beberapa barang. Di sana Sastra menemukan tangga yang kemudian dia bawa ke tempat kucing itu terjebak.
Setelah sampai di atas Sastra berusaha mendekati kucing itu dengan perlahan sambil berkata, "Sini pus pus, Snowy ikut aku. Eh, tunggu harusnya aku yang bawa Whiskasnya. Dia gak akan mau sama aku." Yunita yang berada di bawah sudah terlanjur menuangkan makanan kucing itu di lantai. Jadi tidak mungkin untuk membawanya ke atas. Lalu dia menjawab, "Udah, kamu langsung tangkep aja, di bawah sudah kusiapkan makanannya."
Hah, sialan kucingnya udah keliatan takut gini mau ditangkep gimana? Yang ada aku jatuh pas berusaha nangkep kucingnya atau kucingnya.
Snowy yang ketakutan itu akhirnya melarikan diri dengan melompat turun tanpa bantuan Sastra. Di bawah dia langsung disambut dengan makanan favoritnya dan dielus oleh Yunita, "Hmm, akhirnya Snowy ketemu. Misi kali ini selesai dan kasus ditutup." Wajah Sastra berubah menjadi suram. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya setelah mengetahui kalau Snowy bisa turun sendiri. Akhirnya dia pun turun lalu mengembalikan tangga ke tempat asalnya.
Sastra berjalan ke dekat Snowy yang sedang makan sambil membatin, Awas kamu cing bikin susah hidupku aja. Dia juga bertanya, "Jadi, pinnya gimana kak? Kucingnya kan sudah ketemu berarti misinya sudah selesai." Yunita pun berhenti mengelus Snowy lalu berdiri. Dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan memberikannya pada Sastra. Benda itu berbentuk bintang berwarna kuning dan merah dengan rantai yang menghubungkan keduanya. Yunita berkata, "Ini adalah pinmu, selamat sekarang kamu resmi jadi anggota klub Arcana. Jangan lupa kamu pakai setiap hari dan jangan sampai hilang." Sastra langsung mengenakan pin itu di kerahnya. Mulai sekarang Sastra dapat dikenali sebagai anggota klub Arcana yang menjadi simbol status di sekolahnya.