Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 18 - Everything is Going to Be Okay

Chapter 18 - Everything is Going to Be Okay

"Panggil guru olahraganya aku akan bawa Isabel ke UKS!" teriak Sastra. Dia berlari lalu jongkok di sebelah tubuh Isabel. Meletakkan tangan kanannya di kakinya dan tangan kirinya di punggung Isabel. Lalu ia mengangkat tubuh Isabel dan membiarkan kepala Isabel bersandar di dadanya. Anak-anak lain kebanyakan hanya akan menonton dan baru bertindak setelah ada guru olahraga memerintahkan sesuatu. Namun, dia tidak bisa diam saja dan melihat Isabel terbaring di lapangan seperti itu. Sastra berjalan ke UKS sambil menggendong tubuh Isabel tanpa mempedulikan tanggapan teman-temannya. 

Kenapa harus ada hal buruk terjadi lagi? Apa yang kemarin gak cukup? Pertama ayahku menyayat tangannya, sekarang Isabel jatuh pingsan setelah ini apalagi? Sudah cukup tolong aku sudah gak kuat...

Letak UKS tidak begitu jauh dari lapangan, malah bisa dibilang di sebelah lapangan. Setelah sampai di depan UKS, Sastra mengetuk pintunya, "Permisi bu, teman saya pingsan saat olahraga." Guru UKS itu langsung berdiri dan memerintahkan, "Baringkan dia di kasur itu nanti akan segera saya cek keadaannya." Sastra mengangguk lalu masuk ke dalam UKS dan meletakkan tubuh Isabel di salah satu kasur.

Dia pun duduk sambil menunggu guru UKS itu melakukan pekerjaannya. Dia dapat melihat Isabel yang berada di kasur masih tak sadarkan diri. Matanya tertutup dan napasnya terlihat berat dengan dadanya yang naik turun. Sastra merasakan kepalanya pusing menghadapi kehidupannya belakangan ini. Dia menggosok wajahnya dengan telapak tangan lalu mencubit pangkal hidungnya. 

"Dia sudah tidak apa-apa. Penyebab pingsannya karena dehidrasi dan kelelahan aja. Akan saya berikan vitamin untuk nanti diminum, dia cuma butuh istirahat aja untuk sementara waktu. Kamu boleh menemaninya kalau mau, yang penting tidak banyak orang ke sini."

Sastra menghela napas lega mendengar pernyataan guru itu. Dia tersenyum lalu berkata, "Terima kasih bu." Sastra kemudian memindahkan kursinya ke ruang di antara dua kasur. Dia duduk di sana berharap Isabel akan segera bangun dalam waktu dekat. Menyapanya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Tekanan yang dialami Sastra susah untuk disembunyikan, sehingga sepanjang di UKS wajahnya sangat kalut. Matanya sudah berkaca-kaca, tetapi sebelum bisa menangis terdengar suara ketukan di pintu. "Permisi, bu kami mau lihat reman kami Isabel, apa boleh bu?" Suara itu berasal dari Lulu dan yang disampingnya beriri Lily. Sastra tidak perlu menoleh untuk mengenali kembaran itu. Guru itu menjawab, "Boleh tapi maksimal kalian berdua aja sisanya harus nunggu di luar ya." "Oke bu," Jawab Lily dan Lulu secara bersamaan. 

Dengan begitu si kembar itu masuk ke dalam UKS dengan melepas sepatunya. Mereka berdua bertemu dengan Sastra yang sedang duduk di samping kasur Isabel. "Dia masih belum bangun?" tanya Lulu. Sastra menjawab, "Belum, kalian disuruh ke sini sama guru?" Kali ini Lily yang menjawab, "Iya, pertandingannya sudah dihentikan jadi kami yang disuruh lihat Isabel, anak-anak lainnya sedang ada di lapangan briefing." Sastra mengangguk dan mempercayai ucapan mereka. 

Lalu setelah beberapa menit mereka mengobrol datanglah Martin. "Halo rek, Isabel gak papa kan. Apa aku boleh masuk?" kata Martin sambil menonjolkan kepalanya di pintu masuk. Sastra, Lily dan Lulu menoleh ingin menjawabnya, tetapi guru UKS menjawab terlebih dahulu, "Dia sekarang butuh istirahat jadi tidak bisa banyak orang yang menjenguknya, kamu tunggu di luar aja ya." "Oke bu," lalu Lulu berkata pada Martin sebelum dia pergi, "Martin mending kamu belikan minuman sama makanan buat Isabel."

"Pakai uangnya siapa emang?" tanyanya. "Uangmu lah gimana sih emang kamu gak kasian sama Isabel." Keduanya bertikai tentang uang siapa yang akan digunakan. Hal ini sudah tidak asing lagi, tetapi karena Sastra mau ruangan itu untuk kondusif supaya Isabel bisa beristirahat dia berkata, "Sudah-sudah kamu beli aja nanti kubayarin." Uangku habis lama-lama ini, aku juga belum dapet kompensasi lagi.

Martin melihat Sastra yang tersenyum dan menawarkan untuk membayar minuman dan makan merasa direndahkan. Alasannya karena dia merasa saingan cintanya itu seakan melakukan pekerjaannya sedangkan dia yang sebenarnya dia lah yang bekerja. Singkatnya dia merasa cemburu, tetapi Martin belum tau bahwa Sastra dan Isabel sudah berpacaran. Jika dia tau maka secara tidak langsung dia akan mundur.

Martin berkata, "Eh gak usah wes, aku aja yang bayarin. Yaudah aku beli dulu, mau dibelikan apa?" Lulu langsung menceletuk, "Gitu dong lagian bantu temen pakai itung-itung, kalau menurutku mending kamu beli teh botol sama makanan ringan." Dengan begitu Martin langsung pergi ke kantin untuk membeli sesuai pesanan.

Ruang UKS kembali ke keadaannya yang hening. Suara Sastra menghancurkan keheningan itu dia berkata, "Kalian akan tetap di sini atau kembali ke lapangan?" Lalu Lulu bertanya pada Lily, "Gimana Li, kita balik kah? Kayaknya Isabel masih lama bangunnya." Lily mengangguk seraya menjawab, "Kalau menurut Lily mending balik aja, Lily juga udah laper pengen ke kantin." 

"Oke deh, kalau begitu aku sama Lily balik dulu yah, kamu temenin aja Isabel. Nanti ku izinin ke guru P5, kalau inget." Lily dan Lulu berpamitan pada guru UKS lalu memakai sepatunya kembali ke lapangan. Sastra menatap pada Isabel yang sedang berbaring di kasur tak sadarkan diri. Hal ini mengingatkannya pada ayahnya yang sedang mengalami hal yang sama. 

Sejak kemarin aku masih belum mendapat kabar dari cewek itu, sudah aku chat wa dari kemarin tetap aja masih belum dibaca. Mungkin dia lupa membawa charger dan akhirnya HPnya mati. Sialan, aku jadi gak tau kondisi papa sekarang. Harusnya kalau luka seperti itu dibawa ke UGD, IGD eh enggak harusnya langsung ke ICU soalnya kan papa kehilangan banyak darah dan dia juga menderita diabetes. Syukur, kemarin aku datang tepat waktu dan ambulansnya segera datang. Sekarang malah Isabel yang mengalami kecelakaan. Kenapa minggu ini sungguh sial?!

Ketika Sastra sedang melamun memikirkan kondisi ayahnya, Isabel terbangun. Dia membuka matanya lalu berkata, "Aku dimana? Kenapa ini?" Sastra langsung sadar dan menjawab Isabel dengan senang, "Kamu lagi di UKS Isabel, soalnya tadi kamu pingsan pas lari, apa yang kamu rasakan sekarang?" Isabel yang masih dalam keadaan setengah sadar menatap kosong ke langit-langit. Dia bergumam, "Ah iya, aku inget sekarang. Habis aku sampai di finish aku langsung pingsan. Kamu yang bawa aku ke sini?" 

"Iya, tapi kamu gak marahkan soalnya aku gendong kamu dari lapangan sampai ke sini?" kata Sastra. Pipi Isabel memerah entah itu karena demam kelelahan atau karena malu. Dia membalikkan badannya ke samping membelakangi Sastra lalu bertanya, "Di depan anak sekelas tah?" Suaranya kecil, meski tetap terdengar oleh Sastra.

Sebenarnya saat Sastra menggendong Isabel ke UKS dia tidak mempertimbangkan hal itu. Dia melakukan itu secara insting dan sesuai perasaannya saat itu. Lalu Sastra menjawab, "Eh kayaknya iya, maaf aku pas itu lupa kalau anak-anak lain juga ngeliat." Jika ada selimut atau guling Isabel pasti sudah mengubur kepalanya di dalam itu. Lalu Sastra berkata, "Oh ya tadi kalau gak salah guru UKSnya mau kasih kamu obat, sek kutanya dulu." "Tapi gak ada gurunya tuh," kata Isabel. Sontak Sastra berbalik dan melihat ke arah meja guru. Ternyata yang dikatakan Isabel benar tidak ada guru di sana. Dia membatin, Huh sekarang gurunya hilang, mungkin dia pergi pas aku lagi melamun.

"Kalau gitu ditunggu gurunya aja sampai dateng," setelah mengatakan itu tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Orang yang mengetuk pintu itu adalah Martin yang sedang membawa makanan dan minuman untuk Isabel. Dia melepas sepatunya lalu masuk sambil berkata, "Nah gak ada gurunya nih, aku gak papa kan masuk?" Sastra mengangguk tidak menghalangi Martin. Lalu dia meletakkan barang yang ia bawa di meja yang kemudian ia dekatkan ke kasur Isabel.

Dia berkata dengan bangga, "Isabel aku belikan semua ini buat kamu biar kamu gak laper atau haus. Kamu harus banyak makan dan minum Bel, biar gak pingsan lagi." Isabel mengangguk lalu berterimakasih atas bantuan Martin. Melihat Isabel yang sudah sadar dan berterima kasih padanya, Martin langsung merasa bangga akan dirinya. Lalu tanpa berlama-lama dia berkata, "Oke deh kalau gitu aku mau balik dulu ke kelas ya, kamu gak ikut Sas? Pelajaran sudah mau dimulai." "Boleh, habis ini aku ikut kamu, kamu duluan aja," jawab Sastra. Martin pun pergi keluar UKS dan kembali ke kelas. 

Melihat Martin yang sudah tidak ada di UKS Sastra hendak berdiri seraya berkata, "Yaudah aku balik ke kelas dulu. Jangan lupa kamu makan yang udah dibeliin sama Martin." Saat Sastra sudah berdiri dia dihentikan oleh Isabel yang meraih tangan kanannya. Sastra otomatis bertanya, "Kenapa Isabel?" "Tolong temenin aku lebih lama pliss," jawabnya.

Sastra tersenyum lalu duduk lagi di kursi. Dia tidak keberatan menemani Isabel karena memang dia adalah pacarnya. Jika memang Lily dan Lulu izin pada gurunya Satra tidak masalah jika datang terlambat atau jika memang mereka lupa itu juga tidak masalah. Dia bisa menceritakan kejadian yang sebenarnya gurunya pasti akan percaya dan jika tidak percaya mungkin dia akan dihukum.

Isabel lalu bertanya pada Sastra, "Apa pas itu kamu benar-benar khawatir padaku Sas?" Dalam hati Sastra berkata, Pertanyaan macam apa ini sudah jelas aku takut setengah mati kamu pikir pingsan secara random itu normal?  "Pastilah, Isabel aku kan sampai menggendongmu kesini," jawab Sastra dengan nada yang agak marah. 

"Maaf…" 

"Kenapa? Kamu gak salah apapun," tanya Sastra dengan heran. Isabel meletakkan tangannya di bawah pipinya lalu berkata, "Semuanya salahku, kamu jadi seperti ini. Khawatir padaku semuanya karena aku lemah. Tubuhku memang lemah, tapi aku juga lemah." Dengan bingung Sastra bertanya, "Apa maksudmu Isabel? Kalau tubuhmu memang lemah gak papa bukan masalah, yang penting kamu aman sekarang."

Melihat Isabel yang masih tidak mengindahkan perkataannya Sastra mencoba memberinya teh botol. Dia membantu Isabel untuk bersandar di kasur lalu ia bukakan teh botolnya supaya bisa diminum. "Kalau kayak gini kamu kan bisa lebih fresh," ucap Sastra. "Makasih, aku memang punya penyakit CFS," kata Isabel. "Penyakit apa itu?" lalu Isabel menjawab, "Chronic Fatigue Syndrome, itu yang bikin aku sering kecapean…" Sambil tersenyum Sastra berkata, "Kalau gitu kamu istirahat aja dan kalau cape bilang jangan dipaksa." 

"Sastra aku mau tanya lagi, sejak tadi pagi kenapa kamu kelihatannya sedih?" Pertanyaan itu terasa seperti pukulan di hatinya. Entah kenapa dia merasa dadanya sesak dan kepalanya berat. Dia memaksakan senyuman sambil berkata, "Gak papa, aku cuma kurang sehat hari ini." Isabel tentu tidak percaya dengan perkataannya dan berkata, "Kemarin kita ketemu kamu sehat-sehat aja dan pas pulang juga gak ada hujan gak ada apa-apa, gak mungkin kamu tiba-tiba sakit. Gak papa jujur aja sama aku, kan kemarin kamu juga bilang mau jujur ke aku." Isabel mengatakan itu dengan lemah dan suaranya halus bagaikan orang yang mendongeng.

Sastra seakan menahan air matanya sampai matanya berkaca-kaca, berubah dari ekspresi tersenyum menjadi ekspresi yang kalut. Lalu dia berkata, "Susah jujur itu, terbuka pada orang lain itu… Menakutkan." Sastra tidak bisa menatap mata Isabel lagi, pandangannya fokus pada kedua tangannya yang saling menggenggam erat. Lalu Isabel berkata, "Jika itu memang membebanimu kamu bisa ceritain ke aku, aku kan pacarmu." Satu per satu air mata jatuh dari mata Sastra. Dengan suara terisak dia berkata, "Ayahku, dia mencoba bunuh diri lagi…" Ruangan itu menjadi sangat sunyi dan hanya terdengar suara Sastra yang terisak. Sastra berusaha menyembunyikan wajahnya dengan tangannya yang lambat laun dibasahi oleh air mata. 

Melihat Sastra menangis Isabel menunggu beberapa lama sebelum bertanya lagi, "Ayahmu coba bunuh diri lagi?" "Ya, tahun ini dia sudah coba 2 kali, ini yang kedua," jawab Sastra. Isabel menghela napas dan tidak bertanya lebih lanjut. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mengelus rambut Sastra yang bergelombang. Isabel membiarkan Sastra menangis tanpa mengganggunya. Ruangan itu berubah menjadi penuh kesedihan dan keheningan yang menyayat hati. Sudah lama sejak Sastra bisa menangis di hadapan seseorang. Dia kadang tidak terbuka dengan dirinya sendiri, membohongi dirinya sendiri dan mengabaikan perasaanya. Namun, untuk bisa menangis di hadapan Isabel, itu menggambarkan betapa spesialnya dia di hati Sastra. 

Setelah berhenti menangis Sastra mengusap air matanya lalu berkata, "Maaf aku terbawa suasana, aku seharusnya gak menangis." Isabel menggelengkan kepalanya seraya menjawab, "Gak papa, bisa menangis di hadapan orang lain tanpa khawatir itu adalah keberkahan. Aku peduli sama kamu Sas, kalau ada masalah yang sama bilang aja. Aku harap ayahmu gak papa, jangan khawatir."

"Oh ya, aku ada sesuatu buat kamu," kata Isabel. Dia meraih sesuatu dari dalam saku celana trainingnya lalu memberikannya pada Sastra. "Aku dari kemarin malem buatin kamu ini. Meski waktunya agak ga pas, tapi dari pada lupa. Sekalian biar kamu gak sedih lagi." Benda yang diberikan Isabel adalah sebuah kerajinan tangan yang terbuat dari kertas dan laminating. Di dalam laminating itu terdapat cap jari merah dan biru berbentuk love yang mereka buat kemarin. Lalu di sekelilingnya terdapat kertas yang menjadi frame. Di bagian bawahnya ditempel kertas tanda tangan mereka yang sudah dipotong. 

"Kamu bawa ini sepanjang olahraga di kantongmu?"

"Iya, kenapa?" tanya Isabel. Lalu Sastra menjawab, "Ahaha, gak papa kok niat banget sampai di bawa kemana-mana padahal bisa dikasih di kelas." "Habisnya aku gak tau mau kasihnya kapan dan gimana." Tanpa mereka sadari suasana di ruang UKS itu menjadi ceria lagi seakan air mata yang tadi jatuh tidak pernah ada. Sastra tertawa sambil berkata, "Makasih Isabel."