Detak jantung Sastra semakin mengencang dan napasnya juga menjadi berat. Dengan dipenuhi rasa takut dia jongkok di samping tubuh ayahnya lalu mengecek nadi di tangan kirinya. Jari Sastra terkena darah yang mengalir dari pergelangan tangan ayahnya. Luka itu terlalu besar dan ia tidak tau apa yang harus dia lakukan. Jadi dia berteriak, "Bella cepat kesini sekarang, bawa juga kotak P3K!"
Sastra mengambil untaian kaos lalu mengikat bekas luka itu dan menekannya sekuat tenaga. Kedua telapak tangan Sastra sekarang berlumuran darah. Kurangnya pencahayaan di dalam ruangan itu membuat warna darahnya tampak berwarna hitam.
Setelah 2 menit Bella datang berlari masuk ke ruangan itu. Dia sontak kaget dan menutup mulutnya dengan salah satu tangan. "Cepat kesini!" teriak Sastra. Sastra berdiri lalu memerintahkan, "Kamu tangani apa yang kamu bisa dengan kotak itu. Pastikan aliran darahnya berhenti aku mau telpon ambulans dulu." Sebelum melangkah lebih jauh Sastra bertanya, "Oh ya, cewek itu kemana kamu tau gak?" "Nyonya? Saya kurang tau kak, dari tadi pagi nyonya pergi." Sastra membatin, Sialan kenapa dia gak ada di waktu kayak gini?
Sastra mengeluarkan HPnya lalu menelepon pihak rumah sakit untuk mengirimkan ambulans ke rumahnya. Sebenarnya ada layanan ambulans di perumahannya, tetapi dia tidak sempat memikirkannya. Setelah menelpon rumah sakit dia masuk lagi ke kamar untuk melihat keadaan ayahnya.
Bella sudah melakukan pertolongan pertama dan mengurangi aliran darahnya. Wajah Novel terlihat pucat dengan beberapa tetesan air mata, dia tampak menahan rasa sakit yang tidak bisa dibayangkan. Rasa takut di dalam hati Sastra telah menenggelamkan pikiran rasionalnya dan menggantinya dengan perasaan emosional yang kuat. Dia mendudukkan tubuh ayahnya dan menyandarkannya di frame kasur. Air mata Sastra pun mengalir tak terbendung lagi.
Namun, dia mengeluarkan HPnya lagi lalu menelepon ibu tirinya. Saat terhubung dia mendengar suara wanita, "Halo, Sastra ada apa? Kenapa menelepon habis ini aku udah sampai di rumah. Ini masih di depan jembatan Soehat." Sayup-sayup Sastra dapat mendengar suara kendaraan seperti dia sedang berada di dalam mobil. "Pokoknya cepet pulang aja, papa dia menyayat tangannya dan sekarang belum sadar," katanya dengan kalut.
Lalu Endah yang berada di mobil berteriak hingga terdengar sampai di luar mobil, "Hah, terus gimana keadaannya sekarang, kamu sudah panggil ambulans kan? Kamu sudah tutup lukanya kan?" Sastra yang bersandar pada tembok seakan tidak bisa mendengarkan pertanyaan-pertanyaan itu. Semuanya terasa tidak nyata. Dia hanya menjawab, "Cepat pulang aja," lalu menutup teleponnya.
"Semuanya akan baik-baik saja, ini bukan pertama kalinya tuan melakukan ini. Semenjak meninggalnya…" Sebelum Bella menyelesaikan perkataannya Sastra berteriak, "Sudah diam! Kita tunggu saja ambulansnya, kamu pikir ini kejadian sehari-hari, hah? Setiap kali dia melakukan ini keadaannya semakin parah bahkan…" Sastra tidak melanjutkan ucapannya, dia langsung berdiri dan pergi keluar kamar turun ke lantai satu hingga sampai di depan pintu utama.
Di luar rumah keadaannya sangat tenang seakan dunia tidak memedulikan kejadian yang dia alami. Sastra duduk di kursi depan teras rumah sambil menunggu siapapun untuk datang. Entah itu ambulans, ibu tirinya dia tidak peduli yang penting siapapun datang. Setelah 5 menit tibalah ibunya yang diantar dengan mobil Grab. Ibunya langsung berlari ke pintu rumah. Ketika melihat Sastra yang sedang duduk di luar dia bertanya, "Kamu ngapain di sini? Gimana kondisi papamu?" Sastra mengangkat kepalanya lalu melihat Endah, "Masuk aja liat sendiri dia ada di kamarnya. Aku lagi nunggu ambulans." Endah langsung berlari ke dalam dan menghilang dari pandangan Sastra.
Entah berapa lama akhirnya ambulans sampai di depan rumahnya. Sastra langsung bangun dan menuntun mereka ke kamar Novel. Lalu mereka mengangkut Novel ke dalam ambulans dan membawanya ke rumah sakit. Endah juga ikut bersama ambulans itu ke rumah sakit, sedangkan Sastra tetap berada di rumah.
Ketika Sastra naik dan masuk ke dalam kamar ayahnya, dia melihat kamar itu sudah kosong. Di lantai yang putih terdapat genangan darah yang mulai mengering. Di sana juga terlihat cutter yang berlumuran darah. Lalu Sastra menemukan hal yang lain. Dia jongkok lalu mengambil kertas yang terkena percikan darah. Kertas itu terlihat basah, tetapi bukan karena darah, jadi Sastra menyimpulkan bahwa itu bekas air mata.
Sastra memegang kertas itu yang berisi foto ibu kandungnya. Di foto itu terdapat dirinya, kakak perempuannya Ayu, ayahnya dan ibunya lengkap sekeluarga. Mereka sedang berfoto di kebun binatang yang ada di kota Batu. Di foto itu tidak ada kakak laki-lakinya karena dia saat itu sedang kuliah di Jakarta. Waktu berlalu sangat cepat, sekarang anak kecil yang ada di foto itu sudah beranjak dewasa. Sastra yang masuk SMA, Ayu yang masuk kuliah dan Aksara yang sudah kerja. Sastra menghela napas dan menyadari ironi dari kehidupannya. Dia lalu meletakkan foto itu di meja depan kasur ayahnya.
Dari pintu Bella yang membawa pel dan ember berkata, "Kalau kakak gak keberatan saya mau membersihkan bekas darahnya." Dalam hati dia berkata, Tentu Bella gak akan paham seperti apa rasanya ketika keluargamu seperti ini. Sejak tadi ia hanya bersikap kayak semua ini hal sehari-hari. Sastra menyingkir dari jalan lalu menjawab, "Silakan, aku juga baru akan keluar dari kamar, hati-hati dengan cutternya." Bella mengangguk dan langsung membersihkan darah yang ada di lantai itu. Di depan pintu Sastra bertanya, "Bella, apa makan malamnya sudah siap?" "Sudah siap kak, semuanya sudah tersedia di meja makan," jawab Bella.
Mungkin harusnya ada lebih dari satu pembantu di rumah ini. Masa hanya Bella yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Harusnya ada yang bekerja sebagai koki, tukang bersih-bersih, cuci baju atau pelayan pribadi. Meski ada tukang kebun biasanya setiap hari minggu, tapi lupakan aja terlalu banyak pembantu juga akan menghabiskan banyak uang.
"Oke terimakasih kalau begitu, aku juga minta maaf karena membentakmu tadi. Kalau kamu sudah selesai membersihkan ini, Istirahat aja." Dalam situasi pikirannya yang kacau Sastra masih harus tetap mempertahankan sikap gentlemanly nya. Itu bukan peraturan yang tertulis baginya, namun dia sudah dibesarkan seperti itu. "Tidak apa-apa kak, terimakasih kalau gitu saya lanjut kerjanya," ucap Bella.
Sastra duduk sendirian menyantap makanan di meja makan itu. Suasananya sepi seperti hari biasanya, tetapi kali ini makanan yang ia santap tidak seenak biasanya. Dia tidak punya nafsu makan untuk menghabiskan sisa makanan di piringnya. Dia tinggalkan makanan itu untuk dibereskan oleh Bella lalu dia kembali ke kamarnya. Tanpa pikir panjang dia langsung tidur.
…
Keesokan harinya Sastra masih harus mengikuti pelajaran hari itu. Di hari selasa jam pertama adalah olahraga dan dia mengingat bahwa ada lari estafet hari itu. Sastra yang sudah berganti baju kaos hitam dan celana training berjalan masuk ke kelas untuk mengambil botol minumnya. Di dalam dia disapa oleh Martin, "Hey bro, kita setim kan ayo ke lapangan siap-siap habis ini tanding." Sastra yang masih murung hari itu hanya menjawab, "Ok." Keduanya pergi ke lapangan bersama dan baru menemukan Isabel di lapangan. Isabel yang melihat Sastra memberikannya senyuman lalu mencubit lengan Sastra dengan pelan.
Sastra yang tidak dalam keadaan baik secara mental hanya berusaha untuk mengikuti kegiatan olahraga itu. Senyuman palsunya tidak membantu mengurangi tekanan yang ada di dalam pikirannya.
Semua anak juga masih menggunakan pakaian olahraga bebas hitam untuk kegiatan olahraga karena mereka masih belum menerima seragam olahraga. Awal mulanya semua anak mengikuti peregangan tubuh dan pemanasan. Setelah itu guru olahraga memerintahkan mereka untuk bergabung dengan kelompok masing-masing. Lily dan Lulu tidak ikut bermain, melainkan mereka menjadi MC untuk pertandingan hari itu. Sastra bertanya, "Jadi siapa yang mau lari pertama?"
Martin melihat ke kelompok lain yang juga beranggotakan 2 cowok dan 1 cewek mereka menempatkan perempuan di urutan terakhir. "Kalau menurutku mending Isabel aja yang di urutan terakhir. Gimana Isabel?" Lalu Isabel menjawab, "Aku ngikut aja yang terbaik." Dengan begitu urutan terakhir sudah ditentukan tinggal urutan yang awal dan kedua saja. "Terus siapa yang mau awal?" tanya Sastra. Martin dengan semangatnya menjawab, "Mending aku aja, kan aku yang paling cepet. Lagian kamu hari ini juga keliatan kurang sehat Sas." Heh apa aku emang keliatan setidak sehat itu, padahal aku baik baik saja.
"Oke, kalau begitu kita tunggu pertandingannya dimulai," kata Isabel. Mereka bertiga lanjut mengobrol, tetapi Sastra lebih banyak diam. Untuk mengalihkan pikirannya dia mengamati lapangan yang akan digunakan untuk lari. Mereka menggunakan setengah lapangan yang sudah ditandai 3 titik dengan cone.
Dalam sekali pertandingan lari ini akan ada 2 tim yang bermain jadi total conenya adalah 6. Ada 7 anak yang ditugaskan menjadi panitia lomba lari itu. Masing-masing bertugas menjadi recall starter, timer, pengawas lintasan, juri kedatangan dan juri pencatat hasil. Sisanya adalah mc yang diperankan oleh Lily dan Lulu. Jadi kira-kira ada 9 kelompok yang bertanding hari ini.
Lalu dari speaker terdengar suara Lulu yang lantang, "Selamat pagi semuanya! Gimana kabarnya nih, pasti pada semangat buat pertandingan hari ini kan?" Lili dengan nada yang agak datar menyambung, "Pasti lah ya, soalnya hari ini kita akan melakukan lomba lari estafet." "Bener banget tuh, langsung kita masuk ke acaranya aja. Kontestan pertama kita adalah kelompok 1 dan 2, silakan ke posisi masing-masing."
Kelompok 2 adalah kelompoknya Sastra, jadi dia yang pertama kali bertanding. Kelompok satu terdiri dari Becca, Fatih dan anak dari Papua yang namanya Kevin. Sastra merasa segan dengan lawannya, karena Kevin adalah atlet yang pasti dapat berlari dengan kencang dan memiliki stamina yang banyak.
Sastra dan timnya langsung masuk ke dalam posisi mereka. Martin berada di posisi awal jongkok dan menggenggam baton di tangan kanannya. Dia memandang pada Fatih dan berkata, "Kamu gak akan bisa lari lebih cepat dari aku, Tih." "Heh, liat aja nanti," jawab Fatih sambil memfokuskan pada aba-aba. "Bersedia… Siap… Ya!" Kedua lelaki itu langsung berlari sekuat tenaga mereka melintasi lintasan yang oval. Di tengah agak jauh Sastra sudah menghadap depan dengan tubuh yang menyerong dan tangan kanan diulurkan ke belakang.
"Yes, ayo cepet lari Sastra!" Martin berhasil menggapai Sastra lebih dulu membuktikan bahwa dia memang cepat. Dengan sigap Sastra menangkap baton itu lalu berlari sekencang-kencangnya. Di belakangnya dia disusul oleh lawannya dengan sangat cepat. Sastra yang tidak memiliki banyak stamina meski berlari setiap hari libur, akhirnya kalah cepat dan disalip. Becca yang dalam posisi siap langsung menerima baton itu, "Yey, makasih ya. Aku duluan, Bel!" Isabel yang juga tidak sabar langsung meneriaki Sastra, "Sas, cepetan Becca udah duluan!" Akhirnya selang 2 detik Sastra berhasil memberikan baton itu pada Isabel.
Selanjutnya Isabel berlari dengan sekencang-kencangnya menyusul Becca. Sayangnya, Becca sampai di garis finish lebih dahulu. Kelompok mereka pun kalah di babak pertama dan tereliminasi. Lulu berkata di speaker, "Ya, pemenang pertandingan pertama adalah kelompok satuuu!" Sastra berjalan ke 2 rekan setimnya yang berkumpul di barisan penonton.
"Maaf guys, kita jadi kalah karena aku," katanya dengan murung. Kedua temannya sama sekali tidak marah, malah mereka menganggap semua itu hanya permainan saja dan tidak ada yang serius. "Tadi kan emang karena dia lebih cepet jadi itu bukan salahmu. Lagian kita cuma main Sas, yang penting gak didiskualifikasi, kalau gitu baru nilainya berkurang," jelas Isabel. "Aku juga setuju, yang penting sekarang kita bisa santai." Mereka bertiga akhirnya duduk di tangga untuk penonton kemudian pertandingannya dilanjutkan.
Kelompok 3 lawan kelompok 4 lalu dimenangkan kelompok 4. Selanjutnya kelompok 5, 6, 7, 8, 9, 10 juga bertanding yang dimenangkan oleh kelompok 5, 7, 10. Selanjutnya masuk ke babak semi final yang dimenangkan oleh kelompok 1 dan kelompok 7. Dua kelompok ini maju ke babak final yang akhirnya dimenangkan oleh kelompok 1, memang dari awal mereka tidak terkalahkan.
Kelompok yang kalah akhirnya diberi kesempatan untuk bisa bermain lagi. Kali ini kelompok 2 akan melawan kelompok 6. Untungnya perempuan yang ada di kelompok 6 hanya ada Tiana seorang, sisanya juga tergolong tidak terlalu cepat. "Ayo Isabel kita harus lari lagi," kata Sastra sambil menarik tangan Isabel.
Entah kenapa sejak tadi Isabel menjadi diam bahkan lebih diam dari Sastra yang pikirannya sedang dalam tekanan. Menyadari itu Sastra mendekat ke Isabel lalu bertanya, "Kamu masih bisa lari kan, Bel? Atau mkita mundur aja kalau kamu emang sudah capek?" "Aku gak papa ayo lari," seakan berlagak kuat Isabel melewati Sastra lalu menuju titik startnya. Martin juga pergi ke posisi awalnya dan berkata, "Sas, lawan kita sekarang lebih mudah, jangan sampai disalip lagi." "Oke-oke," jawab Sastra.
Kali ini sudah pasti menang, sudah jelaslah. Kalau dari awal Martin sudah sprint secepat-cepatnya terus kulanjutkan sampai pada Isabel pasti momentumnya akan tetap dan akhirnya kelompok ini bisa menang. Apalagi kalau ceweknya Tiana dia mah keberatan badan kalau sampai bisa nyusul Isabel aku cukur gundul.
Dengan begitu, ada aba-aba lagi, "Bersedia… Siap… Ya!" Martin lari meninggalkan jauh lawannya di belakang dan seketika sampai di belakang Sastra. Dia berteriak, "Sastra!" Sastra langsung meraih batonnya dan lari tanpa melihat ke belakang. Posisi lawannya masih tertinggal, tetapi mulai mendekati. Syukurnya dia berhasil memberikan baton itu pada Isabel. Lari dilanjutkan oleh Isabel dengan sekuat tenaga menuju garis finish. Sastra yang baru berhenti lari membungkuk sambil terengah-engah. Di dalam hatinya dia penasaran apakah kelompoknya menang. Lalu mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Isabel. "Isabel… Isabel? Isabel!" Di garis finish Sastra melihat kalau Isabel sudah jatuh pingsan dan tak sadarkan diri. Sastra yang melihat itu langsung merasa tubuhnya lemas, pikirannya yang kacau dan keringat dingin yang mulai muncul.
Fuck, please not again…