Sastra mengemasi alat tulisnya ke dalam tempat pensil lalu memasukkannya ke dalan tas. Setelah itu dia berjalan lalu duduk di samping Isabel. Kondisi kelas saat itu sudah kosong tidak ada siapapun kecuali pasangan baru ini. "Jadi, hadiah apa yang mau kamu kasih ke aku, Bel?" Isabel yang masih menunduk dan mengambil sesuatu di dalam tasnya tidak menghiraukan Sastra. Isabel menaruh buku gambar yang terbuka di atas meja, pulpen, tipex, cat air acrylic, gelas dan tisu. "Udah diem, mending kamu isi gelas ini pakai air deh," kata Isabel sambil menyodorkan gelas kosong pada Sastra.
"Oke oke," jawab Sastra. Dia berdiri sambil menggenggam gelas itu lalu berjalan menuju wastafel di dekat kamar mandi. Dia menyalakan keran air itu lalu mengisi gelasnya sampai terisi separuh. Saat dia kembali, Isabel sudah mencoba menempelkan cat itu di kertas. Terlihat oleh Sastra warna biru dan merah yang mencolok. Sastra bertanya, "Mau diapakan itu? Jangan-jangan kamu mau ajak aku melukis? Aku gak bisa ngegambar." "Udah taruh sini gelasnya, kan udah kubilang liat aja," kata Isabel. Tanpa berlama-lama Sastra maju lalu meletakkan gelas yang berisikan air itu. Lalu ia duduk lagi menunggu perintah Isabel selanjutnya.
"Trus ngapain ini," tanya Sastra yang dijawab Isabel, "Sini jari kelingkingmu tempelkan di cat merah terus aku yang di cat biru." Isabel meraih tangan Sastra lalu menempelkan jari kelingkingnya pada cat warna merah. Setelah itu dia juga melakukan hal yang sama, tetapi di cat yang berwarna biru. "Habis itu kita tempelin kayak gini," Isabel memperagakan langkah-langkah untuk membuat karya itu. Dia menempelkan jari kelingkingnya di kertas secara diagonal. Lalu diikuti oleh Sastra yang juga menempelkan jari kelingkingnya. Kedua kelingking mereka membentuk love yang berwarna merah dan biru yang saling menimpa. Sayangnya, Sastra kurang menekan jarinya yang mengakibatkan cap jarinya tidak merata.
"Ah, punyaku jadi gak rata bel, gimana dong?" keluh Sastra. Dengan agak jengkel Isabel berkata, "Yaudah ngulang, kamu tempelin lagi kelingkingmu di cat merah. Kali ini yang bener dan kamu teken yang keras sampai nempel." Dengan demikian keduanya mengulang cap jari mereka. Setelah selesai Sastra melepaskan jarinya dari kertas itu. Rasanya lengket dan hampir menarik kertasnya jika tidak dipegangi.
Lalu Isabel berkata, "Habis itu kita tanda tangan di sini." Isabel yang pertama tanda tangan lalu diikuti Sastra. Sastra melihat ke arah gelas yang berisikan air dengan bingung lalu bertanya, "Terus ngapain aku ngisi gelasnya pakai air kalau gak dipakai?" Isabel yang baru sadar menjawab, "Eh iya yah, kukira aku mau buat lukisan juga, hehe. Eh taunya gak dipake, tapi yaudah deh buat bersihin jarimu aja kalau mau."
"Enggak ah aku mending cuci tangan di wastafel aja. Sek, Isabel ayo buat lagi di buku diaryku biar ada isinya dan ada dokumentasinya." Sastra lalu mengeluarkan buku dari tasnya dan meletakkannya di atas meja. Lalu ia buka bukunya sambil menunjuk ke salah satu halaman kosong. Dia berkata, "Di sini aja." "Oke," jawab Isabel sambil menggunakan sisa cat yang ada di jarinya.
Ketika selesai dengan bukunya Sastra, Isabel melanjutkan menghias bentuk love di buku gambarnya. Sastra kurang memperhatikan apa yang dilakukan oleh Isabel, alih-alih dia memandangi bukunya yang terukir cinta di dalamnya. Dia mengangkat bukunya ke atas sambil tersenyum sambil membatin, Akhirnya aku dapet pacar, seniman, lucu dan cantik, hehe
"Sas, kamu gak mau melakukan sulap gitu hadiah buat aku? Kamu kan pesulap harusnya ngasih sesuatu yang mengejutkan." Sastra menatap Isabel sambil menurunkan bukunya. Dia dari hari sabtu dan minggu sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. Dia juga sudah mencari banyak referensi di Google atau di Instagram tentang jawaban yang romantis. Namun, semua yang ia lihat sama sekali tidak cocok dengan dirinya. Jadi, dia menjawab Isabel dengan kata-kata, "Aku gak akan memberikan kejutan apapun dengan trik sulap, Isabel. Karena sulap itu penuh kebohongan, aku ingin tulus dan nyata untukmu." Kata-kata itu terucap dari lidahnya dengan sangat mulus tanpa ada yang patah.
Seketika Isabel memalingkan wajahnya yang memerah. Hatinya berdebar dan ia berusaha menyembunyikan rasa senangnya. "Tapi aku tetep kasih kamu hadiah kok, nih cokelat buat kamu." Sastra meletakkan cokelat dari sakunya ke atas meja. Isabel akhirnya menatap Sastra lagi, namun tidak cukup kuat untuk melihat matanya saat itu. Sehingga dia memerintahkan, "Yaudah makasih mending kamu cuci tanganmu dulu!"
Sastra kemudian keluar lagi dan kali ini untuk mencuci tangannya. Butuh beberapa waktu sebelum akhirnya cat yang ada di tangannya untuk sepenuhnya hilang. Sebelum Sastra masuk dia menghentikan langkahnya karena melihat figur yang familiar. Martin sedang berdiri di pagar memandangi lapangan yang di sana ada anak-anak ekskul olahraga.
Sejak kapan dia disana? Perasaan pas aku ngisi air di gelas itu gak ada siapa-siapa. Apa jangan-jangan dia lagi mata-matai kegiatanku sama Isabel, ah sudahlah gak terlalu penting, mending aku ke kelas aja.
Sastra kembali ke kelas lalu duduk lagi tanpa membahas tentang keberadaan martin. Lalu Isabel mencuci tangannya juga. Setelah agak lama dia kembali lagi ke kelas dan melanjutkan gambarannya. "Jadi kamu langsung pulang, Bel?" tanya Sastra. Isabel menjawab, "Enggak tau sih, aku bisa pulang kapan aja." Mendengar itu Sastra memikirkan sesuatu. Dia berencana mengajak Isabel untuk ikut ekskul KIR.
"Kamu mau gak kalau nemenin aku KIR?" lalu Isabel menjawab, "Moh, males aku mau gambar aja" Ekspresi Sastra langsung berubah drastis. Sambil menghela napas Sastra tetap memaksa, "Sebentar aja lagian kamu gak ngapa-ngapain juga, gambar bisa di rumah." Dia terus memaksa sampai akhirnya Sastra dapat meyakinkan Isabel untuk ikut dengannya menghadiri ekskul KIR. "Emang kamu di KIR sekarang ngapain?" tanya Isabel. Kemudian dijawab, "Aslinya cuma presentasi doang, tapi semoga aja aku gak dipanggil. Selagi dengerin anak presentasi kamu bisa sambil ngelanjutin gambaranmu kan? jadi gak ada ruginya." "Iya iya aku ikut," jawab Isabel.
Keduanya langsung mengemasi barang-barang mereka ke dalam tas. Setelah itu mereka berjalan berdampingan keluar kelas. Saat berada di luar kelas Sastra tidak lagi melihat sosok Martin. Dia membatin, Jir, Setan tiba-tiba ngilang. Keduanya terus berjalan sampai ke taman lalu belok dan masuk ke dalam salah satu ruangan kelas 11.
Sebelum masuk Sastra mengingatkan, "Bel, kita telat jadi kamu ikuti aku aja. Bersikap normal." Lalu Sastra masuk dan salim kepada guru pembina di depannya. Isabel mengikuti gerakannya lalu berdiri di belakang Sastra yang sedang menjelaskan alasan dia terlambat. Baru setelah itu, kedua anak itu duduk di kursi belakang. Meja dan kursi di sana sudah diganti dengan bahan besi dan kayu. Sudah tidak ada lagi meja yang terbuat murni dari kayu, kecuali di kelasnya dan kelas sebelahnya.
"Jadi kamu bilang apa ke gurunya?" tanya Isabel. Lalu Sastra menjawab, "Tadi lagi pacaran sama kamu makannya terlambat." Isabel langsung memukul kepala Sastra dengan sayang, tetapi pukulan itu tetap sakit. "Aduh, kamu ngapain lagi, ya gak mungkinlah aku kasih alasan yang kayak gitu," jawab Sastra sambil menggosok kepalanya. Isabel menyilangkan tangannya dan menyilangkan kakinya dengan elegan serta dia mengacuhkan Sastra.
"Semoga aku gak dipanggil," kata Sastra. Sayangnya, selang beberapa detik setelah mengatakan itu namanya dipanggil. Karena dia sudah absen ketika datang dengan terlambat jadi, dia tau kalau panggilan kali ini bukan soal absen. "Sastra silakan mempresentasikan rencana penelitian untuk essaymu nanti." Dalam posisi seperti itu Sastra tidak tau harus membuat alasan apa. "Bu, saya belum selesai dan belum…" "Sudah maju aja presentasi seadanya tidak apa apa," jawab guru itu. Isabel tampak menahan tawanya, tetapi tetap saja kelihatan. Dengan wajah yang suram Sastra maju ke depan. Dia mengirimkan pptnya ke grup KIR lalu dibukakakan oleh gurunya dan ditampilkan di layar LCD. Gurunya pun memberikan gestur tangan pada Sastra untuk memulai presentasinya.
Sastra menelan ludahnya dengan napas yang berat kemudian memulai presentasinya. Dari depan dia bisa melihat ke seluruh penjuru kelas. Kira-kira ada 10 anak di dalam kelas itu ditambah Sastra dan Isabel. Di bangku belakang Isabel meletakkan dagunya di kedua telapak tangannya sambil menunggu presentasi Sastra. Saat gambar dari ppt sudah muncul di layar LCD baru Sastra berkata, "Selamat siang semua, eh maaf maksudnya selamat sore. Perkenalkan saya Sastra akan mempresentasikan tentang rencana penelitian saya. Jadi, tema yang saya ambil adalah tentang pengaruh cairan lemon pada karat…"
Di belakang Isabel mendengarkan presentasi Sastra dengan seksama. Sesekali dia tertawa sambil ditahan ketika Sastra membuat kesalahan dalam presentasinya. Sampai dia lupa untuk melanjutkan gambarnya di buku gambar. Selama Sastra berada di depan perhatian Isabel tidak bisa terbagi dengan hal lain. "Jadi, sekian dari presentasi saya apa ada yang ditanyakan?" kata Sastra. Sastra menatap Isabel yang menunjukkan senyuman mencurigakan. Perlahan Isabel mengangkat tangannya dan menjadi penanya pertama. Tanpa banyak tau tentang penelitian dan topik yang dibahas dia bertanya, "Jadi apa ada bahan lain selain cairan lemon yang bisa menghilangkan karat?"
Kenapa dia tidak bisa membiarkan aku presentasi dengan tenang? Padahal dia sendiri gak paham isi presentasiku. Anaknya siapa sih bikin susah orang?
Sastra menyatukan kedua tangannya lalu menjawab, "Jadi, sesuai hasil riset saya ada cairan lain yang bisa digunakan untuk menghilangkan karat contohnya cuka, soda dan lain lain, sudah paham?" Isabel mengangguk sejenak sebelum menggelengkan kepalanya. Dia bertanya lagi, "Lalu apa jadinya kalau penelitianmu ini gagal apa yang harus kamu lakukan?" Sastra tetap memasang senyum di wajahnya sambil menyembunyikan perasaan muaknya. Lalu dia menjawab, "Jika memang terjadi kesalahan yang mengakibatkan gagalnya percobaan maka bisa diulang lagi sesuai dengan langkah-langkah awal. Atau bisa dituliskan hasil percobaannya sesuai dengan data yang akurat tanpa menyembunyikan kegagalan itu."
Baru setelah jawaban itu Isabel mengangguk. Namun, dia belum merasa puas dan bertanya lagi, "Apa ada efek samping dari penggunaan cairan lemon dibandingkan cairan lainnya?" Sastra membatin, Stop jangan tanya terus ini sudah cukup. Sastra menoleh ke gurunya yang duduk di meja guru lalu protes, "Bu, ini boleh sebanyak ini pertanyaannya?" Gurunya mengangguk sambil menjawab, "Tidak apa-apa, malah kamu jadi semakin berkembang kalau mendapat banyak pertanyaan."
Dengan terpaksa Sastra menjawab, "Saya sendiri masih belum menemukan efek sampingnya jadi, jika nanti saya menemukannya akan saya cantumkan di penelitian." "Oke terimakasih cukup itu saja, "Ucap Isabel." Sebelum Sastra kembali ada salah satu anak bertanya, "Sas, siapa yang dari tadi tanya itu, pacarmu ya?" Seketika kelas itu langsung ramai dan semua anak mengatakan, "Cieeeee." Sastra hanya berdiri mematung di depan, dia merasa lelah menghadapi mereka. Akhirnya setelah mengakhiri presentasinya Sastra kembali ke samping Isabel.
Dia menatap Isabel dengan wajah cemberut dan datar. Isabel yang menyadari tatapan Sastra berkata, "Aku cuma bantu kamu Sas, kasian masa kamu gak ada yang nanggapin pas presentasi." "Terserah wes," jawab Sastra dengan muak. Setelah Sastra presentasi dilanjutkan lagi oleh beberapa orang mempresentasikan rencana mereka. Lalu pada pukul 05.02 sore ekskul sudah berakhir dan semua anak diminta untuk pulang.
"Aku duluan ya bel," ucap Sastra sambil mengendarai sepeda listrik birunya. Isabel yang sedang menunggu Gojek melambaikan tangannya sambil mengucapkan selamat tinggal. Sastra mengendarai sepeda listriknya seperti biasa, tetapi kali ini jalanan terlihat lebih gelap. Jadi Sastra menyalakan lampu jauhnya yang ternyata tidak terlalu berpengaruh. Jadi dia mastikannya lagi dan menggunakan pencahayaan dari lampu jalan.
Saat sampai di depan rumah Sastra melihat bahwa mobil ayahnya terparkir di garasi. Lalu setelah memarkir sepedanya dia masuk ke dalam rumah. Di depan ruang makan yang terdapat meja makan yang panjang. Di sana juga ada pelayannya Bella yang sedang menyusun makan malam. Sastra bertanya, "Bella, papa ada dimana?" "Oh, tuan ada di kamar, kak. Sejak pulang tadi kelihatannya capek terus langsung masuk ke kamar. Bisa tolong panggilkan juga ga kak, saya sungkan." Sastra mengangguk lalu berjalan ke kamar ayahnya.
Pertunjukan sulap minggu lalu menghabiskan uang sampai 10 juta lebih. Aku harus meminta kompensasi ke papa karena kan ini memang untuk kegiatan sekolah. Aku gak bisa kehabisan uang dan rugi karena melakukan satu pertunjukan aja.
Sastra menaiki tangga spiral yang lebarnya bisa memuat 2 orang menuju lantai dua. Suasana di lantai dua sangat sunyi bagaikan kuburan. Bahkan Sastra seakan dapat melihat kabut yang menyelimuti lorong kamar-kamar. Sastra meletakkan tas dan barang bawaannya di dalam kamarnya. Setelah ganti baju baru setelah itu dia beranjak ke kamar ayahnya. Dia berhenti di depan pintu kamar yang tertutup rapat. Sastra mengetuk pintu sekali, tetapi tidak ada jawaban. Setelah mengetuk sebanyak 3 kali dan tetap tidak ada jawaban Sastra memutuskan masuk ke dalam kamar.
Kreak…
Pintu itu terbuka dengan suara decitan yang antik. Sastra dapat merasakan kelembapan kamar itu menerpa wajahnya. Pupil mata Sastra mengecil saat melihat kondisi ayahnya. Dia berbaring di lantai kamar dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dengan penuh ketakutan dan shock Sastra terpaku di depan kamar sambil memegang gagang pintu.