Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 15 - Boba Pertama

Chapter 15 - Boba Pertama

"Aku duluan ya Sas," ucap Martin sambil melakukan tos. Dia berjalan meninggalkan Sastra yang duduk sendirian di bangkunya. Seperti biasa Martin selalu energetik, meski di waktu pulang. Tidak ada hal apapun yang dapat melemahkan semangatnya, bahkan jika dunia ini hancur mungkin dia akan tetap tersenyum dan mencoba menghibur orang yang tersisa. 

Sastra menolehkan kepalanya dan melihat ke arah jam dinding yang berada di atas papan tulis. Jarum pendeknya menunjuk ke angka tiga sedangkan jarum panjangnya menunjuk ke arah satu. Sastra mengambil dompetnya yang berada di tas lalu memasukkannya ke dalam saku celananya. Dia melihat ke sekelilingnya, ternyata di kelasnya masih terdapat beberapa anak yang belum pulang.

Tunggu, harusnya kan Martin belum pulang dulu, hari ini ada DA kan. Ya sudahlah, bukan urusanku, lagian habis ini aku akan berkencan.

Sambil memikirkan itu, secara tidak sadar muncul senyuman di wajahnya. Namun, dia baru sadar kalau ternyata Isabel tidak ada di sini. Sastra yang merasa sukar untuk mencari keberadaan Isabel dan hanya mengirimkan pesan menanyakan keberadaannya. Dia malas untuk mencari kemana gadis itu pergi. Alih-alih, dia berdiri lalu berjalan ke jendela di ujung kiri kelasnya. Dimana dari jendela itu terlihat aliran sungai kecil dengan pemandangan yang lumayan indah. Namun, setiap kali dia meletakkan kepalanya di dasar jendela, dia bisa merasakan hembusan angin, suara air sungai yang mengalir dan aroma air dan dedaunan yang sejuk. Baginya itu adalah hal yang wajib untuk melihat ke jendela setidaknya sekali sehari. Saat sedang menikmati pemandangannya, tiba-tiba Sastra dikagetkan dengan sesuatu.

BOO!

Sontak dia berbalik dan menatap pada pelakunya. Tampak seorang gadis yang familiar dengan rambut hitam kecokelatan yang mengkilat di bawah sinar matahari senja. Dari mulut gadis itu terucap, "Kamu ngapain ngeliatin sungai terus? Kita habis ini kan mau jalan-jalan harusnya kamu siap-siap dulu dong. Aku udah tungguin dari tadi, loh." Entah kenapa Sastra tidak bisa marah pada Isabel sehingga dia hanya tersenyum dan menjawab, "Perasaan aku dari tadi ada di kelas dan malah kamu yang gak ada. Kamu kemana tadi?" "Eheheh, ada deh rahasia. Yaudah kalau udah siap mending kita pergi sekarang." Gadis itu berjalan mendahuluinya meninggalkannya Sastra yang masih memasang ekspresi bingung.

Sastra pun berjalan mengikuti Isabel keluar kelas hingga sampai di dekat lobi. Isabel yang berada di depannya berhenti dan berkata, "Sebentar kita memutar aja, banyak temenku di sini." "Siapa?" tanya Sastra. "Ada pokoknya, kayak Tiana, Martin dan kawan kawan. Mereka kan rapat DA di lobby, kita lewat lapangan aja." 

"Emang kenapa? Kita kan lewat aja, gak ganggu rapat mereka," keluh Sastra. Isabel menjawab dengan malu, "Iya, tapi kan malu nanti kita diliatin temen-temenku. Biasanya mereka bilang yang enggak-enggak. Udahlah, kita lewat jalan lain aja." 

Dengan begitu mereka putar balik lagi melewati lapangan dan akhirnya sampai di gerbang. Sastra berkata, "Bel, kita lewat gerbang pun keliatan dari lobby. Percuma tadi kita muter-muter gak jelas." Isabel dengan kesal menjawab, "Yang penting kita udah keluar dan gak lewat di depan mata mereka. Sek bentar, nunggu mobil sama motornya sepi dulu baru kita nyebrang." "Kalau gitu mah aku juga tau!"

Setelah menyeberangi jalan dan berada di sisi seberang sekolah keduanya melanjutkan perjalanan. Mereka berjalan cukup jauh dan tetap berada di pinggir jalan. Selama perjalanan itu Isabel bertanya, "Jadi, kamu habis pertunjukan hari senin itu ngapain aja Sas? Apa kamu dapet banyak fans?" Sastra yang memikirkan jawabannya justru hampir mau tertawa. Karena bukannya mendapatkan banyak fans dia malah direkrut ke dalam klub dukun. "Kenapa ketawa?" tanya Isabel. Dengan menahan tawanya Sastra menjawab, "Aku kemarin selasa direkrut masuk ke klub dukun, terus rabunya aku bener-bener masuk. Habis itu malah ada ritual lagi." 

Isabel yang kaget bertanya, "Hah klub dukun emang ada, trus ritual apa emangnya?" "Pokoknya itu namanya klub Arcana dan hanya anak tertentu yang bisa masuk. Terus aku pas aku masuk ke ruang klubnya hari rabu, ruangnya ada di atas kamar mandi cowok. Nah terus aku diramal pakai kartu tarot dan hasilnya juga absurd." "Emang hasil ramalannya apa?" tanya Isabel. Sastra yang tawanya sudah mereda berkata, "Enggak ah, nanti kamu ketawain."

Isabel entah kenapa langsung menendang kaki Sastra. Sambil merintih Sastra bertanya, "Eh, kenapa kamu nendang aku?" Tangan kirinya menggosok-gosok bekas tendangn dari Isabel. Seberapapun dia menggosokkan tangannya rasa sakitnya tetap tidak hilang. "Gak kenapa-napa," kata Isabel sambil mempercepat jalannya meninggalkan Sastra.

Sastra pun langsung mengejar dan berkata, "Yaudah maaf ya bel, kukasih tau nih. Aku diramal masa lalu, sekarang sama masa depan. Masa lalunya dapet kartu raja gitu katanya aku kaya, terus yang masa sekarang aku dapet kartu Lover dan katanya akan dapet pacar." Isabel langsung menyela, "Pacar?! Ramalan macam apa itu? Emangnya siapa sih yang ngeramal?" 

"Aku diramal sama ketua klubnya langsung namanya Yunita, sek kulanjutin dulu. Nah habis itu untuk masa depanku aku dapet kartu Magician, tapi kebalik dan katanya akan ada hal buruk yang terjadi," kata Sastra.

Isabel menjawab, "Tapi bukannya kamu selama ini sudah jadi pesulap ya? Terus hal buruk yang terjadi di masa depan... Mending jangan bener-bener kamu percaya, rasanya kayak gak bener." Sastra setuju dengan Isabel lalu berkata, "Yah, aku juga ragu, tapi ya mau gimana lagi, tapi ternyata aku diprank dan semua itu cuma buat mengamati sifat dan sikapku sama anggota lain yang namanya Erina."

Isabel menggelengkan kepalanya lalu menceletuk, "Klub goblok." 

Akhirnya Sastra dan Isabel sampai di depan Chatime yang berada di pinggir jalan. Sastra berjalan duluan lalu membukakan pintu untuk Isabel. Baru setelah Isabel masuk dia ikut masuk ke dalam. Di dalam tampak sepi hanya ada 2 pelanggan sedangkan karyawannya melimpah. Sastra dan Isabel maju untuk memesan minuman. Keduanya melihat ke gambar menu dan memikirkan apa yang mereka hendak pesan. 

"Kamu mau pesen apa, Bel?" tanya Sastra. Lalu Isabel menjawab dengan ragu, "Bentar aku masih bingung yang ini…" Menyadari bahwa Isabel melihat harga dari minuman yang akan dia pesan Sastra berkata, "Gak usah lihat harganya, kan kamu kutraktir." "Ok deh," jawab Isabel.

"Kalau gitu aku pesen yang brown sugar aja," kata Isabel yang diikuti Sastra, "Aku juga sama mas, jadi pesen dua."

Selagi Sastra membayar dia memerintahkan Isabel untuk mencari tempat duduk. Isabel memilih tempat duduk di dekat jendela belakangnya pintu yang jika melihat ke kanan akan terlihat bangunan rumah sakit UB. Dari tempat duduk itu mereka juga dapat mendengarkan sayup-sayup suara kendaraan. Sastra duduk berlawanan dengan Isabel, menghadap ke jalan raya.

"Makasih sudah belikan boba buat aku, Sas." Isabel menatap mata Sastra dengan tulus. Lalu Sastra menjawab, "Harusnya aku yang terima kasih ke kamu, soalnya kan udah bantu jadi asisten pesulap. Aku jadi malu kamu harus melihat aku ketakutan di kamar mandi sebelum tampil." Isabel tersenyum padanya lalu berkata dengan suara yang lembut, "Gak papa, lagian kalau aku ada di posisimu pasti aku sudah pingsan dan gak bakalan tampil. Yang penting waktu itu kamu mau ikut aku dan akhirnya bisa tampil." Di dalam hati Sastra terus memikirkan tentang bagaimana dia harus confess kepada Isabel.

Sekarang aku sudah berdua sama Isabel harusnya ini waktu yang tepat buat menyatakan perasaanku. Seperti yang kulihat di film-film atau di buku percintaan. Tapi aku harus membukanya dengan apa ya? Apa aku katakan langsung?

"Isabel, sebenarnya aku mau mengatakan sesuatu…" Sastra berhenti sebelum bisa mengatakan inti dari pertanyaannya. Isabel yang mendengar itu jadi penasaran. Lalu dia berkata, "Apa itu? Apa akan ada acara sulap lagi?"

Fuck, aku benar-benar sudah mengatakan awalannya, tapi sekarang aku terjebak di akhirannya. Kalau sudah sampai sini mending ku terusin aja ga seh?

Sebelum bisa melanjutkan kata-katanya terdengar orang memanggil, "Atas nama Sastra!" "Iya itu saya," ucapnya sambil berdiri mengambil minuman yang mereka tadi pesan. Gerakan itu memberikan sedikit waktu baginya untuk berpikir. Sayangnya, dia harus segera kembali ke bangkunya menghadapi Isabel. Saat dia meletakkan 2 minuman itu di atas meja Isabel langsung mengambil minumannya. Katanya, "Wah, minumanku akhirnya datang. Kamu udah ngambil sedotannya kan?" "Ini sedotannya," jawab Sastra sambil meletakkan 2 sedotan di atas meja. 

Dia kembali duduk sambil memandangi Isabel yang sudah menyedot boba dari sedotannya. Akhirnya Isabel berhenti lalu berkata, "Aku juga punya sesuatu yang mau aku katakan." "Apa itu?" tanya Sastra. Namun, Isabel tidak bersedia mengatakannya terlebih dahulu. Sehingga dia menyuruh Sastra duluan, "Kamu dulu baru aku kasih tau yang mau kukatakan." 

Tanpa ragu lagi Sastgra berkata, "Aku suka sama kamu, Isabel." Waktu di bangku itu seakan berhenti. Sastra yang menatap mata Isabel dapat melihat pupil matanya membesar. Suasana di antara mereka jadi canggung dan Sastra bingung bagaimana dia harus mencairkan suasananya. Lalu dia mendengar Isabel berkata dengan lembut, "Itu juga yang mau katakan, sebenarnya aku juga suka sama kamu." Sastra yang mendengar itu tidak bisa menyembunyikan senyumnya, dia membalas, "Jadi habis ini kita apa? Apa langsung pacaran atau apa? Jujur aku gak tau harus apa..." Isabel tertawa mendengar kejujuran Sastra, sebenarnya dia juga sama bingungnya dengan Sastra.

Dia pun berkata, "Aku juga gak tau, tapi kita ini kan beda agama. Emang kamu boleh pacaran sama yang beda agama?" Isabel tampak bimbang sambil menggosokkan tangannya pada minuman boba di depannya. Di dalam hati Sastra percaya pada perasaan cintanya pada Isabel. Dia percaya bahwa dia akan merasa bahagia jika bersama Isabel. Dia sama sekali tidak peduli dengan perbedaan agama mereka, yang dia inginkan adalah untuk bersama Isabel.

Lalu Sastra berkata, "Bagiku perbedaan agama kita bukan masalah, kalau kita memang saling suka mungkin bisa pacaran. Tapi itu keputusan bersama dan aku gak bisa memutuskannya sendiri, kalau kamu setuju ya kita pacaran. Cuma aku gak mau maksa aja, jadi tergantung kamu."

Tidak diragukan lagi semua yang ia katakan berasal dari lubuk hatinya. Tanpa ada pemanis atau apapun, karena dia ingin jujur dengan Isabel. Sebenarnya Sastra masih bingung dengan hubungan mereka, dia juga tidak langsung jatuh cinta ketika pertama bertemu Isabel dan yang jelas dia tidak ingin memaksa. Isabel berkata, "Kalau gitu kita jalan-jalan aja dulu sambil aku pikirin. Coba ke sana katamu SD mu di sana kan?" "SD ku? Oh ya aku pernah cerita ya. Yaudah ayo sekalian kita ke sana."

Keduanya pun berdiri sambil membawa minuman boba masing-masing, mereka berjalan keluar menuju SD yang menjadi sekolahnya Sastra dulu. Jalannya tidak terlalu jauh karena setelah belok kanan mereka hanya perlu belok kiri lagi ke jalan kecil. Di persimpangan jalan terdapat tanda yang menunjukkan arah SD itu. Ketika melangkah ke jalan kecil itu Sastra merasa nostalgia. Rimbunnya pepohonan di sana tetap sama, tetapi ketika sampai di gerbang sekolah pohon ceri yang lebat sudah ditebang.

Saat itu jam tangannya menunjukkan pukul 16.25 sore. Hanya tersisa beberapa anak saja di sekolah. Saat mereka lewat salah satu anak berkata, "Kak itu pacarnya ya?" Isabel yang malu langsung berlari ke depan. Sastra hanya tertawa dan coba membuat lelucon. Di saat yang sama Sastra juga melihat salah satu guru SDnya yang keluar dari kelas. Dia tidak menyapanya karena sedang bersama dengan Isabel, dia juga tidak mau ada salah paham dari gurunya.

Dia memperhatikan bangunan SDnya sambil mengingat-ingat momen yang pernah terjadi. Lapangan itu tampak lebih kecil dari yang ia ingat, kelas-kelas di sana juga tampak kecil. Ketika dia masih SD baginya sekolah itu sangatlah luas. Dia bisa berlari kejar-kejaran, petak umpet, bentengan dll. Ketika waktu Istirahat sekolah yang hanya berdurasi 15 menit rasanya sangatlah lama, namun sekarang semuanya terasa singkat dan tidak lagi sama. Sastra menatap pada masjid di sisi kanan jalan yang biasa ia gunakan untuk solat berjamaah dan kegiatan mengaji. 

"Ngapain lari, anak tadi cuma tanya doang," katanya sambil menyusul Isabel. Lalu Isabel menjawab, "Gimana gak lari, tadi juga ada guru ngelihat." "Yaudah kita balik aja, yang penting kamu sudah tau ini sekolah SDku dulu. Sayang sekali kita gak bisa masuk." Isabel mengangguk dan tampak berpikir lagi. Sastra hanya mengikuti di belakangnya tanpa berkata apapun lagi. 

Setelah berjalan beberapa jauh mereka sampai lagi di jalan utama yang mengarah ke jalan raya. Setiap kali Sastra menyusul dan berusaha berjalan berdampingan, Isabel akan berjalan lebih cepat darinya. Hingga akhirnya Sastra memutuskan untuk berjalan di belakangnya dan menikmati momen itu. Dia melihat ke rumah-rumah di sekitarnya. Tembok-tembok bangunan itu berubah warna menjadi jingga kekuningan seiring berjalannya waktu. Dedaunan juga berjatuhan ketika diterpa oleh angin. Suara gemerisik daun-daun pepohonan menambah ketenangan momen itu. 

"Jadi, sudah kamu putuskan, Bel?" tanya Sastra. Pertanyaannya bagaikan terbang mengiris keheningan mereka. Suara deru angin mengibarkan rambut Isabel yang terurai. Dia membalikkan badannya sambil melepaskan sedotan dari bibirnya lalu berkata, "Sudah kuputuskan, ayo kita pacaran. Aku juga langsung menyukaimu pas kamu melakukan trik pertamamu. Meskipun kita beda agama, setidaknya aku mau mencoba untuk mengikuti perasaanku. Selama aku jadi asistenmu aku sadar kalau kamu membutuhkan seseorang di sisimu. Kamu memiliki kekurangan begitu juga aku, jadi aku harap kamu mau berada di sisiku dan sebaliknya." 

Aku harus bilang apa ini, jelas aku setuju, tapi harus bilang apa. Sudahlah aku sudah terlalu lama diam.

"Woy, kenapa diem aja, bilang sesuatu." Sastra tersadarkan lalu mendapati kalau Isabel menatapnya dengan pipi yang merah. Dia menjawab, "Uh, oke berarti kita pacaran kan mulai dari sekarang?" "Iya, masa kamu cuma bales gitu aja. Aku udah bicara panjang lebar," protes Isabel. "Yah, mau bilang apalagi?" lalu Isabel menjawab, "Sudahlah kamu memang gitu, hari senin minggu depan aku punya hadiah buat kamu." "Hadiah?" tanya Sastra dengan penasaran. Lalu Isabel berkata sambil kembali berjalan, "Yup, tunggu aja minggu depan." Dengan begitu keduanya kembali ke sekolah dengan berjalan dan bergandengan tangan.