Pada pukul 07.15 pagi hari kamis tanggal 17 Agustus 2023 lapangan SMA 13 dipenuhi oleh anak-anak mulai dari kelas 10 sampai 12. Mereka semua berbaris menghadap bendera merah putih yang berkibar. Ketika lagu Indonesia Raya diputar mereka dengan khidmat memberikan hormat.
Sastra yang berada di urutan kedua dari depan barisan juga memberikan hormat. Tangannya berada di ujung topi dan wajahnya datar. Seberapa kuat angin menerpa wajahnya dia tidak membuat ekspresi apapun.
Setelah upacara ini berakhir aku akan pergi ke rumah Levin bareng Martin juga. Rencananya kami akan bermain game di PS dan tinggal di sana sampai sore. Aku juga gak bisa pulang terlalu sore karena sepeda listrikku diparkir di sekolah, aku gak tau kapan gerbangnya akan ditutup pas hari kemerdekaan ini.
Upacara itu berakhir pada jam 9 pagi. Setelah 30 menit, sekolah itu langsung kembali sepi seperti kuburan. Tidak banyak anak yang berlama-lama tinggal di sekolah kecuali mereka memiliki urusan dengan guru atau memang belum dijemput. Sastra dan kedua temannya masih di dalam kelas mengobrol dengan satu sama lain.
"Kita mau berangkat kapan ke rumahmu?" tanya Martin. Sastra yang sedang duduk di atas kursi sukar untuk menjawab, sehingga diam saja. Dia meletakkan kepalanya di atas meja sambil memejamkan mata. "Tanya ke yang punya rumah, aku ngantuk," ucap Sastra sambil memejamkan mata. Levin yang baru saja kembali ke kelas sontak berkata, "Hey, ayo gas sekarang gue udah bosen di sini."
Ketiga anak itu pun berjalan keluar sekolah meninggalkan tempat yang sepi itu. Mereka berjalan melewati trotoar dengan hanya beberapa pedagang yang berjualan. Suasana jalan hari itu lebih sepi dari hari biasanya. Meski hari itu adalah hari kamis, tetapi banyak sekolah atau instansi lain yang melakukan upacara bendera memperingati hari kemerdekaan. Sastra tidak benar-benar bersedia ikut bersama mereka pergi ke rumah Levin. Namun, karena dia ingin tampak lebih ramah dan tidak punya alasan lain untuk menolak, dia akhirnya ikut saja.
Sastra mengalihkan pandangannya sebentar untuk menatap pada jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Terlihat saat itu adalah pukul 09.32 pagi. Pandangannya kembali melihat ke depan ke jalan yang ia lalui. Trotoar yang mereka lalui berakhir di depan bundaran patung pesawat. Dari situ mereka harus melewati pinggir jalan kemudian belok kiri ke jalan yang lebih kecil. Setelah berjalan mereka sampai di perempatan yang salah satu jalannya ditutup karena ada kegiatan 17 agustusan.
"Hey rek, ayo coba kita kesana," kata Martin sambil menunjuk pada kerumunan orang. Mereka setuju untuk melihat apa yang sebenarnya mereka lakukan. Sayangnya, orang-orang itu hanya melakukan halal bihalal atau semacamnya. Tidak terlihat ada tanda-tanda perlombaan yang akan dilaksanakan. Karena kebanyakan perlombaan sudah digelar minggu sebelumnya.
Pada pukul 09.44 mereka sampai di depan rumah Levin. Di halaman rumahnya dia memiliki halaman yang digunakan sebagai kebun. Garasi yang kosong hanya terisi motor. Lingkungan di sekitar rumah itu juga terasa sunyi. Lebih sunyi daripada Permata Jingga, tetapi tidak lebih besar dan rimbun daripada Permata Jingga. Tanpa menunggu lama lagi Levin mengeluarkan kunci rumahnya lalu membuka gerbang dan mempersilakan teman-temannya untuk masuk.
Sastra, Martin dan Levin melepas sepatu mereka sebelum naik ke atas lantai di depan pintu rumah. Sastra dapat merasakan kelembaban udara ketika masuk ke dalam rumah itu. Dengan minimnya cahaya matahari, Sastra juga tidak bisa menemukan banyak ventilasi udara yang meningkatkan sirkulasi udara. Di pilar dekat pintu masuk Sastra menemukan salib yang ditempel rapi. Lalu dia berjalan beberapa langkah dan sampai di ruang keluarga. Di sana terdapat TV dan PS yang sedang dimatikan.
"Halo kak Eliz, kami izin main di sini sebentar ya kak," ucap Martin. Sastra tidak kaget kalau Martin mengenal Eliz karena memang dia selalu bersama Levin. Biasanya Levin akan bertemu dengan Eliz, jadi mungkin di salah satu kesempatan itu mereka berdua bertemu. Sastra juga memberikan salam pada Eliz dengan senyum yang manis.
Eliz bangun dari sofa lalu berkata, "Oke kalian main aja di sini gue masuk kamar dulu." Lalu Eliz pergi naik ke tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. "Yaudah lu berdua mau main apa?" Levin menjadi yang pertama duduk lalu diikuti oleh Sastra dan Martin. "Ini kalian pilih salah satu gue cuma ada 2 controller aja," katanya sambil memberikan controller pada Sastra. Sastra menerimanya lalu memakainya bergantian bersama Martin.
"Kalian bisa pilih game yang ada di sini, tunggu gua nyalakan dulu," kata Levin sambil menyalakan TV dan menghubungkannya pada PS. Dia menekan tombol ke samping di controllernya dan menunjukkan game-game yang dia punya. Levin berkata lagi, "Cuma ini game yang sudah didownload. Kalau mau main game lain harus ngehapus lagi salah satu baru download gamenya. Jadi mending pilih salah satu."
Tanpa pikir panjang Martin mengusulkan, "Mending main game gta 5 aja." "Oke, gue mulai gamenya." Levin memulai gamenya dan masuk ke dalam loading screen. Ibunya Levin sedang ada di luar rumah, jadi mereka tidak perlu merasa khawatir ketika masih di loading screen. Martin mengambil controller dari tangan Sastra sambil berkata, "Aku coba speedrun dulu sampai bintang setinggi-tingginya. Kita liat sampai kapan aku bisa bertahan." Saat game sudah dimuat sepenuhnya, Martin langsung menggerakkan karakternya untuk mencuri mobil lalu menabrak setiap npc yang tersedia.
Tidak lama setelah itu dia mati terkena tembakan helikopter. Akhirnya dia hanya sampai di bintang 4. Lalu Levin ikut bermain diikuti juga dengan Sastra. Di sela-sela bermain itu Levin bertanya, "Sas, gimana hubungan antara kamu sama Isabel? Udah pacaran tah?" Sastra menghentikan karakternya sejenak karena tidak siap mendengar pertanyaan itu. Lalu dia menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku masih belum pacaran sama Isabel. Kita cuma deket aja, mulai dari minggu kemarin. Aku gak tau dia suka sama aku atau enggak."
Martin menyenggol bahu Sastra lalu berkata, "Udahlah, paling dia cuma nganggep kamu sebagai temen aja." Martin mengatakan itu dengan mada yang mencemooh.
Benarkah? Perasaan tadi sebelum pergi ke rumah Levin aku ngabarin Isabel. Dia juga merespon dengan positif malah tertawa juga. Tapi aku masih kurang yakin kalau dia memang menyukaiku atau cuma dijodoh-jodohkan.
"Kalau lo pengen tau mending tanya aja langsung ke Isabel. Dengan kata lain nembak dia," kata Levin. Entah sejak kapan, tetapi setiap kali Sastra melihat ke arah Martin, ekspresinya jengkel seperti pacar yang cemburu. Sehingga terlihat seperti dia sedang marah, entah kenapa Sastra menganggapnya lucu saat mengetahui perasaan Martin.
"Kamu nyarankan buat aku confess ke dia?" tanya Sastra. Levin sambil menembakkan pistolnya di game menjawab, "Ya, keliatannya lo kan udah deket. Kalau emang beneran, ya nanti kalian tentukan sendiri, ya kan Tin?" Martin tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalanya. Jika dia akting seakan dia cemburu teman-temannya itu hanya akan tau, meski Sastra sudah menyadarinya.
Confess? Mungkin bisa kucoba di waktu dekat ini. Aku gak keberatan kalau pacaran sama anak yang nonmus lagian aku juga gak terlalu soleh. Banyak peraturan atau larangan yang kulanggar. Atau mungkin bisa besok ya, aku juga belum ngasih Isabel hadiah karena sudah bantu jadi asistenku. Kenapa dia belum bilang maunya apa sampai sekarang? Nanti harus kutanyakan.
Pada pukul 12.09 Sastra mentraktir 2 box pizza untuk kedua temannya dan keluarganya juga. Sastra hanya mengambil 3 potong pizza baru berhenti memakannya karena sudah kenyang. Sisanya dimakan oleh Martin, Levin, Eliz atau anggota keluarga lainnya. Mereka juga saling bercanda, tertawa dan menikmati waktu mereka bersama.
"Jadi, masih mau main gak? Ini masih siang, kalau kalian pulangnya sore kita main lagi aja," kata Levin sambil mengunyah bagian dari pizzanya. Ucapannya menjadi tidak jelas karena dia berbicara saat mengunyah makanan. Lalu dengan yakin Sastra menjawab, "Aku habis ini pulang kalau sudah selesai makan. Pokoknya harus balik siang-siang soalnya aku gak tau kalau hari kemerdekaan gini sampai kapan gerbangnya akan terus terbuka."
Alasan kenapa Sastra tidak membawa sepeda listriknya ke rumah Levin karena dia kira akan jauh, dia tidak tau pasti jalan ke rumah Levin. Lalu Martin berkata, "Aku juga ikut pulang bareng Sastra aja, aku kos-kosanku ada di deket situ soalnya." "Oke, gue anterin kalian berdua aja. Sekalian beli sesuatu di dekat sekolah, buat njajan nanti." Levin berdiri mematikan TV dan PSnya lalu pergi ke belakang sebentar. Lalu dia kembali dengan membawakan minuman susu kemasan. Akhirnya mereka bertiga pergi kembali ke sekolah sambil minum susu itu.
Sesampainya di sekolah Sastra langsung masuk sambil menyapa satpam. Dia mengambil sepedanya lalu keluar. Di depan gerbang dia melambaikan tangannya sambil berteriak, "Aku duluan ya guys!" Kedua temannya melakukan hal yang sama dan menjawab, "Hati-hati di jalan." Sastra meningkatkan kecepatan sepedanya hingga 40 km/jam, tetapi dia merasa bahwa kecepatan sepedanya masih lambat. Dia tidak memedulikan kecepatan sepeda itu, yang penting baginya dia tidak perlu berjalan selama 15 menit dari rumahnya menuju sekolah.
Saat dia tiba di rumah Sastra langsung memarkir sepedanya, tetapi dia menyadari sesuatu. Baterai sepedanya ternyata akan segera habis. Jarang baterai sepedanya habis sebelum hari jumat, jadi dia selalu mengisi baterainya di hari jumat. Kali ini berbeda sehingga dia mengambil charger sepedanya yang berbentuk balok lalu menancapkan kabelnya pada stop kontak terdekat. Ketika terhubung dengan sepedanya charger itu membuat suara seperti suara heksos yang halus.
Ketika ia berdiri dan akan masuk ke dalam rumah ia melihat ibu tirinya yang berdiri bersandar di pintu. Dia menyilangkan tangannya sambil menatap ke kebun hijaunya yang asri. Sastra berhenti, dalam hati dia berharap agar orang itu minggir dari jalannya aagr dia bisa masuk. Seakan menyadari pandangan darinya, Endah menoleh ke arah Sastra sambil tersenyum. Dia berkata dengan suara halus, "Halo Sastra kamu sudah pulang, kukira kamu akan pulang habis upacaranya selesai. Aku dan papamu mau mengajakmu dan Ayu makan siang di tempat lain. Sayangnya, kamu belum pulang jadi kami pergi sendiri. Tapi kamu sudah makan kan?"
Sastra menjawab dengan singkat, "Sudah." "Bagus kalau gitu, yaudah aku masuk dulu." Sebelum melangkahkan kakinya dia berhenti lalu berkata, "Tunggu, belakangan ini aku baru sadar kalau kamu gak pernah manggil ibumu ini dengan panggilan mama atau ibu." Sastra sudah muak dengan perkataan Endah, secara tidak sadar dia mengepalkan tangan kirinya. Tanpa tersenyum dia berkata, "Kamu memang istri dari ayahku bukan berarti kamu juga ibuku." Endah terkekeh lalu menjawab, "Terserah kamu, aku juga gak peduli." Setelah itu Endah membuka pintu depan lalu masuk ke dalam rumah. Sastra hanya bisa menghela napasnya lalu masuk setelah ibu tirinya menghilang.
Di dalam kamarnya Sastra melepaskan seragamnya lalu melemparkannya ke lantai. Dia tidak akan menggunakan seragam itu besok, jadi tidak perlu menggantungnya di hanger. Setelah dia membereskan buku, tas dan barang bawaannya dia membawa turun baju itu lalu meletakkannya di dalam mesin cuci.
Pada pukul 08.23 malam Sastra duduk di meja belajarnya sambil menyiapkan buku untuk besok. Samping mejanya ada lemari buku yang dia gunakan untuk menyimpan buku tulis dan buku paket untuk sekolah. Dalam hati dia memikirkan apa yang akan dia katakan pada Isabel setelah ini. Sastra berhenti berpikir lalu mengirimkan pesan, "Isabel, kamu sudah nentuin mau dikasih apa, atau permintaan lainnya? Jangan diulur-ulur terus nanti aku lupa."
Setelah menunggu beberapa lama, dia akhirnya mendapatkan jawaban, "Haloo, gimana kalau kita jalan-jalan berdua aja?" "Jalan-jalan kemana? Ke MOG? Ke Batu?" tanya Sastra. Keduanya tampak bingung menentukan tempat yang ingin mereka tuju, tetapi Sastra tidak menyarankan tempat lagi. Dia hanya menunggu jawaban dari Isabel.
"Gak usah yang jauh-jauh. Gimana kalau di deket sekolah aja?" jawab Isabel. "Di deket sekolah emang ada apa? Setauku cuma ada Nakoa atau kamu mau ke restoran yang banyak di Suehat?" Isabel lalu mengirimkan pesan lagi yang berbunyi, "Hmm, banyak emang restorannya, gimana kalau kita ke Chatime aja, ada tuh di deket rumah sakit UB. Dari sekolah kita cuma perlu jalan kaki aja." Tanpa ada keraguan Sastra setuju dengan usulan Isabel supaya tidak ganti rencana lagi, "Oke deh, kutunggu besok." Sastra mengirimkan pesan itu dengan tambahan wink emoji di akhirannya. Lalu dia mematikan HPnya dan dia dapat melihat refleksi wajahnya yang terpantul di layar HP. Sebuah senyuman terpampang jelas di wajahnya yang disinari cahaya lampu belajar.
Setelah itu Sastra menuliskan pengalamannya hari ini di dalam buku diarynya. Setiap huruf sampai paragraf ia tulis dengan sepenuh hati. Tulisannya rapi dalam bentuk tulisan latin yang ia tulis menggunakan fountain pen. Terlihat jelas garis tebal dan tipis membentuk komposisi yang indah. Setiap kalimat di sana berisikan kata-kata yang indah. Kenapa? Karena hatinya sedang berbunga-bunga.