Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 13 - Reversed Magician

Chapter 13 - Reversed Magician

Keesokan harinya di waktu yang sama Sastra keluar dari kelasnya, berjalan melewati lautan manusia yang ingin meninggalkan sekolah. Dia sudah tau dimana kelas XI.A itu, sehingga dia hanya perlu berjalan ke sana tanpa mencari lagi. Sastra dapat mendengarkan lagu yang sama setiap kali dia pulang. Di radio speaker sekolah mereka memutar lagu Kejar Mimpi dari Maudy Ayunda. Kadang-kadang tidak banyak yang menyadari lagu ini diputar, tetapi lagu ini selalu ada menemani mereka setiap waktu pulang. 

Sastra berhenti di bangku yang kemarin dia duduki dan matanya tertuju pada kelas XI.A. Dari kejauhan dia mengobservasi setiap anak yang keluar dari kelas itu, dia mencoba menemukan gadis berkacamata kemarin. Dia memilih untuk mencarinya dari jauh karena akan menjadi canggung jika dia ternyata salah kelas atau gadis kemarin menipunya. Setidaknya sedia payung sebelum hujan. Setelah kelas itu lumayan sepi dia akhirnya melihat gadis itu, dia sedang duduk dan fokus pada HPnya. 

Sastra masuk ke dalam kelas itu dengan tenang lalu menghampiri meja Yunita. "Halo kak, aku sudah datang," kata Sastra. "Jadi kamu sudah menentukan jawabanmu?" tanya Yunita. Tanpa ragu Sastra menjawab, "Aku mau bergabung." Yunita yang biasanya memasang wajah datar dan serius langsung tersenyum. Dia mengeluarkan kertas yang kemarin ia tunjukkan pada Sastra lalu memberikannya. "Tanda tangan di sini ya," ucapnya sambil memberikannya pulpen. 

"Ini aja? Gak ada tes lain gitu?" tanya Sastra yang masih tidak percaya. Yunita menjawab, "Sebenernya ada dan ini peraturan baru dariku sebagai ketua klub, tapi nanti aja ini belum penting banget. Yang penting sekarang kita ke ruangan klub dulu, ayo ikut aku." 

Ruangan klub? Kukira aku sudah tau semua ruangan di sekolah ini, ternyata ada ruangan lain yang belum pernah kudengar.

Yunita berjalan keluar kelas diikuti oleh Sastra yang masih penasaran di mana ruang klub itu. Mereka belok kanan mentok, lalu belok kiri hingga sampai di depan tangga. Mereka naik tangga itu dan ketika sampai di atas ternyata di samping kelas XI.F ada jalan menuju ruangan di atas kamar mandi laki-laki tempat Sastra serangan panik. Keduanya melepas sepatu lalu masuk ke dalam ruangan itu.

Sastra dapat mencium aroma harum dari pewangi ruangan itu yang tertiup oleh kipas angin. Di dalamnya terdapat 1 sofa, 2 meja dan beberapa kursi. Kipas angin itu terus berputar meski jendela dibuka. Tidak banyak angin yang masuk dari jendela karena ruangan itu berada di wilayah yang tertutup, adanya mungkin sedikit aroma tidak sedap dari kamar mandi di bawahnya. Oleh karena itu, dipasanglah pengharum ruangan dan kipas angin yang mendorong aromanya keluar. Di dalam ruangan itu juga minim pencahayaan, jadi mereka menggunakan lilin sebagai sumber pencahayaan.

"Permisi, oh halo Erina kamu tumben datang secepat ini," kata Yunita pada perempuan yang sedang bersandar di sofa. Nama lengkap perempuan itu adalah Erina Zachary. Dia memiliki rambut hitam yang panjang dan bergelombang. Parasnya bertolak belakang dengan Yunita yang dingin. Dia tampak ramah, bahkan jika dilihat sekilas saja. 

"Ah, aku pengen lihat kamu melakukan ritual penyambutan anggota baru. Ternyata dia beneran gabung ke klub kita, semoga penilaianmu benar mengenainya, Yun." Erina memandang Sastra yang juga masuk ke dalam ruangan, lalu Erina menyilangkan tangannya. Tidak menghiraukan ucapan Erina Yunita berjalan ke meja di tengah ruangan lalu duduk di kursinya. "Silakan duduk Sastra," perintah Yunita. Sastra mengikuti perintahnya lalu duduk di hadapannya. Yunita mengeluarkan korek api batangan lalu menyalakan 2 lilin di sisi kanan dan kiri meja. 

Yunita mengeluarkan dek kartu tarot dan meletakkannya di hadapan Sastra. Sambil menata kartunya Yunita berkata, "Peranku atau keahlianku di klub ini adalah sebagai diviner atau peramal. Aku tidak benar-benar bisa melihat masa depan seseorang atau kejadian yang akan datang, tapi peranku hanya sebagai perantara dari dunia. Dunia ini yang akan menjawab pertanyaanmu dan kartu tarot ini akan bekerja dengan benar jika kamu percaya padanya, jika tidak maka hasilnya akan percuma saja. Jadi berikan satu pertanyaan Sastra, tentang apapun itu."

Sastra tidak tau harus bertanya apa jadi dia bertanya, "Ini gratis kan?" "Tentu kamu kan udah dengar ini adalah bagian dari ritual penyambutan anggota baru," jawab Yunita. Satu menit berlalu dan Sastra masih tetap diam saja, bingung karena dia tidak pernah melakukan peramalan menggunakan kartu tarot. Dia lebih familiar dengan kartu remi dan itu juga dia gunakan untuk trik sulap bukan meramal.

Lalu Erina yang sudah tidak sabar berkata, "Tanya aja past, present, future gak usah mikir lama-lama." Mendengar Erina yang mengganggu kesakralan ritual itu Yunita berkata dengan tegas, "Erina, tolong jangan ganggu momen ini atau aku harus menyuruhmu untuk keluar. Biar Sastra menentukan pertanyaannya sendiri, pertanyaan yang datang dari hati sendiri sangatlah penting. Karena merefleksikan kondisi jiwa penanya dalam momen ini." Erika langsung diam dan hanya menonton dari sofa itu. Yunita kembali bertanya pada Sastra, "Jadi apa yang ingin kamu tanyakan?" Sastra menjawab, "Past, present, future."

Yunita tersenyum dan tidak protes lalu berkata, "Oke, sekarang ambil dek kartunya dan acak kartunya sambil pikirkan tentang pertanyaanmu, karena kamu yang bertanya berarti hanya kamu yang bisa menentukan jawabanmu sendiri. Percayalah bahwa apapun yang kartu ini tunjukkan nanti, adalah suatu petunjuk agar ramalan ini akan berhasil." Sastra mematuhi perintah Yunita dan mulai mengacak kartu tarot itu. Setelah selesai mengacaknya beberapa kali ia letakkan kembali di atas meja. 

Emang ini beneran akurat? Seberapapun aku coba percaya tentang ramalan dari kartu ini aku tetep aja susah untuk percaya. Coba lihat aja dulu hasilnya...

Yunita kemudian mengambil 1 kartu dari atas dek dan meletakkannya di sisi kiri Sastra. "Kartu ini menyimbolkan masa lalumu."

"Kartu ini menyimbolkan masa sekarang." Yunita meletakkan kartu kedua di depan Sastra.

Lalu, yang terakhir dia meletakkan kartu ketiga di sisi kanan dari Sastra. "Kartu ini menyimbolkan masa depanmu." 

"Oke, kalau begitu mari kita buka kartu pertama, yaitu masa lalumu." Yunita membalik kartu yang berada di paling kiri dari Sastra. 

Kartu itu dalam posisi menghadap Sastra. Terdapat gambar seorang pria dalam keadaan duduk di atas singgasana dan membawa 1 pentakel. Di belakangnya terdapat kastil yang megah dengan taman-taman yang indah. "The King of Pentacles," kata Yunita membaca nama dari kartu itu sambil menatap mata Sastra. 

"The King of Pentacles menyimbolkan kelimpahan, kemakmuran dan keamanan. Dari kartu ini, masa lalumu digambarkan penuh dalam kemakmuran, kekayaan dan keamanan. Semua kebutuhanmu tercukupi sehingga hidupmu penuh kebahagiaan dan kesuksesan." Dalam hati Sastra kurang setuju, Penjelasan di bagian awal sudah menggambarkan hidupku dengan benar, tapi aku tidak yakin dengan bagian akhirnya. Aku tidak benar-benar merasa bahagia.

Selanjutnya Yunita membalik kartu yang ada di tengah. Kartu itu memiliki gambar pria dan wanita dalam keadaan telanjang yang diawasi oleh malaikat. Yunita berkata, "Ini adalah kartu yang melambangkan masa sekarang namanya The Lover. Kartu The Lover menyimbolkan cinta dan keharmonisan dalam suatu hubungan. Hmm, menurutku habis ini kamu akan dapet pacar." Mendengar itu sontak Sastra kaget dan berkata, "Hah, kok bisa? Ini cuma ramalan yang belum tentu terjadi." "Iya ini hanya ramalan, tapi biasanya ramalanku tepat," ucap Yunita dengan percaya diri.

Setelah itu dia lanjut membalik kartu yang terakhir yaitu masa depan. Kali ini kartunya berbeda karena menghadap berlawanan dengan Sastra. Di kartu itu terdapat gambar seseorang yang menunjuk ke atas dengan tangan kanannya dan menunjuk ke bawah dengan tangan kirinya. Di depannya terdapat meja dan di atasnya ada 4 benda yang melambangkan 4 elemen dalam kartu tarot. 

Yunita terdiam melihat hasil terakhir kartunya dan ruangan itu seketika menjadi hening. Erina yang penasaran dengan kartu terakhir itu tidak berani bertanya karena melihat Yunita yang masih berpikir. Lalu Yunita berkata dengan nada yang lembut, "Kartu yang melambangkan masa depanmu adalah The Magician yang terbalik… Jika kartu ini dalam posisi tegak akan melambangkan tekad murni dan pemanfaatan potensi diri untuk mencapai impian. Tapi kalau terbalik artinya lebih ke manipulasi, tipuan dan keegoisan. Di masa depan kamu akan menemui seseorang yang demikian atau kamu akan menjadi seperti itu. Pesanku kamu harus berhati-hati sama orang yang kamu kenal, mungkin salah satu dari mereka memiliki niat buruk, satu lagi pahami frasa 'as above, so below' itu adalah frasa yang menggambarkan kekuatan dari kartu Magician." Sastra dengan sukar mengangguk mendengarkan ucapan Yunita. 

Tadi lumayan masuk akal, tapi habis itu ada kartu yang mengatakan bahwa aku akan segera dapet pacar. Sekarang ada kartu yang mengatakan bahwa orang di sekelilingku ada yang toxic. Sejauh ini ramalannya semakin absurd, aku bahkan mulai takut kalau ramalan ini benar-benar terjadi. Bagaimana kalau ternyata akulah yang akan memanipulasi, menipu bahkan menyakiti orang lain?

"Ramalannya berakhir di sini, terimakasih sudah mau bersedia diramal, Sastra." Yunita mengumpulkan semua kartunya lagi lalu berdiri perlahan. Dia berjalan ke meja yang berada di belakangnya. Meja itu adalah meja guru yang dipenuhi buku dan kertas dalam keadaan rapi.

Sastra bertanya, "Jadi ramalan tadi itu ritual penyambutannya?" "Yunita tidak menolehkan kepalanya dan fokus pada kertas yang ada di hadapannya. Dia menjawab, "Sebenarnya gak ada ritual penyambutan, cuma Erina pengen mengamati kamu, jadi aku buat seolah-olah ini ritual penyambutan. Gimana Erina kamu sudah puas? Apa aku perlu melakukan ramalan lainnya?" Erina membuka tangannya yang disilangkan lalu berkata, "Sudah makasih Yun, kamu gak usah melakukan apapun lagi. Aku sudah mendapatkan informasi yang kumau."

Sastra dengan hati yang tertipu bertanya, "Jadi klub ini menipu orang?" Erina tertawa lalu menjawab, "Enggak lah, justru sebaliknya kita membantu orang. Kita ini cuma ngetes doang anggap aja prank, jangan dimasukin hati, Sas. Kamu juga jangan sampai takut sama kita ya." 

"Oke, sekarang aku harus ngapain?"

Yunita berkata sambil menulis sesuatu di kertas, "Erina yang akan menjelaskan semuanya, maaf aku harus ngurusi surat-surat sama berkas." Dengan begitu, Erina mulai menjelaskan, "Jadi, sebelum kamu mendapatkan pin ini kamu harus melakukan misi dari proker Happy Helpers. Kamu juga harus membayar uang masuk terus uang kas per minggu. Kita biasanya ada kegiatan di hari rabu, tapi aslinya bisa setiap hari kamu ke sini asalkan kamu anggotanya dan ruangannya gak dikunci, kamu boleh aja nongkrong di sini. Tapi gak kusarankan sih, kita di sini aja kepanasan dan harus membuka jendela, kita juga udah meminta ac ke sekolah, tapi belum dikasih. Katanya belum ada dana, emang ngeselin." 

Happy Helpers? Nama proker macam apa itu? Kocak emang, kukira babu sekolah cuma OSIS ternyata masih ada satu lagi dan sama melaratnya. Tapi, aku harus tau keuntungan apa yang bisa kudapatkan di sini, gak mungkin aku sembarangan masuk klub…

Kemudian Sastra bertanya, "Terus apa keuntungannya di sini?" "Jujur, keuntungannya cuma kamu dapat ruangan, dekat dengan guru, bisa dapet banyak informasi dari sesama anggota, dipandang anak berprestasi dan bisa dapet banyak kenalan. Lagipula ini cuma klub kecil, bahkan kita pakai kipas angin dan ruangannya berada di atas kamar mandi. Astagfirullah, harusnya aku bersyukur dapet ruang klub sendiri."

Sastra mengangguk sambil tersenyum lalu melihat HPnya yang jamnya menunjukkan pukul 16.26 sore. Sebentar lagi dia harus pulang sebelum jam 5. Karena setelah jam 5 gerbang akan ditutup. Erina berkata lagi, "Oh ya, peranku di sini itu sebagai psychiatrist makannya aku mengamati kamu tadi. Maaf kalau itu buat kamu marah, kalau kamu mau membicarakan sesuatu bisa ke BK, siapa tau ketemu aku." Setelah itu Sastra bertanya, "Jadi misi yang kalian bicarakan ini kayak gimana?" 

Erina sontak melihat ke arah Yunita, "Yun, gimana dia dapet misi apaan?" Yunita menjawab tanpa melihatnya, "Sekarang masih belum ada misi apa-apa, biasanya ada kalau ada anak atau guru atau siapapun itu yang dateng minta tolong sesuatu, baru kita dapet misi. Tunggu minggu depan, oh ya jangan lupa masukkan nomornya Sastra ke dalam grup." "Siap," kata Erina. Dengan penasaran Sastra bertanya, "Aku mau bertanya lagi, ada berapa ya anggota klub ini?" Erina menjawab dengan simpel, "6 ketambahan kamu jadi 7, banyak yang keluar dari klub, soalnya udah naik kelas 12."

"Oh ya, berapa uang kas per minggu yang perlu dibayarkan?" tanya Sastra. Erina menjawab, "Lima ribu per minggu, kamu bisa bayarnya pas udah jadi anggota resmi." Namun, Sastra tidak ingin mendapat beban pikiran tentang uang kas lagi, dia membuka tas selempang yang ada di sampingnya. Lalu dia mengambil dompet dan mengeluarkan 2 uang berwarna merah. Sebelum mengeluarkan uang itu Sastra sudah mengkalkulasikan berapa uang kas yang perlu ia bayarkan dalam 1 semester, tetapi dia memilih untuk membayarkan lebih. Sambil memberikan uang itu pada Erina dia berkata, "Ini uangnya kak, aku bayar sekarang aja sekaligus buat satu semester, gak perlu kembalian sesanya buat tambahan kas aja." 

Setelah membayarkan uang kasnya selama 1 semester Sastra berpamitan dan meninggalkan ruang klub itu. Dia berjalan keluar dengan keadaan yang masih agak bingung. Dia pun membatin, Klub Arcana, ramalan menggunakan kartu tarot, misi sebelum mendapatkan pin, membantu orang dan ramalan kalau ada hal buruk terjadi di masa depan. Sebenarnya apa yang terjadi hari ini. Oh ya, hari ini kelihatannya Isabel lebih baikan dia juga udah banyak bercanda sama temannya. Baguslah, kasian masa seharian kemarin dia murung terus, sebenarnya luka di kepalanya kenapa ya?

Ketika dia lewat di depan ruang musik ada orang yang memanggilnya. "Oy, Sas tunggu dulu, tungguin aku!" Suara itu sangat Sastra kenali, tidak salah lagi itu adalah Martin. Dia keluar dari ruang musik sambil berlari. "Kamu kenapa pulang telat hari ini? harusnya KIR kan hari senin ini hari rabu," tanya Martin. Sastra tidak punya niatan untuk berbohong sehingga dia katakan yang sebenarnya, "Aku habis dari kegiatan klub, klub Arcana kalau kamu penasaran."

Keduanya mulai berjalan bersama, tetapi dari dalam ruang musik keluar seorang gadis yang juga berjalan mengikuti mereka. "Klub Arcana, apa itu?" tanya gadis itu. "Ah Cecil, jangan ngagetin kita gitu dong, kamu kan bisa nyapa dulu atau apalah." Sastra dapat melihat kedekatan antara Martin dan Cecil, meski Martin tampak tidak terlalu suka dengan Cecil. Keduanya tampak seperti duo yang jenaka. Jika dibandingkan dengan Lily-Lulu mereka masih lebih kalem daripada Martin-Cecil. 

Lalu Sastra menjawab, "Aku juga kurang tau tentang klub ini, aku baru gabung dari undangan mereka. Kayaknya emang klub yang tersembunyi." Martin menceletuk, "Jangan-jangan sekte itu, namanya aja Arcana kayak nama perdukunan dari eropa. Apa mereka mempraktekkan tumbal atau santet atau pelet atau, atau…"

"Atau judi" teriak Cecil. "Goblok, gak ada hubunganya judi sama hal magis." Martin memukul kepala Cecil dengan main-main yang membuatnya diam. Dia diam selama 2 detik sebelum berkata, "Ada kan, biasanya kalau judi uangnya bisa ilang dalam semalem atau malah muncul buanyak. Itu kan magis, ih serem." Mereka terus mengoceh seperti itu sampai di pintu gerbang. Telinga Sastra sampai panas mendengarkan obrolan mereka. Jika dia diajak ngobrol dia hanya menjawab dengan jawaban singkat. Untungnya, Sastra memarkirkan sepeda listriknya di parkiran guru, jadi dia bisa kabur dari mereka.