Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 12 - Klub Arcana

Chapter 12 - Klub Arcana

Si pesulap dan para asistennya tidak sempat merayakan keberhasilan mereka karena banyak sekali properti sulap yang harus dirapikan dan dikembalikan. Mereka menjadi kelelahan dan setelah selesai dengan semua properti, mereka langsung pulang ke rumah masing-masing. 

Sastra yang baru saja sampai di rumah langsung mandi sore. Dia masuk ke kamar mandi ketika masih mengenakan kemeja putih dan celana cokelatnya. Dia pikir akan membutuhkan baju ganti yang cocok untuk di rumah. Oleh karena itu, dia membawa kaos putih dan celana training abu-abu. Sastra memutar keran air lalu aliran air keluar dengan deras jatuh ke lantai. Dia memutar tuas di atas keran itu yang mengubah aliran airnya menjadi shower. Setelah melepas semua pakaiannya dia masuk ke dalam pancuran air yang dingin itu. Sambil membersihkan tubuhnya dia berpikir. 

Pertunjukan hari ini berakhir dengan sukses. Setidaknya aku perlu merayakannya, tapi kayaknya gak ada yang peduli. Lily dan Lulu terlalu fokus pada diri mereka sendiri, kalau gitu sisa aku dan Isabel aja. Oh ya, aku belum menanyakan imbalan apa yang Isabel mau. Dia juga belum ngasih tau aku, apa aku gak perlu mengingatkannya ya, biar terlupakan aja biar aku gak mengeluarkan uang lagi. Gak bisa, aku gak bisa mencurangi temanku yang sudah membantu secara relawan, kalau mereka yang gak ada hubungannya denganku bisa saja kucurangi. Tapi aku merasakan sesuatu setelah kejadian hari ini, aku baru tau kalau Isabel peduli padaku. Sudahlah, aku harus segera selesaikan mandiku lalu ngechat Isabel tanya mau apa dia?

Dia mematikan aliran airnya lalu mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Setelah itu dia mengenakan pakaian rumahnya dan keluar dari kamar mandi. Sastra melihat ke jam dinding di ruang tamu. Jam itu menunjukkan pukul 4.56 sore. 

Sastra melakukan kegiatan rutinnya, yaitu makan malam bersama di meja makan, solat Magrib dan Isya, baru setelah menyelesaikan semua itu dia bisa bersantai di kamarnya. Sebentar saja dia berbaring di kasur sudah membuatnya merasa sangat mengantuk. Dia berusaha untuk duduk di tepi kasurnya melawan rasa kantuk itu. Setelah itu dia meraih HPnya dan mengetikkan pesan untuk Isabel, "Hey Isabel kamu masih capek kan habis penampilan hari ini? Aku cuma mau tanya permintaanmu apa sebagai ganti sudah bantuin jadi asistenku." Sayangnya, malam itu Isabel tidak menjawab pesannya. Selama apapun Sastra menunggu tetap tidak ada jawaban dari Isabel. Hingga akhirnya Sastra memutuskan untuk tidur, bahkan dia masih memikirkan Isabel dalam mimpinya. 

Pada pukul 04:43 pagi, Sastra terbangunkan oleh alarmnya yang sangat nyaring. Sastra langsung bangun dan bersiap untuk sekolah. Tidak lupa mandi, solat Subuh dan sarapan. Untuk bekal makan siang Sastra membawa roti isi keju atau isi daging tergantung apa yang dimasak hari itu. Setelah itu dia berangkat dengan sepeda listriknya yang berwarna biru pada pukul 06.15 ketika matahari sudah agak tinggi. 

Ketika sampai di kelas Sastra duduk di bangku belakang pinggir jendela yang terhubung ke koridor di depan kelas. Itu adalah bangku favoritnya karena bebas dari gangguan guru yang menunjuk anak-anak secara acak dan tempat yang cocok baginya untuk mengobservasi kelas. Kala itu teman sebangkunya adalah Martin. 

"Pagi Sas, gimana kamu pasti bisa tidur dengan nyenyak kan tadi malem? Pastilah kemaren kan penampilanmu sukses banget, banyak yang ngevideoin loh mau liat gak?" Anak yang gondrong itu meletakkan tasnya lalu mengoceh bagaikan burung kenari. Sastra tidak bisa menikmati paginya dengan tenang. Ditambah meja kayu yang membatasi pergerakan kaki sehingga susah jika mau melipat kaki. 

Sastra tersenyum dan menjawab, "Ah, gak usah aku malu liat videoku sendiri." "Oke deh, padahal bagus, loh. Banyak yang suka juga mulai dari kelas 10 sampai 12, terkenal kamu Sas," jawab Martin. Sastra hanya menganggukkan kepalanya karena dia sudah tau kalau hal seperti itu akan terjadi. Untungnya tidak lama kemudian Martin turun ke bawah untuk doa pagi di aula bersama anak nonis lainnya. Anehnya Sastra tidak melihat Isabel sejak tadi pagi, kursinya juga masih kosong tanpa ada tas di atasnya. 

Lalu setelah 5 menit berlalu, Isabel akhirnya masuk ke dalam kelas dengan wajah yang agak murung. Dia salim dulu pada guru olahraga yang duduk di depan lalu meletakkan tasnya dan turun lagi ke aula. Setelah waktu literasi berakhir dan semua anggota kelas berkumpul guru olahraga itu langsung berdiri dan menjelaskan sesuatu. Intinya minggu depan mereka akan mengadakan lari estafet dan hari ini mereka diperintahkan untuk mempelajari kepanitiaan dari lari estafet. Selagi semua anak di kelas mempelajari tentang lari estafet guru olahraga itu menuliskan nama-nama anak yang akan dibentuk kelompok sebanyak 3 anak per kelompok. 

Dalam kebisingan kelas yang seperti sarang lebah, Sastra memandangi ke arah Isabel berharap bisa berbicara padanya. Lalu dia melihat ke layar HPnya yang ada balasan pesan dari Isabel. Katanya, "Maaf baru jawab, aku kemarin kecapean jadi sekarang agak kurang enak badan. Kalau menurutku, kamu gak perlu repot mikirkan apa yang aku mau, yang simpel aja mungkin bisa beli sesuatu yang ada di deket sini." Sastra menjawab, "Yaudah nanti kamu istirahat dulu. Gausah ikut olahraga mungkin kamu bisa sambil mikirin mau ke mana atau mau beli apa?"

Setelah pesan itu terkirim Sastra mendengar Martin berbicara padanya, sontak dia langsung mematikan HPnya. "Sas, list anggota kelompoknya sudah ada nih. Lah, kita sekelompok dong bertiga sama Isabel juga. Anjay, aku sekelompok sama Isabel." Obsesi Martin terhadap Isabel sangat nampak seperti sudah tertulis di wajahnya. Hingga membuatnya melakukan banyak hal baik pada Isabel. Menurut Sastra itu adalah hal baik karena tidak ada pihak yang dirugikan dan Isabel akan merasa terbantu. Di sisi lain Sastra merasa agak cemburu yang anehnya perasaan ini baru baru-baru ini.

Kenapa aku harus satu kelompok sama anak ini, dia selalu merusak suasana dan selalu aktif. Meski semua yang dia lakukan itu baik, tapi banyak anak yang merasa terganggu. Salah satu penyebabnya juga karena dia terlalu caper.

Setelah 1 jam pelajaran di kelas akhirnya mereka diperintahkan untuk olahraga di lapangan. Banyak anak yang memakai baju atau celana training bebas karena masih belum mendapatkan seragam olahraga sekolah. Anak-anak membentuk lingkaran dengan 1 orang di tengah memimpin pemanasan. Setelah itu mereka melakukan praktek mencoba berlari dengan tongkat dan anak-anak yang ditunjuk menjadi panitia mempelajari tentang lari estafet. 

Lalu ketika waktunya bermain bebas, Sastra berjalan mendekati Isabel yang sedang duduk di pinggir lapangan. "Kamu masih merasa gak enak badan?" tanya Sastra. Isabel mengangguk dan menjawab, "Iya, dari kemarin pas pulang aku sudah gak enak badan, tapi pas bangun tadi pagi masih sama aja." Mendengar itu Sastra mengulurkan tangannya lalu menyentuh dahi Isabel. Tangannya menyapu ke atas poni Isabel tak disangka Sastra menemukan bekas luka goresan dan memar di sekitarnya. Tangan kiri Isabel langsung menangkap tangan Sastra dan mendorongnya dengan lembut. Sastra bertanya, "Kamu habis jatuh kah, atau pas trik kemarin kepalamu tergores? Soalnya ada luka di dahimu." "Itu bukan apa apa, mungkin hanya kebentur tembok pas aku tidur," kata Isabel. Sastra menolak untuk percaya pada Isabel, tetapi untuk saat ini dia tetap diam.

Bel berbunyi mengakhiri pelajaran di hari itu. Kerumunan anak keluar dari kelas mereka berbondong-bondong pulang membawa tas mereka. Suasana yang ramai dan hidup seakan waktu berhenti untuk bisa dinikmati. Sastra yang berjalan keluar dari kelasnya berhenti lalu duduk di bangku taman. Untuk sejenak sebelum pulang dia ingin beristirahat dan merilekskan pikirannya di bangku favoritnya. Hari itu dia mendapatkan banyak pujian entah dari teman atau anak kelas lain yang tidak ia kenal. Semua itu dikarenakan pertunjukannya yang sukses kemarin. Dia juga kadang bisa merasakan tatapan yang agak berbeda dari orang-orang di sekitarnya. Entah kenapa mereka tampak seperti mengaguminya.

Dia mengeluarkan HPnya lalu melihat ke icon jam yang menunjukkan pukul 15.12 sore. Kelasnya selesai pada pukul 15.00 dan dia baru keluar 5 menit setelahnya. Sastra berencana untuk duduk di sana maksimal sampai pukul 15.30 sore. Setelah selesai melihat jam dia menekan aplikasi yang memiliki icon buku. Sekarang dia mulai membaca buku yang sempat ia tunda baca karena ada latihan untuk pertunjukan sulap kemarin. Buku yang ia baca adalah The Idiot dari Fyodor Fyodor Dostoyevsky.

Habis aku berhasil melakukan pertunjukan sulapku kemarin aku masih merasa masih kosong. Bukan kosong karena kosong, tapi yang kurasakan lebih ke kayak kosong secara spiritual. Rasa puas dan senang yang kemarin kurasakan seperti sirna begitu saja. Mungkin aku kesepian dan tidak benar-benar punya seseorang yang aku kasihi. Tapi setiap kali aku deket sama Isabel, aku bisa merasa tenang dan tentram. Kayak dia memenuhi hatiku yang kosong, mungkin dialah orang yang bisa membuatku bahagia...

Sastra terlelap dalam renungannya sehingga tiada tulisan dari buku di HPnya yang masuk ke dalam kepalanya. Saat dia melamun dunia seakan melambat dan sekelilingnya terasa berlalu tanpa dirinya. Dia meletakkan telunjuknya di bawah dagu sambil menatap kosong di antara ujung sepatunya. 

Tiba-tiba, ada seseorang yang datang menghampirinya. Orang itu berdiri di hadapan Sastra tanpa dia sadari. "Permisi, kamu Sastra bukan?" ucap orang itu. Kesadaran Sastra seakan kembali lagi, lalu dia menatap pada orang yang berdiri di hadapannya. Orang itu mengenakan cardigan hitam di atas seragam putih abu-abu. Rambutnya lurus berwarna hitam panjang. Dia juga mengenakan kacamata kotak dengan wajah yang datar. Penampilannya membawa kesan gothik dengan aura yang dingin. Setelah Sastra menjawab, "Iya itu aku." Orang itu melanjutkan, "Namaku Yunita Sheiloveni dari kelas sebelas, langsung ke intinya aja sebagai ketua klub Arcana mau mengundangmu buat masuk dan menjadi anggota klub kami."

Arcana what? Aku baru tau ada ekstra seperti itu. Gak kusangka ada ekstrakulikuler yang mempelajari sulap, tunggu kayaknya gak gitu deh, aku juga belum tau ini ekskul apa? 

Seperti bisa membaca pikiran Sastra Yunita berkata, "Aku tau kamu gak akan percaya dan bingung ini klub apa? Jadi, akan kujelaskan. Kepala sekolah yang sebelumnya menjabat adalah orang yang meresmikan klub ini atas usulan anak-anak yang mendirikannya. Pertama, klub ini fungsinya untuk meraih prestasi sebanyak-banyaknya, banyak anggota klub ini yang diikutkan perlombaan dalam akademik atau non akademik. Setelah itu banyak anak dari ekstrakulikuler yang berbeda-beda masuk ke dalam klub ini. Mereka semua memiliki kesamaan yaitu kemampuan mereka yang berhubungan dengan hal magis. Sampai saat ini, setelah kepala sekolahnya ganti dan nomor sekolahnya diganti, klub ini masih berdiri karena klub ini yang menyumbang paling banyak prestasi sampai sekolah ini menjadi sekolah unggulan. Hanya saja anggotanya tidak bisa sembarang orang, biasanya hanya bisa masuk melalui undangan atau rekomendasi. Itu juga harus melalui tes khusus."

"Dan kenapa saya diundang ya kak?" tanya Sastra dengan wajah bingung. Yunita menjawab, "Sudah jelas kamu berbakat dalam sulap, jadi kamu mendapatkan undangan khusus yang tidak perlu melakukan tes tulis atau apapun. Langsung bisa masuk, hanya perlu tanda tangan saja." Setelah itu Yunita mengeluarkan kertas dari tasnya lalu memberikannya pada Sastra untuk dibaca. Sekilas kertas itu tampak seperti kontrak yang berisikan banyak teks. Sastra mengerutkan keningnya sambil membaca kertas itu. Setelah selesai membacanya dia bertanya, "Setelah ikut ke dalam klub ini kita gak bisa keluar lagi?" 

"Tentu bisa, lagian ini bukan pemaksaan kamu sudah baca di kertasnya kan?" Yunita kemudian mengambil lagi kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu dia berkata, "Kamu gak perlu menjawabnya sekarang. Temui aku besok di kelas XI.A, itu kelasku." Dia menunjuk ke kelas yang berada di belakangnya supaya Sastra tau yang mana kelasnya.

Lalu Yunita menunjuk lagi ke arah collar chain pin yang berada di kerahnya. Pin itu berbentuk bintang dengan 8 sudut. Bagian atas pin itu tembus pandang dengan warna kuning yang cemerlang dan memiliki 4 sudut. Lalu di bawahnya 4 sudut sisanya berwarna merah berkilau. Pin itu tampak seperti ukiran batu permata yang dipoles menjadi bentuk bintang, dengan rantai emas yang menghubungkan kedua pin yang menempel di kerahnya. Yunita berkata, "Ini adalah pin yang dikenakan oleh anggota klub Arcana jadi jika kamu melihat orang memakai ini berarti mereka adalah anggota klub." "Kalau gitu, kutunggu jawabannya besok ya, Sastra," katanya sambil berjalan pergi. 

Sastra duduk di bangku taman itu sambil memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah tau tentang klub ini yang kelihatannya tidak terlalu terkenal dan tersembunyi. Dia tidak ada niatan untuk masuk menjadi anggota klub itu. Namun, jika memang penampilannya kemarin dapat membuka jendela untuk kesempatan baru dan pengalaman baru mungkin dia akan ikut. Lagipula dia akan diterima tanpa adanya tes dan klub ini juga dipandang tinggi oleh sekolah. 

Dia melihat lagi jam yang ada di HPnya. Jam itu menunjukkan pukul 15.35 sore, berarti Sastra harus segera pulang. Dia berjalan ke parkiran guru di samping masjid lalu mengendarai sepeda listriknya menuju rumah.