Setelah Isabel dan kakaknya pergi, Sastra berjalan ke parkiran guru kemudian mengambil sepeda listrikya. Seperti hari hari biasanya Sastra pulang melewati jalan yang sama, bedanya kali ini lebih awal. Sudah beberapa hari sejak ibu tirinya menjenguk saudarnya yang sakit. Seharusnya dalam beberapa hari ini ibu tirinya akan pulang.
Saat Sastra sampai di depan rumahnya dia bertemu dengan ayahnya yang sedang berada di kebun. Pintu pagar juga sudah terbuka dengan mobil yang terparkir di garasi. Sastra tinggal masuk lalu parkir di samping mobil itu tanpa perlu membuka pagar.
Saat Sastra turun dari sepedanya Novel memanggilnya, "Sastra, sini!" Mendengar itu Sastra menghampiri ayahnya yang sedang jongkok di taman. Dia memegangi gunting rumput yang cukup besar serta sekop yang tergeletak di tanah. Sambil mengusap keringatnya, Novel berkata, "Hei boy, ambilkan aku pupuk di lantai 2 di gudang, 1 karung aja. Jangan lupa ganti baju dulu habis ini gantian kamu yang ngerjakan sisanya."
Hah, kenapa aku yang disuruh motong rumputnya dan ngasih pupuk? Aku baru pulang dan aku cape lagi. Aku gak bisa, gak bisa ini harus kutolak.
"Pa, kenapa gak nyuruh tukang kebun yang biasanya bersih-besih di sini? Ini semua kan tugasnya buat merawat tanaman di kebun," keluh Sastra. Tanpa memikirkan ucapan Sastra Novel bangkit sambil berkata, "Tukang kebunnya sedang liburan tadi kusuruh pulang kasian dia kerja terus. Kamu itu laki-laki butuh olahraga minimal kayak gini, bahkan ini aja belum cukup. Papamu ini dulu setiap pulang sekolah lari keliling kompleks 2 kali. Setelah itu latihan otot juga, dulu mah gak ada yang namanya gym jadi semuanya harus natural tanpa alat bantu." Dia menghela napas lalu menjawab, "Yasudah, kuambilkan pupuknya di atas." Sastra tidak kuat mendengarkan ceramah ayahnya dan beranjak masuk rumah. Tidak lupa melepas sepatunya dulu seperti biasa.
Sialan, kalau dia sudah ceramah itu bisa sampai subuh belum kelar. Pernah ada teman kerjanya bertamu di sini mereka baru pulang di jam 1 malam dan mereka itu masih ketawa-ketiwi pas pulang. Bayangkan jika teman-temannya tidak pulang…
Sesampainya di kamar dia segera mengganti bajunya ke baju rumah dengan kaos dan celana training. Setelah itu dia menuju gudang di lantai dua. Di dalam gudang itu terdapat berbagai macam barang, mulai dari alat memancing, stick golf, koper, kardus-kardus berisikan entah apa, bahkan ada sepeda yang menempel di dinding. Sastra tidak ambil pusing dan langsung mengambil 1 karung pupuk yang ia butuhkan. Karung itu tidak begitu besar sehingga memungkinkannya untuk memeluk karungnya. Setelah mematikan lampu gudang dan menutup pintunya Sastra membawa karungnya ke bawah dengan cara dipeluk. Bella pelayannya yang melihat Sastra membawa barang seberat itu menawarkan bantuan, "Kak, biar saya bantu itu kelihatannya berat banget." "Ah enggak, ini ringan kok lagipula aku ini cowok, jadi seharusnya aku yang melakukan hal yang berat-berat," jawabnya sambil kesusahan berjalan. Bella pun hanya bisa melihat Sastra membawa karung itu tanpa membantunya.
"Ah akhirnya kamu datang, kutunggu dari tadi." Novel berjalan ke arah Sastra kemudian menerima karungnya dan meletakkannya di tanah. Sambil melepas sarung tangannya Novel berkata, "Sekarang kamu yang gantian merapikan kebunnya, bagianku sudah selesai. Ini pakai sarung tangannya biar bersih." Sastra mengambil sarung tangan itu lalu mengenakannya. Novel yang sudah lelah dan lututnya sakit karena berjongkok terus, duduk di lantai di depan pintu masuk. Dia meletakkan kedua tangannya di lantai belakangnya sambil meluruskan kakinya.
Bella datang dari dalam rumah sambil membawakan kopi. Ia letakkan kopinya di samping Novel sambil berkata, "Ini pak, kopinya." Novel yang sibuk memperhatikan Sastra langsung menoleh ke arah bella. "Ah, makasih banyak, akhirnya ini dia kopi hitam," katanya sambil memegang piring dan gelas kopinya. Dia menunjukkan senyuman yang meringis kemudian sedikit demi sedikit dia menyeruput kopinya. Setelah itu ia letakkan lagi kopinya, menunggu ampasnya turun sambil menonton Sastra.
Sastra yang sudah menggunakan sarung tangannya mulai memotong daun-daun yang perlu dipotong. Sastra sendiri tidak tau daun mana yang harus dipotong jadi dia hanya memotong daun yang tidak enak dipandang. Hingga Novel berkata, "Hey, salah kamu jangan potong yang itu. Itu daunnya masih baru." Sastra berulang kali dimarahi, namun dia tetap bersabar karena dia ingin menunjukkan bahwa dia seolah-olah adalah anak yang berbakti. Setelah memotong rumputnya Sastra mulai memupuk setiap tanaman di kebunnya. Kebunnya hanya ada di depan rumah jadi dia tidak perlu repot-repot.
Entah dari mana tiba-tiba ayahnya mulai ceramah, "Sastra, aku tau kamu capek pulang sekolah, tapi aku suruh kamu lakukan ini agar ibumu bisa senang ketika melihat kebun yang sudah rapi dan indah. Nanti aku akan bilang bahwa kamu yang merawatnya, ibumu pasti akan senang. Baru beberapa hari ibumu pergi, tapi rasanya sangat lama sekali." Setelah mengatakan kalimat terakhir itu Novel melihat jam tangannya. Keringat mulai muncul di dahinya semakin lama ia perhatikan jam itu.
Lalu Sastra bertanya, "Pa, aku mau tanya," Novel menjawab, "Apa itu?" "Sebenarnya apa itu Chronophobia? Kudengar ayah mengidapnya, tapi belum pernah ngasih keterangan." tanya Sastra tanpa menoleh ke belakang. Novel mengerutkan keningnya lalu berkata, "Karena kamu penasaran akan kukatakan aja, Chronophobia adalah rasa takut terhadap berjalannya waktu. Yang papa rasakan sih rasa takut kalau harus menunggu, seperti kalau kamu berada di rumah sakit kamu akan merasa terkurung dan tidak bisa keluar dari sana kamu hanya bisa menunggu dokter mengizinkanmu untuk keluar. Nah, selama menunggu itulah kamu akan merasakan ketakutan kayak waktu rasanya berjalan sangat lambat. Kadanga juga takut kalau waktu rasanya berlalu dengan cepat dan kalau waktu rasanya gak menentu. Penyebabnya bisa genetik atau karena ada trauma dari masa lalu. Jujur papamu ini takut selama menunggu ibumu yang belum pulang."
"Memang separah itu?" tanya Sastra. Lalu Novel menyeruput kopinya sambil menjawab, "Ya begitula, yang papa tau belum ada anak papa yang mengidapnya. Syukurlah karena aku ingin kalian semua tumbuh dan punya kehidupan yang bahagia." Mendengar itu Sastra tau apa yang dimaksud tapi tetap bertanya lagi, "Pa, trauma apa yang membuat papa sampai punya Chronophobia?" Novel mendengar itu tidak menghentikan seruputannya. Baru setelah dia menelan kopinya dia menjawab dengan suram, "Aku gak mau membicarakannya." Meski Novel berkata demikian, Sastra bisa menebak penyebab penyakit ini karena tidak hanya ayahnya saja yang kehilangannya.
Baru saja Novel mengatakan itu tiba-tiba ada mobil Grab yang berhenti di depan rumah. "Halo aku pulang!" Wanita itu langsung keluar dari mobil sambil jalan cepat. Novel tidak kalah semangatnya, dia letakkan kopinya dan berlari sambil berkata, "Endah, akhirnya kamu sudah pulang." Keduanya berpelukan dengan erat lalu Endah berkata, "Hmm aku cape banget pah, sampe harus nginep di rumah sakit semaleman. Untung ada keponakanku yang gantiin." "Gak papa yang penting kamu sudah pulang sekarang, kamu bisa istirahat," ungkap Novel.
Apa ini? Aku kayak sedang menonton sinetron atau adegan di buku-buku fiksi. Gak ada hal seperti ini di dunia nyata. Nyatanya kejadian ini terjadi di depan mataku dan itu orang tuaku sendiri, bukan cuma satu yang asli yang satunya lagi bukan ortuku.
Setelah sambutan yang hangat itu Novel menunjuk ke Sastra yang sedang jongkok dengan sekop di tangannya sambil berkata, "Lihat ini sayang, anak kita sangat rajin sampai dia merawat semua kebunnya sendiri." Bukannya senang melihat anaknya rajin berkebun ibu tirinya malah memukul Novel dengan tas Chanelnya. "Hey kamu gimana sih anak kita kok disuruh berkebun, perasaan sudah nyewa tukang kebun. Mana dia sekarang, hah?"
Endah tidak hanya marah, tetapi dia juga murka. Sambil melindungi kepalanya Novel berusaha menjelaskan, "Bukan begitu ini buat kamu terkesan anak kita rajin gitu loh, gak hanya main game 24 jam di kamarnya. Makannya aku menyuruh pulang tukang kebunnya." Endah malah semakin marah, "Kamu suruh pulang tukang kebunnya terus kita gaji dia buat apa, buat dia judi gitu? Udah Sastra kamu selesai berkebunnya biar tukang kebunnya aja besok. Bella, bawa masuk koperku! Biar kumarahi bapakmu ini aku bukannya bisa istirahat malah dapet kerjaan lagi." Endah menyeret Novel masuk ke dalam rumah dan meninggalkan kopernya yang segera dibawa masuk ke dalam oleh Bella.
Ah semua ini sudah berakhir, kukira akan ada kiamat tadi. Ternyata ibu tiriku masih punya banyak energi habis pulang. Mampus, akhirnya dia kena karma, lagian ngapain nyuruh berkebun segala. Aku sama sekali tidak cocok buat berkebun.
Sastra berdiri dengan kesusahan dan punggung yang sakit. Butuh beberapa momen sebelum akhirnya punggungnya bisa terasa normal lagi. Sekarang kakinya yang kesemutan karena terlalu lama berjongkok. Dalam hatinya Sastra masih terus mengumpat. Setelah melepas kedua sarung tangannya dan merapikan peralatan berkebun dan menaruhnya di pinggir pintu. Kemudian dia masuk ke dalam rumah dengan kaki yang agak pincang.
Sastra kembali ke kamarnya untuk beristirahat, lalu dia makan malam, solat magrib, solat isya dan kembali lagi ke kamarnya. Sastra akhirnya bisa bersantai untuk malam itu. Dia menyalakan HPnya dan melihat ke notifikasi di HPnya. Ternyata tidak ada notifikasi apapun selain pembicaraan di grup WA atau di Discord. Dia jadi merasa sedikit kesepian. Lalu Sastra mengingat Isabel yang tingkahnya aneh tadi saat pulang. Dia mengirimkan pesan simpel padanya, "P." Lalu dilanjutkan dengan, "Isabel aku mau tanya tentang tadi yang pas di gerbang. Kenapa kamu langsung berubah pas ada kakakmu? Kamu takut kah kalau kita dianggap pacaran? Tapi kita kan cuma temen aja, jadi kasih tau kakakmu itu." Tidak ada jawaban untuk beberapa menit. Sambil menunggu Sastra menulis buku diarynya tentang kejadian hari ini. Setelah menulis 1 paragraf Sastra mendengar suara notifikasi dari HPnya.
"Hai, tadi gak ada masalah apa-apa kok cuma takut aja gitu. Nanti dikira kita ada apa-apa kayak yang kamu bilang barusan," ketik Isabel. Sastra menaruh pensilnya lalu membalas, "Masa kamu takut sampai berubah jadi kayak diem aja gitu?"
"Iya, mau bagaimana lagi kan ada kakakku."
"Trus gimana kata kakakmu?"
"Gimana ya, cuma nanya siapa kamu gitu sih. Aku jawabnya ya temen doang."
"Emang kita temenan?"
"Iya, kamu pikir kita ini apa?"
"Apa ya, gak tau aku soalnya selama ini kamu kayak kasar gitu ke aku. Jadi aku pikir kamu benci sama aku."
"Kalau aku benci ga mungkin aku jawab chatmu. Pas malem-malem lagi, aku ini sibuk."
"Emang sibuk apa?"
"Gambar biasanya kalau gak aku melukis. Tapi tunggu ada sketsanya dulu baru bisa."
"Boleh liat gak?"
"Ok, ini lukisanku pemandangan kota malang dari atas bukit." Isabel mengirimkan foto dari salah satu lukisannya di kanvas. Ukuran kanvas yang digunakan adalah 35 x 45 cm. Sastra memandangi foto dari lukisan kota malang itu dengan seksama. Dia dapat merasakan sesuatu yang nostalgia dari foto itu.
"Kamu lukis di sana atau ini dari memorimu langsung, Isabel?"
"Kayak yang aku bilang tadi aku gambar sketsa dulu baru aku lukis. Biasanya aku juga mengambil foto di HP dulu supaya tidak lupa dengan warna dan detailnya."
"Anjay, lama-lama kamu bisa jadi kayak Picasso."
"Apaan sih, btw kamu lagi ngapain sekarang?"
"Aku lagi chat sama Isabel, kenapa? Mau ngomong sama anaknya, kah?"
"Bukan itu, yang kamu lakukan selain chat sama aku."
"Oh, aku lagi nulis diary supaya tidak lupa apa yang kulakukan hari ini."
"Kenapa emangnya? Kamu merasa hari ini spesial?"
"Enggak, karena aku pelupa kalau gak kutulis nanti hilang aja sudah tidak bisa diingat lagi."
"Sas, ayo VC…"
"Ayo aja," ketik Sastra sambil menunggu panggilan suara dari Isabel. Lalu Isabel menuliskan pesan, "Kamu aja yang telpon duluan." Sastra menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menekan tombol call.
Tuut… tuut…
Setelah beberapa lama HPnya berbunyi akhirnya Isabel mengangkat, "Halo, ehem halo Sas gimana kita mau ngomong apa ini?" Sastra memasang earphone bluetoothnya lalu berjalan ke kasur untuk berbaring. Isabel juga mematikan lampu kamarnya supaya dikira sudah tidur. Sambil menatap atap Sastra menjawab, "Jujur gatau aku kan nuruti kamu. Kamu yang ngajak telpon harusnya tau mau ngomong apa." Isabel berada di dalam kegelapan dengan satu-satunya sumber cahaya adalah HPnya. Wajahnya bersinar sambil memikirkan jawaban dia merapat ke sisi tembok kasur lalu memeluk lututnya. Dia berkata, "Aku masih penasaran sama mantanmu Sas, coba ceritain ke aku."
Sial ini dia, aku sekarang merasa kayak di ujung tombak. Kalau di game adegan ini biasanya diberi dua opsi jawaban. Sama aja aku juga memiliki opsi, tapi yang ini berada di dalam otakku. Aku bisa terus berbohong bilang kalau aku punya 3 mantan atau aku bisa jujur dan bilang kalau aku gak pernah pacaran. Hmm, mending jujur aja gak sih, biar gak usah pusing ngarang cerita.
Hingga akhirnya Sastra memutuskan untuk jujur, "Jujur, aku ga pernah punya pacar, maaf aku punya 3 mantan itu cuma bohong." Ada keheningan yang membuat kedua penelepon itu menjadi canggung. Di sisi lain setelah Isabel mendengarkan keterangan Sastra dia menjatuhkan kepalanya ke bantal di sampingnya. Dia juga memilih untuk jujur dan berkata, "Sama, aku juga bohong tentang punya 5 mantan. Sebenarnya aku belum pernah punya pacar, gak ada yang mau sama aku." "Aku tau, pasti alasannya kamu itu ngeselin, suka mukul dan ngatain orang. Gak mungkin ada laki-laki yang tahan sama kamu," kata Sastra. Mendengar itu Isabel tidak marah atau tersinggung dia malah tersenyum. Dengan suara yang melankolis dia bertanya, "Tapi kamu mau telpon sama aku, apa kamu enggak merasa kesal?"
Sastra menghela napasnya sambil berpikir. Biasanya laki-laki dalam situasi ini akan menjawab tentang betapa cantiknya perempuan yang sedang ditelepon. Tapi semua itu didasari oleh rasa cinta pada perempuan yang sedang mereka telepon. Di situasi ini Sastra masih bvelum merasakan apapun, dia merasa kosong tanpa ada rasa cinta. Namun, karena Sastra penasaran dengan bagaimana hubungan ini akan berjalan dia menjawab, "Jujur aku merasa senang kalau ngobrol sama kamu." Mereka lanjut telepon dan baru selesai pada jam 11 malam. Kemudian keduanya tidur pulas terutama Isabel yang saking senangnya terus tersenyum sampai terbawa ke dalam mimpi.