Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 6 - Harus Kuganti Dong

Chapter 6 - Harus Kuganti Dong

Di depan gerbang sekolah Sastra dan Isabel berjalan beriringan. Kemudian di depan gerbang Sastra mengingat bahwa dia tadi meminjam klip rambut Isabel dan belum menggantinya. Lalu Sastra bergerak ke depan Isabel dan berkata, "Isabel, aku tadi kan pinjam klip rambutmu, tapi sekarang sudah rusak bentuknya sudah aneh. Gimana kalau kubeliin yang baru?" Isabel berhenti dan langsung menolak, "Ah ga usah aku masih punya puluhan klip kayak gitu." "Tapi kan aku pinjam dan belum dikembalikan, setidaknya aku bisa menggantinya dengan yang lebih bagus," tuntut Sastra. Keduanya saling memaksa dan menolak sampai pada akhirnya Isabel menuruti Sastra. Dia berkata, "Yaudah cepetan kalau mau beliin aku, habis ini mau dijemput." "Ok deh," mereka pun kembali berjalan beriringan keluar gerbang sekolah. 

Di depan sekolah ada banyak anak yang belum pulang dan sedang menunggu jemputannya. Banyak dari mereka yang berdiri dan ada pula yang duduk. Di trotoar depan sekolah juga terdapat banyak sepeda motor atau mobil yang terparkir. Lalu jika belok kiri ke arah patung pesawat terdapat pedagang yang menjual aneka jajanan. Di sana ada Cimol, Batagor, Sate telur, Bakso korea dan lainnya. Saat pulang pasti banyak anak yang sampai mengantri untuk membeli dagangan mereka. 

Sastra dan Isabel berhenti di pinggir jalan, mereka melihat ke kanan dan menunggu kesempatan untuk menyeberang jalan. Setelah sampai di seberang jalan, mereka berjalan ke arah Alfamart. Namun itu bukan tujuan mereka karena mereka hanya melewatinya. "Jujur Isabel aku engga tau toko yang jual aksesoris buat cewek," ungkap Sastra. "Aku tau, kamu kalau ga tau ikut aku aja." Dengan itu Isabel berjalan mendahului Sastra lalu diikuti oleh Sastra. Sastra dapat melihat dari belakang rambut panjang Isabel yang terurai berkibar ketika tertiup angin. Ditambah tanpa adanya klip rambut yang menahan rambutnya, rambutnya menjadi lebih hidup. Setiap kali Isabel melangkah Sastra dapat melihat pinggulnya yang sedikit digoyangkan. Rambutnya yang berwarna hitam kecokelatan memantulkan cahaya matahari sore yang membuatnya terlihat berwarna cokelat gelap. Dengan seragam pramuka hari itu, Isabel terlihat seperti model yang ada di pinterest.

Aku penasaran dimana toko yang dia maksud itu. Jika dia diam saja dan tidak memintaku untuk membawa sepeda listrik berarti tempatnya pasti deket. Atau jangan-jangan toko yang dimaksud itu butik deket sekolah ya. Entahlah mari kita lihat saja.

Mereka berdua akhirnya berhenti di depan toko yang agak jauh dari sekolah. Toko itu memiliki jendela kaca untuk memamerkan gaun dan pakaian wanita lainnya. "Kita sudah sampai ayo masuk," ucap Isabel sambil menuntun Sastra masuk ke dalam. Isabel mendorong pintu masuknya yang membunyikan lonceng di atas pintu, kemudian mereka berdua masuk. Sastra memasukkan kedua tangannya ke dalam saku sambil menunggu Isabel memilih apa yang mau dia pilih. Di kanan kirinya Sastra penuh dengan pakaian dengan kain warna-warni yang mencolok serta desain yang elegan. 

Penjaga toko itu segera keluar untuk membantu Isabel memilih barang yang diinginkannya. Selagi Isabel sibuk dengan pilihannya, Sastra terpaku di depan full body mirror dan memperlihatkan refleksinya dari ujung sepatu hingga ujung rambut. Dia memiliki tubuhnya standar, tidak terlalu kurus, gendut atau berotot. Tingginya kira-kira 170 cm lebih, dia tidak tau pasti karena terakhir mengukur tingginya saat SMP. Hidungnya sedikit mancung, tetapi masih memiliki unsur pesek. Dia memiliki jawline yang kuat. Di bawah matanya terdapat beberapa flek hitam sedangkan kulit wajahnya putih dan mulus dengan beberapa jerawat. Rambutnya juga terbelah di tengah sejajar dengan hidungnya.

Hmm, tumbuh lagi jerawat di dahiku bagian kiri. Aku harus nunggu setidaknya 1 minggu biar ilang. Kalau beruntung aku gak akan menyentuhnya, tapi kenyataannya pas tidur selalu gak sengaja kugaruk.

Sambil memikirkan itu Sastra mendorong rambutnya ke atas menampakkan dahinya. Di dahinya terdapat 1 jerawat yang mengganggu pikirannya. Meskipun ada kosmetik yang berfungsi menutupinya, tetapi yang dia khawatirkan adalah jika dia tidak sengaja memecahkannya. Itu akan membekas selamanya. Dia menurunkan tangannya lalu tersenyum dengan merasa bahwa ini sudah tidak penting lagi.

"Sastra, gimana kelihatannya aku? Bagus gak?" seru Isabel yang keluar dari ruang ganti. Dia mengenakan gaun merah yang indah yang memperlihatkan bahunya yang putih. Pupil Sastra membesar, dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagumnya. Segera Sastra sadar lalu berjalan dengan cepat ke arah Isabel. Dia menarik tangan Isabel sambil berbisik di telinganya, "Kita di sini untuk beli jepit rambut, kenapa kamu malah coba gaun yang ada di sini. Cepat kembalikan." "Ugh, kamu terlalu serius Sastra, aku kan cuma nyoba aja lagipula kita gak keluar tanpa beli apa-apa. Coba liat gaun ini bagus kan?" Isabel mendorong dengan pelan Sastra lalu dia berputar. Rok gaun yang ia kenakan juga ikut berputar dan dia memajang senyuman yang sangat manis. 

Setelah membeli jepit rambut pilihan Isabel, Sastra dan Isabel keluar dari toko itu. Sebelum mereka berjalan lebih jauh Isabel menemukan bangku dan langsung duduk. Sastra yang menyadari bahwa dia hanya berjalan sendirian menoleh ke belakang dan memanggil, "Isabel ayo kita balik ke sekolah." "Enggak ah, aku masih cape. Sini loh duduk dulu sebentar." Isabel menunjuk ke kursi yang ia duduki. Kursi itu panjang jadi bisa memuat 2 orang untuk duduk di sana. 

Sastra tidak ada pilihan lain selain menuruti Isabel lagi. Mereka berdua duduk berdampingan, namun kali ini mereka merasa lebih akrab dan kurang canggung. Sastra berkata, "Isabel boleh kulihat jepit rambut yang kamu pilih." Sambil memberikan jepitnya Isabel bertanya, "Emang kenapa?" "Mau lihat aja aku apa yang kamu pilih," jawabnya. 

Di telapak tangan Sastra jepit rambut itu tampak lebih besar dari yang ia kira. Jepit rambut idu berbentuk bunga mawar putih yang sama di kedua sisinya. Terbuat dari material plastik yang berwarna emas mengkilap dan mawar putihnya terbuat dari kain yang dilipat dengan rapi. Dibutuhkan tingkat profesionalisme yang tinggi untuk dapat menghasilkan produk seperti ini. Tidak sia-sia Sastra menghabiskan uang sebanyak Rp 20.000 untuk membelikannya itu. 

"Coba kamu hadap sana sebentar," perintah Sastra. "Mau kamu pakaikan tah?" tanya Isabel. Lalu Sastra menjawab singkat, "Iya." 

Isabel membalikkan tubuhnya membelakangi Sastra dengan gugup. Sastra sedikit mendekat lalu menggunakan kedua tangannya dengan lembut mengambil helaian rambut depan Isabel yang menutupi telinganya. Dia tarik ke belakang kedua sisi rambutnya lalu ia pasang jepit rambutnya. Sastra tidak menguatkan ikatan rambutnya, melainkan membiarkan rambutnya kendur sehingga menggantung. Hasilnya adalah ponytail dengan sisa rambut panjangnya yang terurai. 

"Sudah selesai Isabel," ucap Sastra. Isabel membalikkan badannya sambil menggoyangkan sedikit rambutnya. Dia juga mengecek hasil ikatan rambutnya di refleksi kaca toko di belakangnya. Dia perhatikan dari berbagai sudut sampai ia sudah puas melihatnya. "Lumayan juga, tapi aku bisa yang lebih bagus lagi dan rapi," katanya lalu Isabel bertanya, "Kamu sudah sering melakukan ini Sastra?" "Nggak, ini pertama kalinya," jawab Sastra. Kemudian Sastra berdiri dan mengajak Isabel kembali ke sekolah.

Selama perjalanan Isabel mengeluh tentang berbagai pelajaran di sekolah terutama matematika. Meskipun gurunya sangat baik hati, tapi dia tidak mengerti apa-apa. Isabel sampai harus mencari jawaban-jawaban soalnya di brainly

Sesampainya di sekolah Isabel langsung menjadi murung lalu berjalan cepat meninggalkan Sastra yang masih berdiri di depan gerbang. Sastra berhenti lalu melihat sekelilingnya mencari penyebab dari perubahan sikap Isabel yang mendadak. Hanya ada beberapa motor dan anak-anak lain yang sedang mengurusi urusannya masing-masing. 

Setelah beberapa menit Isabel keluar dengan membawa tasnya. Sastra menanyakan, "Kamu kenapa Isabel?" "Aku harus segera pulang, makasih tadi sudah belikan jepit rambutnya," ucap Isabel sambil memaksakan senyum. Dia berjalan melewati Sastra menuju ke salah satu motor yang menunggunya. Orang yang mengendarai motor itu adalah perempuan yang memakai helm hitam, tetapi secara samar-samar Sastra dapat melihat bekas hitam di wajahnya seperti bekas luka bakar. Pengendara motor itu melambaikan tangannya pada Sastra sebelum beranjak pergi. Isabel yang memakai helm biru diam saja dan sekilas menatap padanya. Sastra mengembalikan sapaan itu dengan melambaikan tangannya di depan dada. Lama-kelamaan mereka hilang dari mata Sastra. 

Kenapa harus ada kakakku yang menjemput padahal aku sudah bilang akan pulang menggunakan gojek. Dia juga melihatku bersama Sastra ketika kembali ke sekolah. Sial, apa yang akan dia lakukan padaku nanti?

Isabel merasa takut dengan apa yang akan terjadi ketika dia sampai di rumah nanti. Dia sejak naik ke motor itu tetap diam dan tidak mengatakan sepatah kata apapun. Kakaknya yang bernama Abigail bertanya, "Siapa tadi itu kalian kelihatannya dekat sama kamu?" "Bukan siapa-siapa dia cuma temanku," jawab Isabel dengan nada yang rendah. Abigail bertanya lagi, "Masa sih, dia mirip sekali dengan sketsa orang yang kamu gambar di buku gambarmu. Kenapa kamu tidak jujur saja Isabel?" Isabel mendengar itu menjadi marah lalu berteriak, "Jangan masuk ke kamarku tanpa izin, juga jangan buka-buka barang-barangku!" "Oh emangnya kenapa, kamu beruntung Isabel aku sedang menyetir motor jadi tidak bisa menyentuhmu," jawabnya dengan mencemooh. 

"Kamu tau kan kalau kamu itu terkutuk Isabel, jangan bilang kamu sudah lupa tentang Milo anjingmu, Mimi kucingmu mereka semua mati. Atau kamu sudah lupa dengan temanmu Kristi yang mati karenamu?" 

"Cukup, cukup..." 

"Dan Ibu dia juga mati karenamu, ahahah." Abigail tertawa setelah mengatakan itu

"Cukup, diam kamu!" teriak Isabel sambil mendorong Abigail. Motornya sampai hampir jatuh karena kehilangan keseimbangannya. Lalu Abigail berkata, "Eh, ga usah dorong-dorong segala nanti jatuh motornya, aku lagian cuma bercanda Isabel." Isabel kembali diam dibalik helmnya dia meneteskan setetes air mata dan matanya merah. Dia tetap menahan dengan sekuat tenaga untuk tidak menangis di hadapan Abigail. Abigail menaikkan kecepatan motor sampai ke 60 km/jam agar segera sampai ke rumah. 

"Tunggu sebentar lagi, kita akan sampai di rumah Isabel, jadi bersabarlah." 

Aku gak mau pulang sama kamu! Kenapa kamu harus muncul sekarang ketika aku akhirnya bisa merasa bahagia dengan Sastra. Kenapa kamu melakukan semua hal ini padaku. Kematian mereka bukanlah kesalahanku, aku tidak mau kamu terus mengingatkanku pada mereka. Biarkan mereka istirahat aku juga mau beristirahat dan hidup bahagia tanpa harus merasa bersalah memikirkan tentang mereka. Aku tidak mau merasa sakit lagi aku sudah lelah. Aku terkutuk? Aku terkutuk… Aku terkutuk! 

Setelah menanyakan dan mengatakan hal-hal buruk itu pada Isabel Abigail terus meyetir motornya tanpa bicara apapun lagi. Setelah 10 menit berkendara akhirnya mereka sampai di depan rumah Isabel dan Abigail. Abigail turun dari motornya lalu membuka pagar rumah sebelum akhirnya memasukkan motornya. Ternyata terdapat motor lain yang terparkir di dalam rumah. Abigail melepaskan helmnya baru kemudian memasukkan kunci rumah dan membuka pintunya. Wajah Abigail jika diperhatikan memiliki bekas luka bakar berwarna hitam di pipi kiri bagian bawah sampai ke daerah sekitar matanya. Mungkin di bagian tubuh lainnya juga terdapat luka bakar, tetapi hanya itu saja di bagian wajah. 

Isabel juga melepas helmnya sekalian dengan sepatunya baru masuk ke dalam rumah. Rumah Isabel tidak terlalu besar. Tidak ada tanaman atau kebun di depan rumahnya hanya ada garasi motor yang bahkan hampir penuh diisi 2 motor. Di samping ruang tamu ada ruang keluarga yang memiliki tv dan di sampingnya ada dapur dengan meja makan. Antara ruang tamu dan ruang keluarga dipisahkan oleh tirai. 

Di sofa Ayah mereka, Cornelius sedang menonton tv menunggu kedua putrinya pulang. Melihat ayahnya yang ada di rumah Isabel menjadi ceria. Senyumannya kembali muncul dan beban pikirannya perlahan menghilang. Lalu Abigail datang ke Isabel dan membisikkan, "Kamu beruntung ada ayah sudah dateng di rumah hari ini." Isabel tampak tidak menghiraukan ucapan Abigail dan langsung salim pada ayahnya. "Ayah, urusan di gereja sudah selesai makannya sudah pulang iya kah?" tanya Isabel. "Ah, puji tuhan ada yang belum selesai tapi ada yang menggantikan. Yang penting ayah di sini sekarang," jawabnya, "Tadi ayah sempat mampir ke warung dan membelikan kalian bebek, itu ada di meja." "Terima kasih yah, meskipun ayah sibuk menjadi pendeta, tapi tetap peduli pada kami," ujar Isabel dengan senang. Isabel kemudian pergi ke dapur mengambilkan piring-piring untuk ayah dan kakaknya. Sedangkan Abigail pergi naik tangga ke lantai dua untuk meletakkan barang-barangnya di kamar. 

"Bagaimana sekolahmu Isabel?" tanya Cornelius. "Baik-baik saja yah, sama seperti biasanya belajar terus. Tugas terus, belum 2 minggu malah ada pelajaran yang ulangan. Kadang juga ada guru yang bikin males." Isabel berjalan dengan 2 piring yang sudah terisi nasi dan bebek di tangannya sebelum diberikan pada ayahnya dan untuk dirinya. Abigail turun lagi dan mengambil jatah makannya. Dia bahkan tidak menyapa ayahnya dan langsung kembali ke kamarnya. Sama ayahnya juga tampak tidak mempedulikan Abigail. Selama mengobrol dengan Isabel nama Abigail tidak pernah disebut sama sekali. Dia tampak seperti orang asing di dalam rumah itu.