Chereads / Chronophobia (Indonesia) / Chapter 5 - Buku Antologi

Chapter 5 - Buku Antologi

Derap langkah yang terburu-buru terdengar menggema di lorong dan suara itu semakin mendekat. Suaranya tidak hanya berasal dari satu orang yang berlari, melainkan lebih dari satu. Napas mereka semakin pendek dan ngos-ngosan. Lelah dan letih sudah tidak bisa menggambarkan apa yang mereka rasakan saat ini. Rasa pusing karena dehidrasi mulai merasuki pikiran mereka semuanya, tidak ada yang terkecuali. 

Isabel berbisik dengan panik, "Terkunci, perpustakaannya terkunci kita gak bisa sembunyi di sini." "Masa, coba kulihat," ucap Sastra. Dia melangkah maju jongkok sambil menganalisis gembok kecil di pintu geser perpustakaan. "Cepet, sebelum mereka dateng, kita harus segera cari tempat sembunyi!" teriak Levin dengan volume suara yang kecil. Mereka bertiga dalam keadaan panik karena yang mengejar mereka akan segera tiba. Setelah selesai menganalisis tipe kuncinya Sastra berkata, "Isabel pinjam 2 klip rambutmu," Isabel heran dan bertanya, "Buat apa klip rambutku?" "Sudah berikan aja," jawab Sastra. Isabel mengambil klip rambut yang menempel di rambutnya. Hal itu membuat rambut panjangnya yang hitam jatuh menyentuh pipinya. Setelah itu ia berikan klip Rambutnya pada Sastra. Sastra menekuk-nekuk dua klip rambut itu sampai terbentuk seperti alat pembobol kunci. Dia masukkan dua klip itu lalu dia putar-putar sampai gemboknya terbuka. 

Ketiga anak itu masuk ke dalam perpustakaan lalu menutup pintu gesernya dengan pelan. "Kita harus sembunyi, ayo ke belakang rak itu," perintah Sastra. Setelah itu mereka bersembunyi di balik rak buku di dekat jendela dengan keadaan menunduk. Dua anak geng Triloka yang mengejar mereka akhirnya sampai ke depan perpus, karena tidak melihat ada siapapun di dalam perpus mereka lanjut mencari ke arah lain. Mereka bertiga akhirnya merasa lega ketika berhasil lepas dari kejaran mereka. Levin bahkan sampai tertawa diikuti oleh Sastra dan Isabel manjadi terakhir yang tertawa. 

Di depan mereka ada jendela yang langsung bisa melihat ke lapangan. Di lapangan yang luas itu terisi 300 lebih anak yang terdiri dari kelas 10 dan 11. Mereka bagaikan semut dari atas sana. Mereka menyanyikan lagu chants yang akan dibaca saat dbl nantinya. Dbl sendiri adalah perlombaan basket dan yang berkompetisi adalah anak SMA. Suara mereka menggelegar dengan semangat yang membara. Walaupun banyak juga anak yang terpaksa ikut latihan supporter karena tidak bisa pulang. Meskipun begitu, mereka sedang berjuang untuk sekolah mereka. Dipimpin oleh maskot harimau jawa yang bernama Ciko, suara mereka semakin keras di setiap membaca chantsnya. 

"Aku penasaran gimana ya kelihatannya mereka yang di lapangan?" ucap Isabel sambil mengangkat tubuhnya. Dia mendongakkan kepalanya secara diam-diam melihat mereka yang di lapangan. Levin yang merasa sudah aman langsung berdiri tanpa peduli keliatan dari lapangan. Dia pikir mereka yang di lapangan tidak akan peduli dan mungkin tidak akan sadar. Sastra merasa bodo amat juga berdiri keluar dari persembunyiannya.

"Jadi sekarang kita ngapain di sini?" tanya Levin. Sastra menjawab dengan simpel, "Sembunyi sampai kita diperbolehkan pulang, kecuali kalau kamu mau bergabung latsup di lapangan." 

"Ogah," celetuk Isabel. "Kalau begitu mari kita bersantai di sini sampai pulang, eh ini aslinya sudah pulang." Sastra duduk di salah satu kursi di meja panjang perpustakaan itu. Dia luruskan kakinya, melipat kedua tangannya di belakang kepala lalu memejamkan matanya. 

"Gak ada yang bisa kita lakukan tah?" tanya Isabel. 

Tidur, tidur, tidur dan tidur Isabel. Gak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya tidur. Kamu bisa bermimpi indah, tapi lebih enak lagi kalau tidur di kasur yang empuk bukan kursi kayak gini. Yang ada nanti malah sakit leher, eh sangat tidak kusarankan.

Levin yang terlihat seperti sedang mencari buku menjawab, "Ada aku tau sesuatu." "Apa itu?" tanya Isabel. Levin mencari buku dari rak pertama hingga ke rak terakhir, sekarang dia masih berada di rak pertama. "Tunggu sebentar," kata Levin. 

Kecewa dengan jawaban Levin Isabel membalikkan badannya dan melihat Sastra duduk seperti bos yang angkuh di film-film. Dia menggeser salah satu kursi lalu duduk di dekat Sastra. Isabel memiringkan kepalanya berusaha melihat jelas wajah Sastra. Dia bertanya, "Kamu tidur tah?" Dalam kondisi memejamkan matanya Sastra berkata, "Enggak, aku lagi nonton tv." Ketenangannya hancur ketika dia merasakan rasa sakit di perutnya. Sastra membuka matanya dengan kaget karena dipukul oleh Isabel. "Hei, kekerasan pada laki-laki itu gak boleh." Isabel menyangkalnya, "Bukannya yang ga boleh itu pada perempuan aja, aku mukul kamu ga papalah aku kan cewek, kamu mau bales?" Mendengar kata-katanya, Sastra hanya bisa istighfar dan bersabar. Karena tidak bisa membalas dengan pukulan Sastra mengejek Isabel, "Kamu gak akan disukai cowok kalau gitu dan kamu gak akan dapet pacar." "Eh mana ada, aku punya mantan lima, LIMA kamu berapa cuma tiga?" balas Isabel. Selain istighfar sekarang Sastra harus menggeleng-gelengkan kepalanya juga. 

"Sudah jangan ganggu aku," tegas Sastra. Sastra sudah muak dengan kelakuan Isabel yang selalu mencari masalah dengannya. Pertama mendorongnya sampai terbentur meja, sekarang juga memukulnya, belum lagi di hari-hari lain yang ia sudah tidak ia ingat. Sebelum dia bisa memejamkan matanya tiba-tiba Isabel menarik-narik lengan bajunya dengan pelan seperti anak kecil yang meminta dibelikan sesuatu. "Apa lagi?" tanya Sastra sambil menoleh kepada Isabel. "Aku mau kasih kamu cokelat, ini dari guruku," begitu katanya. Isabel mengulurkan tangan kanannya yang memegang cokelat Beng-beng. Sastra melihat itu dengan kaget tidak paham dengan apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Hah, perempuan yang baru saja memukulnya dan mengejeknya sekarang memberinya Beng-beng Dan kenapa harus Beng-beng? 

"Hah, aku ada hubungan apa aku sama gurumu sampai dikasih Beng-beng? Gurumu antara dia miskin atau dia benar-benar membenciku atau bisa jadi dua-duanya." tanya Sastra dengan mulut yang terbuka membentuk huruf o dan huruf o nya itu besar sekali. Sambil menggoyangkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri Isabel menyangkal, "Bukan bukan, ini dari guruku dikasihkan ke aku terus aku kasihkan ke kamu." Dengan masih bingung Sastra menjawab, "Jadi kamu ga mau sama pemberian gurumu makannya dikasihkan ke aku gitu?" "Ah bukan gitu, aduh kenapa kamu ga bisa bilang terimakasih aja trus nerima nih cokelat, meskipun Beng-beng," kata Isabel. Isabel menyodorkan Beng-beng itu pada Sastra yang akhirnya diterima olehnya. Sastra kemudian berterima kasih yang nyeleneh, "Oke deh, makasih loh, meskipun aku bisa beli ini seharga Rp 4000 an. Tapi ya, terimakasih." Lalu Sastra membatin, ini sungguh absurd…

"Jadi enggak akan kamu makan cokelatnya?" tanya Isabel. Sastra kembali terusik oleh Isabel. Baru saja dia akan memasukkan Beng-beng itu ke dalam sakunya sekarang dia diminta memakannya. 

Dasar Bambang ini bukan Beng-beng lagi, tapi Bambang, semoga gak ada yang tau isi pikiranku. Soalnya Bambang itu nama bapaknya Levin, Sorry Levin

Sastra menatap mata Isabel dengan lembut lalu berkata, "Oke aku makan yah." Dia menyobek bungkus Beng-beng itu menjadi 2 bagian dan berhenti di tengah-tengah. Sambil memegang bagian bawah plastiknya Sastra menggigit ujung dari Beng-beng itu. Dia akting seakan-akan dia sedang memakan cokelat yang dibungkus emas dan dilapisi berlian. "Ehm enak banget Beng-bengnya," gumam Sastra. 

For my information aku tidak sedang mengejek Beng-beng, tapi aku mengejek Isabel seakan akan aku menikmati pemberiannya yang nyatanya tidak. Tapi enak juga Beng-beng biasanya aku beli pas pulang di toko pas SD. 

"Well, aku senang kamu begitu menikmatinya," ucap Isabel dengan wajahnya berbunga bunga. Lalu dia mengeluarkan HPnya yang memiliki casing telinga kucing hitam. Layar dari HPnya membelakangi Sastra jadi Sastra tidak bisa tau apa yang Isabel buka. Dia hanya memperhatikan wajah kucing yang terlukiskan di bagian belakang casing sambil mengunyah Beng-beng. "Ini coba liat," kata Isabel sambil meletakkan HPnya di atas meja. Please it's better not be Kpop. Kemudian Sastra melihat apa yang ada di layar HP itu dan itu adalah Kpop. "Fuck," umpatnya dengan sangat amat berbisik. Isabel yang mendengar sesuatu, tetapi tidak mendengar apa yang diucapkan Sastra bertanya, "Ah apa?" Dengan keahliannya akting Sastra berkata dengan wajah yang penuh senyum, "Wah aku gak tau kalau kamu suka ini, bagus banget emang kenapa kamu tunjukin ke aku?"

"Kenapa ya, ah aku tau soalnya aku mau nunjukin bahwa Kpop tidak hanya lagu, tapi ada makna dari videonya," jawab Isabel dengan semangat. Mendengar itu Sastra terpaksa menjawab, "Oke." 

"Ketemu, aku menemukan bukunya." Levin mengangkat tangannya yang memegang buku agak sedikit tebal. Teriakannya mencuri perhatian kedua temannya dan menghentikan pembicaraan mereka. "Buku apa itu?" tanya Sastra. 

"Aku tau itu pasti buku yang ditulis guru sosiologi itu kan?" sahut Isabel. Guru sosiologi, hal ini mengingatkan Sastra pada guru yang memerintahkan anak sekelas menuliskan 14 buah peraturan di buku tulisnya masing-masing saat pertemuan pertama. Bagian ini membekas secara jelas di ingatannya. Seingatnya peraturannya itu tidak boleh membuka HP saat pelajarannya kecuali diizinkan, konsekuensinya akan disita HPnya. Jika tidak masuk tanpa ada surat keterangan maka akan dialfa. Ujiannya akan dilaksanakan secara mendadak, tapi Sastra masih belum tau karena belum mengalaminya. 

Jika terlambat masuk ke kelas contohnya gurunya sudah masuk dan kita masuk setelahnya maka akan dikenai hukuman. Hukumannya adalah membacakan surat yang dibaca sewaktu literasi pagi atau bagi yang nonis menjelaskan pelajaran agama yang diterangkan saat berdoa di aula. Hukuman lainnya adalah memungut semua sampah yang dimiliki anak sekelas bagi yang meletakkan kepala di atas meja. Ada juga hukuman memotong gelang bagi anak laki-laki yang mengenakannya. Kesimpulannya guru sosiologi ini memiliki caranya sendiri dalam mengajar, meski banyak hukuman dalam hal yang sepele seperti meletakkan kepala di atas meja, beliau memiliki niat yang baik yaitu untuk mendidik muridnya dan agar mereka menghormati guru dan disiplin. 

"Betul ini adalah buku antologi yang beliau tulis. Akhirnya setelah sekian lama mencari bukunya ketemu, ayo kita baca bareng." Levin berlari ke dekat meja lalu meletakkan bukunya di atas meja di antara Sastra dan Isabel. Segera Levin berhenti lalu menggumam, "Halaman berapa ya waktu itu katanya?" Sastra yang sudah mengingat semua informasi yang dijelaskan guru sosiologi tentang buku itu menjawab, "Tulisannya ada di halaman 190, coba buka." Setelah membolak–balik bukunya Levin merasa aneh karena mendapati bukunya terdiri dari banyak cerita dari penulis yang berbeda. 

Isabel bertanya, "Kenapa berhenti lagi?" "Ini bukan novel ternyata, isinya ada banyak cerita," jawab Levin. Sastra yang memperhatikan dari tadi menambahkan, "Buku ini isinya kumpulan cerita dari banyak penulis berbeda. Coba liat halaman belakangnya disitu ada list nama-nama penulisnya." Levin dalam keadaan berdiri membalik ke halaman terakhirnya dan mendapati ucapan Sastra itu benar. Tanpa tunggu lama lagi Levin langsung membalik kertasnya ke halaman 190. Di situ terdapat beberapa baris cerpen dari penulis yang berbeda, tidak lama kemudian mereka menemukan cerita yang ditulis oleh guru Sosiologi. 

Ruangan itu menjadi hening karena ketiga anak itu semuanya membaca buku itu dengan seksama. Meresapi setiap kata dan kalimat yang tertulis. Serta memahami makna dan pesan moral yang dapat diambil. 

Sastra yang selesai membaca memberi komentar, "Ceritanya cukup panjang ya, aku gak tau kalau beliau pernah mengalami hal itu." Sambil membaca Isabel berkata, "Sama, aku bahkan agak sedikit terharu. Bisa mengetahui kisah hidupnya seseorang itu sungguh indah." Sastra dan Levin masih bisa memaklumi kalimat yang dikatakan Isabel. Sampai Isabel mengatakan, "Aku jadi semakin cinta dengan pelajaran sosiologi." Itu sudah tidak maklum lagi bagi Sastra dan Levin. Lalu Levin berkata, "Yang penting endingnya bahagia semoga panjang umur, amin." 

Setelah membaca buku itu Sastra penasaran dengan keadaan lapangan sekarang, setelah menunggu cukup lama di perpus. Dia berdiri lalu berjalan ke arah jendela. Latihan supporter sudah berakhir di lapangan hanya menyisakan anak-anak yang mengemasi drum, instrumen lain atau properti lainnya. Ada potongan kertas yang akan digunakan sebagai koreo. Serta banner raksasa yang akan dipajang saat dbl nantinya. 

Sastra membalikkan badannya lalu berkata pada 2 temannya, "Sudah waktunya pulang, anak-anak yang ikut latsup sudah pada bubar. Berarti gerbangnya sudah dibuka." Isabel langsung berdiri mendengar itu. Isabel berkata, "Kalau begitu aku mau ke kelas dulu, tasku ada di sana masalahnya." Kemudian Sastra dan Isabel menatap pada Levin seakan mendambakan suatu jawaban darinya. "Oke kalian bisa duluan tanpaku, aku ngembalikan buku ini dulu," ucapnya sambil berjalan kembali ke rak buku. Sebelum keluar Isabel pamit dulu, "Kalau gitu aku duluan ya," Sastra juga pamit, "Aku juga."

Keduanya pun berjalan bersama ke kelas mereka yang agak jauh dari perpus. Suasana sekolah itu sangatlah sepi setelah latihan supporter selesai dan semuanya diperbolehkan pulang. Mereka seperti ulat yang keluar dari kepompong menjadi kupu-kupu yang akhirnya bebas.