Malam semakin larut, dan hutan yang gelap hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar. Yuki masih duduk di samping Ayato yang terbaring tak sadarkan diri. Napasnya bergetar, disertai suara malam yang menenangkan. Namun, ketenangan itu tidak mampu meredakan kecemasan yang menggelayuti hati Yuki. Dia memegangi tangan Ayato, mencengkeramnya erat seakan takut jika dia melepasnya, Ayato akan hilang selamanya.
Satu per satu, kenangan menyakitkan tentang orang tuanya kembali menghantui benaknya. Suara tawa mereka, momen-momen kebahagiaan, semua itu kini tinggal kenangan pahit yang menyakitkan. Kepergian orang tuanya karena utang dan desakan hidup membuat Yuki merasakan betapa rapuhnya kehidupan ini. Dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya ketika orang tuanya dibawa pergi oleh kreditor yang tidak memiliki belas kasih.
Sambil menahan tangis, Yuki berbisik pelan, "Ayato, aku takut kehilanganmu juga. Kau satu-satunya yang tersisa bagiku sekarang." Air mata mulai mengalir di pipinya. Dia teringat saat-saat ketika Ayato selalu ada untuknya, menjaganya dan mendukungnya. "Kau adalah orang terpenting dalam hidupku. Jika kau pergi, apa yang akan tersisa untukku?"
Saat perasaannya semakin mendalam, Yuki merasa ada sesuatu yang lain-sebuah perasaan yang telah tumbuh seiring waktu. Cinta. Perasaan ini hadir seiring bertumbuhnya kedewasaan, saat mereka saling mengenal lebih dalam. Namun, dia takut untuk mengungkapkannya. Dia tidak ingin merusak hubungan mereka dengan harapan yang mungkin tidak terbalas. Mungkin Ayato hanya menganggapnya sebagai sahabat. Ketakutan akan penolakan ini menahannya untuk tidak mengungkapkan isi hatinya.
"Aku... aku menyukaimu, Ayato," ungkap Yuki perlahan, suaranya nyaris tak terdengar. "Tapi aku tidak berani mengatakannya. Aku tidak ingin mengubah segalanya antara kita. Jika kau tidak merasakan hal yang sama, aku tidak ingin kehilangan persahabatan kita. Dan sekarang, aku sangat takut kehilangan orang-orang yang aku cintai lagi."
Tangisan Yuki semakin deras, dan dia menundukkan kepala, menyandarkannya pada tangan Ayato. Dia merasa lelah, tertekan oleh beban emosional yang harus dia tanggung sendirian. Akhirnya, kesedihan yang begitu dalam membuatnya terlelap, tertidur dengan Ayato terbaring di pangkuannya.
Pagi datang dengan sinar matahari yang lembut, menjelajahi celah-celah pepohonan, membangunkan Yuki dari tidurnya. Dia merasakan kehangatan kain yang menyelimuti tubuhnya dan menyadari bahwa dia telah tertidur. Saat melihat ke samping, dia terkejut. Ayato sudah tidak ada di tempatnya. Hatinya berdegup kencang saat dia mulai merasa cemas.
"Di mana Ayato?" gumamnya. Dia segera berdiri, melihat sekeliling, berusaha mendengar suara langkah kaki atau suara Ayato. Namun, hanya kesunyian hutan yang menyambutnya.
Setelah beberapa menit menunggu, Yuki mendengar suara langkah kaki mendekat. Jantungnya berdebar kencang saat sosok Ayato muncul dari balik pepohonan, dengan senyum lebar di wajahnya. Dia membawa daging buruan yang masih hangat.
"Aku kembali!" teriak Ayato dengan semangat, menunjukkan daging yang dia tangkap. "Selamat pagi, Yuki! Kau tidak akan percaya betapa mudahnya menangkap hewan ini!"
Yuki terperanjat, bercampur rasa lega dan gembira melihat Ayato kembali. "Ayato! Kau... kau baik-baik saja?"
Ayato tertawa kecil. "Ya! Aku merasa lebih baik sekarang. Ternyata istirahat sejenak benar-benar membantuku." Dia duduk di samping Yuki, mulai membagi daging buruan tersebut. "Mari kita makan. Kita butuh energi untuk perjalanan hari ini."
Yuki mengambil potongan daging yang Ayato tawarkan, mencium aroma yang menggugah selera. "Kau luar biasa, Ayato! Bagaimana kau bisa menangkapnya begitu cepat?"
Ayato hanya tersenyum lebar. "Keterampilan bertahan hidupku mungkin sudah sedikit meningkat sejak kejadian semalam. Sekarang, mari kita lihat peta."
Setelah makan, mereka membuka peta yang Ayato ambil dari tasnya. Yuki mengamati garis-garis di peta, menelusuri jalan yang akan mereka lalui. "Kita sudah dekat dengan Avalor," katanya, menunjuk ke arah yang benar. "Cuma tinggal beberapa kilometer lagi. Jika kita bergegas, kita bisa sampai sebelum malam."
Ayato mengangguk setuju. "Ya, kita harus cepat. Setiap langkah menuju Avalor adalah langkah menuju keselamatan kita." Dia menghela napas dalam-dalam, merasakan semangatnya kembali pulih.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Ayato?" tanya Yuki sambil memperhatikan wajah Ayato. "Apakah kau masih merasa lelah?"
Ayato tersenyum lebar, "Tidak sama sekali. Aku sudah merasa segar dan siap untuk perjalanan ini. Kita akan sampai di sana, dan kemudian kita akan mencari cara untuk bertahan hidup di sana. Aku berjanji akan melindungimu, Yuki."
Yuki merasakan hangat di hatinya mendengar janji itu. Dia berusaha menyembunyikan rasa cintanya yang semakin menguat, tapi senyuman Ayato membuatnya merasa tenang. "Baiklah, ayo kita pergi!" serunya, bersemangat.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan semangat baru. Masing-masing dari mereka tahu bahwa mereka masih memiliki perjalanan panjang di depan, tetapi untuk pertama kalinya setelah kehilangan yang mereka alami, Yuki merasakan secercah harapan. Dia melihat ke arah Ayato yang kini tampak lebih bugar dan bersemangat, dan dia tahu bahwa selama mereka bersama, mereka bisa menghadapi apa pun yang datang.
Hari berjalan cepat, dan suasana di sekitar mereka semakin cerah saat mereka melangkah lebih dekat ke kerajaan Avalor. Hutan mulai berkurang, dan di kejauhan, Yuki bisa melihat garis tepi kerajaan yang menjulang tinggi. Dalam hatinya, dia berdoa agar mereka bisa menemukan tempat aman di sana dan memulai hidup baru.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya berdiri di depan gerbang besar kerajaan Avalor. Yuki menatap ke arah gerbang dengan perasaan campur aduk-antusiasme, ketakutan, dan harapan. Mereka akan memasuki dunia baru, tapi apa yang menanti di dalam sana?
"Siap, Yuki?" tanya Ayato, melihat ke arah wajahnya.
"Siap," jawab Yuki dengan keyakinan, meskipun hatinya berdebar. Bersama-sama, mereka melangkah maju, meninggalkan semua yang telah terjadi di belakang, menuju masa depan yang penuh ketidakpastian dan harapan baru.
Saat mereka mendekati kerajaan Avalor, siluet menara dan tembok tinggi mulai terlihat di cakrawala. Senja menjelang, dan warna oranye keemasan menghiasi langit. Ayato merasa semangatnya bangkit. Dia mempercepat langkahnya, tidak sabar untuk sampai di sana. Namun, saat dia menoleh ke arah Yuki, wajah gadis itu tampak pucat, dan matanya tampak tidak bersemangat. Ayato segera merasakan keprihatinan menyelimuti hatinya.
"Yuki, kau baik-baik saja?" tanya Ayato, suaranya penuh khawatir.
"Aku... aku hanya sedikit lelah," jawab Yuki, berusaha tersenyum, tetapi Ayato bisa melihat bahwa dia berusaha keras untuk tetap berdiri.
"Tidak, kau harus beristirahat sejenak. Kita tidak ingin kau jatuh sakit di tengah perjalanan ini," kata Ayato, mencoba menahan Yuki untuk tidak melanjutkan.
Yuki menggelengkan kepala, berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. "Aku bisa melakukannya, Ayato. Kita hampir sampai."
Ayato tetap bersikeras. "Tidak, kita akan istirahat di sini. Kau sudah melakukan lebih dari cukup."
Dengan napas berat, Yuki akhirnya setuju. Mereka menemukan tempat teduh di bawah sebuah pohon besar dan duduk di tanah. Ayato memperhatikan Yuki yang menarik napas dalam-dalam, tetapi saat dia menatap wajahnya, Ayato melihat ada sesuatu yang salah. Wajah Yuki semakin pucat dan keringat mulai mengalir di pelipisnya.
"Yuki, apa kau merasa baik-baik saja?" tanyanya dengan nada cemas.
Yuki mencoba tersenyum lagi, tetapi kali ini senyumnya tidak sampai ke matanya. "Aku hanya... sedikit lelah. Sepertinya aku tidak tidur cukup semalam."
Ayato merasa tidak nyaman melihat keadaan Yuki. "Tunggu sebentar, aku akan mencari air untukmu."
Saat Ayato berdiri dan mulai berjalan, Yuki mendengus pelan. "Ayato, jangan khawatir tentangku. Aku bisa-"
Tiba-tiba, Yuki terjatuh ke tanah, kesadaran mulai menjauh dari dirinya. Ayato terkejut dan segera berlari kembali ke arah Yuki. "Yuki!" teriaknya, mengguncang bahu gadis itu. "Bangun, Yuki! Jangan berpikir untuk meninggalkanku!"
Yuki tidak bergerak. Ayato merasakan kepanikan melanda dirinya. Dengan cepat, dia mengangkat tubuh Yuki, merasakan dinginnya tubuh gadis itu. "Kau tidak bisa seperti ini. Kita harus sampai ke Avalor dan mencari bantuan," pikirnya.
Dengan satu gerakan, Ayato mengangkat Yuki ke punggungnya dan mulai melanjutkan perjalanan. Yuki mungkin tidak dapat berjalan, tetapi dia tidak akan membiarkannya tergeletak di tanah. Dia mengatur napas, berfokus pada langkah demi langkah yang membawanya semakin dekat dengan kerajaan.
Setelah berjalan beberapa saat, Ayato melihat seorang pedagang yang sedang duduk di bawah pohon, memamerkan barang dagangannya. Wanita berambut pirang itu memandangi Ayato dan Yuki dengan tatapan prihatin.
"Kau tidak terlihat baik-baik saja, anak muda," kata wanita itu. "Apa yang terjadi?"
"Dia... dia tidak merasa baik. Aku perlu membawa dia ke Avalor untuk mencari dokter," jawab Ayato dengan suara serak.
Wanita itu segera bangkit. "Biarkan aku membantumu." Dia mengeluarkan kereta kecil dari belakangnya. "Kau bisa menaruhnya di sini. Aku akan membawamu ke Avalor."
Ayato merasa sedikit lega. "Terima kasih, sangat berarti bagi kami." Dia meletakkan Yuki dengan hati-hati di kereta dan menghela napas.
"Namaku Karin," kata wanita itu sambil mendorong kereta. "Dan siapa kalian berdua?"
"Aku Ayato, dan ini Yuki. Kami baru saja melarikan diri dari desa kami setelah diserang," jawabnya.
Karin mengangguk, mendengarkan dengan seksama. "Serangan? Apa yang terjadi?"
Ayato menjelaskan secepatnya, menceritakan tentang serangan iblis dan pertempurannya melawan Wrath. "Sekarang, kami hanya ingin menemukan tempat aman dan memulai hidup baru."
Karin menatap Yuki dengan penuh empati. "Kau tidak perlu khawatir. Avalor adalah tempat yang aman, setidaknya untuk saat ini. Kita akan mencari dokter untuk membantu temanmu."
Mereka melanjutkan perjalanan, dan Yuki perlahan mulai mengeluarkan suara samar. "Ayato...?" panggilnya dengan suara lemah.
"Aku di sini, Yuki. Kau baik-baik saja," jawab Ayato, berusaha memberikan semangat.
Sementara mereka mendekati gerbang Avalor, keramaian mulai terasa. Pedagang, pejalan kaki, dan tentara terlihat hilir-mudik, menciptakan suasana hidup yang kontras dengan keadaan mereka. Karin berhenti di dekat gerbang dan memanggil salah satu penjaga.
"Bawa kami ke dokter! Temanku membutuhkan pertolongan!" teriak Karin.
Salah satu penjaga, melihat situasi Yuki, segera memberikan isyarat kepada dua penjaga lainnya untuk membantu. Mereka mengambil alih kereta dan membawa Yuki masuk ke dalam kerajaan, diikuti oleh Ayato dan Karin.
Sesampainya di klinik kerajaan, suasana menjadi tenang. Para dokter dan perawat bergegas ke arah mereka. Ayato merasakan cemas menyelimuti hatinya saat dokter mengambil alih penanganan Yuki.
Setelah beberapa saat, seorang dokter yang tampak berpengalaman datang dan memeriksa Yuki. Dia memerintahkan beberapa obat dan segera memberi instruksi kepada perawat untuk menyiapkan semua yang diperlukan. Ayato mengamati dengan penuh perhatian, harap-harap cemas.
Karin tidak pergi. Dia tetap berdiri di samping Ayato, memberikan dukungan yang diperlukan. "Jangan khawatir. Dia akan baik-baik saja," katanya meyakinkan.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, dokter akhirnya menjelaskan. "Dia mengalami demam karena kelelahan. Kami akan merawatnya, dan dia harus segera pulih."
Ayato merasakan beban yang berat mulai terangkat dari pundaknya. "Terima kasih, dokter," jawabnya dengan penuh rasa syukur.
Karin mengambil beberapa koin dari sakunya dan memberikan kepada dokter. "Ini untuk biaya pengobatan. Aku akan menanggung semuanya."
Ayato tertegun. "Tapi... bagaimana mungkin aku bisa membalasmu?"
Karin tersenyum lembut. "Kau tidak perlu membalas apapun, anak muda. Kebaikan adalah hal yang harus kita berikan kepada satu sama lain."
Setelah beberapa saat, dokter keluar dari ruangan. "Dia sudah diberi obat, dan kita perlu menjaga dia selama beberapa hari. Aku akan memberikan pengobatan yang dibutuhkan, dan dia akan pulih."
Ayato merasa lega, tetapi dia tidak dapat menahan perasaannya. "Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu, Karin," katanya lagi.
"Jangan sebutkan itu," jawab Karin. "Hidupmu dan temanmu adalah yang terpenting saat ini. Siapapun akan melakukan hal yang sama di posisiku."
Setelah Yuki dipindahkan ke ruangan perawatan, Ayato tidak pernah merasa lebih beruntung dan bersyukur dalam hidupnya. Dia menghabiskan waktu di dekat Yuki, menunggu dia terbangun, berharap agar dia segera membaik.
Hari-hari berlalu, dan meski perasaannya campur aduk, dia tahu bahwa dia akan melakukan apapun untuk melindungi Yuki. Setelah melihat betapa baiknya Karin, Ayato bertekad untuk suatu hari nanti membalas kebaikan ini, apapun yang diperlukan. Dia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi mereka sudah mengambil langkah pertama menuju harapan dan kebangkitan.
Setelah Yuki pulih, mereka akan mulai membangun kehidupan baru di Avalor, menghadapi tantangan yang akan datang, dan membalas semua kebaikan yang telah mereka terima.
Bersambung
Kasian banget jadi yuki, terkena friendzone(╯︵╰,)
Tetap setia kalian membaca ini, karena semakin menarik antara 2 tokoh ini, tapi yang favorit tetap si yuki.