Ayato terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Tubuhnya bergetar hebat, bukan karena dingin, tetapi karena perasaan yang menggelayuti pikirannya. Mimpinya tadi malam bersama Storm kembali menghantuinya. Keluarganya, Wrath, semua kenangan yang menyakitkan, seolah berputar kembali di kepalanya. Ia sadar, meski sudah melalui banyak hal, dirinya masih belum cukup kuat. Ia masih mudah terbawa oleh emosinya, amarah yang begitu besar, dendam yang belum tuntas, semua itu hanya akan memperlambat langkahnya.
Perlahan, Ayato duduk di tepi tempat tidurnya, menundukkan kepala. Air mata mulai membasahi pipinya tanpa ia sadari. Tangannya terkepal, seolah ingin memukul keras-keras apa saja yang ada di hadapannya, tetapi ia tahu itu hanya akan membuang-buang tenaga. Ia merasa frustrasi, kesal pada dirinya sendiri. Mengapa ia masih belum bisa mengendalikan emosinya?
Setelah beberapa saat terisak, ingatannya perlahan-lahan kembali ke Yuki. Sosok gadis yang masih terbaring lemah, dikutuk oleh sihir iblis. Yuki membutuhkan pertolongannya, dan Ayato tahu betul bahwa ia harus segera melanjutkan pelatihannya dengan Kakek Shiro. Hanya dengan kekuatan yang lebih besar ia bisa menghadapi para iblis yang bertanggung jawab atas penderitaan mereka. Tidak hanya untuk balas dendam, tetapi untuk menyelamatkan satu-satunya orang yang masih ada di sisinya, Yuki.
Ayato segera berdiri dan mengusap air matanya. Ia tidak punya banyak waktu untuk meratapi kelemahan dirinya. Dengan cepat, ia mengenakan pakaiannya, merapikan perlengkapan yang dibawanya, dan bergegas keluar dari penginapan kecil tempat ia tinggal. Tujuannya jelas-perpustakaan kerajaan. Di sana, Kakek Shiro sudah menantinya untuk melanjutkan pelatihan yang akan membawanya semakin dekat dengan kekuatan yang ia butuhkan.
Namun, sebelum melangkah terlalu jauh, Ayato ingat satu hal-Paman Ritsuki. Ia harus berpamitan dulu sebelum pergi ke perpustakaan. Paman Ritsuki sudah memberinya pekerjaan, dan Ayato tidak ingin meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju alun-alun kota tempat proyek pembangunan yang sedang ia kerjakan.
Setibanya di sana, Ayato melihat para pekerja sudah sibuk dengan tugas masing-masing. Alat-alat berat berdengung, kayu dan batu bata berserakan di sekitar lokasi proyek. Paman Ritsuki, seorang pria paruh baya yang gemar bercanda dan murah senyum, tampak berdiri di sudut, mengawasi pekerjaannya dengan tenang.
"Hei, Ayato!" seru Paman Ritsuki ketika melihatnya. "Kau datang lagi pagi-pagi begini. Kau terlihat seperti tidak tidur semalaman. Apa kau baik-baik saja?"
Ayato menghampirinya dengan senyum kecut. "Aku baik-baik saja, Paman. Tapi, aku harus pergi lagi ke perpustakaan kerajaan hari ini. Kakek Shiro memanggilku untuk melanjutkan pelatihan."
Paman Ritsuki mengangguk mengerti, tetapi alisnya sedikit terangkat. "Perpustakaan lagi, ya? Kau ini rajin sekali latihan. Tapi dengar, sebelum kau pergi, mungkin kau bisa bekerja sebentar. Hanya beberapa jam, tidak lama kok. Soalnya kami harus menyelesaikan bagian penting ini hari ini juga, dan aku takut kalau latihanmu nanti bisa memakan waktu hingga larut malam."
Ayato terdiam sejenak. Ia tidak ingin mengecewakan Paman Ritsuki yang sudah memberinya pekerjaan dan kesempatan untuk bertahan hidup di kerajaan ini. Meskipun dirinya sedang berfokus pada misi yang lebih besar, Ayato tahu ia tidak bisa meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja. Ia mengangguk perlahan. "Baik, Paman. Aku akan membantu sebentar sebelum pergi."
Paman Ritsuki tersenyum lebar. "Bagus, anak muda. Ayo, ambil palu dan paku, kita mulai bekerja!"
Ayato segera bergabung dengan para pekerja lainnya. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah setelah pelatihan kemarin dan mimpi berat tadi malam, ia memaksakan diri untuk bekerja sebaik mungkin. Ia membantu mengangkat balok kayu, memalu paku, dan memasang rangka bangunan dengan ketelitian. Pikirannya sesekali melayang kepada Yuki yang masih terbaring di tempat tidur, dan juga pada Wrath, iblis yang telah menghancurkan hidupnya. Dendam itu tetap ada, tetapi ia mencoba menahan emosinya, seperti yang diajarkan oleh Storm.
Waktu berjalan cepat ketika Ayato sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa jam kemudian, Paman Ritsuki menepuk pundaknya. "Cukup untuk hari ini, Ayato. Terima kasih sudah membantu. Sekarang pergilah ke perpustakaan. Jangan biarkan Kakek Shiro menunggumu terlalu lama."
Ayato tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Paman. Maaf aku tidak bisa bekerja lebih lama lagi hari ini."
Paman Ritsuki hanya tertawa kecil. "Tidak masalah, anak muda. Aku paham kau sedang menjalani sesuatu yang penting. Tapi ingat, jangan sampai latihan membuatmu lupa untuk makan dan beristirahat. Jaga kesehatanmu, Ayato."
Ayato tersenyum hangat mendengar nasihat itu. "Aku akan ingat, Paman. Sampai jumpa besok."
Setelah berpamitan, Ayato bergegas meninggalkan alun-alun dan melangkah menuju perpustakaan kerajaan. Perjalanannya kali ini terasa lebih ringan. Ia merasa sedikit lega setelah bisa menyelesaikan sebagian tanggung jawabnya. Tapi di sisi lain, pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang kutukan yang menimpa Yuki. Semakin dekat ia dengan perpustakaan, semakin besar rasa ingin tahunya tentang apa yang akan diajarkan oleh Kakek Shiro hari ini.
Begitu sampai di gerbang perpustakaan kerajaan, Ayato disambut oleh para penjaga yang sudah mengenalnya. Mereka mengangguk sopan dan membuka gerbang tanpa banyak pertanyaan.
"Semoga latihannya lancar, Ayato," ucap salah satu penjaga dengan ramah. "Kami semua berharap Yuki bisa segera sembuh dari kutukan iblis itu."
Ayato tersenyum kecil dan mengangguk. "Terima kasih. Aku akan berusaha sekuat tenaga."
Setelah masuk ke dalam perpustakaan, suasana sunyi langsung menyambutnya. Ruangan besar itu penuh dengan rak-rak buku yang menjulang tinggi, dipenuhi oleh pengetahuan yang tersimpan selama berabad-abad. Di tengah ruangan, Kakek Shiro sudah menunggunya di salah satu meja besar. Wajah tua Kakek Shiro terlihat serius seperti biasanya, tetapi ada kilatan rasa ingin tahu di matanya.
"Ah, kau datang juga, Ayato," ucap Kakek Shiro dengan suara rendah namun penuh wibawa. "Kita akan melanjutkan pelatihan kita hari ini, tetapi sebelum itu, bagaimana kabar Yuki? Apa kondisinya sudah membaik?"
Ayato menundukkan kepalanya sejenak sebelum menjawab. "Yuki masih terbaring lemah, Kakek. Aku harus segera menemukan cara untuk menghilangkan kutukan iblis itu. Itulah sebabnya aku tidak boleh membuang waktu."
Kakek Shiro mengangguk, memahami kekhawatiran Ayato. "Baiklah, mari kita mulai. Tetapi sebelum melanjutkan, ada baiknya kau beristirahat sejenak. Meditasi yang kuberikan kemarin mungkin sudah membantu menenangkan jiwamu, tetapi aku bisa melihat bahwa kau masih tertekan. Ingatlah, Ayato, emosi yang tidak terkendali akan menjadi penghalang terbesar bagi kekuatanmu."
Ayato menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu betul bahwa Kakek Shiro benar. Jika ia ingin menjadi lebih kuat, ia harus bisa mengontrol perasaannya, bukan sebaliknya.
"Baik, Kakek. Aku akan berusaha lebih keras lagi," jawab Ayato dengan tegas.
Pelatihan pun dimulai, dan Ayato kembali dibimbing oleh Kakek Shiro. Mereka melanjutkan pelajaran tentang teknik sihir, pertahanan, serta cara memanfaatkan elemen petir yang kini sudah diketahui sebagai kekuatan Ayato. Meskipun pelatihan ini sebagian besar bersifat lisan, Kakek Shiro memiliki cara untuk membuat Ayato benar-benar memahami setiap instruksi dengan jelas.
Hari itu berlalu dengan cepat, dan tanpa terasa, malam mulai menjelang. Meskipun tubuhnya lelah setelah bekerja di pagi hari dan menjalani pelatihan sepanjang siang, Ayato merasa puas. Ia tahu bahwa pelatihan ini penting, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Yuki, satu-satunya orang yang tersisa di dunia ini yang harus ia lindungi.
Dengan tekad yang semakin kuat, Ayato bersiap menghadapi hari-hari berikutnya.
Selama sebulan penuh, Ayato menjalani rutinitasnya dengan tekad yang semakin membaja. Setiap pagi ia bangun lebih awal, pergi ke alun-alun untuk membantu proyek pembangunan bersama Paman Ritsuki, dan kemudian menghabiskan waktu siang dan malam di perpustakaan bersama Kakek Shiro. Pelatihannya yang konstan mulai menunjukkan hasil. Setiap hari Ayato merasakan kekuatannya semakin berkembang, terutama dalam mengendalikan elemen petir yang cocok dengan pedangnya, Stormbringer.
Namun, meskipun kekuatannya meningkat pesat, ada hal yang terus menghantui pikirannya: kondisi Yuki. Gadis yang menjadi pusat perhatiannya sejak mereka tiba di Avalor perlahan-lahan berubah. Yuki, yang dulu memiliki senyum hangat dan wajah yang cerah, kini mulai kehilangan kecerahannya. Kondisinya semakin hari semakin parah. Kulitnya yang semula pucat, kini memutih seperti mayat hidup. Wajahnya menyiratkan kelelahan yang luar biasa, dan tubuhnya tampak begitu lemah.
Setiap kali Ayato mengunjungi Yuki di penginapan setelah selesai pelatihan, ia hanya bisa menatap tubuh yang semakin ringkih itu dengan perasaan bersalah. Hatinya pedih melihat gadis yang begitu ia cintai semakin terseret ke dalam jurang penderitaan karena kutukan iblis. Ia merasakan kegagalan besar sebagai seorang pelindung-kutukan ini semakin kuat, dan seolah-olah harapan untuk menyelamatkan Yuki semakin jauh dari genggamannya.
Suatu malam, setelah seharian menjalani pelatihan dengan Kakek Shiro, Ayato kembali ke penginapan dan menemukan Yuki terbaring di tempat tidurnya dengan tubuh yang hampir tak bergerak. Nafasnya tipis, dan kulitnya yang memutih membuat Yuki tampak seperti berada di ambang kematian. Rasa takut menyergap Ayato. Ia berjalan cepat mendekati tempat tidur Yuki, duduk di tepi ranjang, dan memegang tangannya yang terasa dingin.
"Yuki..." bisik Ayato, suaranya penuh dengan kepanikan. "Aku berjanji akan menyelamatkanmu. Tolong, bertahanlah sedikit lagi."
Yuki membuka matanya perlahan, tatapannya kosong. Bibirnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar. Air mata menggenang di sudut matanya, dan Ayato hanya bisa menggenggam tangannya lebih erat. Ayato menunduk, menyembunyikan kesedihannya, lalu berbisik lembut di telinganya, "Aku tidak akan menyerah. Aku akan menemukan caranya. Kamu harus tetap bertahan untukku, Yuki."
Keesokan harinya, Ayato bergegas menemui Kakek Shiro lebih awal dari biasanya. Pikirannya dipenuhi oleh Yuki, dan ia tahu bahwa waktu mereka semakin menipis. Selama sebulan ini, Ayato telah menunjukkan kemajuan pesat dalam pelatihan, tetapi ia merasa itu belum cukup untuk menghadapi kutukan iblis yang terus menggerogoti kehidupan Yuki. Ia memohon kepada Kakek Shiro untuk memberikan solusi lebih cepat atau cara lain yang bisa ia lakukan.
"Aku tahu, Kakek. Aku sudah semakin kuat. Tapi kutukan ini... Yuki semakin parah. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi," keluh Ayato dengan wajah penuh kepanikan. "Apakah masih ada waktu? Aku tidak bisa kehilangan dia."
Kakek Shiro, yang biasanya tenang, kini memasang wajah serius. Ia menatap Ayato dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di balik keteguhan hatinya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara. "Kau telah berlatih dengan baik, Ayato. Kekuatanmu telah meningkat pesat, lebih dari yang kubayangkan dalam waktu sebulan. Tapi, aku takut kutukan yang menimpa Yuki ini lebih dalam dari yang kita kira. Ini bukan sekadar sihir biasa."
Ayato menggelengkan kepala dengan frustrasi. "Lalu apa yang harus kulakukan, Kakek? Aku sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi semakin aku berlatih, semakin parah kondisinya. Apa aku harus mencari cara lain?"
Kakek Shiro menghela napas panjang. "Kutukan iblis tidak bisa dihapus hanya dengan kekuatan biasa, Ayato. Kau memerlukan sesuatu yang jauh lebih kuat-kekuatan yang bisa melawan sumber kutukan itu sendiri. Kita mungkin sudah tidak punya banyak waktu lagi untuk Yuki, tetapi ada satu jalan yang bisa kau tempuh. Ini berbahaya, dan tidak ada jaminan kau akan kembali dengan selamat."
Mata Ayato bersinar penuh harapan meskipun kata-kata Kakek Shiro terdengar mengerikan. "Apa itu, Kakek? Apa yang harus kulakukan?"
"Pergilah ke Puncak Isol." Kakek Shiro berkata dengan suara rendah. "Di sana, konon terdapat sebuah artefak kuno yang disebut 'Jantung Surga.' Artefak itu memiliki kekuatan untuk menyucikan segala bentuk sihir gelap, termasuk kutukan iblis. Namun, jalannya sulit dan penuh bahaya. Banyak yang telah mencobanya, namun tidak ada yang kembali."
Ayato menatap Kakek Shiro dengan penuh tekad. Ia sudah tidak peduli lagi dengan bahaya apa pun. "Aku akan pergi, Kakek. Aku harus melakukannya, demi Yuki."
Kakek Shiro tersenyum tipis, meski rasa khawatir masih terlihat di wajahnya. "Baiklah, Ayato. Aku akan menyiapkan semua yang kau butuhkan. Tetapi ingat, kekuatanmu sendiri mungkin belum cukup. Kau harus menemukan kekuatan dari dalam dirimu sendiri. Dan yang paling penting, jangan biarkan amarah menguasaimu. Jika kau membiarkan dendam dan kebencian mengaburkan pikiranmu, kau akan kalah bahkan sebelum mencapai puncak."
Dengan itu, Ayato memulai perjalanan barunya, kali ini menuju tempat yang bahkan lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan.
Bersambung