Pagi itu, seluruh kota Avalor terbangun dengan kabar yang mengejutkan: Ayato, seorang buruh bangunan yang tampaknya tidak berbahaya, kini menjadi buronan kerajaan. Poster wajahnya terpampang di setiap sudut kota, dengan imbalan besar untuk siapa pun yang berhasil menangkapnya. Raja Leonidas, yang dikenal sebagai penguasa tegas namun adil, telah mengumumkan pencarian besar-besaran. Bukan hanya Ayato yang menjadi target, tetapi juga Yuki, yang dituduh sebagai pembawa kutukan iblis.
Di tengah hiruk-pikuk kota yang mulai sibuk membicarakan kabar tersebut, Paman Ritsuki berdiri memandangi poster buronan yang baru saja ditempel di dinding dekat tempat ia bekerja. Mata tuanya menyipit, mencoba memastikan bahwa pemuda yang tergambar di poster itu benar-benar Ayato. Teks di bawah gambar menyebut Ayato sebagai "pembawa malapetaka" dan "pengkhianat kerajaan" yang telah membantu seorang gadis terkutuk melarikan diri. Imbalan besar dijanjikan untuk siapa saja yang bisa memberikan informasi tentang keberadaannya.
"Tidak mungkin..." gumam Ritsuki pelan, matanya tak lepas dari wajah Ayato yang tampak seperti penjahat di poster itu. "Ayato bukan orang seperti itu."
Meskipun ia tidak tahu banyak tentang masa lalu Ayato, selama pemuda itu bekerja di bawah bimbingannya, Ritsuki selalu melihatnya sebagai anak muda yang jujur, rajin, dan selalu berusaha keras. Tidak ada tanda-tanda bahwa Ayato menyimpan rahasia kelam, apalagi terlibat dengan kekuatan iblis seperti yang dituduhkan.
"Seseorang pasti telah menjebaknya," pikir Ritsuki. Ia tidak percaya kabar buronan itu, dan hatinya tergerak untuk mencari tahu kebenarannya. Meski usianya sudah tidak muda lagi, ia bertekad untuk menemukan Ayato dan mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi.
Sementara itu, di perpustakaan kerajaan, Kakek Shiro menatap bola kristalnya dengan ekspresi tegang. Di dalam bola itu, ia melihat bayangan samar Ayato yang sedang berlari di dalam hutan, tubuhnya membawa Yuki yang masih dalam kondisi lemah. Bola kristal bergetar lembut, memperlihatkan betapa buruknya keadaan Yuki saat ini.
"Dia tidak punya banyak waktu lagi," gumam Shiro, suaranya rendah dan penuh kekhawatiran. "Kutukan itu semakin menguasainya. Jika tidak segera ditangani, dia akan hilang sepenuhnya."
Meskipun Ayato telah berhasil meloloskan diri dari penjara kerajaan, Kakek Shiro tahu bahwa pelarian mereka tidak akan bertahan lama. Penjaga-penjaga kerajaan yang terlatih akan segera mengejar mereka, dan jika Ayato tertangkap, itu akan menjadi akhir bagi mereka berdua. Selain itu, Shiro juga merasakan adanya bahaya lain yang lebih besar—sesuatu yang berhubungan dengan kekuatan yang mengendalikan kutukan Yuki.
Shiro berdiri dari tempat duduknya, tangannya menggenggam erat tongkat kayu tua yang selalu menemaninya. "Aku harus membantu mereka... Bagaimanapun caranya."
---
Di dalam hutan yang gelap, Ayato terus berlari tanpa henti, napasnya berat dan terengah-engah. Yuki yang digendongnya semakin berat, tubuhnya hampir tidak bergerak, dan napasnya terdengar sangat lemah. Ayato tahu bahwa waktu mereka hampir habis. Dia harus menemukan tempat aman untuk bersembunyi, setidaknya untuk malam ini, sebelum melanjutkan perjalanan besok pagi.
Di kejauhan, suara langkah kaki para penjaga kerajaan mulai terdengar. Mereka semakin dekat, dan Ayato tahu bahwa ia tidak bisa terus berlari selamanya.
"Aku harus mencari tempat untuk bersembunyi," pikirnya, matanya terus mencari celah di antara pepohonan.
Setelah beberapa menit berlari, Ayato menemukan sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik semak-semak lebat. Tanpa ragu, ia masuk ke dalamnya, berharap para penjaga tidak akan menemukannya di sana. Dengan hati-hati, ia menurunkan tubuh Yuki ke lantai gua yang dingin, memastikan bahwa gadis itu beristirahat dengan nyaman.
Ayato duduk di sampingnya, tangannya gemetar karena kelelahan dan rasa takut. "Yuki... maafkan aku. Aku belum cukup kuat untuk melindungimu," bisiknya. Ia merasakan air mata mengalir di pipinya, tetapi ia cepat-cepat menghapusnya. Tidak ada waktu untuk menangis sekarang. Yuki butuh dia, dan dia harus tetap kuat.
Namun, di dalam dirinya, Ayato tahu bahwa dia sedang berjuang dengan dua musuh: para penjaga kerajaan dan dirinya sendiri. Setelah pertarungannya di dimensi Storm, Ayato mulai merasa semakin sulit untuk mengendalikan emosinya. Amarah dan dendam yang dia rasakan terhadap Wrath dan seluruh pasukan iblis seolah terus membakar jiwanya. Dan itu tidak membantu dalam situasi seperti ini, di mana dia harus berpikir jernih dan menjaga ketenangannya.
"Storm masih meragukan diriku," gumam Ayato pelan. "Dan aku... mungkin aku juga meragukan diriku sendiri."
Sambil merenung, tiba-tiba Ayato mendengar langkah kaki mendekat. Jantungnya berdegup kencang, ia segera berjongkok, bersembunyi di balik bayang-bayang gua.
"Tidak mungkin mereka menemukanku secepat ini..." pikirnya.
Ternyata bukan penjaga kerajaan yang datang. Seorang pria bertubuh besar dengan jubah cokelat lusuh muncul dari semak-semak, membawa lentera di tangannya. Pria itu terlihat seperti pedagang keliling, tetapi tatapan matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia bukan orang biasa.
"Ayato," kata pria itu dengan suara rendah. "Aku tahu kau ada di sini."
Ayato terkejut mendengar namanya disebut, tetapi ia tidak menunjukkan dirinya. Pria itu melanjutkan, "Aku dikirim oleh seseorang yang ingin membantu. Aku bukan musuhmu."
Dengan hati-hati, Ayato keluar dari persembunyiannya, tetap waspada. "Siapa kau?"
Pria itu tersenyum samar. "Namaku tidak penting sekarang. Yang penting adalah bahwa aku punya cara untuk menyelamatkan temanmu. Yuki bisa diselamatkan, tapi kau harus cepat."
Ayato merasa bingung dan curiga. "Kenapa aku harus percaya padamu? Bagaimana kau tahu tentang kami?"
Pria itu menggelengkan kepalanya pelan. "Bukan waktunya untuk menjelaskan semuanya sekarang. Yang perlu kau tahu adalah bahwa waktumu hampir habis. Jika kau ingin menyelamatkan Yuki, kau harus membawanya ke tempat yang aman, jauh dari jangkauan kerajaan ini. Dan aku bisa membantumu."
"Ke mana harus pergi?" Ayato bertanya.
Pedagang itu tersenyum lebar, menunjukkan arah ke utara. "Ada tempat di luar perbatasan Avalor, sebuah desa tua yang tersembunyi dari mata dunia. Di sana, ada seorang penyihir yang bisa menyembuhkan kutukan Yuki."
Ayato menatap ke arah yang ditunjuk pedagang itu, hatinya penuh keraguan dan harapan sekaligus. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, pria itu tiba-tiba menghilang ke dalam kegelapan malam, seolah-olah ia hanya bayangan.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumam Ayato, berdiri sendirian di depan gua.
Satu hal yang pasti: dia harus bertindak cepat.
Ayato berdiri diam di depan gua, pikirannya kacau balau. Bayangan pria misterius itu terus berputar di kepalanya. Desa tersembunyi di luar perbatasan Avalor, seorang penyihir yang bisa menyembuhkan Yuki—semuanya terdengar seperti angin surga. Tapi dia tidak bisa begitu saja mempercayai orang yang baru saja muncul entah dari mana. Namun, apa pilihannya sekarang? Yuki semakin lemah setiap hari, tubuhnya sudah hampir menyerah pada kutukan yang menggerogotinya. Jika dia tidak segera bertindak, Yuki bisa benar-benar hilang.
Ayato menatap Yuki yang terbaring tak berdaya di lantai gua. Napas gadis itu tipis, wajahnya pucat seperti kertas, dengan kulit yang nyaris transparan. Di balik punggung Yuki, tanda kutukan itu semakin menyala, membentuk pola hitam yang menyerupai akar-akar pohon yang terus menjalar. Ayato mengepalkan tinjunya. Dia tidak bisa membiarkan hal ini berlarut-larut. Dia harus mengambil risiko itu, meskipun dia masih ragu tentang kebenaran ucapan pria misterius tadi.
"Baiklah," bisik Ayato pada dirinya sendiri, mengambil keputusan. "Aku tidak punya pilihan lain."
Dengan hati-hati, Ayato mengangkat tubuh Yuki yang semakin ringan di pelukannya. Tubuhnya hampir tidak bereaksi, seperti boneka kain yang kehabisan isi. Perjalanan menuju desa tersembunyi akan jauh, terutama dengan kondisi Yuki yang seperti ini. Ayato tahu dia harus bergerak cepat, tetapi juga tidak bisa terburu-buru. Jika mereka sampai kelelahan di tengah jalan, semuanya akan sia-sia.
Dia mulai melangkah ke arah utara, seperti yang diarahkan pria tadi. Semakin jauh dia berjalan, semakin gelap hutan di sekelilingnya. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi, menutupi sinar bulan yang seharusnya menerangi malam. Ayato hanya bisa mengandalkan indra pendengarannya untuk memastikan tidak ada yang mengikutinya—baik para penjaga kerajaan, maupun makhluk lain yang mungkin mengintai di kegelapan.
Sesekali, ia merasa seperti mendengar langkah-langkah ringan di belakangnya, tetapi setiap kali dia berhenti dan menoleh, tidak ada apa pun kecuali angin yang menggerakkan dedaunan. Suasana mencekam, dan Ayato tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa dia sedang diawasi. Namun, dia tidak punya waktu untuk berhenti atau bersembunyi. Dia harus tetap bergerak.
Setelah beberapa jam berjalan tanpa henti, Ayato akhirnya sampai di kaki sebuah bukit yang menjulang tinggi. Di puncaknya, terlihat secercah cahaya redup—sebuah desa kecil yang tersembunyi di antara pepohonan dan kabut. "Itu pasti desanya," pikir Ayato, berusaha keras untuk menahan rasa lelah yang sudah mulai merayap di seluruh tubuhnya.
Ayato memanjat bukit dengan perlahan, memastikan bahwa Yuki tetap aman di pelukannya. Setiap langkah terasa berat, seperti dia memikul beban dunia di pundaknya. Namun, bayangan Yuki yang terbaring lemah selalu mengingatkannya bahwa dia tidak bisa berhenti sekarang. Tidak ketika dia sudah sedekat ini dengan jawaban.
Sesampainya di desa, Ayato tertegun. Desa ini tampak seperti terjebak dalam waktu. Rumah-rumah kayu tua dengan atap jerami berdiri sunyi, seolah-olah desa ini sudah lama tidak dihuni. Namun, di tengah-tengah desa ada satu rumah yang memancarkan cahaya hangat. Ayato tahu itu adalah tempat yang dia cari. Dia berjalan mendekat, tubuhnya semakin lemah setelah perjalanan panjang ini.
Sesampainya di depan pintu, Ayato mengetuk dengan lembut, takut mengganggu siapa pun di dalam. Suara berderit terdengar dari balik pintu, dan pintu itu terbuka perlahan. Seorang wanita tua, dengan wajah penuh keriput namun mata yang tajam, menatap Ayato dari balik pintu.
"Apa yang kau cari di sini, anak muda?" tanya wanita itu dengan suara serak namun penuh kewibawaan.
"Aku... aku butuh bantuan," kata Ayato dengan napas tersengal-sengal. "Temanku, dia terkena kutukan. Aku diberitahu bahwa di desa ini ada seorang penyihir yang bisa menyelamatkannya."
Wanita tua itu menatap Yuki yang berada dalam pelukan Ayato, ekspresinya berubah menjadi serius. "Masuklah," katanya singkat, lalu membuka pintu lebih lebar.
Ayato masuk ke dalam rumah, dan wanita tua itu segera menunjukkan tempat tidur untuk Yuki. Ayato dengan hati-hati meletakkan Yuki di atasnya, lalu berbalik menatap wanita itu, berharap dia bisa segera melakukan sesuatu.
"Jadi... apa kau bisa menyelamatkannya?" tanya Ayato penuh harap.
Wanita tua itu menggeleng pelan. "Kutukan ini bukan sesuatu yang bisa disembuhkan dengan mudah, apalagi cepat. Tapi ada satu cara... meskipun itu akan menuntut pengorbanan besar darimu."
Ayato mengernyitkan alisnya. "Pengorbanan besar? Apa yang kau maksud?"
Wanita itu menatap Ayato dalam-dalam. "Jika kau ingin menyelamatkan gadis ini, kau harus menyerahkan sebagian dari jiwamu. Itu satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan ini sebelum ia sepenuhnya menguasai tubuhnya."
Ayato terdiam. Menyerahkan sebagian dari jiwanya? Apakah dia siap untuk mengambil risiko sebesar itu? Tapi saat dia menatap Yuki yang semakin memudar, Ayato tahu jawabannya.
"Aku akan melakukannya," katanya mantap. "Jika itu satu-satunya cara, aku akan menyerahkan jiwaku untuk menyelamatkannya."
Wanita tua itu tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu. Persiapkan dirimu. Proses ini akan sangat menyakitkan."
Bersambung
Main kejar kejaran (╯︵╰,)
Mana yuki udah kek mayat hidup, disuruh main lari-larian ( ≧Д≦)
Tetap tunggu ya updatenya