Malam itu, Avalor terlihat seperti biasanya—tenang dan tenteram, dengan lentera-lentera yang menggantung di jalanan kota. Namun, di dalam penginapan tempat Ayato dan Yuki menginap, suasana berbeda. Kegelapan tidak hanya datang dari malam yang dingin, tetapi dari situasi yang semakin memburuk di dalam ruangan tempat Yuki terbaring. Tubuh Yuki yang semakin memutih, kulitnya yang terlihat lebih seperti mayat daripada manusia, serta aura gelap yang samar-samar menyelimuti dirinya mulai menarik perhatian para tamu penginapan.
Seorang tamu, seorang pria tua yang tinggal di ruangan sebelah, mengamati Yuki beberapa hari terakhir ini. Kecurigaannya semakin meningkat, dan akhirnya ia melaporkan hal itu ke pihak kerajaan. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu, tetapi auranya jelas menandakan sesuatu yang tidak wajar. Tanpa berpikir panjang, ia meyakini bahwa ini adalah pekerjaan iblis—dan kerajaan harus segera bertindak sebelum kutukan itu menyebar.
Di istana Avalor, Raja Leonidas mendengar laporan ini dengan wajah serius. Ia adalah raja yang adil, tetapi tegas dalam menghadapi ancaman yang bisa membahayakan rakyatnya. "Seorang gadis terkutuk oleh iblis tidak bisa dibiarkan," pikirnya. "Jika benar ada kekuatan iblis yang menyebar, itu harus dihentikan sebelum menular ke orang lain."
Raja Leonidas segera memerintahkan pasukan elitnya untuk melakukan penyelidikan di penginapan tersebut dan, jika terbukti, untuk membawa gadis itu ke hadapannya. Sang raja tidak segan-segan melakukan ritual penyucian, meskipun itu berarti harus membunuh gadis tersebut di depan umum.
---
Di dalam penginapan, Ayato sedang duduk di tepi ranjang Yuki. Ia meremas tangannya, perasaan cemas semakin menyelimutinya. Yuki tampak semakin lemah setiap hari, dan Ayato tahu bahwa waktu mereka semakin terbatas. Ia masih ingat dengan jelas apa yang dikatakan oleh Kakek Shiro—jalan menuju penyembuhan hanya ada di puncak Isol, dan sekarang Yuki sedang berpacu dengan waktu. Ayato belum menemukan solusi yang lebih cepat untuk menyelamatkannya.
Namun malam itu, sebelum Ayato bisa mengambil tindakan lebih lanjut, ketukan keras terdengar di pintu kamarnya. Ayato berdiri dengan cepat, alisnya berkerut penuh kecurigaan. Ia berjalan ke arah pintu dan membuka sedikit celah, tapi apa yang ia lihat di luar membuatnya kaget—sekelompok prajurit kerajaan dengan pakaian lengkap berdiri di depan pintu, tampak siap untuk melakukan penangkapan.
"Ada apa ini?" tanya Ayato dengan nada waspada.
Salah satu prajurit, dengan tatapan dingin, melangkah maju. "Kami mendapat laporan tentang seorang gadis yang terinfeksi oleh kutukan iblis di sini. Kami diperintahkan oleh Raja Leonidas untuk menangkapnya dan membawanya ke istana untuk disucikan."
Ayato merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa penyucian yang dimaksud adalah kematian bagi Yuki. "Tidak! Kalian tidak mengerti! Dia tidak terinfeksi oleh kutukan biasa, dia hanya... sedang dalam proses penyembuhan!"
Prajurit itu tidak terpengaruh oleh kata-kata Ayato. "Kau, yang diketahui berhubungan dengan gadis itu, juga akan ditangkap atas tuduhan menyembunyikan informasi ini dari pihak kerajaan. Kau bukan warga asli Avalor, dan tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hukum kerajaan."
Sebelum Ayato sempat bereaksi lebih lanjut, dua prajurit lainnya bergerak cepat, memegangi tangan Ayato dan memborgolnya. "Tunggu!" seru Ayato. "Ini semua salah paham! Aku sedang berusaha menyembuhkannya!"
"Penjelasanmu akan disampaikan kepada raja," balas prajurit yang memimpin penangkapan. "Tapi untuk sekarang, kau harus ikut dengan kami."
Yuki, yang terbaring lemah, tampak tidak bereaksi terhadap suara di sekitar mereka. Ia hanya bisa terbaring diam, tidak sadarkan diri, sementara Ayato digiring keluar kamar. Ayato sempat mencoba memberontak, tetapi kondisi tubuhnya yang lelah setelah latihan panjang dan ketidakmampuannya melawan kelompok prajurit yang terlatih membuat perlawanan itu sia-sia.
Dalam waktu singkat, Ayato dan Yuki sudah berada di dalam kereta kerajaan, diikat dan dijaga ketat oleh para prajurit. Suasana di dalam kereta terasa begitu mencekam. Ayato hanya bisa memandang Yuki yang lemah di sampingnya dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku gagal melindungimu, Yuki..." bisiknya dalam hati. "Apa yang harus kulakukan sekarang?"
---
Setibanya di istana, Ayato dan Yuki segera dibawa ke hadapan Raja Leonidas. Ruangan singgasana yang megah dipenuhi oleh pejabat kerajaan, prajurit, dan beberapa tamu yang ingin menyaksikan keputusan raja. Raja Leonidas duduk di singgasananya dengan aura yang kuat, tatapannya tajam melihat Ayato dan Yuki yang dibawa ke hadapannya.
"Jadi, inilah gadis yang terkutuk oleh iblis?" tanya Raja Leonidas dengan nada dingin, matanya tertuju pada Yuki yang terbaring tak berdaya.
"Benar, Baginda," salah satu prajurit melaporkan. "Tanda-tanda kutukan iblis ada di tubuhnya, dan kami menemukan bahwa pemuda ini, Ayato, telah menyembunyikannya dari pengetahuan kerajaan."
Raja Leonidas mengalihkan tatapannya kepada Ayato, yang kini berlutut di hadapannya, dengan tangan masih terikat. "Kau bukan warga Avalor, dan sudah melanggar hukum dengan merahasiakan keberadaan seorang yang terkutuk di wilayah kerajaan ini. Apa yang akan kau katakan untuk membela dirimu?"
Ayato menggigit bibirnya. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan mungkin tidak akan berpengaruh, tetapi ia harus mencoba. "Yang Mulia, Yuki memang terkena kutukan, tapi aku sedang berusaha untuk menyelamatkannya. Aku baru mengetahui cara untuk menyembuhkan kutukannya, tapi waktu kami belum cukup. Aku memohon, beri aku sedikit waktu lagi. Kutukan ini bisa dihilangkan tanpa harus membunuhnya!"
Raja Leonidas menatap Ayato dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Waktu adalah kemewahan yang tidak bisa kita berikan kepada orang yang terinfeksi kutukan iblis. Jika kutukan ini dibiarkan, itu akan menyebar dan membahayakan seluruh kerajaan. Kita tidak bisa mengambil risiko itu."
Ayato mengepalkan tangannya, frustrasi dengan situasi yang tidak berpihak padanya. "Tolong, Yang Mulia, aku akan melakukan apa saja! Jangan bunuh Yuki!"
Raja Leonidas mengangkat satu tangan, menghentikan pembicaraan Ayato. "Keputusan akan kuambil besok pagi. Untuk sekarang, kalian berdua akan ditahan di penjara kerajaan. Ayato, karena kau telah melanggar hukum, hukumanmu adalah lima tahun penjara, tetapi jika kau bisa memberikan bukti bahwa kutukan Yuki bisa disembuhkan tanpa membahayakan yang lain, hukuman itu mungkin dipertimbangkan kembali."
Ayato terdiam. Lima tahun penjara? Itu bukanlah sesuatu yang bisa ia terima, tapi ia tidak punya pilihan lain. Ia dipaksa untuk mengikuti perintah raja, dan dengan berat hati, Ayato dan Yuki dibawa ke penjara bawah tanah kerajaan.
---
Di dalam sel yang dingin dan suram, Ayato duduk merenung, mencoba mencari cara untuk menyelamatkan Yuki. Waktu terasa berjalan begitu lambat, dan pikiran Ayato terus berputar-putar. "Apakah benar tidak ada jalan keluar dari semua ini?" pikirnya. "Apakah aku harus menyerahkan Yuki begitu saja?"
Ketika malam semakin larut, suara langkah mendekat terdengar. Ayato mendongak dan melihat sosok misterius mendekati selnya. Orang itu berbisik pelan, "Aku punya sesuatu untukmu, Ayato. Sesuatu yang bisa membantu menyelamatkan Yuki."
Ayato mendekati teralis sel, matanya penuh dengan harapan dan rasa penasaran. "Apa itu? Siapa kau?"
Sosok itu tidak menjawab pertanyaan Ayato, tetapi menyodorkan sebuah kunci kecil dari balik jubahnya. "Ini... adalah awal dari kebebasanmu."
Ayato menggenggam kunci kecil itu dengan penuh rasa bingung dan curiga, tetapi juga diliputi harapan yang tak terduga. Ia menatap sosok misterius di hadapannya, mencoba mencari tahu identitas orang tersebut. Namun, wajah orang itu tersembunyi di balik tudung jubah yang gelap, suaranya serak dan dalam, seolah-olah telah melihat banyak penderitaan.
"Apa maksudnya ini?" tanya Ayato dengan suara pelan, masih terkejut dengan situasi yang tiba-tiba berubah. "Siapa kau, dan kenapa kau membantuku?"
Sosok itu tertawa pelan, sebuah tawa yang terkesan dipaksakan. "Tidak penting siapa aku. Yang penting sekarang adalah kau punya kesempatan untuk mengubah takdirmu. Raja Leonidas mungkin berpikir sudah memutuskan nasibmu, tapi kunci ini akan memberimu jalan lain."
Ayato menggigit bibirnya, matanya berpindah-pindah antara kunci di tangannya dan orang yang memberikannya. "Tapi bagaimana aku bisa mempercayaimu? Dan bagaimana ini akan membantuku menyelamatkan Yuki?"
Sosok itu tidak menjawab pertanyaan Ayato secara langsung, melainkan berbalik perlahan, berjalan menjauh ke bayang-bayang koridor penjara yang panjang. "Kau akan segera mengerti, Ayato. Malam ini adalah malam yang menentukan nasibmu dan nasib Yuki. Ingat, hanya ada sedikit waktu yang tersisa."
Ayato menatap kepergian sosok misterius itu, hatinya dipenuhi rasa ingin tahu dan ketidakpastian. "Apa ini jebakan?" pikirnya. Namun, di saat yang sama, ia tahu bahwa ia tidak punya banyak pilihan. Jika ia hanya duduk diam, menunggu pagi datang, Yuki akan disucikan—sebuah eufemisme untuk pembunuhan di depan umum—dan Ayato akan dihadapkan pada hukuman lima tahun penjara. Itu akan menghancurkan segala usahanya.
Tanpa ragu lebih lama, Ayato memasukkan kunci kecil itu ke dalam lubang gembok selnya. Jantungnya berdebar kencang saat mendengar bunyi klik kecil yang lembut, dan pintu sel pun terbuka perlahan. Ia keluar dari selnya, memastikan tidak ada penjaga yang melihat, dan dengan langkah hati-hati menyelinap ke koridor gelap penjara kerajaan.
Namun, sebelum Ayato bisa melangkah lebih jauh, langkah kaki terdengar di belakangnya. Dengan cepat, ia bersembunyi di balik sebuah tiang batu. Dari balik kegelapan, dua penjaga lewat, berbicara satu sama lain.
"Besok pagi, penyucian akan dilakukan," kata salah satu dari mereka. "Raja tampaknya tidak ingin menunda ini lebih lama lagi."
Penjaga lain mengangguk. "Ya, aku mendengar gadis itu benar-benar dalam kondisi buruk. Siapa sangka kutukan iblis bisa sampai ke kota ini?"
Kedua penjaga itu berlalu, dan Ayato keluar dari persembunyiannya. Rasa gelisah semakin menguasai dirinya. "Aku harus bergerak cepat," pikirnya. Ia tahu bahwa ia harus menemukan Yuki sebelum waktu habis.
Berjalan dengan hati-hati, Ayato akhirnya menemukan sel tempat Yuki ditahan. Melihat tubuh Yuki yang terbaring lemah di lantai batu yang dingin membuat hatinya semakin sakit. Kulit Yuki hampir sepenuhnya memutih, dan napasnya terdengar sangat lemah. Namun, meskipun dalam kondisi seperti itu, aura iblis di sekitar tubuhnya masih terasa jelas—kutukan yang semakin kuat seiring waktu berjalan.
Ayato berlutut di samping Yuki, hatinya penuh dengan kesedihan dan rasa bersalah. "Aku janji, aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu," bisiknya pelan, menggenggam tangan Yuki yang dingin. "Aku akan mencari cara untuk menyelamatkanmu, apa pun yang terjadi."
Sebelum ia bisa memikirkan langkah selanjutnya, langkah kaki lain terdengar mendekat. Ayato berdiri cepat dan melihat seorang penjaga mendekati sel. Tanpa berpikir dua kali, ia bersembunyi lagi, kali ini di belakang rak yang penuh dengan senjata tua.
Penjaga itu berhenti di depan sel Yuki, memeriksa keadaan gadis itu sejenak sebelum menghela napas panjang. "Sepertinya tak ada harapan untukmu, Nona. Besok, semuanya akan berakhir."
Saat penjaga itu berbalik untuk pergi, Ayato melihat celah untuk bertindak. Dengan gerakan cepat dan tanpa suara, ia menghampiri penjaga itu dari belakang, memukul kepalanya dengan gagang pedang yang ada di dekatnya. Penjaga itu jatuh tak sadarkan diri seketika, dan Ayato mengambil kunci dari ikat pinggangnya.
"Aku harus keluar dari sini... dan membawa Yuki bersamaku," gumam Ayato dengan tekad yang membara. Ia membuka sel Yuki dengan cepat, mengangkat tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Berat tubuh Yuki sangat ringan, seolah-olah hidupnya sudah hampir sepenuhnya hilang. Ayato merasa kesedihan yang mendalam, tapi ia tahu bahwa ini bukan waktu untuk menyerah. "Ayo, Yuki... Aku akan membawamu keluar dari sini."
Dengan langkah hati-hati, Ayato melarikan diri dari penjara kerajaan, mengendap-endap melewati para penjaga yang berpatroli. Setiap langkahnya terasa berat, tidak hanya karena tubuh Yuki yang ia gendong, tetapi juga beban emosional yang terus menekan jiwanya. Namun, ia tidak punya pilihan selain terus bergerak maju.
Setelah beberapa saat, Ayato akhirnya berhasil keluar dari penjara, kembali ke malam gelap di luar istana. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, dan ia memandang ke arah hutan yang terhampar di luar gerbang kota. "Aku harus pergi jauh dari sini. Mereka tidak akan membiarkan Yuki hidup," pikirnya.
Dengan napas yang terengah-engah dan tubuh yang hampir kehabisan tenaga, Ayato berlari menuju hutan yang gelap, berharap bisa menemukan tempat persembunyian sementara sebelum fajar tiba.
Bersambung