Selesai pelatihannya bersama Kakek Shiro, Ayato menyeka keringat yang mengucur deras di dahinya. Ia merasa tubuhnya lebih berat dari biasanya, mungkin karena latihan mental yang ia lakukan dalam meditasi tadi. Rasa lelah menjalar ke seluruh tubuhnya, tapi ada juga rasa lega yang terselip di dalam hatinya. Ayato sudah mengenal elemen sihirnya-petir. Kekuatan yang kini ia ketahui, adalah bagian dari dirinya yang selaras dengan pedang Stormbringer. Namun, di balik semua itu, masih ada hal lain yang mengganggu pikirannya.
Saat Ayato berdiri untuk bersiap pulang, sebuah pikiran melintas begitu cepat dalam benaknya. Pekerjaan! Wajahnya langsung berubah tegang. Ia benar-benar lupa kalau ia seharusnya bekerja di alun-alun sebagai tukang bangunan! Tanpa berpikir panjang, Ayato bergegas keluar dari perpustakaan kerajaan, berlari secepat yang ia bisa. Sepanjang jalan, ia hanya memikirkan bagaimana nasib pekerjaannya hari ini.
Di sepanjang jalan menuju alun-alun kota, Ayato terus memohon dalam hati agar tidak terlambat. Jika pekerjaan ini hilang, bukan hanya dia yang rugi, tapi juga Yuki yang saat ini masih dalam pemulihan. Selain itu, ia berhutang banyak pada Paman Ritsuki, mandor proyek pembangunan yang sudah memberinya kesempatan bekerja.
Ketika Ayato sampai di alun-alun, matahari sudah mulai condong ke barat, menandakan waktu sore hampir tiba. Alun-alun kota tampak sibuk seperti biasa, para pekerja masih terlihat beraktivitas di sekitar proyek pembangunan besar itu. Ayato dengan cepat mendekati lokasi kerja, napasnya terengah-engah.
"Paman Ritsuki!" seru Ayato saat menemukan mandor proyek, seorang pria tua dengan janggut tebal yang tampak keras namun ramah.
Paman Ritsuki, yang sedang berbicara dengan beberapa pekerja lain, menoleh. Alisnya yang tebal sedikit terangkat ketika melihat Ayato yang berkeringat dan terlihat lelah. "Oh, Ayato! Kau kemana saja hari ini? Kami sudah hampir menyelesaikan pekerjaan tanpa dirimu!"
Ayato segera membungkukkan badan, memohon maaf dengan sungguh-sungguh. "Maafkan aku, Paman Ritsuki. Aku terlambat karena urusan mendadak. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk meninggalkan pekerjaan."
Paman Ritsuki tertawa kecil, mengangkat tangannya untuk menenangkan Ayato. "Ah, tidak perlu merasa terlalu bersalah, anak muda. Hari ini, pekerjaan masih bisa kami tangani meskipun tanpa bantuanmu. Tapi ingat, lain kali jangan sampai lupa lagi. Kau tahu, pekerja keras seperti kau ini dibutuhkan, terutama pada proyek besar seperti ini."
Ayato mengangguk cepat, merasa sedikit lega. "Terima kasih, Paman Ritsuki. Aku tidak akan mengulanginya lagi."
Paman Ritsuki menggeleng, kali ini senyum lebar menghiasi wajahnya. "Kau ini terlalu khawatir, Ayato. Santai saja. Aku tahu kau bisa diandalkan, tapi jangan sampai terlalu memaksakan diri. Ada banyak hal yang bisa menunggu, tapi kesehatanmu harus jadi yang utama."
Mendengar kata-kata itu, Ayato merasa sedikit tersentuh. Paman Ritsuki memang seorang mandor yang tegas, namun di balik sikap kerasnya, ada perhatian yang tulus terhadap para pekerjanya. Dengan perasaan sedikit lebih baik, Ayato mengucapkan terima kasih sekali lagi, lalu beranjak pergi.
Setelah berbincang dengan Paman Ritsuki, Ayato berjalan pelan meninggalkan lokasi pembangunan. Kepalanya masih dipenuhi oleh rasa bersalah, tetapi juga kelelahan yang mulai membebani tubuhnya. Ayato tidak tahu kenapa, tapi hari ini ia merasa lebih lelah dari biasanya. Mungkin karena kombinasi latihan bersama Kakek Shiro dan tekanan mental akibat rasa bersalahnya.
Ketika Ayato sampai di penginapan kecil yang ia sewa bersama Yuki, malam sudah mulai turun. Ia membuka pintu dengan perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Yuki yang mungkin sedang beristirahat. Begitu pintu tertutup, Ayato melangkah pelan menuju ranjangnya.
Namun, bahkan sebelum ia sampai di sana, tubuhnya terasa berat sekali. Pandangannya mulai kabur, dan tubuhnya mulai limbung. Tanpa sadar, Ayato jatuh terduduk di lantai, tertelungkup dan tak sadarkan diri. Hari itu telah menghabiskan seluruh energinya, baik fisik maupun mental.
---
Dalam ketidaksadarannya, Ayato menemukan dirinya di tempat yang aneh. Ia berdiri di sebuah lapangan yang terbuka, dikelilingi oleh cahaya matahari yang hangat. Namun, ada yang berbeda dengan tempat ini. Itu adalah ladang gandum yang luas, sebuah pemandangan yang sangat akrab bagi Ayato-ladang keluarganya di Desa Venestria.
Ayato berjalan pelan, mencoba memahami apa yang terjadi. Apakah ini mimpi? Atau mungkin... sesuatu yang lain? Namun sebelum dia bisa menyadari sepenuhnya, suara yang begitu dikenalnya memanggil namanya dari kejauhan.
"Ayato! Kau datang!"
Ayato berbalik dan melihat sosok yang sangat dirindukannya-ayah dan ibunya. Kedua orang tuanya berdiri di ujung ladang, melambaikan tangan ke arahnya dengan senyum lebar di wajah mereka.
"Ini... ini tidak mungkin," gumam Ayato, matanya berkaca-kaca. Ia tahu mereka sudah tiada, namun di sini mereka berdiri, terlihat sehat dan bahagia.
Dengan langkah-langkah cepat, Ayato berlari menuju mereka. Jantungnya berdegup kencang, perasaan haru dan kebahagiaan yang tak terlukiskan melingkupi dirinya. Saat ia sampai di depan kedua orang tuanya, Ayato langsung memeluk mereka erat-erat. Rasanya begitu nyata, begitu hangat.
"Kau sudah tumbuh besar, Ayato," kata ayahnya dengan suara lembut, menepuk punggungnya pelan.
"Kami selalu mengawasi dari kejauhan," ibunya menambahkan, menatap Ayato dengan penuh kasih sayang. "Kami sangat bangga dengan apa yang telah kau capai."
Ayato terisak, air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. "Aku... aku sangat merindukan kalian... Kenapa kalian harus pergi?"
"Ayato, kami tidak pernah benar-benar pergi," jawab ayahnya dengan tenang. "Kami selalu ada bersamamu, di hatimu. Kau kuat, Ayato. Kekuatanmu bukan hanya dari pedang atau sihir, tapi dari cinta dan kenangan yang kau miliki bersama orang-orang yang kau sayangi."
Ibunya tersenyum hangat, mengusap pipi Ayato. "Kau masih memiliki masa depan yang panjang di depanmu, anakku. Jangan biarkan masa lalu menghalangimu. Kami ingin kau melangkah maju, menjalani hidupmu dengan penuh keberanian."
Ayato mengangguk pelan, meskipun air matanya terus mengalir. Ia merasa beban di hatinya sedikit terangkat. Orang tuanya tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Mereka ada di dalam hatinya, memberikan kekuatan dan cinta yang selalu dia butuhkan.
"Tapi... aku merasa begitu lemah," kata Ayato dengan suara parau. "Aku kehilangan begitu banyak. Keluarga, desa, dan kini Yuki juga menderita."
Ayahnya menggenggam kedua bahu Ayato, menatap matanya dalam-dalam. "Tidak apa-apa untuk merasa lemah, Ayato. Itu bagian dari menjadi manusia. Namun, yang penting adalah kau tidak membiarkan kelemahan itu menghentikan langkahmu. Kau harus terus melangkah maju, tidak peduli seberapa berat jalannya."
Ayato merasa dorongan semangat yang kuat dari kata-kata ayahnya. Ia mengangguk sekali lagi, kali ini dengan keyakinan yang lebih besar.
"Jangan pernah lupakan, Ayato," tambah ibunya. "Kami selalu ada di sisimu. Dan jangan pernah takut untuk mengandalkan teman-temanmu, terutama Yuki. Dia juga membutuhkanmu, sama seperti kau membutuhkannya."
Seketika itu juga, ladang gandum di sekelilingnya mulai memudar. Dunia mimpi itu perlahan menghilang, namun kehangatan dan rasa tenang yang dirasakan Ayato masih bertahan.
"Ayato," suara ayahnya terdengar samar, "ingatlah... kau tidak pernah sendiri."
Dan dengan itu, Ayato terbangun. Ia mendapati dirinya terbaring di lantai penginapan, tubuhnya terasa lebih ringan dan segar, seolah semua kelelahan telah sirna. Meski kenyataan begitu berat, Ayato tahu bahwa ia memiliki kekuatan untuk terus maju.
Setelah Ayato terbangun dari mimpinya dengan tubuh yang terasa ringan, tetapi sebelum ia bisa benar-benar mengumpulkan pikirannya, sesuatu yang aneh terjadi. Asap gelap mulai memenuhi seluruh ruangan penginapan. Asap itu begitu tebal, berputar seperti angin topan kecil yang melingkupinya. Ayato mencoba berdiri, tetapi kakinya terasa tertahan oleh gravitasi aneh. Asap tersebut terus merapat, sampai pandangannya benar-benar terhalang.
Dalam sekejap, ruangan penginapan menghilang, dan Ayato mendapati dirinya berdiri di tengah kegelapan. Ia menoleh ke segala arah, mencoba memahami di mana ia berada. Itu bukan lagi dunia yang ia kenal-ia berada di dimensi lain, dimensi yang sangat akrab baginya, tempat di mana Storm, entitas kuat di dalam pedangnya, berdiam.
Tepat di hadapannya, sebuah singgasana megah muncul dari kegelapan. Di atas singgasana itu duduk Storm, wujudnya besar dan menakutkan. Matanya bersinar tajam, dan senyum mengerikan tersungging di bibirnya. "Kau datang lagi, Ayato," ucap Storm dengan suara dalam yang bergema di sekeliling ruangan.
Ayato menatap sosok tersebut, perasaan waspada segera menyelimuti hatinya. Ia ingat terakhir kali berhadapan dengan Storm di dimensi ini, ia hampir tidak mampu menahan amukan kekuatan yang ditunjukkan sang entitas. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Tatapan Storm tidak sekadar menantang, tetapi juga penuh kecurigaan.
"Kenapa kau membawaku ke sini lagi, Storm?" Ayato bertanya dengan nada tegas. Meskipun perasaan takut dan gugup menghampirinya, Ayato mencoba tetap tenang. Ia tahu betul bahwa Storm bukan hanya entitas sembarangan-ia adalah kekuatan besar yang ada dalam pedang Stormbringer.
Storm terkekeh pelan, suara tawanya dalam dan menggetarkan. "Aku membawamu ke sini karena aku belum sepenuhnya mengakui dirimu sebagai pemilikku, Ayato. Kau masih penuh dengan keraguan, dendam, dan amarah yang kau simpan dalam hatimu. Kau ingin menjadi kuat, tapi kau belum bisa mengontrol dirimu sendiri."
Ayato mengepalkan tangannya erat-erat, amarah mulai muncul di benaknya. "Apa maksudmu? Aku sudah melalui banyak hal. Aku sudah cukup kuat untuk mengendalikan pedang ini!"
Storm berdiri dari singgasananya, sosoknya yang besar menimbulkan aura yang menekan. "Kau pikir kau kuat hanya karena kau telah bertahan hidup? Hanya karena kau ingin balas dendam?" Storm mengangkat tangannya dan tiba-tiba melemparkan sebuah pedang ke arah Ayato. Pedang itu melayang, memantul di lantai, dan berhenti tepat di depan kaki Ayato.
"Mari kita buktikan. Ambil pedang itu dan serang aku," kata Storm dengan nada memerintah. "Tapi ingat, ini bukan hanya pertarungan fisik. Ini juga pertarungan emosional. Aku akan memperlihatkanmu hal-hal yang akan mengguncang hatimu, dan kita lihat apakah kau bisa mengendalikan dirimu."
Ayato merasa tubuhnya menegang. Ia tahu ini bukan pertarungan biasa. Storm adalah entitas yang bisa mengendalikan bukan hanya kekuatan fisik, tetapi juga pikiran dan perasaan. Tanpa banyak berpikir, Ayato meraih pedang yang dilemparkan padanya. Pedang itu terasa berat di tangannya, seolah menguji keberaniannya.
Storm tersenyum lebih lebar, dan tiba-tiba, ruangan di sekeliling mereka mulai berubah. Kegelapan menghilang, digantikan oleh pemandangan yang sangat akrab bagi Ayato-desa Venestria. Ayato menatap ke sekeliling, dan di sana ia melihat keluarganya. Orang tua dan Kakaknya berdiri di hadapannya, tersenyum hangat seperti saat mereka masih hidup.
"Ini... ini tidak mungkin," bisik Ayato, perasaannya tercampur aduk antara kebahagiaan dan kesedihan. Ia tahu mereka sudah tiada, tapi di sini mereka berdiri, tampak begitu nyata.
Namun, senyum di wajah keluarganya tiba-tiba berubah menjadi ekspresi ketakutan. Tubuh mereka mulai ditutupi oleh darah, dan seketika itu juga, mereka terjatuh ke tanah, mati dengan wajah penuh penderitaan. Ayato tertegun, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "TIDAK!" jeritnya, berusaha mendekati tubuh keluarganya, tetapi kakinya terasa berat, seperti tertahan oleh kekuatan tak terlihat.
Storm mengamati dari kejauhan, suaranya terdengar rendah dan tenang. "Ini adalah kenyataan, Ayato. Keluargamu sudah tiada, dan tidak ada yang bisa kau lakukan untuk mengubahnya. Apa yang kau rasakan sekarang? Amarah? Dendam? Kepedihan?"
Ayato terhuyung mundur, perasaannya benar-benar kacau. "Berhenti!" teriaknya, pedangnya gemetar di tangannya. Namun, sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bayangan Wrath muncul di hadapannya, sosok iblis mengerikan yang telah membunuh keluarganya dan menghancurkan desanya.
"Wrath!" Ayato berteriak dengan suara penuh kebencian. Wrath tersenyum dingin, memandang Ayato dengan tatapan menghina. "Kau lemah, Ayato," kata Wrath. "Kau tidak bisa melindungi keluargamu, dan kau tidak akan bisa membalaskan dendammu."
Amarah Ayato membara. Ia mengayunkan pedangnya dengan kekuatan penuh, berusaha menyerang bayangan Wrath. Namun, setiap kali pedangnya menyentuh Wrath, sosok itu menghilang seperti asap, hanya untuk muncul kembali di tempat lain.
Storm tertawa di kejauhan. "Apa yang kau rasakan, Ayato? Kebencianmu pada Wrath begitu besar, tapi apakah kau bisa mengendalikannya? Atau kau akan membiarkan amarahmu menghancurkan dirimu sendiri?"
Ayato terus menyerang, tapi tidak ada satu pun serangannya yang mengenai sasaran. Setiap kali ia mencoba menebas Wrath, rasa frustrasinya semakin dalam. Pada saat yang sama, pemandangan keluarganya yang terbantai terus berputar di sekelilingnya, seolah-olah ingin menghancurkan kestabilan emosinya.
"Hentikan ini!" teriak Ayato, matanya berkaca-kaca. "Cukup!"
Tiba-tiba, dunia di sekelilingnya kembali berubah. Keluarganya, Wrath, dan bayangan kegelapan menghilang. Kini Ayato kembali berdiri di tengah kegelapan, berhadapan langsung dengan Storm.
Storm menatap Ayato dengan pandangan penuh makna. "Kau ingin kekuatan, tapi kau belum siap, Ayato. Selama kau membiarkan amarahmu menguasai dirimu, aku tidak bisa sepenuhnya memberikan kekuatanku padamu."
Ayato terengah-engah, keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ia menyadari betapa sulitnya untuk mengontrol perasaan-perasaannya, terutama saat ia berhadapan dengan kenangan masa lalunya yang pahit.
"Tapi," lanjut Storm, "aku bisa melihat potensi dalam dirimu. Meski masih ada kebencian yang belum tuntas, kau sudah menunjukkan kekuatan untuk melawan emosimu. Itu adalah langkah pertama."
Ayato mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata Storm. "Apa yang harus kulakukan untuk bisa mengendalikan diriku sepenuhnya?"
Storm terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbicara dengan nada serius. "Kendalikan emosimu, Ayato. Jangan biarkan masa lalumu menjadi beban yang menghancurkanmu. Jadikan itu kekuatanmu. Saat kau bisa berdamai dengan dirimu sendiri, aku akan memberimu kekuatan yang sesungguhnya."
Dengan kalimat itu, Storm menghilang, dan Ayato tersadar kembali di kamarnya. Kegelapan yang memenuhi ruangan menghilang, meninggalkan dia sendirian, terengah-engah, namun dengan tekad baru yang mulai terbentuk dalam hatinya.
Bersambung
Wayohh lagi lagi ayato di tes mental。◕‿◕。
Kayak ospek aja, hari hari mental terusss, lama lama sakit jiwa tuh karakter(╥﹏╥)
Jangan lupa terus setia, dijamin ceritanya gak bikin bosen kok, bakal banyak plot twist sama sedikit plot hole sama plot armornya sih, biar kerasa esensi berjuangnya.
See you next Chapter...