Ayato duduk bersila di atas lantai perpustakaan yang dingin dan kokoh. Di hadapannya, Kakek Shiro berdiri tegap dengan tongkatnya, wajahnya serius namun masih menunjukkan sedikit senyum yang mengisyaratkan pengalaman ribuan tahun. Ruangan perpustakaan kerajaan Avalor terasa sunyi, seolah hanya suara Kakek Shiro yang mampu memecah keheningan itu.
"Ayato, aku sudah tua dan tubuhku tidak lagi bisa melakukan apa yang dulu pernah kulakukan. Namun, ingat ini baik-baik. Pengajaran tidak selalu harus melalui fisik. Jika kau bisa menguasai apa yang kuajarkan melalui kata-kata, kau akan jauh lebih kuat daripada prajurit manapun di luar sana."
Ayato mengangguk, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya. "Tapi... bagaimana aku bisa melatih serangan atau sihir hanya dengan kata-kata?"
Kakek Shiro tertawa kecil, suaranya bergema di dalam perpustakaan yang luas. "Ah, anak muda, kekuatan sebenarnya datang dari pikiran dan jiwa. Tubuh hanyalah alat. Dalam pertempuran, bukan hanya kekuatan fisik yang penting, tapi juga strategi, pemahaman, dan yang paling penting, keyakinan. Kita akan mulai dari dasar."
Kakek Shiro melangkah perlahan ke arah rak buku besar di belakangnya, menarik sebuah gulungan tua dari salah satu laci. Gulungan itu terlihat usang, penuh debu, namun Kakek Shiro membukanya dengan hati-hati. "Ini adalah gulungan tentang seni bertarung para prajurit terhebat di masanya. Kau akan mempelajari teknik mereka, tapi ingat, ini semua tentang pemahaman."
Ayato memandangi gulungan itu, sedikit kecewa. Dia berharap bisa mulai langsung dengan latihan fisik, mengasah pedangnya, dan melibas musuh-musuhnya. Tapi dia tahu, jika ingin menyelamatkan Yuki, dia harus mendengarkan Kakek Shiro.
Kakek Shiro mulai berbicara dengan nada tenang, namun penuh makna. "Serangan yang kuat bukanlah tentang seberapa keras kau memukul atau seberapa cepat kau bergerak. Serangan yang efektif berasal dari memahami kelemahan musuhmu. Perhatikan lawanmu, Ayato. Setiap gerakan, setiap langkah, setiap tarikan napas mereka memberimu informasi. Kau harus bisa membaca semuanya, seperti membaca buku ini."
Ayato mengangguk, mencoba mencerna apa yang dikatakan Kakek Shiro. "Jadi aku harus lebih banyak memperhatikan daripada hanya bertindak?"
"Benar," jawab Kakek Shiro dengan senyum kecil. "Prajurit yang terburu-buru akan cepat dikalahkan. Setiap pergerakan harus diperhitungkan. Ketika kau menyerang, lakukan dengan tujuan, bukan hanya sekadar menyerang. Kau bisa memegang pedang seberat apapun, tapi jika kau tak tahu kapan atau bagaimana cara mengayunkannya, itu hanya akan menjadi beban."
Kakek Shiro kemudian melanjutkan pelajaran tentang pertahanan. "Bertahan bukan berarti kau pasif. Justru, pertahanan yang baik adalah tentang menunggu kesempatan untuk menyerang balik. Kau tidak harus memblokir setiap serangan musuh. Kadang, menghindar adalah pilihan yang lebih baik. Fokuslah pada energi musuh. Rasakan tekanan dari serangan mereka dan gunakan momentum itu untuk melawan balik."
Ayato memejamkan mata, membayangkan bagaimana dia menghadapi Wrath. Pada saat itu, dia hanya bertindak tanpa berpikir, menebas dengan liar tanpa memikirkan strategi. Mungkin itulah alasan dia kalah. Dia tidak memahami lawannya.
"Bayangkan pedangmu, Ayato," lanjut Kakek Shiro. "Stormbringer bukan hanya pedang biasa. Ia adalah senjata legendaris yang memiliki jiwa di dalamnya. Kau harus bisa berkomunikasi dengannya, merasakan keinginannya, dan memanfaatkannya dengan benar. Setiap kali kau mengayunkan pedang itu, anggaplah dirimu mengundang badai. Jangan serang sembarangan, serang dengan ketepatan."
Ayato menarik napas panjang, mencoba membayangkan dirinya mengayunkan Stormbringer dengan lebih terkendali. Ia masih ingat betapa dahsyatnya kekuatan pedang itu saat pertama kali ia menggunakannya. Gempa yang terjadi ketika dia menariknya dari reruntuhan, kekuatan yang begitu besar sehingga ia hampir tak mampu mengendalikannya.
"Dan sekarang tentang sihir," kata Kakek Shiro dengan nada yang lebih serius. "Sihir bukanlah sesuatu yang hanya bisa dipelajari dengan gerakan tangan atau mantra. Itu adalah energi, kekuatan yang ada di sekitarmu dan di dalam dirimu. Untuk merapal sihir, kau harus memahami keseimbangan alam, merasakannya mengalir melalui tubuhmu. Kau telah melihat sedikit dari kekuatannya ketika melawan Wrath, bukan?"
Ayato mengangguk. "Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Itu hanya terjadi begitu saja."
"Itu karena kau belum menguasainya," jawab Kakek Shiro. "Tapi itu bukan berarti kau tak bisa belajar. Stormbringer, sebagai pedang legendaris, memiliki koneksi yang kuat dengan elemen angin. Kau bisa memanfaatkan itu untuk memanggil kekuatan badai. Tapi kau harus tenang, fokus, dan biarkan kekuatan itu mengalir melalui dirimu, bukan memaksanya keluar."
Ayato kembali menutup matanya, mencoba merasakan energi di sekitarnya. Dia mulai mendengar gemuruh jauh di dalam pikirannya, seolah ada badai yang sedang berputar-putar di kejauhan, menunggu untuk dipanggil. Tapi masih terlalu jauh, terlalu samar.
Kakek Shiro mengamati Ayato dengan mata tajamnya. "Jangan terburu-buru. Kau masih jauh dari bisa menguasainya, tapi setiap langkah kecil itu penting. Sihir adalah tentang mengendalikan dirimu sebelum kau mengendalikan dunia di sekitarmu. Dan itu butuh waktu."
Ayato membuka matanya, mengangguk pelan. "Jadi... aku harus melatih pikiran dan hatiku sebelum aku bisa menguasai pedang dan sihir?"
"Tepat sekali," kata Kakek Shiro dengan tegas. "Latihan fisik hanyalah sebagian kecil dari perjalananmu. Pikiran dan hatimu adalah senjata yang jauh lebih kuat. Stormbringer akan merespon bukan hanya pada kekuatan fisikmu, tetapi pada ketenangan jiwamu."
Kakek Shiro menutup gulungan tua itu dan menatap Ayato dengan mata penuh kebijaksanaan. "Latihan ini bukan sesuatu yang akan kau kuasai dalam sehari, seminggu, atau bahkan sebulan. Kau harus terus belajar, terus berlatih, dan yang paling penting, terus percaya pada kekuatanmu sendiri. Dunia ini lebih gelap dari yang kau kira, Ayato. Musuh-musuhmu tidak hanya kuat secara fisik, tapi juga sangat licik. Mereka akan mencoba menyerang pikiranmu, merusak hatimu. Jadi kau harus siap."
Ayato mengangguk sekali lagi, merasa beban di pundaknya semakin berat. Namun, bersamaan dengan itu, ada semacam tekad baru yang terbentuk di dalam dirinya. Tekad untuk melindungi Yuki, untuk membalas dendam pada Wrath, dan untuk menjadi kuat. Sebesar apapun tantangannya, dia tahu dia tidak akan menyerah.
"Dari sinilah semuanya dimulai," bisik Ayato pada dirinya sendiri.
Kakek Shiro tersenyum kecil, puas melihat kemajuan yang perlahan muncul di wajah Ayato. "Ingatlah, Ayato. Kesabaran dan pemahaman adalah kunci untuk menjadi kuat. Jangan terburu-buru, dan jangan pernah ragu pada dirimu sendiri."
Setelah penjelasan panjang tentang strategi bertarung dan kekuatan sihir, Kakek Shiro kembali menatap Ayato dengan sorot mata serius. "Latihan fisik dan teori sudah cukup untuk saat ini, Ayato. Sekarang saatnya untuk memahami dirimu lebih dalam. Kau harus mengenal jati dirimu, siapa kau sebenarnya, dari mana kekuatanmu berasal, dan bagaimana kau bisa mengendalikannya."
Ayato terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Kakek Shiro. Baginya, ini terdengar seperti langkah yang sulit dan rumit, jauh lebih sulit daripada latihan fisik yang biasanya ia jalani. Selama ini, Ayato hanya berfokus pada bagaimana ia bisa melawan, menebas musuh-musuhnya, dan menyelamatkan Yuki. Ia tidak pernah benar-benar berpikir tentang jati dirinya sendiri.
Kakek Shiro menunjuk ke sebuah sudut ruangan yang lebih sunyi, hanya ada sebatang lilin menyala di tengah. "Di sana, kau akan bermeditasi. Duduk, tenangkan pikiranmu, dan lepaskan segala beban di hatimu. Ini bukan hanya tentang menjadi kuat secara fisik. Ini adalah tentang menerima dirimu apa adanya. Jika kau tidak bisa menerima masa lalumu dan dirimu saat ini, kau tidak akan pernah mencapai potensi penuhnya."
Ayato menatap lilin itu dengan keraguan. Meditasi? Bukan sesuatu yang pernah ia bayangkan harus dilakukan dalam perjalanan menjadi seorang pejuang. Namun, ia tak punya pilihan lain. Jika ini yang diperlukan untuk menyembuhkan Yuki, maka ia akan melakukannya. Dengan langkah perlahan, Ayato berjalan menuju lilin tersebut, lalu duduk bersila di lantai, persis seperti yang dikatakan Kakek Shiro.
"Tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan," suara Kakek Shiro terdengar lembut di belakangnya. "Pusatkan pikiranmu pada dirimu sendiri. Abaikan dunia luar, fokus pada dirimu."
Ayato mengikuti arahan itu. Tarikan napas dalam-dalam, diikuti oleh hembusan perlahan, mencoba melepaskan segala pikiran yang menghantui kepalanya. Bayangan kematian keluarganya, wajah Wrath yang penuh dengan kebencian, penderitaan yang dialami Yuki—semua itu seolah menyerbu pikirannya. Tapi Ayato berusaha keras menenangkan dirinya.
Setelah beberapa saat, lambat laun dunia di sekelilingnya terasa semakin sunyi. Suara langkah Kakek Shiro, gemerincing kecil dari perpustakaan, semuanya memudar, meninggalkan Ayato sendirian dalam pikirannya. Di dalam keheningan itu, Ayato mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan hanya ketenangan, tetapi juga rasa keberadaan yang lebih mendalam.
"Kenali dirimu," suara Kakek Shiro terdengar samar, namun seolah datang dari jauh di dalam pikirannya. "Terimalah masa lalumu, semua kekecewaan dan rasa sakitmu. Tanpa itu, kau tak akan bisa bergerak maju."
Masa lalu Ayato mulai muncul dalam benaknya. Bayangan masa kecilnya, saat dia pertama kali berlatih menggunakan pedang kayu, bersama ayahnya yang tersenyum bangga. Lalu, ada momen saat keluarganya hidup bahagia di Desa Venestria, sebelum kegelapan tiba. Dia juga ingat malam ketika Wrath datang dan membantai keluarganya. Kengerian, ketidakberdayaan yang dia rasakan saat itu kembali menghantamnya seperti badai.
Namun, seiring waktu, Ayato mulai melihat sesuatu yang lain. Bukan hanya rasa sakit, tapi juga kekuatan yang tumbuh dari rasa sakit itu. Keputusannya untuk terus melangkah maju, meskipun kehilangan segalanya. Tekadnya untuk melindungi Yuki. Semua itu menjadi pilar yang menopang dirinya. Dia mulai menyadari bahwa meskipun masa lalunya penuh dengan penderitaan, itu juga yang membuatnya menjadi siapa dia sekarang.
Ayato menghela napas panjang, kali ini lebih tenang. Ada rasa penerimaan yang tumbuh dalam dirinya. Dirinya yang terluka, yang penuh kebencian dan dendam, tapi juga memiliki cinta dan keinginan untuk melindungi.
Seketika, sebuah cahaya terang muncul di depan mata Ayato. Lilin kecil yang ada di depannya tiba-tiba memancarkan sinar yang sangat kuat. Cahaya itu membesar dan berubah bentuk, seolah mengelilingi dirinya. Ayato tidak merasa takut, melainkan damai. Dalam sekejap, dunia di sekitarnya berubah, tidak ada lagi ruangan perpustakaan. Ia berada di tengah-tengah ruang hampa, diselimuti cahaya keemasan yang menghangatkan tubuhnya.
Lalu, di tengah cahayanya, muncul sebuah bola kaca yang berkilauan di hadapannya. Bola itu memancarkan energi aneh namun terasa akrab bagi Ayato. Dia tahu bahwa ini adalah bagian dari latihan yang diberikan oleh Kakek Shiro.
"Ayato," suara Kakek Shiro terdengar lagi, namun kali ini jauh lebih lembut, seolah berasal dari dalam bola kaca itu. "Ini adalah ujian terakhir untuk tahap ini. Melalui bola kaca ini, aku akan melihat elemen apa yang ada dalam dirimu. Elemen itu akan menjadi kunci untuk memahami sihirmu dan bagaimana kau bisa mengendalikannya."
Ayato mengulurkan tangannya, menyentuh permukaan bola kaca tersebut. Begitu jari-jarinya menyentuhnya, sebuah kilatan listrik muncul, mengalir melalui tangannya. Pada saat itu, Ayato merasa tubuhnya menjadi lebih ringan, namun juga penuh dengan energi yang luar biasa.
Kakek Shiro, yang berdiri di kejauhan, tersenyum penuh kepuasan. "Listrik. Elemen yang cocok dengan pedang Stormbringer. Kau tidak hanya memiliki pedang yang kuat, Ayato, tapi juga kekuatan yang selaras dengannya. Elemen petir dalam dirimu adalah wujud sejati dari kekuatanmu."
Ayato terkejut sekaligus takjub. Petir? Dia tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan memiliki elemen sekuat itu. Petir adalah salah satu elemen yang sangat destruktif, penuh dengan kekuatan yang bisa menghancurkan segalanya dengan satu serangan cepat.
"Kau harus belajar mengendalikan elemen ini," lanjut Kakek Shiro. "Petir bisa sangat tidak stabil, tapi juga bisa menjadi senjata yang sangat mematikan jika kau bisa menguasainya. Seiring dengan Stormbringer, kau akan menjadi kekuatan yang ditakuti oleh musuh-musuhmu."
Ayato menarik napas dalam-dalam, mencoba merenungkan apa yang baru saja dia pelajari. Ada perasaan bangga yang tumbuh dalam dirinya, tetapi dia juga sadar bahwa ini baru permulaan. Mengetahui elemen sihirnya hanyalah langkah pertama dari perjalanan panjang yang harus ia tempuh. Pelatihan yang lebih sulit dan menantang sudah menunggunya di depan.
Kakek Shiro mendekat, meletakkan tangan di bahu Ayato. "Kau telah lulus ujian ini, Ayato. Kini, kau tahu kekuatan sejati dalam dirimu. Tapi perjalananmu masih panjang. Kau harus belajar bagaimana memanfaatkan kekuatan ini dengan bijak. Jangan biarkan emosimu menguasaimu. Elemen petir adalah elemen yang cepat dan berbahaya, tapi juga sangat rapuh jika tidak dikendalikan dengan baik."
Ayato mengangguk pelan. Meskipun dia merasa lebih kuat, dia tahu dia masih jauh dari siap. Tapi dengan tekad yang sudah tertanam dalam dirinya, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus belajar, terus berlatih, dan tidak akan berhenti sampai dia cukup kuat untuk melawan Wrath dan para iblis lainnya.
"Latihanmu belum berakhir, Ayato," lanjut Kakek Shiro dengan senyuman lembut. "Tapi untuk hari ini, kau sudah melakukan yang terbaik. Istirahatlah dan persiapkan dirimu untuk pelatihan berikutnya."
Dengan perasaan lega dan puas, Ayato berdiri dari tempatnya bermeditasi, siap menghadapi tantangan yang akan datang.
Bersambung
Wahhh ayato potensinya mulai semakin terlihat yaa, Demi Yuki tuhh...
Tunggu terus updatenya yaa...
Di usahakan secepatnya update, biar cepet tamat