Tiga hari telah berlalu sejak Yuki dirawat di klinik kerajaan Avalor. Selama waktu itu, Ayato hampir tidak pernah meninggalkan sisi Yuki. Ia berjaga setiap malam, memastikan sahabat kecilnya mendapatkan perawatan yang layak. Meskipun begitu, Ayato tidak tinggal diam. Ketika ia melihat ada proyek pembangunan di alun-alun kota, ia memutuskan untuk menawarkan dirinya sebagai pekerja bangunan.
Pada awalnya, Ayato ragu-ragu mendekati mandor yang bertanggung jawab atas proyek itu. Namun, ketika dia menjelaskan bahwa dia sedang membutuhkan pekerjaan dan tempat tinggal di kota, sang mandor dengan senang hati menerimanya. "Kami selalu membutuhkan tangan tambahan," katanya sambil menyuruh Ayato mulai bekerja dengan mengangkat batu bata dan menyiapkan bahan bangunan. Pekerjaan itu tidak mudah, namun bagi Ayato yang terbiasa dengan kehidupan desa, ini tidaklah seberat yang ia bayangkan. Setiap kali dia merasa lelah, dia teringat akan Yuki dan penderitaannya. Itu membuatnya terus bersemangat.
Sore harinya, ketika pekerjaan selesai, Ayato kembali ke klinik tempat Yuki dirawat. Saat ia masuk ke dalam ruangan, Yuki terlihat lebih baik. Wajahnya mulai mendapatkan kembali sedikit warna, meskipun tubuhnya masih lemah. Ayato segera duduk di samping tempat tidur, memberikan senyuman kepada gadis itu.
"Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanyanya lembut.
Yuki mengangguk pelan, "Sedikit lebih baik... Terima kasih, Ayato, karena sudah selalu ada untukku."
"Aku baru pulang dari pekerjaan bangunan di alun-alun. Rasanya aneh... bekerja di tempat baru. Tapi setidaknya sekarang kita bisa mendapatkan penghasilan untuk bertahan hidup di sini," cerita Ayato dengan antusias, berusaha menyembunyikan kelelahan di balik wajahnya yang tersenyum.
Yuki tersenyum tipis, meski rasa lelah masih tampak jelas di matanya. "Kau selalu kuat, Ayato. Aku senang kau menemukan jalan baru di sini."
Ayato mengangguk sambil menatap Yuki dengan penuh perhatian. "Kita harus tetap kuat, untuk masa depan yang lebih baik. Setelah apa yang terjadi di desa, aku akan melakukan apapun untuk melindungimu, Yuki."
Percakapan mereka terhenti ketika pintu kamar terbuka, dan dokter yang selama ini merawat Yuki masuk ke dalam ruangan. Wajahnya serius, dan ada sedikit kecemasan dalam sorot matanya. Ayato langsung merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Kami sudah melakukan pemeriksaan lanjutan," kata dokter itu, nadanya perlahan dan berhati-hati. "Dan ada sesuatu yang harus kalian ketahui."
Ayato duduk tegak, hatinya mulai dipenuhi dengan kecemasan. "Apa itu? Apakah Yuki akan baik-baik saja?" tanyanya dengan nada khawatir.
Dokter itu menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Kami menemukan tanda yang mencurigakan di punggungnya. Sepertinya… ini adalah tanda kutukan, kutukan dari iblis."
Kata-kata itu menghantam Ayato seperti petir di siang bolong. Wajahnya berubah tegang, dan emosinya mulai memuncak. "Kutukan…?" bisiknya sambil menatap Yuki, yang kini tampak terkejut.
Dokter itu mengangguk, kemudian memperlihatkan bagian punggung Yuki yang ditutupi perban. Ketika ia membuka perban itu, tampaklah sebuah tanda hitam berbentuk lingkaran dengan pola aneh di dalamnya. Tanda itu tampak berdenyut pelan, seolah-olah hidup. Ayato merasa ada sesuatu yang jahat dan gelap keluar dari tanda itu, seakan mengancam kehidupan Yuki.
"Ini adalah tanda kutukan yang cukup baru," lanjut dokter. "Kemungkinan besar, kutukan ini diberikan oleh iblis kuat. Tanda seperti ini biasanya tidak muncul begitu saja."
Ayato langsung mengingat wajah Wrath, sang iblis kemurkaan, yang telah menghancurkan desanya. Matanya dipenuhi api kebencian. Tangannya mengepal erat, hingga buku-bukunya memutih. "Wrath…" bisiknya penuh amarah.
Yuki menatap Ayato dengan cemas, "Ayato, tolong jangan marah. Ini bukan salahmu…"
Namun, amarah Ayato sudah tidak bisa dibendung lagi. Sebuah aura gelap mulai mengelilingi tubuhnya, dan ruangan tempat mereka berada mulai terasa mencekam. Cahaya di ruangan itu seolah memudar, dan udara di sekitarnya menjadi berat dan dingin. Bahkan dokter itu mundur beberapa langkah, merasakan ketegangan yang melingkupi Ayato.
"Aku akan membalas dendam… Aku tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja," kata Ayato dengan suara rendah, penuh dendam.
Namun, sebelum amarahnya semakin memuncak, Yuki dengan lembut menyentuh lengan Ayato, mengingatkannya untuk tetap tenang. "Ayato, aku... aku baik-baik saja. Jangan biarkan kebencian menguasaimu. Kita harus mencari cara untuk menghilangkan kutukan ini."
Sentuhan Yuki membuat Ayato tersadar, dan aura gelap di sekelilingnya mulai menghilang. Dia menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri. "Maafkan aku, Yuki," bisiknya.
Dokter itu, yang kembali tenang setelah aura Ayato menghilang, melanjutkan penjelasannya. "Kutukan ini bisa sangat berbahaya jika tidak segera diobati. Namun, ada kemungkinan untuk menghentikannya sebelum mencapai tahap akhir."
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ayato dengan tegas.
"Kalian harus pergi ke perpustakaan kerajaan. Di sana, ada seorang guru besar bernama Kakek Shiro. Dia adalah penjaga perpustakaan kerajaan dan ahli dalam hal-hal seperti ini. Jika ada yang tahu cara untuk menghilangkan kutukan ini, dialah orangnya," jawab dokter itu.
Ayato langsung merasa harapan baru muncul dalam hatinya. "Di mana kami bisa menemukan perpustakaan itu?"
"Perpustakaan kerajaan terletak di bagian timur Avalor. Kalian harus melapor pada penjaga di gerbang utama, dan mereka akan mengarahkan kalian ke sana. Tapi ingat, Kakek Shiro tidak selalu menerima tamu, terutama yang datang dengan masalah serius seperti ini. Namun, jika dia tahu tentang kutukan ini, mungkin dia akan membantu."
Ayato mengangguk, meskipun pikirannya dipenuhi oleh banyak pertanyaan. Dia mengingat wajah Wrath lagi, bayangan sosok iblis yang telah menghancurkan kehidupannya dan kini mencoba menghancurkan hidup Yuki. Perasaan dendam itu mulai membakar kembali, tetapi kali ini Ayato mencoba menahannya.
Setelah dokter pergi, Yuki menatap Ayato dengan khawatir. "Apakah kau benar-benar akan pergi ke perpustakaan itu?"
"Aku tidak punya pilihan," jawab Ayato dengan serius. "Aku harus menemukan cara untuk menyelamatkanmu. Wrath sudah mengambil segalanya dariku, dan aku tidak akan membiarkan dia mengambilmu juga."
Yuki menggenggam tangan Ayato erat-erat. "Ayato, aku tidak ingin kau bertindak hanya karena dendam. Kau bukan orang seperti itu. Kita harus tetap tenang dan mencari cara terbaik untuk menghadapinya."
Ayato menatap Yuki dalam-dalam, lalu mengangguk. "Aku akan melakukannya untukmu. Bukan karena dendam, tapi karena aku tidak ingin kehilanganmu."
Dengan keputusan bulat, Ayato bersiap untuk pergi ke perpustakaan kerajaan, tempat di mana mungkin jawabannya berada. Tapi di balik keberanian dan tekad itu, ada perasaan takut yang tidak bisa ia singkirkan. Wrath mungkin masih mengintai, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi. Tapi satu hal yang pasti, Ayato tidak akan mundur.
Keesokan harinya, setelah memastikan Yuki cukup kuat untuk ditinggal sejenak, Ayato bersiap menuju perpustakaan kerajaan. Perjalanan ini mungkin akan membawa mereka pada jawaban yang selama ini ia cari, tetapi Ayato tahu bahwa ini hanyalah awal dari tantangan yang lebih besar. Kutukan yang menempel pada Yuki hanyalah permulaan, dan di baliknya, ada kekuatan gelap yang siap menghancurkan segalanya.
Ayato bergegas melintasi jalanan kota Avalor dengan langkah cepat. Pikiran tentang Yuki dan kutukan iblis yang mengancam hidupnya tidak pernah lepas dari benaknya. Langit di atas Avalor mulai mendung, menambah kesan tegang di hati Ayato yang sedang cemas. Dokter sudah mengarahkannya menuju perpustakaan kerajaan, tempat Kakek Shiro, penjaga agung yang dikatakan sebagai ahli sihir kuno, mungkin dapat memberikan jawaban tentang kutukan yang menimpa Yuki.
Sesampainya di pintu gerbang besar perpustakaan kerajaan, Ayato disambut oleh dua penjaga berseragam dengan wajah serius. Mereka tampak tegap berdiri di kedua sisi pintu kayu yang tinggi dan megah.
"Apa keperluanmu datang ke sini, anak muda?" tanya salah satu penjaga dengan suara berat dan dalam, sambil menatap Ayato dengan tatapan curiga.
Ayato menarik napas dalam dan menjelaskan, "Aku di sini atas saran dokter untuk bertemu dengan Kakek Shiro. Aku butuh bantuannya untuk menyembuhkan teman perempuanku, Yuki, yang terkena kutukan iblis."
Kedua penjaga itu saling berpandangan sejenak sebelum mengangguk. Salah satu dari mereka berbicara dengan nada yang lebih lembut kali ini, "Kutukan iblis bukan masalah ringan. Kami akan mengantarmu masuk, tetapi ingat, jangan berisik dan tetap tenang. Kakek Shiro adalah orang yang sulit ditebak, dan perpustakaan ini bukan tempat sembarangan."
Penjaga yang lain menambahkan dengan senyum tipis, "Kami berharap Yuki, temanmu itu, bisa terlepas dari kutukan tersebut. Kami akan berdoa untuknya."
Mendengar doa tulus dari penjaga itu, Ayato merasa sedikit tenang. Ia hanya bisa mengangguk sebagai ucapan terima kasih sebelum mengikuti salah satu penjaga memasuki perpustakaan.
Begitu Ayato melangkah masuk, ia dikejutkan oleh suasana yang sangat sunyi. Rak-rak buku yang menjulang tinggi mengisi setiap sudut ruangan besar itu, dengan cahaya matahari yang hanya sedikit menyusup melalui jendela-jendela besar di dinding. Udara di dalam perpustakaan terasa dingin, hampir mencekam. Saat mereka berjalan lebih dalam, suara langkah kaki mereka bergema di antara rak-rak buku kuno yang seolah menyimpan sejarah dunia.
Penjaga yang mengantarnya berhenti di depan sebuah ruangan besar dengan pintu kayu yang terbuka setengah. "Di dalam sana, kau akan menemukan Kakek Shiro," ucapnya singkat sebelum memberikan anggukan dan pergi.
Ayato menarik napas dalam-dalam. Ia melangkah ke dalam ruangan tersebut, tetapi sebelum ia sempat melihat lebih jauh, tiba-tiba sesuatu melesat cepat ke arahnya. Suara desir yang tajam membuat Ayato terkejut, dan seketika ia merunduk.
Clang!
Sebuah pedang tiba-tiba berhenti tepat di depan wajahnya, tertanam di lantai batu, hanya beberapa inci dari tubuhnya. Ayato menatap pedang itu dengan mata terbelalak, napasnya tertahan.
"Hei, bocah!" Sebuah suara tua namun lantang terdengar dari ujung ruangan. "Apa yang kau lakukan di sini? Apa tujuanmu?"
Ayato mendongak, melihat seorang lelaki tua berambut putih panjang yang duduk di sebuah kursi besar. Jubahnya berwarna abu-abu kusam, namun tatapannya penuh ketegasan. Matanya yang tajam menembus Ayato seperti menghakimi.
"A-aku datang untuk meminta bantuanmu… untuk menyembuhkan temanku dari kutukan iblis," kata Ayato, suaranya sedikit bergetar, tapi dia berusaha menahan kegugupan yang tiba-tiba melandanya.
Mendengar penjelasan Ayato, Kakek Shiro tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Suaranya memenuhi ruangan, menggema di antara rak-rak buku. Ayato hanya bisa menatap dengan bingung, tidak mengerti kenapa sang kakek tertawa di saat seperti ini.
"Hahaha! Jadi kau pikir aku akan membantumu begitu saja? Bocah bodoh!" Kakek Shiro berdiri dari kursinya, lalu melangkah mendekat dengan ekspresi penuh cemoohan. "Kau tidak pantas menerima bantuan dari Kakek Shiro. Pulanglah!"
Ayato terdiam, tetapi hatinya memberontak. Bagaimana bisa ia diusir tanpa diberi kesempatan menjelaskan lebih lanjut? Amarahnya mulai berkobar, tetapi ia berusaha tetap tenang.
"Aku tidak bisa pergi!" Ayato berseru, mencoba menjaga nadanya tetap hormat. "Temanku, Yuki, terancam oleh kutukan iblis. Aku tidak akan mundur sebelum aku mendapatkan jawaban yang kuperlukan."
Kakek Shiro berhenti sejenak, menatap Ayato dengan senyum tipis yang licik. "Begitu, ya? Kau memang keras kepala."
Tanpa peringatan, Shiro tiba-tiba menggerakkan tangannya dan pedang-pedang lain mulai melesat ke arah Ayato. Pedang-pedang itu terbang cepat, meluncur dari segala arah, seperti sihir yang terkontrol dengan sempurna.
Ayato bereaksi cepat, menghunus pedangnya dan menangkis serangan-serangan itu dengan gesit. Setiap kali pedang datang, ia berhasil menepisnya dengan kekuatan yang terlatih. Meskipun masih awam dalam pertempuran melawan kekuatan sihir, Ayato tidak membiarkan dirinya gentar. Ia tahu, jika ia tidak berhasil mengatasi ujian ini, Yuki mungkin tidak akan pernah sembuh.
Serangan pedang terus menghujaninya, namun Ayato tetap berdiri tegak, menangkis setiap serangan dengan tekad kuat. Meskipun amarahnya terus mendidih, ia tetap berusaha mengendalikan emosinya. Perasaan ingin menyelamatkan Yuki jauh lebih besar daripada keinginannya untuk melawan balik.
Akhirnya, serangan itu berhenti. Kakek Shiro, yang mengawasi dengan mata menyipit, tersenyum puas. "Hmm... kau ternyata tidak semudah itu dipatahkan."
Ayato masih berdiri dengan napas tersengal-sengal, tangannya menggenggam erat pedangnya. "Aku tidak akan menyerah... Demi Yuki."
Kakek Shiro tertawa kecil dan melambaikan tangannya, membuat pedang-pedang yang tersisa kembali ke tempatnya. "Kau lulus, bocah. Ini hanya ujian kecil saja, untuk melihat apakah kau pantas menerima bantuan dariku."
Ayato menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu? Jadi ini hanya tes?"
"Benar. Aku harus memastikan kau cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang. Kalau kau gagal menahan dirimu tadi, aku takkan segan-segan mengusirmu," jelas Kakek Shiro sambil tersenyum sinis.
Ayato terdiam sesaat, meresapi kata-kata itu. Kemarahan di hatinya mulai mereda, dan ia menghela napas panjang. "Jadi... apakah kau akan membantuku?"
Kakek Shiro duduk kembali di kursinya dan menjentikkan jarinya. Tiba-tiba, sebuah meja kecil dan dua kursi muncul di tengah ruangan, seolah-olah berasal dari udara kosong. "Duduklah, anak muda. Kita bisa mulai berbicara sekarang."
Ayato ragu sejenak, tapi kemudian ia menyarungkan pedangnya dan duduk di kursi yang telah disediakan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi setidaknya ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan Yuki.
Shiro, yang kini terlihat lebih tenang, memandang Ayato dengan penuh minat. "Kutukan iblis bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Apalagi jika itu diberikan oleh salah satu dari Tujuh Dosa Besar. Apa kau tahu, siapa yang memberikannya?"
Ayato mengepalkan tinjunya, mengingat dengan jelas wajah Wrath yang penuh kebencian. "Wrath, Sang Kemurkaan... Dia yang menghancurkan desaku dan memberi Yuki kutukan ini."
Kakek Shiro mengangguk, wajahnya berubah serius. "Wrath, ya? Itu berita buruk, bocah. Iblis seperti dia tidak bermain-main. Jika dia memberikan kutukan pada temanmu, maka itu berarti dia punya rencana besar."
Ayato mengangguk, "Jadi... bagaimana aku bisa menyembuhkannya?"
Kakek Shiro menghela napas panjang sebelum menjawab, "Menghilangkan kutukan seperti ini bukan hal yang mudah. Kau perlu menemukan sesuatu yang sangat berharga, dan itu hanya bisa didapatkan dengan bantuan Stormbringer, pedang yang kau miliki. Pedang itu mungkin kunci untuk mengalahkan kutukan ini."
Mendengar itu, Ayato merasakan kelegaan sekaligus kecemasan. Ia sudah memegang Stormbringer, tetapi perjalanan untuk menyelamatkan Yuki tampaknya baru saja dimulai. "Apa yang harus aku lakukan?"
Shiro berdiri dan menatap Ayato dengan serius. "Kau harus memasuki kedalaman sihir pedangmu sendiri. Temukan kekuatan yang terkunci di dalam Stormbringer, dan mungkin kau bisa menemukan jawabannya di sana. Aku bisa.
Ayato menatap Kakek Shiro dengan bingung. "Bagaimana kau bisa tahu tentang pedang ini? Stormbringer... Aku bahkan tidak tahu banyak tentangnya selain dari cerita rakyat."
Kakek Shiro tersenyum tipis, matanya menyipit seolah mengingat masa lalu yang jauh. "Aku tahu lebih dari yang kau bayangkan, anak muda. Stormbringer bukan pedang sembarangan. Pedang itu telah ada selama ribuan tahun, terlibat dalam pertempuran yang jauh lebih besar dari yang bisa kau bayangkan. Aku tahu tentang pedangmu karena aku hampir tahu segalanya. Terutama tentang para iblis yang menguasai dunia ini dalam bayangan."
Ayato merasa jantungnya berdetak lebih cepat mendengar kata-kata Kakek Shiro. "Apa maksudmu? Apakah kau tahu siapa yang ada di balik semua ini?"
Kakek Shiro mengangguk perlahan, sorot matanya berubah serius. "Aku tahu tentang mereka semua. Mulai dari Raja Iblis yang paling ditakuti, Satan, sampai ke tiga pilar utama yang menopang kerajaannya. Lalu ada Tujuh Dosa Besar, salah satunya adalah Wrath yang sudah kau temui. Mereka adalah iblis-iblis yang tidak bisa dianggap enteng, dengan kekuatan yang melampaui akal manusia. Dan jangan lupakan sepuluh iblis terkuatnya, yang masing-masing diberi nama secara langsung oleh Satan."
Mendengar itu, Ayato terdiam, pikirannya mencerna informasi yang baru saja diungkapkan. "Sepuluh iblis terkuat... dan mereka semua diberi nama oleh Satan sendiri?"
Kakek Shiro mengangguk. "Ya, mereka adalah prajurit pilihannya. Namun, aku tidak akan mengungkapkan semuanya sekarang. Terlalu dini. Yang perlu kau tahu, Ayato, adalah bahwa perjalananmu baru saja dimulai. Jika kau ingin menyelamatkan Yuki, dan mungkin seluruh dunia, kau harus bersiap menghadapi mereka. Semua iblis itu."
Ayato merasakan gelombang ketegangan di tubuhnya, tetapi ia tetap tenang. Ia memikirkan Yuki, keluarganya, desanya yang telah hancur. Ia tidak punya pilihan lain. "Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?"
Kakek Shiro tersenyum tipis. "Kau harus melatih dirimu, memperkuat ikatan dengan Stormbringer, dan yang paling penting... siapkan dirimu untuk pertempuran yang lebih besar. Dunia ini sedang berada di ujung tanduk, Ayato. Perang yang telah lama tertidur mungkin akan bangkit kembali."
Ayato hanya bisa mengangguk pelan, menyadari bahwa apa yang terjadi sekarang hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Bersambung
Mulai di singgung nih sama pak tua(. ❛ ᴗ ❛.)
Nantikan terus untuk updatenya...
See you next chapter readers>-<