Chereads / Sword Destiny : Stormbringer / Chapter 4 - Bab 4. Kemurkaan yang Membakar

Chapter 4 - Bab 4. Kemurkaan yang Membakar

Ayato dan Yuki bergerak cepat menembus hutan yang memisahkan mereka dari desa Venestria. Meskipun jalan setapak yang mereka lalui biasa terasa akrab dan damai, kali ini ada perasaan tidak enak yang menggelayuti hati Ayato. Tidak ada burung yang berkicau, angin terasa kering dan panas, dan udara dipenuhi dengan aroma yang tidak menyenangkan—sesuatu yang menyiratkan kehancuran.

"Ada yang tidak beres," gumam Yuki, sambil melihat ke arah Ayato.

Ayato mengangguk. Pikirannya terusik oleh firasat buruk yang semakin kuat seiring dengan setiap langkah yang mereka ambil. Ketika mereka akhirnya tiba di dekat pintu masuk desa, pemandangan yang menanti mereka membuat Ayato tertegun.

Desa Venestria, yang biasanya tenang dan damai, kini dilalap api. Asap hitam pekat membubung ke langit, membakar sisa-sisa rumah kayu yang dulu berdiri tegak. Jeritan-jeritan yang dulu mengisi desa kini hanya tinggal bayangan samar, tergantikan oleh suara retakan api yang melahap segalanya.

"Apa yang terjadi di sini...?" bisik Yuki, matanya membelalak tak percaya.

Ayato tidak mampu menjawab. Dia terdiam, berdiri terpaku di tempatnya, mencerna pemandangan mengerikan di depannya. Tubuhnya terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kakinya ingin merenggutnya jatuh. Warga desa yang telah ia kenal sepanjang hidupnya—tetangga, teman, bahkan keluarganya—semuanya tampak hilang dalam kobaran api dan kehancuran.

Tanpa berpikir panjang, Ayato berlari memasuki desa yang sudah menjadi lautan api. Yuki berteriak memanggilnya, tapi dia tidak peduli. Ada satu hal di benaknya—keluarganya. Mereka harus selamat.

"Tidak... tidak mungkin mereka semua tewas..." gumam Ayato, berusaha meyakinkan dirinya sendiri sembari menghindari reruntuhan yang menyala-nyala. Jalanan yang dulu sering dilaluinya kini hanya menjadi ladang kehancuran. Rumah-rumah terbakar hingga hanya tersisa kerangka hitam. Tanahnya hangus, dan setiap langkah membuat kakinya terasa seperti terbakar.

Di setiap sudut yang ia lewati, ia melihat mayat-mayat warga yang berserakan. Beberapa di antaranya adalah orang-orang yang ia kenal baik—orang tua yang ramah, anak-anak yang sering bermain di alun-alun desa. Semuanya tak bernyawa. Perasaan tidak berdaya dan kemarahan mulai membanjiri hatinya, tapi dia tidak berhenti. Ada satu tujuan yang memaksa kakinya terus bergerak: rumahnya.

Ayato tiba di depan rumahnya yang juga sudah dalam keadaan rusak parah. Atapnya telah runtuh, dan tembok kayunya terbakar habis, namun pintu masih berdiri setengah terbuka. Dengan hati yang berdegup kencang, ia masuk, berharap bahwa keluarganya masih hidup, meski kecil kemungkinannya.

"Ayah! Ibu! Riku!" panggilnya, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemeretak api. Tidak ada jawaban.

Ketika ia sampai di ruang utama rumahnya, langkahnya berhenti. Pemandangan di depannya langsung menghantam dadanya seperti palu. Di sana, tergeletak di lantai yang penuh darah, adalah keluarganya. Ibunya, ayahnya, dan kakaknya, Riku, semuanya terbujur kaku dengan luka-luka yang jelas di tubuh mereka. Ayato mendekat, berlutut di samping tubuh keluarganya yang sudah tak bernyawa, dan tangannya gemetar saat menyentuh mereka.

"Apa... kenapa...?" bisik Ayato, suaranya serak oleh kesedihan yang menyesakkan dada. Air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari. Rasa sakit yang begitu mendalam menyesaki hatinya, membuatnya hampir tak bisa bernapas. "Mengapa ini harus terjadi...?"

Saat ia terisak, sebuah suara berat dan dingin terdengar dari kegelapan di dalam rumah yang terbakar. "Akhirnya, kau datang."

Ayato mendongak dengan cepat, matanya basah oleh air mata, namun amarah kini membara di dalam dirinya. Dari bayangan di sudut ruangan, muncul sosok tinggi yang menakutkan. Ia mengenakan jubah hitam pekat yang seakan menyatu dengan kegelapan di sekelilingnya. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, tetapi sepasang mata merah menyala terlihat jelas dari balik bayangan tersebut.

"Siapa kau?" tanya Ayato dengan nada yang mengandung kemarahan. Tangannya mencengkeram erat gagang pedang Stormbringer yang ada di pinggangnya.

Sosok itu melangkah maju, dan kehadirannya terasa menekan. Suhu di ruangan yang sudah panas karena api kini terasa semakin menyesakkan, seolah-olah sosok itu membawa kemarahan dan kebencian yang lebih besar daripada api yang melahap desa.

"Aku adalah Wrath," kata sosok itu dengan suara berat yang menggema di dalam kepala Ayato. "Satu dari tujuh Dosa Besar. Aku datang untuk menghancurkan segala yang ada di desa ini sebagai awal dari kebangkitan kegelapan."

Ayato merasakan darahnya mendidih mendengar kata-kata itu. "Kau yang melakukan semua ini...? Kau yang membantai keluargaku...!?"

Wrath mengangkat tangannya perlahan, dan tanpa mengatakan apa pun, seberkas energi hitam yang pekat mengalir dari telapak tangannya. Energi itu berputar-putar di udara sebelum tiba-tiba membentuk bayangan-bayangan gelap yang menyerupai sosok iblis. Mereka berteriak mengerikan dan langsung menyerang Ayato tanpa ampun.

Namun, kemarahan Ayato meluap. Tanpa berpikir panjang, dia mencabut Stormbringer dari sarungnya, dan pedang itu langsung bersinar dengan kilatan biru yang terang. "Aku akan menghancurkanmu!" teriak Ayato, melompat maju dan mengayunkan Stormbringer dengan kekuatan penuh.

Pedang itu menebas bayangan-bayangan iblis itu dalam satu gerakan, membuat mereka lenyap seketika dalam kilatan listrik. Namun, Wrath hanya berdiri di sana, tidak terpengaruh, dan senyuman kecil muncul di bawah tudungnya.

"Stormbringer... pedang yang legendaris, pemanggil badai... menarik," gumam Wrath sambil memperhatikan pedang di tangan Ayato. "Tapi bahkan pedang sepertimu tidak akan mampu menandingi kekuatan yang aku miliki."

Ayato, meskipun dipenuhi kemarahan, tahu bahwa musuh di depannya bukanlah musuh biasa. Aura kegelapan yang memancar dari Wrath begitu kuat hingga menyesakkan dada. Tapi dia tidak punya pilihan. Ini adalah orang yang telah membunuh keluarganya. Tidak peduli seberapa kuat Wrath, Ayato tahu bahwa dia harus bertarung. Bukan hanya demi balas dendam, tapi demi desanya yang sudah hancur.

Dengan teriakan penuh amarah, Ayato berlari ke arah Wrath, pedangnya berkilauan dengan kilatan petir. Stormbringer bergerak secepat kilat, memotong udara dengan kekuatan penuh, menargetkan musuh yang berdiri di hadapannya.

Namun, sebelum pedang itu mencapai Wrath, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Wrath hanya menggerakkan tangannya sedikit, dan tiba-tiba, sebuah kekuatan tak terlihat menghentikan Ayato di tempat. Rasanya seperti tubuhnya tertahan oleh dinding tak terlihat yang tidak bisa ia lawan. Pedang Stormbringer terpental ke samping, dan Ayato terjatuh ke tanah.

"Aku sudah bilang, kekuatanmu tidak cukup, Ayato," kata Wrath dengan nada yang tenang tapi penuh dengan ejekan. "Kemurkaanmu memang besar, tapi itu tidak cukup untuk mengalahkanku. Kemurkaan yang sesungguhnya adalah kekuatan yang tak bisa kau bayangkan."

Wrath mengangkat tangannya lagi, dan kali ini sebuah bola energi hitam mulai terbentuk di atas telapak tangannya. Energi itu berputar-putar dengan kecepatan yang semakin cepat, dan Ayato bisa merasakan kekuatan destruktif yang memancar darinya.

"Aku akan mengakhiri penderitaanmu sekarang," kata Wrath, mengarahkan bola energi itu ke arah Ayato. "Selamat tinggal, Ayato. Ini adalah hukumanmu."

Ayato mencoba bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. Stormbringer tergeletak beberapa meter darinya, dan dia tidak punya kekuatan untuk meraihnya. Dia hanya bisa menatap bola energi hitam itu yang semakin mendekat, membawa kehancuran yang tak terelakkan.

Namun, tepat ketika bola energi itu akan menabraknya, sebuah cahaya biru terang tiba-tiba muncul, menghentikan bola energi di udara. Kilatan listrik dari Stormbringer menyambar, dan pedang itu bergerak sendiri kembali ke tangan Ayato.

Ayato merasakan sesuatu yang aneh saat Stormbringer kembali ke tangannya. Kilatan petir biru dari pedang itu tidak hanya menyambar udara di sekitarnya, tetapi juga menjalar ke seluruh tubuh Ayato. Ada sensasi kekuatan yang tiba-tiba membanjiri dirinya, meskipun tubuhnya masih terasa lemah dan lelah. Ia bangkit dengan perlahan, matanya terpaku pada Wrath yang berdiri dengan senyum tipis, menganggap remeh segala yang terjadi.

"Aku belum selesai," gumam Ayato dengan suara yang terdengar lebih tegas dari sebelumnya.

Wrath mendengus pelan, seolah-olah tidak terkesan. "Kau hanya menunda yang tak terhindarkan, anak kecil. Kau terlalu lemah untuk melawanku."

Namun, Ayato tidak lagi mendengar ejekan itu. Suara-suara di dalam kepalanya lebih keras, memenuhi pikirannya. Itu suara Storm, anak kecil yang ia temui di dimensi aneh sebelumnya.

"Tenang, Ayato... biarkan aku yang memandu. Kau masih belum tahu sepenuhnya kekuatan pedang ini."

Ayato memejamkan mata sejenak, merasakan kehadiran Storm yang begitu dekat dengannya. Ada koneksi yang mulai terbentuk di antara mereka. Dia tahu bahwa kekuatan Stormbringer adalah sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar pedang, tetapi ia belum mengerti sepenuhnya bagaimana cara menggunakannya.

Dengan satu tarikan napas, Ayato membuka matanya, memfokuskan pandangannya pada Wrath. Dia menyerang dengan kilatan cepat, mengayunkan Stormbringer dengan kekuatan yang bahkan mengejutkannya sendiri. Kilatan listrik dari pedang itu menerjang udara, langsung menuju Wrath dengan kecepatan luar biasa.

Wrath, meskipun terkejut oleh serangan mendadak itu, masih cukup cepat untuk mengangkat tangannya, menciptakan perisai energi hitam yang menghalau serangan Ayato. Kilatan listrik dan energi hitam bentrok di udara, memancarkan percikan yang menyilaukan, membuat tanah di sekitar mereka retak dan meledak.

"Hm, tidak buruk," Wrath berkomentar sambil melangkah mundur beberapa langkah, menilai Ayato dengan mata yang kini lebih serius. "Tapi kau masih terlalu muda untuk mengendalikan kekuatan itu dengan benar."

Ayato tidak membiarkan kata-kata itu mengganggunya. Dengan Stormbringer di tangan, dia merasa lebih yakin, meskipun hatinya masih dipenuhi amarah dan kesedihan. Dia kembali menyerang, kali ini lebih cepat, lebih ganas. Stormbringer memotong udara dengan kilatan petir yang menyala-nyala, menyerbu Wrath dari berbagai sudut.

Wrath, meskipun terpojok oleh serangan Ayato, masih tetap tenang. Dia menggerakkan tangannya dengan gesit, menciptakan bayangan energi hitam yang bertarung melawan kilatan petir Ayato. Setiap serangan Ayato yang mengenai perisai Wrath memantul, menimbulkan gelombang energi destruktif yang menggetarkan tanah di sekitar mereka. Meski begitu, Ayato terus menekan, mencoba untuk menghancurkan pertahanan Wrath.

Tetapi, seiring berjalannya waktu, Ayato mulai kehabisan tenaga. Nafasnya semakin berat, dan otot-ototnya terasa kaku. Setiap serangan yang ia luncurkan terasa semakin lambat, sedangkan Wrath tampaknya tidak mengalami kesulitan. Dengan setiap pertahanan yang berhasil dibangun Wrath, rasa putus asa semakin menyelubungi Ayato.

"Apa ini? Apakah ini batas kekuatanmu?" tanya Wrath, suaranya sarat dengan ejekan. "Kau mungkin punya pedang legendaris itu, tapi kau tidak punya pengalaman, tidak punya pengetahuan. Kau hanya anak yang bermain dengan api yang terlalu besar untukmu."

Ayato terengah-engah, keringat mengalir di dahinya. Dia tahu Wrath benar—kekuatan besar dari Stormbringer ada di tangannya, tapi dia belum cukup kuat untuk mengendalikan atau memahaminya. Meski begitu, dia tidak bisa menyerah sekarang. Seluruh desanya hancur, keluarganya tewas, dan musuh yang bertanggung jawab berdiri di depannya. Tidak ada pilihan selain terus bertarung.

Wrath tampak bosan. "Cukup main-main. Saatnya kau merasakan kemurkaan yang sesungguhnya."

Dengan gerakan yang hampir tidak terlihat, Wrath mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dari tanah yang gelap dan terbakar, gelombang besar energi hitam muncul, berputar seperti tornado yang menghancurkan segalanya di jalannya. Angin kencang menerpa tubuh Ayato, membuatnya sulit untuk berdiri. Kekuatan Wrath yang masif mendominasi, dan Ayato tahu dia tidak akan mampu menahannya.

Namun, tepat ketika Ayato merasa tubuhnya hampir roboh, suara Storm kembali terdengar di kepalanya, kali ini lebih tegas.

"Serahkan padaku, Ayato. Kau belum siap untuk ini, tapi aku bisa mengendalikannya. Percayakan tubuhmu padaku."

Ayato ragu sejenak. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika membiarkan Storm mengambil alih, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Dengan pasrah, dia menutup matanya dan membiarkan kekuatan Storm merasuki tubuhnya.

Tiba-tiba, tubuh Ayato bergerak sendiri. Matanya terbuka lebar, namun tatapannya tidak lagi dipenuhi dengan keraguan atau ketakutan. Storm telah mengambil alih, dan wajah Ayato tampak lebih tenang, lebih yakin. Stormbringer bersinar lebih terang dari sebelumnya, dan kilatan petir mengelilingi tubuh Ayato dengan intensitas yang belum pernah terlihat sebelumnya.

Wrath memperhatikan perubahan itu dengan alis terangkat. "Oh? Apa ini?" Dia tidak terkesan—belum.

Ayato, atau lebih tepatnya Storm yang menggunakan tubuh Ayato, mengayunkan Stormbringer dengan sekali gerakan. Gelombang petir biru meluncur cepat menuju Wrath, menghancurkan perisai energi hitamnya seketika. Wrath tersentak ke belakang, kaget dengan kekuatan tiba-tiba itu. Storm tidak memberi Wrath kesempatan untuk memulihkan diri. Dia bergerak dengan kecepatan luar biasa, menyerang Wrath dari berbagai arah.

Kini, giliran Wrath yang terlihat terdesak. Meski masih bertahan dengan kekuatan kegelapannya, dia mulai kehilangan kendali atas situasi. "Ini… berbeda," gumamnya, matanya menyipit memperhatikan gerakan Ayato yang berubah drastis.

Storm, melalui tubuh Ayato, terus menekan dengan serangan-serangan yang tak terduga. Setiap ayunan Stormbringer kini tidak hanya menghasilkan kilatan petir, tapi juga tekanan angin yang kuat, menciptakan badai kecil di sekitar medan pertempuran. Wrath mulai kehilangan kendali atas kekuatannya sendiri, dan meskipun dia terus melawan, jelas terlihat bahwa dia tidak lagi mendominasi.

Namun, meski kekuatan Storm sangat besar, dia masih belum bisa mengalahkan Wrath sepenuhnya. Wrath, meski terpojok, tetaplah salah satu dari Dosa Besar. Dengan satu gerakan terakhir, dia menciptakan ledakan energi besar yang memisahkan dirinya dari Ayato, menciptakan jarak yang cukup jauh di antara mereka.

"Kau beruntung, anak kecil," kata Wrath dengan nada rendah. "Ini belum berakhir. Tapi untuk sekarang, aku harus pergi. Jangan berpikir ini kemenanganmu."

Wrath menghilang dalam kabut hitam sebelum Ayato, yang masih dalam kendali Storm, bisa mengejarnya. Energi di sekitar Ayato mulai mereda, dan Storm perlahan-lahan melepaskan kendalinya. Ayato merasakan tubuhnya kembali normal, namun sekarang ia sangat lelah, hampir pingsan.

Dia jatuh berlutut di tanah yang hancur, napasnya berat. Storm, dalam pikirannya, terdengar tenang.

"Kau sudah melakukannya dengan baik, Ayato. Tapi kita baru saja memulai."

Babak pertama dalam perang melawan salah satu 7 Dosa Besar telah berakhir, namun Ayato tahu bahwa tantangan yang lebih besar masih menantinya.

Bersambung

Atau kalian minta di spill nih 7 dosa besar siapa aja? Tak kasih namanya dulu ya:v

1. Wrath Sang Kemurkaan

2. Envy Sang Iri Hati

3. Lust Sang Hawa Nafsu

4. Pride Sang Kesombongan

5. Sloth Sang Kemalasan

6. Greed Sang Keserakahan

7. Gluttony Sang Kerakusan

Dan juga ada Raja Dari Segala Iblis itu yang Namanya Satan.

Selain itu ada 3 Petinggi Iblis yang kekuatannya Hampir setara dengan Satan itu sendiri, dimana mereka berdedikasi penuh sebagai 3 pilar utama dari para iblis. Diantaranya yaitu Prejudice, Hate, dan Evade.

Di bawahnya itu juga ada 10, iblis terkuat diantara iblis lainnya yang diberi nama oleh satan itu sendiri, yaitu ada Doubt, Apathy, Cafard, Anxiety, Lost, Despair, Absurdness, Memory, Revenge, Deceit.

Tetap nantikan perbaruan perjalanan ayato ya readera...