Ayato terengah-engah, tubuhnya bergetar setelah pertarungan sengit melawan Wrath. Meski lelah, pikirannya mulai jernih. Ia mengingat Yuki, gadis yang telah bersama dengannya sejak kecil.
Dalam kebingungan dan ketegangan pertempuran, dia melupakan satu hal terpenting: Yuki yang tadi ia tinggal.
Dengan napas terengah, Ayato berdiri. Hatinya terasa sesak, teringat akan desanya yang hancur dan keluarganya yang tewas.
Namun, sekarang yang ada di pikirannya hanya Yuki. Dia harus menemukannya. Dia harus memastikan bahwa Yuki selamat, bahwa dia tidak menderita sendirian di tengah kehancuran ini.
Ayato segera bergerak, meskipun tubuhnya terasa berat. Kakinya hampir menyeret di tanah, tapi dia tidak peduli. Satu hal yang mendorongnya maju adalah keyakinan bahwa Yuki membutuhkannya sekarang.
Sambil berlari melintasi desa yang kini hampir rata dengan tanah, reruntuhan bangunan, dan puing-puing berserakan di mana-mana. Asap masih mengepul dari rumah-rumah yang terbakar. Tubuh-tubuh yang tergeletak di jalan semakin membuat perutnya bergejolak.
"Yuki!" Ayato berteriak keras, mencoba memanggil nama gadis itu dengan harapan ada respons. Namun, tidak ada suara selain desiran angin malam yang membawa aroma kematian dan kehancuran.
Ayato berhenti sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Dia ingat tempat terakhir dia meninggalkan Yuki setelah semua ini terjadi—dekat dengan rumah keluarganya. Mungkin dia masih di sana, pikirnya. Dengan sekuat tenaga, Ayato berlari menuju arah rumah Yuki.
Sesampainya di sana, pemandangan yang ia lihat membuat hatinya terasa hancur. Rumah Yuki telah runtuh sepenuhnya, seperti bangunan lainnya di desa ini. Namun, di antara puing-puing, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya.
Yuki sedang duduk termenung, tubuhnya gemetar di depan mayat keluarganya yang hancur. Pandangannya kosong, seolah-olah tidak ada kehidupan yang tersisa di dalam dirinya.
"Yuki..." suara Ayato serak, hampir tak terdengar, namun cukup untuk menarik perhatian Yuki.
Yuki perlahan mengangkat wajahnya, melihat Ayato yang berdiri tak jauh darinya. Matanya bengkak, jelas terlihat dia telah menangis selama ini. Wajahnya pucat dan penuh dengan kesedihan yang tak terlukiskan.
"Semua... semua sudah mati, Ayato," suaranya pelan, nyaris tak terdengar. "Ibu, Ayah… mereka semua…"
Ayato tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya terasa sesak mendengar kata-kata Yuki, karena ia pun baru saja kehilangan keluarganya sendiri.
Mereka berdua kini menjadi yatim piatu, kehilangan segalanya dalam sekejap mata. Rasa sakit itu begitu dalam, hingga seolah-olah tidak ada lagi kekuatan yang tersisa di dalam dirinya.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Ayato berjalan mendekati Yuki dan berlutut di sampingnya. Dia tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana menghiburnya, karena dia sendiri juga merasakan luka yang sama.
Tetapi dia tahu satu hal, dia tidak akan membiarkan Yuki menghadapi ini sendirian. Dia merangkul Yuki dengan lembut, menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
Yuki awalnya terdiam, tidak bereaksi, tapi perlahan-lahan tubuhnya mulai bergetar. Tangisannya pecah, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Dia menangis dalam pelukan Ayato, mencurahkan semua rasa sakit dan kehancuran yang dia rasakan.
Ayato hanya bisa memeluknya erat-erat, membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Air matanya sendiri mulai mengalir tanpa dia sadari, tetapi dia mencoba untuk tetap kuat.
"Kita sudah kehilangan segalanya…" bisik Yuki, suaranya terdengar penuh putus asa.
"Kau masih punya aku," jawab Ayato dengan suara serak. "Dan aku masih punya kau, Yuki. Kita... kita akan melewati ini. Kita harus."
Namun, meskipun kata-kata itu terucap, Ayato sendiri tidak tahu bagaimana cara mereka bisa melanjutkan hidup setelah semua ini. Dunia mereka yang dulu damai kini telah berubah menjadi mimpi buruk.
Tidak ada lagi tempat untuk pulang, tidak ada lagi keluarga yang menunggu di rumah. Semua yang mereka kenal telah lenyap.
Malam semakin larut, dan hawa dingin mulai merayap masuk. Asap dari sisa-sisa api yang membakar rumah-rumah mulai menipis, tapi bau kematian masih sangat terasa di udara.
Di tengah kehancuran itu, hanya ada Ayato dan Yuki yang saling menguatkan satu sama lain. Mereka duduk di sana dalam diam, hanya ditemani oleh tangisan yang tersisa dan keheningan malam.
Setelah beberapa lama, tangisan Yuki mulai mereda. Matanya masih sembab, tetapi dia mencoba menghapus air matanya. "Ayato... apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya dengan suara pelan, penuh kebingungan dan kesedihan.
Ayato menghela napas dalam-dalam. "Aku tidak tahu, Yuki. Tapi kita tidak bisa menyerah begitu saja. Ini... bukan akhir dari segalanya."
"Bagaimana bisa kau bilang begitu?" Yuki menatapnya dengan mata penuh keputusasaan. "Kita bahkan tidak punya apa-apa lagi..."
Ayato merasakan kesedihan Yuki seolah itu miliknya sendiri. Dia memahami rasa putus asa itu, namun di dalam hatinya, ada dorongan kecil yang membuatnya ingin bangkit. Meskipun semuanya hancur, dia merasa ada sesuatu yang lebih besar yang menunggu mereka.
Pedang Stormbringer di tangannya memberikan sensasi kekuatan yang belum sepenuhnya dia pahami, tetapi dia tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan kehancuran ini menjadi akhir dari segalanya.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Yuki," jawab Ayato pelan. "Tapi aku berjanji, aku tidak akan membiarkan kita jatuh lebih dalam dari ini. Kita harus bangkit. Aku tidak bisa melakukannya sendirian, dan aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian juga."
Yuki terdiam, matanya masih merah dan sembab, namun ia menatap Ayato dengan tatapan yang perlahan berubah.
Dia tidak sepenuhnya yakin dengan kata-kata Ayato, tetapi ada sesuatu di dalam diri pemuda itu yang membuatnya ingin percaya. Yuki mengangguk pelan, meski air mata masih menggenang di sudut matanya.
"Aku akan mencoba," bisik Yuki. "Aku akan mencoba untuk kuat."
Ayato tersenyum kecil, meskipun hatinya masih diliputi kesedihan. "Itu yang harus kita lakukan sekarang, Yuki. Kita hanya bisa mencoba untuk bertahan."
Malam itu, mereka duduk dalam keheningan, hanya ditemani oleh bintang-bintang yang berkedip di langit gelap. Keduanya tahu bahwa hidup mereka tidak akan pernah sama lagi. Mereka telah kehilangan banyak hal, tapi mereka masih memiliki satu sama lain.
Di tengah kehancuran ini, persahabatan mereka menjadi satu-satunya hal yang bisa mereka andalkan.
Perlahan, rasa dingin mulai menusuk lebih dalam, membuat tubuh mereka gemetar. Yuki menatap Ayato, matanya yang dulu penuh dengan keceriaan kini dipenuhi oleh kesedihan yang mendalam. Tapi di sana juga ada secercah keteguhan, meskipun sangat kecil.
"Ayato... apa kau benar-benar percaya bahwa kita bisa melawan mereka? Wrath... Dosa Besar... mereka begitu kuat. Bagaimana mungkin kita bisa melawan kekuatan seperti itu?"
Ayato terdiam sejenak, mengingat betapa mudahnya Wrath mengalahkannya dalam pertempuran sebelumnya. Tapi dia juga ingat bagaimana Storm telah membantunya, bagaimana kekuatan dari pedang legendaris itu menyelamatkannya dari kematian. Dia tahu bahwa kekuatannya sendiri belum cukup, tapi dia tidak bisa menyerah begitu saja.
"Aku tidak tahu," jawab Ayato jujur. "Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka menang. Jika kita menyerah sekarang, maka semua ini akan sia-sia. Kita harus melawan, Yuki. Untuk mereka yang sudah tiada, untuk desa kita, dan untuk masa depan kita."
Yuki menatap Ayato dalam-dalam, lalu mengangguk. "Kalau begitu, aku akan bersamamu. Apa pun yang terjadi."
Malam itu, meskipun mereka dilanda kesedihan yang mendalam, Ayato dan Yuki berjanji untuk bangkit dari keterpurukan ini. Mereka tahu jalan ke depan tidak akan mudah, dan musuh yang mereka hadapi jauh lebih kuat daripada yang bisa mereka bayangkan. Tapi dengan keberanian yang mulai tumbuh di hati mereka, mereka siap menghadapi apa pun yang akan datang.
Pagi menjelang, dan sinar matahari yang lembut menyinari desa yang kini tinggal puing-puing. Suara burung-burung pagi terdengar samar, seakan tak sadar akan kehancuran yang terjadi beberapa jam sebelumnya. Ayato terbangun dengan perasaan berat, tubuhnya masih terasa lelah setelah pertempuran melawan Wrath. Meski telah mendapat bantuan dari Storm, dampak fisik dan mental dari pertarungan itu masih membebani dirinya. Namun, pagi ini dia tidak punya pilihan selain bangkit dan terus maju.
Di sampingnya, Yuki sedang mengumpulkan barang-barang miliknya, yang hanya tersisa sedikit. Matanya masih sembab setelah malam yang penuh dengan tangisan, tetapi dia tampak lebih tenang sekarang. Mereka berdua tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal di desa ini lagi—tempat yang dulunya menjadi rumah mereka kini sudah tak lagi aman.
"Kita akan ke Avalor," kata Ayato dengan suara serak. Yuki menoleh, mendengar keteguhan dalam suaranya.
Kerajaan Avalor berada di sebelah selatan, berjarak beberapa hari perjalanan dari desa Venestria. Meskipun Ayato belum pernah ke sana, dia tahu bahwa Avalor adalah tempat yang cukup besar, tempat di mana mereka bisa memulai hidup baru, setidaknya untuk sementara. Tidak ada lagi yang tersisa di desa ini, dan ke Avalor mungkin adalah satu-satunya pilihan mereka untuk bertahan hidup.
"Aku akan melindungimu, Yuki," kata Ayato perlahan. Matanya yang penuh tekad menatap Yuki dengan dalam. "Aku berjanji, meskipun hanya kita berdua yang tersisa, aku akan memastikan kau selamat. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan hal seperti semalam terulang lagi."
Yuki menatapnya dalam diam, tetapi ada sesuatu di matanya—sebuah kepercayaan yang tumbuh meski dikelilingi oleh kesedihan. "Ayato," suaranya pelan, "aku tahu kita harus pergi. Tapi… kau juga harus menjaga dirimu. Kau tidak perlu memikul semua ini sendirian."
Ayato tersenyum tipis, meskipun perasaan bersalah masih menggelayut di benaknya. "Aku akan baik-baik saja. Ayo, kita harus segera berangkat."
Mereka mengumpulkan apa yang bisa dibawa: beberapa pakaian, makanan yang masih tersisa, dan benda-benda kecil yang mungkin bisa mereka manfaatkan nanti. Desa yang dulu menjadi tempat tinggal mereka kini terasa seperti kuburan yang sunyi, menyisakan kenangan yang pahit dan menyakitkan.
Dengan langkah berat, Ayato dan Yuki mulai berjalan keluar dari desa. Udara pagi yang dingin menerpa wajah mereka, tapi semangat mereka untuk bertahan hidup mendorong langkah-langkah mereka maju. Pedang Stormbringer yang disimpan di punggung Ayato memberikan sedikit kenyamanan—setidaknya dia masih memiliki kekuatan itu untuk melindungi mereka. Tapi dia juga sadar, bahwa kekuatan pedang itu saja mungkin tidak cukup untuk melawan musuh-musuh besar seperti Wrath.
Mereka berjalan sepanjang pagi, berusaha secepat mungkin meninggalkan desa. Jalan yang mereka lalui adalah jalan yang sempit dan berliku, dikelilingi oleh hutan lebat. Pepohonan tinggi menjulang di kanan-kiri mereka, memberikan sedikit perlindungan dari sinar matahari yang mulai terik. Di setiap langkahnya, Ayato bisa merasakan tubuhnya semakin berat, efek dari pertempuran sebelumnya mulai terasa. Meski begitu, dia menolak untuk berhenti. Mereka harus mencapai Avalor.
Yuki, meskipun masih dalam keadaan tertekan, berusaha untuk tetap tenang dan mengikuti langkah Ayato. Sesekali dia melirik ke arah Ayato, memperhatikan bagaimana pemuda itu mencoba menahan rasa sakit dan kelelahan. Dia tahu bahwa Ayato terlalu keras pada dirinya sendiri, terutama setelah apa yang terjadi. Namun, Yuki juga tahu bahwa mereka tidak punya banyak pilihan. Mereka harus terus berjalan.
Saat matahari mulai terbenam, mereka berhenti sejenak untuk beristirahat di tepi hutan. Ayato duduk bersandar pada sebatang pohon, napasnya terengah-engah. Keringat bercucuran di dahinya, dan dia bisa merasakan otot-ototnya berdenyut nyeri. Yuki menghampirinya, meletakkan sebuah kantung air di pangkuan Ayato.
"Kau butuh istirahat, Ayato," kata Yuki dengan suara lembut. "Kita tidak bisa terus berjalan kalau kau memaksakan dirimu seperti ini."
Ayato menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski wajahnya pucat. "Aku baik-baik saja, Yuki. Kita harus terus maju. Semakin cepat kita sampai di Avalor, semakin aman kita."
Tapi sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba pandangannya mulai kabur. Kelelahan yang dia tahan sejak pertempuran semalam kini menyerang tubuhnya dengan keras. Kakinya melemas, dan tanpa bisa menahan lagi, Ayato tersungkur ke tanah, tak sadarkan diri.
"AYATO!" Yuki berteriak panik. Dia segera berlutut di sampingnya, mengguncang-guncang tubuh Ayato yang tak bergerak. Napasnya masih ada, tapi sangat lemah. Rasa cemas mulai merayap ke dalam hati Yuki. Dia tahu bahwa Ayato telah memaksakan dirinya terlalu keras sejak semalam. Pertarungan melawan Wrath bukanlah hal yang bisa dilalui tanpa luka—baik fisik maupun mental.
Dengan cepat, Yuki meraih kantung air dan membasahi selembar kain, lalu menempelkannya ke dahi Ayato yang berkeringat dingin. "Kau bodoh, Ayato," bisik Yuki, matanya penuh air mata. "Kenapa kau selalu harus menjadi pahlawan?"
Yuki tetap di samping Ayato, memastikan dia tetap bernapas dan tidak semakin parah. Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya, dan kegelapan mulai merayap ke arah mereka. Di tengah rasa cemasnya, Yuki mencoba berpikir jernih. Mereka masih terlalu jauh dari Avalor, dan Ayato dalam keadaan seperti ini tidak akan bisa melanjutkan perjalanan.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu," gumam Yuki, sambil memegangi tangan Ayato. "Kita akan sampai di sana bersama, entah bagaimana caranya."
Malam itu, Yuki menjaga Ayato yang masih tidak sadarkan diri. Di tengah hutan yang gelap dan dingin, dia mencoba tetap waspada, berharap Ayato akan segera pulih. Tapi dalam hatinya, dia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan tantangan yang lebih besar menunggu di depan.
Sebelum malam benar-benar pekat, Yuki menatap langit yang dihiasi bintang-bintang. Ada rasa takut yang mendalam dalam hatinya, tapi dia juga merasa bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Mereka harus bertahan—untuk diri mereka sendiri, untuk desa yang telah hancur, dan untuk semua orang yang telah mereka kehilangan.
Dan meskipun Ayato masih terbaring lemah di sampingnya, Yuki tahu bahwa dia tidak sendirian. Mereka akan melewati ini bersama-sama, apapun yang terjadi.
Bersambung
Perjalanan baru nih buat ayato dan juga yuki, sayang mereka cuman sebatas sahabatಥ‿ಥ
See you in next episode...