Ayato masih menatap pedang di tangannya, Stormbringer. Kilauan biru yang memancar dari bilahnya seolah terus berdenyut, seakan bernafas bersama dengan pemilik barunya. Namun, Ayato masih merasa sulit untuk percaya bahwa ia sekarang menggenggam salah satu pedang yang hanya ia dengar dalam cerita rakyat. Pedang yang dipercaya hanya ada dalam legenda, sekarang berada di tangannya, dan lebih dari itu, pedang ini telah memberinya kekuatan yang luar biasa.
Dia mengangkat pedangnya sedikit lebih tinggi, memperhatikan cahaya yang terpantul dari matahari sore yang mulai terbenam. "Stormbringer," gumamnya pelan, seakan mencoba memastikan bahwa semua ini nyata. Pedang ini, yang katanya bisa memanggil badai dan petir dari langit, telah menyelamatkannya dari serangan iblis tadi.
Ayato menatap reruntuhan tempat ia menemukan pedang itu. Tempat yang seolah memanggilnya sejak awal, menariknya dengan cara yang tak bisa ia jelaskan. Apa yang terjadi jika ia tak menemukan pedang ini? Apa yang akan terjadi pada desa Venestria jika ia tak ada di sana saat iblis-iblis itu menyerang?
Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab, tapi satu hal yang jelas: kekuatan yang kini ia miliki akan mengubah segalanya. Ia merasa tak hanya tanggung jawab baru yang harus ia pikul, tetapi juga ketakutan. Ketakutan akan apa yang mungkin terjadi di masa depan, dan ketakutan bahwa musuh yang lebih kuat akan datang.
Namun, sebelum ia bisa terlalu larut dalam pikirannya, langkah kaki yang bergegas mendekat menarik perhatiannya. Sekelompok penduduk desa datang menghampirinya, wajah mereka dipenuhi ekspresi kagum dan lega. Orang-orang ini adalah tetangga, teman, dan bahkan beberapa keluarga Ayato yang sekarang memandangnya dengan cara yang berbeda. Mereka menatapnya dengan rasa hormat yang belum pernah Ayato rasakan sebelumnya.
"Ayato!" Seorang lelaki tua yang Ayato kenali sebagai kepala desa, Ryuzo, berjalan mendekatinya. Lelaki itu terengah-engah, jelas karena baru saja berlari dari kejauhan. "Kau menyelamatkan kami semua!"
Suara lelaki tua itu menggema, dan penduduk desa lainnya mulai ikut bersorak. Beberapa wanita mulai menangis terharu, sementara anak-anak melompat-lompat kegirangan. Suasana desa yang tadi mencekam akibat serangan iblis seketika berubah menjadi penuh kegembiraan.
"Kami berhutang nyawa padamu!" seru seorang wanita, memeluk anaknya erat-erat. "Jika bukan karena kau, Ayato, kami semua sudah mati sekarang."
Ayato merasa canggung di bawah semua perhatian itu. Ia belum terbiasa dipandang sebagai pahlawan. "Aku… aku hanya beruntung menemukan pedang ini," jawabnya, mencoba merendahkan diri. "Tanpa Stormbringer, aku tidak akan bisa mengalahkan mereka."
Ryuzo menepuk pundak Ayato dengan bangga. "Bukan hanya pedang itu, Ayato. Pedang hanya alat. Kau yang memegangnya dan menggunakannya untuk menyelamatkan kita. Itulah yang membuatmu luar biasa."
Ayato tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana mungkin ia menerima pujian sebesar ini? Ia hanyalah seorang pemuda biasa, anak dari seorang petani. Selama hidupnya, ia tak pernah membayangkan akan berdiri di tengah-tengah kerumunan yang bersorak untuknya sebagai seorang pahlawan. Namun, di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang merasa puas dan bangga karena bisa melindungi desa tempat ia tumbuh.
"Kita harus merayakan ini!" seru seseorang dari kerumunan, dan sorakan setuju langsung terdengar dari seluruh penjuru. "Ayato telah menyelamatkan kita! Kita harus mengadakan pesta besar-besaran!"
"Ayo! Siapkan makanan! Siapkan minuman!" seru yang lainnya.
Tak butuh waktu lama bagi penduduk desa untuk mulai bersiap mengadakan perayaan. Bahkan sebelum Ayato bisa mengajukan keberatan, ia sudah ditarik oleh beberapa orang menuju alun-alun desa. Desa Venestria mungkin kecil, tapi penduduknya tahu cara bersyukur dan merayakan hidup. Setiap kali ada peristiwa penting, baik itu panen yang melimpah atau kelahiran seorang anak, mereka selalu mengadakan pesta. Namun, kali ini berbeda. Kali ini, mereka merayakan seorang pahlawan baru.
Saat malam tiba, seluruh desa diterangi oleh obor dan lentera. Meja-meja panjang telah didirikan di alun-alun, penuh dengan makanan lezat yang dibuat dari hasil bumi terbaik desa. Daging dipanggang di atas api, roti hangat disajikan dengan mentega segar, dan buah-buahan manis berlimpah. Penduduk desa tertawa, bercanda, dan menyanyikan lagu-lagu rakyat sambil menari di sekitar api unggun yang besar di tengah-tengah alun-alun.
Ayato duduk di meja utama, dikelilingi oleh keluarga dan teman-temannya. Riku dan Yuki duduk di sampingnya, mengawasi pesta dengan senyum lebar di wajah mereka. "Kau benar-benar mengagumkan tadi, Ayato," kata Riku dengan nada bangga. "Aku bahkan tidak percaya kau berhasil mengalahkan semua iblis itu!"
"Ya," Yuki menambahkan. "Sepertinya nasib benar-benar berpihak padamu ketika kau menemukan Stormbringer."
Ayato tersenyum kecil, meski ia masih merasa canggung dengan semua pujian itu. "Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan," jawabnya, meski di dalam hatinya, ia tahu bahwa pertarungan itu adalah salah satu yang paling mengerikan yang pernah ia hadapi.
Kepala desa Ryuzo berdiri dari kursinya, mengangkat cangkir penuh anggur di tangannya. "Warga desa Venestria!" teriaknya dengan suara lantang. Semua orang segera diam, menatap ke arah pemimpin mereka. "Hari ini, kita merayakan keberanian dan kekuatan seorang pemuda yang telah menyelamatkan kita dari kegelapan. Kepada Ayato, pahlawan baru kita! Mari kita minum untuknya!"
Sorakan dan tepuk tangan langsung menggema di seluruh alun-alun. Semua orang mengangkat cangkir mereka dan meminum anggur dengan penuh semangat. Suasana pesta semakin meriah, dan Ayato, meski masih merasa sedikit canggung, tersenyum. Setidaknya, untuk sementara, desa mereka aman.
Namun, di tengah perayaan itu, Ayato tak bisa mengabaikan firasat aneh yang bersembunyi di sudut pikirannya. Meskipun iblis-iblis itu telah dikalahkan, sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa ini belum selesai. Serangan ini bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang bergerak, dan Stormbringer, pedang legendaris yang kini ia genggam, mungkin adalah kuncinya.
Beberapa saat kemudian, ketika pesta hampir mencapai puncaknya, Ayato bangkit dari tempat duduknya. Ia merasa perlu untuk menjauh sejenak, mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk perayaan. Tanpa mengatakan apa-apa, ia berjalan pelan menuju tepi desa, menuju bukit kecil yang menawarkan pemandangan indah ke arah lembah di bawah.
Dari atas bukit itu, Ayato bisa melihat seluruh desa Venestria yang dipenuhi cahaya obor dan lentera. Penduduk desa tampak begitu bahagia, begitu damai, seolah serangan iblis yang baru saja terjadi hanyalah mimpi buruk yang telah berlalu. Namun, bagi Ayato, mimpi buruk itu belum selesai.
Dia menatap Stormbringer yang kini tergeletak di sampingnya. Kilauan biru pedang itu tampak lebih lembut di bawah cahaya bulan, seolah menunjukkan bahwa pedang itu juga memiliki sisi yang tenang. Tapi Ayato tahu, pedang ini memiliki kekuatan yang bisa menghancurkan, kekuatan yang sudah ia rasakan sendiri.
"Mengapa aku?" Ayato bertanya pada dirinya sendiri. "Mengapa pedang ini memilihku? Dan mengapa iblis-iblis itu datang ke sini?"
Suara gemerisik di belakangnya membuat Ayato menoleh. Yuki muncul dari balik pepohonan, dengan ekspresi sedikit khawatir di wajahnya. "Kau baik-baik saja, Ayato?" tanyanya lembut.
Ayato tersenyum tipis. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya saja… semua ini terasa terlalu cepat."
Yuki mendekatinya, berdiri di sampingnya sambil memandangi desa di bawah mereka. "Memang cepat," jawabnya pelan. "Tapi kau telah melakukan hal yang luar biasa. Kau menyelamatkan kita semua."
"Tapi aku tidak merasa seperti pahlawan," kata Ayato, suaranya sedikit gemetar. "Aku hanya seorang anak petani. Bagaimana mungkin aku bisa menghadapi sesuatu sebesar ini?"
Yuki meletakkan tangannya di bahu Ayato, memberi dukungan. "Kau tidak perlu tahu segalanya sekarang. Yang penting, kau sudah membuat keputusan untuk melindungi desa ini, dan itu lebih dari cukup. Lagi pula, kau tidak sendiri. Kami semua ada di sini bersamamu."
Ayato menatap Yuki, dan senyum kecil terbentuk di wajahnya. Kehadiran Yuki yang tenang dan kata-katanya yang menenangkan memang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Namun, di dalam hatinya, Ayato masih merasa beban yang ia pikul begitu berat. Menjadi orang yang diandalkan bukanlah sesuatu yang ia bayangkan akan terjadi dalam hidupnya, dan sekarang dia merasa terjebak dalam peran yang belum siap ia jalani.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya, Yuki," ujar Ayato pelan, menunduk sambil memandang ke tanah. "Semua ini… rasanya terlalu besar untukku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya."
Yuki menatap Ayato dengan lembut, lalu mendekat dan duduk di sampingnya di atas bukit kecil itu. Angin malam yang sejuk meniup rambutnya yang panjang, membuat suasana terasa lebih tenang. "Ayato," katanya lembut, "kau tidak perlu memiliki semua jawaban sekarang. Tidak ada yang mengharapkanmu untuk segera tahu apa yang harus dilakukan. Ini adalah perjalanan yang baru dimulai, dan itu wajar jika kau merasa ragu atau takut."
Ayato mendesah panjang. Ia tahu Yuki benar, tetapi keraguan dalam hatinya tetap tak bisa hilang begitu saja. "Tapi bagaimana jika aku gagal?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. "Bagaimana jika aku tidak bisa melindungi desa ini ketika musuh yang lebih kuat datang? Stormbringer memang memberiku kekuatan besar, tapi aku tidak tahu apakah itu cukup."
Yuki memandang Ayato dengan serius, tetapi tetap dengan kelembutan dalam matanya. "Ayato, kau sudah melakukan lebih dari yang bisa dilakukan banyak orang hari ini. Kau melawan iblis-iblis itu sendirian dan menyelamatkan desa ini. Itu bukan hal yang kecil. Itu adalah tindakan keberanian luar biasa. Kau sudah membuktikan bahwa kau memiliki kekuatan dan keberanian. Sekarang, yang perlu kau lakukan hanyalah percaya pada dirimu sendiri."
Ayato terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Yuki. Ia tahu bahwa apa yang Yuki katakan masuk akal, tetapi bagian dari dirinya masih sulit menerima kenyataan bahwa ia harus memikul tanggung jawab ini. "Bagaimana aku bisa percaya pada diriku sendiri ketika aku bahkan tidak tahu mengapa pedang ini memilihku?" Ayato mengangkat Stormbringer dan menatap bilahnya yang masih memancarkan cahaya biru lembut. "Aku hanya seorang anak desa biasa. Apa yang membuatku layak?"
Yuki tersenyum tipis, lalu menatap langit malam yang penuh bintang. "Mungkin itu bukan tentang apakah kau 'layak' atau tidak, Ayato. Mungkin, pedang ini memilihmu karena kau adalah orang yang tepat pada saat yang tepat. Bukan karena kekuatanmu, tapi karena hatimu. Kau peduli pada desa ini dan orang-orang di dalamnya. Kau rela berjuang demi mereka, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawamu sendiri. Mungkin itulah yang dilihat oleh Stormbringer."
Ayato terdiam, terpaku pada kata-kata Yuki. Ia belum pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Selama ini, ia selalu menganggap bahwa kekuatan adalah satu-satunya hal yang penting dalam sebuah pertarungan, tetapi apa yang dikatakan Yuki memberinya sudut pandang baru. Mungkin memang bukan hanya kekuatan fisik yang diperhitungkan, tetapi juga niat dan hati.
"Jadi menurutmu, pedang ini memilihku bukan karena aku kuat?" tanya Ayato, sedikit ragu, tetapi mulai merasa ada harapan di balik kebingungannya.
Yuki mengangguk pelan. "Iya, aku yakin begitu. Kau mungkin tidak merasakannya sekarang, tapi hatimu memiliki kekuatan yang besar, Ayato. Kekuatan untuk melindungi, untuk bertarung demi mereka yang kau cintai. Itu yang sebenarnya penting. Dan kekuatan fisik… kau bisa melatihnya seiring waktu. Kau tidak perlu tahu segalanya dari awal."
Angin malam bertiup lembut, membawa keheningan yang nyaman di antara mereka. Ayato menarik napas dalam-dalam, merasakan udara sejuk mengisi paru-parunya. Untuk pertama kalinya sejak ia menemukan Stormbringer, rasa takut dan keraguan dalam dirinya mulai mereda, meskipun belum sepenuhnya hilang.
"Terima kasih, Yuki," katanya akhirnya, dengan suara yang lebih tenang. "Aku… aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa tanpa kau di sini. Kata-katamu selalu bisa membuatku merasa lebih baik."
Yuki tersenyum hangat dan menatap Ayato dengan mata penuh kasih. "Aku selalu ada di sini untukmu, Ayato. Kau tidak sendirian dalam semua ini. Kita semua, penduduk desa, keluargamu, teman-temanmu… kami ada di sini bersamamu. Dan aku… aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi."
Ayato merasa beban di pundaknya sedikit lebih ringan setelah mendengar kata-kata itu. Ia menatap Stormbringer sekali lagi, kali ini dengan perasaan yang berbeda. Pedang itu masih terasa berat, tetapi sekarang Ayato merasa bahwa ia mungkin bisa menghadapinya. Ini bukan lagi beban yang harus ia pikul sendirian, tetapi sebuah tanggung jawab yang akan ia jalani bersama orang-orang yang mendukungnya.
"Yuki," Ayato berkata pelan, "apakah kau percaya bahwa ada lebih banyak hal yang menunggu di luar sana? Maksudku, jika iblis-iblis itu bisa muncul di sini, apakah mungkin ada sesuatu yang lebih besar yang akan datang?"
Yuki terdiam sejenak, mempertimbangkan pertanyaan itu. "Aku tidak tahu pasti, Ayato. Dunia ini penuh dengan misteri yang kita belum mengerti. Tapi aku percaya bahwa apa pun yang datang, kita akan menghadapinya bersama. Kau bukan satu-satunya yang harus bertarung. Kita semua memiliki peran kita masing-masing."
Ayato menatap jauh ke arah cakrawala, memikirkan kata-kata Yuki. "Kau benar," katanya akhirnya. "Aku tidak bisa melakukan ini sendirian, dan aku tidak perlu melakukannya sendirian. Aku akan melindungi desa ini, tapi aku juga akan menerima bantuan dari orang-orang di sekitarku."
Yuki tersenyum bangga. "Itulah semangat yang kuharapkan darimu, Ayato. Kau tidak perlu menjadi pahlawan yang sempurna. Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri, dan itu sudah lebih dari cukup."
Malam semakin larut, dan suara perayaan di desa mulai mereda. Penduduk desa perlahan kembali ke rumah mereka, sementara api unggun yang besar mulai padam. Ayato dan Yuki duduk di bukit itu untuk beberapa saat lagi, menikmati kedamaian malam dan angin yang sejuk.
Akhirnya, Yuki berdiri dan mengulurkan tangan ke Ayato. "Ayo, sudah waktunya kita kembali. Besok adalah hari baru, dan kita harus siap untuk apapun yang mungkin terjadi."
Ayato menerima uluran tangan Yuki dan berdiri, merasakan semangat baru dalam hatinya. Meskipun ia masih memiliki banyak pertanyaan dan kekhawatiran, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Dengan Stormbringer di tangannya dan orang-orang yang ia cintai di sisinya, ia merasa sedikit lebih siap menghadapi apapun yang akan datang.
"Kau benar," kata Ayato dengan senyum kecil. "Besok adalah hari baru. Dan aku akan siap."
Mereka berdua berjalan perlahan kembali menuju desa, melewati jalan setapak yang diterangi cahaya bulan. Saat mereka mendekati pintu masuk desa, Ayato menatap ke arah desa yang tenang, dan untuk pertama kalinya sejak serangan iblis, ia merasa damai. Mungkin, hanya mungkin, ia bisa menjadi pahlawan yang dibutuhkan desa ini.
Bersambung