Hari-hari di Desa Venestria mulai kembali normal setelah kekacauan besar yang terjadi. Desa yang sebelumnya porak-poranda oleh serangan iblis, kini secara perlahan mulai pulih. Warga desa bergotong-royong memperbaiki rumah, menegakkan kembali tiang-tiang kayu yang rusak, serta membersihkan reruntuhan yang berserakan di jalanan.
Senyum kembali terlihat di wajah-wajah penduduk, meskipun bayangan ketakutan yang tersisa dari serangan itu masih menghantui.
Ayato, di sisi lain, masih merasa tidak sepenuhnya tenang. Meskipun kehidupan desa terlihat berjalan seperti biasa, hatinya masih diliputi kebingungan dan keraguan. Pedang Stormbringer yang sekarang ia miliki selalu mengingatkannya pada peristiwa yang baru saja terjadi, dan fakta bahwa ia kini memegang kekuatan yang luar biasa.
Namun, di balik itu semua, Ayato merasa bahwa dirinya bukanlah orang yang seharusnya berada dalam posisi ini.
Setiap pagi, Ayato bangun dengan perasaan terpecah antara kebanggaan atas apa yang telah ia lakukan dan kebingungan tentang perannya di masa depan.
Apakah ia hanya orang biasa yang kebetulan menemukan pedang legendaris, ataukah ada sesuatu yang lebih besar menunggunya? Pikiran-pikiran ini terus menghantui Ayato ketika ia membantu warga desa dengan tugas-tugas harian, mencoba menemukan keseimbangan dalam hidupnya yang baru.
Suatu pagi, setelah membantu mengangkat beberapa balok kayu untuk memperbaiki atap rumah tetangganya, Ayato duduk di bawah pohon besar yang terletak di pinggiran desa.
Ia menatap ke arah pedang Stormbringer yang bersandar di sebelahnya. Cahaya biru lembut masih memancar dari pedang itu, meskipun kekuatannya tampak tertahan ketika tidak digunakan.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?" gumam Ayato pada pedangnya, meskipun ia tahu tidak akan ada jawaban yang datang.
Seolah mendengar gumamannya, Yuki tiba-tiba muncul dari balik pepohonan dengan senyuman hangat di wajahnya. "Kau berbicara dengan pedangmu lagi?" candanya sambil mendekat.
Ayato tersenyum tipis, meskipun di dalam hatinya masih terasa berat. "Sepertinya aku mulai gila karena memikirkan semua ini, Yuki," jawabnya setengah bercanda, tetapi ada kejujuran dalam nada suaranya.
Yuki duduk di samping Ayato, seperti yang biasa mereka lakukan sejak kecil. "Kau tidak gila, Ayato. Apa yang kau alami bukanlah sesuatu yang mudah. Siapa pun di posisimu akan merasa kebingungan. Kau menemukan pedang legendaris yang seharusnya hanya ada dalam cerita rakyat, melawan iblis, dan sekarang seluruh desa menganggapmu sebagai pahlawan. Itu beban yang sangat berat."
Ayato mengangguk. "Benar, dan itulah masalahnya. Aku tidak merasa seperti seorang pahlawan. Aku hanya… Aku hanya Ayato. Seorang pemuda desa yang hidup sederhana, lalu tiba-tiba semua ini terjadi. Bagaimana jika aku tidak bisa memenuhi harapan mereka? Bagaimana jika aku gagal ketika iblis datang lagi?"
Yuki menatap Ayato dengan tatapan penuh pengertian. "Ayato, kau sudah melakukan hal yang luar biasa. Kau menyelamatkan desa ini. Itu lebih dari cukup untuk sekarang.
Kau tidak perlu memaksakan dirimu menjadi sesuatu yang belum kau yakini. Takdirmu mungkin masih belum jelas, tapi kau memiliki waktu untuk menemukannya."
Ayato mendesah panjang. Ia tahu Yuki benar, tetapi hatinya tetap gelisah. Ia belum bisa menerima takdir yang tampaknya telah dipaksakan padanya.
Hari-hari berlalu dengan suasana yang semakin tenang. Pekerjaan-pekerjaan yang dulu tertunda karena serangan iblis kini selesai. Rumah-rumah kembali berdiri kokoh, dan para petani sudah kembali ke ladang-ladang mereka. Anak-anak kembali bermain di jalanan, tertawa tanpa rasa khawatir.
Namun, di tengah kedamaian itu, Ayato merasa semakin terasing. Ia tidak bisa lagi hidup seperti sebelum semuanya berubah.
Meski Stormbringer masih ia simpan dengan rapi, pedang itu seolah terus memanggilnya, mengingatkannya bahwa ada hal besar yang menunggunya di luar sana. Ayato, di sisi lain, tidak yakin apakah ia siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam di balik pegunungan, Yuki mengajak Ayato untuk berjalan-jalan di luar desa. Mereka sering melakukan hal ini, terutama ketika mereka masih kecil, menikmati keindahan alam di sekitar Venestria.
Namun, kali ini, suasananya terasa berbeda. Ada ketegangan yang menggantung di udara, dan Ayato bisa merasakannya.
"Yuki," kata Ayato tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.
"Apa menurutmu aku benar-benar bisa melakukan ini?"
Yuki menghentikan langkahnya dan menatap Ayato dengan serius. "Maksudmu?"
"Menjadi pahlawan. Menjadi orang yang diandalkan oleh desa ini… oleh semua orang. Aku merasa beban ini terlalu berat untuk kutanggung."
Yuki diam sejenak, lalu mendekati Ayato. "Ayato, tidak ada yang mengharapkanmu menjadi sempurna. Tidak ada yang memintamu untuk tahu segalanya atau menyelesaikan semua masalah sendirian. Kau sudah membuktikan bahwa kau mampu menghadapi tantangan besar, tapi itu tidak berarti kau harus melakukannya sendiri."
Ayato menatap Yuki, mencoba mencari keyakinan di matanya. "Tapi bagaimana jika aku tidak cukup kuat? Bagaimana jika musuh yang lebih besar datang? Apa yang harus kulakukan?"
Yuki tersenyum lembut. "Kau sudah cukup kuat, Ayato. Kekuatannya bukan hanya berasal dari pedang Stormbringer, tapi dari hatimu. Kau peduli pada orang-orang di desa ini. Itu yang membuatmu berbeda. Dan jangan lupa, kau selalu punya aku dan yang lain. Kita semua di sini untuk mendukungmu."
Ayato terdiam, merenungi kata-kata Yuki. Di dalam dirinya, ia tahu Yuki benar. Tapi bagian dari dirinya masih merasa ragu.
Meskipun begitu, kehadiran Yuki selalu memberikan Ayato semacam ketenangan yang tidak bisa ia temukan di tempat lain.
Mereka berdua melanjutkan berjalan tanpa banyak bicara, menikmati suasana sore yang damai. Angin lembut meniup rambut mereka, membawa aroma bunga-bunga liar yang tumbuh di sekitar mereka.
Matahari yang perlahan menghilang di balik gunung menciptakan pemandangan indah dengan langit berwarna oranye dan ungu.
Akhirnya, mereka tiba di tepi danau kecil yang tersembunyi di balik hutan. Danau ini adalah tempat favorit mereka sejak kecil, tempat mereka sering bermain dan bersantai saat mereka ingin melarikan diri dari dunia untuk sementara waktu.
Air danau yang tenang memantulkan cahaya matahari yang hampir tenggelam, menciptakan pemandangan yang mempesona.
Ayato duduk di tepi danau, melepaskan sepatu botnya dan merendam kakinya ke dalam air yang dingin. Yuki mengikuti, duduk di sampingnya dan melakukan hal yang sama.
"Tempat ini selalu membuatku merasa tenang," kata Ayato dengan suara pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
Yuki tersenyum dan mengangguk. "Ya, tempat ini memang istimewa. Mungkin karena kita punya begitu banyak kenangan di sini."
Ayato menatap permukaan air, pikirannya melayang kembali ke masa lalu. "Aku rindu masa-masa itu," katanya akhirnya. "Sebelum semua ini terjadi. Ketika hidup terasa lebih sederhana."
Yuki menatap Ayato, memahami perasaan yang tersembunyi di balik kata-katanya. "Hidup memang tidak pernah sederhana, Ayato.
Tapi itu tidak berarti kita harus melupakan apa yang sudah kita lewati. Semua pengalaman, baik yang indah maupun yang sulit, membuat kita menjadi siapa kita sekarang."
Ayato mengangguk pelan. "Kau benar, Yuki. Mungkin aku terlalu fokus pada masa depan dan lupa menikmati saat ini."
"Dan itu wajar," Yuki menimpali. "Kau memiliki tanggung jawab besar sekarang, tapi jangan biarkan itu menghalangi dirimu untuk tetap hidup di momen-momen seperti ini.
Hidup bukan hanya tentang pertempuran dan tanggung jawab, tapi juga tentang menemukan kedamaian dan kebahagiaan di tengah semua itu."
Ayato tersenyum kecil. Kata-kata Yuki selalu mampu menenangkan pikirannya, meskipun keraguan dalam hatinya belum sepenuhnya hilang.
"Kau selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik, Yuki," katanya sambil menatapnya dengan penuh terima kasih.
Yuki hanya tersenyum lembut, tanpa mengatakan apapun. Mereka berdua duduk di sana, menikmati ketenangan yang ditawarkan alam, membiarkan waktu berlalu begitu saja. Dan meskipun Ayato masih merasa bahwa banyak hal yang tidak pasti dalam hidupnya, untuk sesaat, ia merasakan kedamaian yang ia cari.
Suasana tenang di tepi danau bersama Yuki membuat Ayato sedikit melupakan beban yang menekannya. Angin yang berhembus pelan, sinar matahari yang perlahan menghilang di ufuk barat, serta kehadiran Yuki di sampingnya memberi kehangatan dan kedamaian.
Namun, tepat ketika Ayato mulai merasakan kedamaian itu menyelimuti pikirannya, sesuatu yang aneh terjadi. Dunia di sekitarnya perlahan mulai berubah.
Ayato berkedip beberapa kali, merasa ada yang tidak beres. Udara di sekelilingnya tiba-tiba terasa lebih berat, seolah menghilang dari tempatnya semula.
Dia memalingkan wajah ke arah Yuki, namun sosok gadis itu mulai mengabur, seperti bayangan yang tertelan kabut. Suara gemerisik air dan bisikan angin juga perlahan memudar, digantikan oleh keheningan yang mencekam.
"Yuki?" panggil Ayato, suaranya terdengar jauh, bahkan untuk dirinya sendiri. Namun, Yuki tidak menjawab, dan detik berikutnya, semuanya berubah.
Seolah-olah dalam satu tarikan napas, Ayato mendapati dirinya tidak lagi berada di tepi danau. Suasana berubah drastis. Tidak ada pepohonan, tidak ada angin, tidak ada cahaya matahari.
Hanya ada kegelapan yang pekat, dengan kabut tipis yang menyelimuti sekelilingnya. Ia berdiri di ruang hampa, tempat yang seakan tidak memiliki batas atau akhir.
"Apa yang terjadi? Di mana aku?" gumam Ayato sambil mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencoba mencari petunjuk.
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan total yang menyelimuti. Tapi, tak jauh di depannya, ia melihat sesuatu—atau lebih tepatnya, seseorang.
Dalam kegelapan dan kabut yang tebal, sosok seorang anak kecil duduk di sebuah singgasana megah, yang tampak tidak sepadan dengan ukuran tubuh mungilnya. Singgasana itu sendiri terlihat seperti terbuat dari energi, berkilauan lembut dengan cahaya biru yang sangat mirip dengan aura yang dipancarkan oleh pedang Stormbringer.
Ayato merasakan jantungnya berdegup kencang. Siapa anak kecil itu? Dan mengapa ia merasa terhubung dengannya? Dia tidak mengerti, tapi instingnya mengatakan bahwa sosok itu adalah kunci dari apa yang sedang terjadi.
Dengan hati-hati, Ayato melangkah maju, meskipun rasa bingung dan gugup melingkupinya. Setiap langkahnya seperti mengapung di atas sesuatu yang tidak nyata, tidak terasa tanah di bawah kakinya. Kakinya terus berjalan, meski pikirannya ingin berhenti.
Ketika ia semakin dekat, anak kecil di singgasana itu mengangkat wajahnya. Meski tampak seperti seorang anak, tatapannya dipenuhi kebijaksanaan yang jauh melampaui usianya.
Matanya biru cerah, persis seperti cahaya dari Stormbringer, dan senyum tipis menghiasi wajahnya. Ia memandangi Ayato dengan penuh minat, seolah telah menunggu kedatangannya.
"Selamat datang, Ayato," kata anak itu dengan nada suara yang tenang namun penuh keyakinan. "Akhirnya kau sampai di sini."
Ayato terdiam, mencoba mencerna kata-kata anak itu. "Siapa kau? Di mana aku sekarang?" tanyanya dengan nada sedikit tergetar.
Anak kecil itu tersenyum lebar, seolah-olah pertanyaan Ayato adalah sesuatu yang sudah ia harapkan. "Namaku Storm," jawabnya dengan lembut, "Aku adalah perwujudan dari pedang yang kau pegang—Stormbringer."
Ayato terkejut. "Kau… pedang Stormbringer?" ulangnya, seolah tak percaya.
Storm mengangguk. "Ya, aku bagian dari kekuatan yang ada di dalam pedang itu. Kau bisa mengatakan bahwa aku adalah roh atau jiwa dari Stormbringer. Ketika kau menarik pedang itu dari reruntuhan, kau membangkitkan aku. Dan sekarang, kau berada di tempat di mana hanya orang yang terikat dengan pedang ini yang bisa datang—dimensi batin dari Stormbringer."
Ayato terdiam, mencoba mencerna informasi ini. Dunia tempat ia berada ini bukanlah dunia nyata, melainkan dimensi batin yang terkait dengan pedang yang ia pegang. "Jadi, tempat ini adalah... bagian dari pedang?"
"Ya, benar," jawab Storm, sambil meluruskan tubuh mungilnya di atas singgasananya. "Ini adalah ruang di mana kekuatan pedang Stormbringer berasal. Dan kau, sebagai pemegangnya, sekarang terhubung denganku."
Ayato menatap anak kecil itu dengan pandangan bingung. "Mengapa aku? Aku tidak mengerti. Aku bukan siapa-siapa, hanya seorang pemuda biasa dari desa kecil. Mengapa aku yang terpilih?"
Storm tertawa kecil, suaranya menggema lembut di seluruh ruangan yang kosong itu. "Tidak ada yang benar-benar tahu mengapa seseorang terpilih, Ayato. Takdir adalah sesuatu yang rumit dan sulit dipahami. Tapi satu hal yang pasti, pedang ini tidak memilih sembarang orang. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatmu layak untuk memegang Stormbringer."
Ayato merasa berat mendengar penjelasan itu. "Tapi aku tidak tahu apakah aku siap untuk ini. Aku tidak yakin bisa menanggung beban sebesar ini."
Storm menatapnya dengan tatapan lembut, namun tajam. "Kau merasakan keraguan, itu wajar. Setiap orang yang diberi kekuatan besar pasti merasa ragu pada awalnya. Tapi keraguan itu juga adalah bagian dari perjalananmu untuk memahami siapa dirimu sebenarnya."
Ayato merasakan pergolakan dalam dirinya. Apa yang dikatakan Storm memang masuk akal, tapi tetap saja, perasaan ketidakmampuannya terus menghantui. "Tapi bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku tidak bisa menggunakan kekuatan ini dengan benar?"
Storm bangkit dari singgasananya dan melangkah maju, mendekati Ayato. Wajahnya yang tenang dan matanya yang dalam mencerminkan usia yang jauh lebih tua dari tubuh kecilnya. "Tidak ada yang meminta kesempurnaan, Ayato. Bahkan aku, sebagai perwujudan dari Stormbringer, tidak sempurna. Pedang ini memiliki kekuatan yang besar, tapi kekuatannya bergantung pada pemegangnya. Kekuatan itu tumbuh seiring dengan keyakinanmu pada dirimu sendiri."
Anak kecil itu kemudian mengulurkan tangannya, mengisyaratkan agar Ayato mendekat. Dengan ragu-ragu, Ayato menyentuh tangan Storm. Begitu tangan mereka bersentuhan, perasaan hangat mengalir ke seluruh tubuhnya. Kekuatan yang luar biasa mengalir dari Storm, dan Ayato merasakannya, menyatu dengan darah dan jiwanya. Sensasi itu aneh, tapi juga menenangkan.
"Kau tidak sendiri dalam perjalanan ini," kata Storm, "Aku akan selalu ada bersamamu, membimbingmu. Tapi kau harus percaya pada dirimu sendiri, seperti pedang ini percaya padamu. Ingat, Ayato, Stormbringer tidak memilih sembarang orang."
Ayato menarik napas dalam-dalam. Meski rasa takut dan keraguan masih ada, kata-kata Storm mulai menguatkannya. Ada alasan mengapa ia terpilih, meskipun ia belum sepenuhnya memahaminya. Dan jika pedang ini percaya padanya, maka mungkin ia juga harus belajar percaya pada dirinya sendiri.
"Aku akan berusaha," kata Ayato akhirnya. "Aku akan belajar bagaimana menggunakan kekuatan ini, dan aku akan melindungi desaku dan orang-orang yang kucintai."
Storm tersenyum, kali ini dengan lebih hangat. "Itu yang ingin kudengar. Kita akan menghadapi banyak hal bersama, Ayato. Tapi yakinlah, aku di sini untuk membantumu."
Tiba-tiba, dunia di sekitar mereka mulai berubah lagi. Ruang kosong yang dipenuhi kabut mulai memudar, dan Ayato merasakan dirinya kembali ditarik ke dunia nyata. Cahaya biru dari Stormbringer mulai menghilang, meninggalkan Ayato dalam kegelapan sebentar sebelum segala sesuatunya kembali seperti semula.
Saat Ayato membuka matanya, ia kembali duduk di tepi danau bersama Yuki. Suara angin dan gemerisik air kembali terdengar di telinganya, dan dunia kembali terasa nyata. Namun, Ayato tahu bahwa apa yang baru saja ia alami bukanlah mimpi. Pertemuan dengan Storm telah membuka sesuatu di dalam dirinya.
Ia menatap Yuki yang masih berada di sampingnya, terlihat tenang. Mungkin hanya beberapa detik berlalu di dunia nyata, tapi bagi Ayato, itu adalah momen yang akan mengubah segalanya.
Dengan perasaan yang lebih kuat di dalam hatinya, Ayato meraih pedang Stormbringer yang tergeletak di dekatnya. Cahaya biru lembutnya masih terlihat, namun kali ini, Ayato melihatnya dengan pandangan yang berbeda. Ia tahu bahwa pedang ini lebih dari sekadar senjata. Ini adalah bagian dari dirinya, dan sekarang, ia merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Bersambung