Rencana yang Tidak Terkalahkan
Kota ini, yang dulunya dipenuhi dengan hiruk-pikuk kemajuan teknologi dan kebebasan, kini berbalik menjadi cermin dari ketakutan yang diam-diam mengendap di dalam hati penduduknya. Di jalanan, sinyal komunikasi terputus sesekali, kendaraan terbang yang dulunya bergerak lincah kini terhambat. Di pusat kota, layar holografik yang sering menampilkan iklan cerah kini menampilkan pesan-pesan yang penuh ancaman.
Lucifer berdiri di atas atap gedung tinggi, melihat kota yang telah ia ubah dalam waktu singkat. Di bawahnya, gedung-gedung menjulang dengan pemandangan futuristik, tetapi keindahan itu sekarang tampak retak, seolah ada bayangan besar yang melingkupi setiap sudut kota. Ini adalah rencananya—menyebarkan ketakutan yang mendalam hingga dunia ini tidak memiliki pilihan selain tunduk.
"Kau melakukan pekerjaan yang sangat baik, Lucifer," sebuah suara terdengar di belakangnya, menembus keheningan malam.
Lucifer tidak terkejut, meskipun ia tahu siapa yang baru saja berbicara. Sebuah entitas yang bukan manusia, bukan juga iblis—sesuatu yang jauh lebih tua, dan lebih berbahaya. Seorang makhluk yang lebih tinggi dari iblis biasa. Ia adalah salah satu dari sekian banyak entitas yang sudah lama terperangkap di dunia ini, tetapi bisa berkomunikasi dengan Lucifer melalui sistem yang baru saja ia dapatkan.
"Bagaimana dengan mereka yang kau kirim?" Lucifer berbalik, menatap sosok tersebut. Wujudnya samar, hanya cahaya biru yang menyelubungi tubuhnya, seolah-olah ia adalah entitas yang terbuat dari energi.
"Mereka sudah mulai bekerja. Tapi aku melihat masalah yang lebih besar di depan mata. Kekuatanmu masih terbatas," suara itu bergema, tidak terikat oleh waktu atau ruang. "Kau belum benar-benar menguasai sumber emosimu. Semua ini hanya sementara."
Lucifer tersenyum tipis. "Sementara? Mungkin. Tapi sementara ini sudah cukup untuk membawa dunia ini ke dalam genggamanku."
Kehidupan di kota semakin kacau. Meskipun Lucifer sudah mulai mengendalikan para pemimpin dunia, mereka masih bertahan. Mereka masih memiliki kekuatan untuk melawan, bahkan jika itu hanya sedikit. Kekuatan dari emosi manusia, meskipun luar biasa, tidak selalu dapat diprediksi.
"Apakah itu mengganggumu?" entitas itu bertanya, tampak lebih dari sekadar penasaran.
Lucifer mengangkat bahu. "Tidak. Mereka sedang mengumpulkan energi mereka untuk melawan. Ketika waktu itu datang, aku akan menghancurkan mereka dengan cara yang lebih... halus."
Entitas itu diam sejenak, lalu berkata lagi, "Kau tahu bahwa menguasai dunia ini bukan hanya soal kekuasaan fisik. Ada yang lebih besar di luar sana, yang lebih kuat dari kita."
Lucifer menatap jauh ke horizon. "Aku sudah menghadapinya dulu. Dunia ini hanyalah medan permainan."
Meskipun ia tidak mengatakan lebih banyak, dalam benaknya ada kenangan masa lalu yang terus menghantuinya. Sebuah kekuatan yang jauh lebih besar dari apa yang bisa ia bayangkan, kekuatan yang dulu pernah ia lawan dengan penuh darah dan kehancuran. Itulah yang membuatnya menjadi siapa dirinya saat ini, dan itu yang akan menentukan jalan yang akan ia ambil.
Tiba-tiba, sebuah suara keras menggelegar dari pusat kota. Ledakan! Sesuatu yang tidak terduga. Lucifer segera berbalik, merasakan kekuatan yang mendalam melesat menuju pusat kota. Ada sesuatu yang salah.
"Ada yang mencoba melawanku," ia berkata, suaranya tenang namun penuh ancaman. "Mereka tidak tahu dengan siapa mereka berurusan."
Dengan langkah cepat, Lucifer menuju tempat sumber ledakan itu, melompat dari gedung satu ke gedung lainnya dengan gerakan yang luar biasa cepat, seolah-olah ia lebih dari sekadar manusia. Ia bisa merasakan getaran emosional yang kuat. Kemarahan. Ketakutan. Desperasi. Namun, lebih dari itu, ia merasakan ada yang berbeda—sesuatu yang jauh lebih kuat daripada perasaan manusia biasa.
Sesampainya di lokasi, sebuah pemandangan yang tak terduga menyambutnya. Di tengah puing-puing bangunan yang runtuh, berdiri seorang pria yang tampaknya tidak terpengaruh oleh kekacauan yang baru saja terjadi. Tubuhnya terbalut dalam pakaian hitam yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, hanya menyisakan wajah yang tampak marah dan penuh tekad.
Pria itu menatap Lucifer, matanya penuh dengan kebencian. "Aku tahu siapa kau," ia berkata dengan suara yang tegas, "dan aku tidak akan membiarkanmu menguasai dunia ini."
Lucifer tidak terkejut. Bahkan, ia sedikit tersenyum. "Begitu? Lalu apa yang akan kau lakukan tentang itu?"
Tanpa peringatan, pria itu mengangkat tangannya, dan seketika sebuah energi gelap menyelimuti udara. Sesuatu yang sangat berbeda dari kekuatan manusia biasa—energi yang dipenuhi dengan kebencian, ketakutan, dan semua emosi negatif lainnya yang terhimpun menjadi satu. Itu adalah kekuatan yang sangat berbahaya.
Lucifer berdiri tegak, matanya menyala merah, menatap pria itu dengan senyum sinis. "Kau ingin melawan aku? Aku rasa kau baru saja mengundang kehancuran."
Perlahan, tanpa bergerak, Lucifer merentangkan tangannya, dan energi dari pria itu mulai mengalir kembali kepadanya, terhisap seperti pasir yang mengalir ke dalamnya. Pria itu terhuyung mundur, terkejut melihat kekuatan yang tidak dapat ia kontrol.
"Kau tidak tahu siapa aku," Lucifer berkata pelan. "Aku adalah Iblis yang menunggu dunia ini jatuh, dan sekarang aku akan membuatnya terjatuh."
Dengan satu gerakan cepat, pria itu terhempas ke tanah, tubuhnya tidak bergerak, terjerat dalam kekuatan yang lebih besar daripada apa yang bisa ia bayangkan.
Lucifer menatapnya satu kali lagi, sebelum berbalik dan melangkah pergi. Misi pertama sudah tercapai. Namun, ia tahu bahwa ini baru permulaan. Sebuah pertempuran baru saja dimulai, dan ia sudah siap menghadapinya.