Kekuatan yang Menghancurkan
Kota itu kini dikelilingi oleh bayangan gelap yang mulai merayap di setiap sudut. Setiap inci tanah yang dikuasai oleh Lucifer membawa perubahan, bukan hanya di luar, tetapi juga dalam diri para penghuninya. Wajah-wajah yang dulunya cerah dan penuh harapan kini dipenuhi dengan ketakutan yang diam-diam meresap ke dalam jiwa mereka. Tidak ada yang tahu pasti apa yang sedang Lucifer rencanakan, tetapi satu hal yang pasti—sejarah yang akan datang tidak akan sama lagi.
Lucifer duduk di dalam ruang kerjanya yang gelap, tatapannya jauh, merenung. Di atas meja, berbagai hologram data berputar, menampilkan hasil manipulasi dan pengaruhnya terhadap kota ini. Kejadian-kejadian yang baru saja terjadi—ledakan, kekacauan, dan kematian—adalah bagian dari permainan yang lebih besar. Di dunia yang dipenuhi dengan teknologi canggih dan energi yang melimpah, kekuatan emosi manusia tetap menjadi sumber yang paling berbahaya, dan Lucifer tahu betul bagaimana cara memanfaatkannya.
"Kau melakukan pekerjaan yang luar biasa," suara entitas misterius itu kembali bergema di ruangannya, suaranya terasa semakin dekat, meski tak ada wujud yang nyata. "Tapi masih ada tantangan yang lebih besar. Mereka yang menentangmu bukan hanya manusia biasa."
Lucifer tidak menoleh, tatapannya tetap terpaku pada layar holografik yang bergerak. "Aku tahu. Dan mereka tak akan bisa menghadapiku. Mereka hanya butiran debu dalam pusaran kehancuran yang kutanamkan."
Entitas itu tertawa ringan, "Tidak begitu cepat. Ada yang lebih besar daripada yang kau kira, Lucifer. Seseorang—atau lebih tepatnya, sesuatu—terbangun. Sesuatu yang tidak terikat oleh emosi manusia atau iblis."
Lucifer berhenti sejenak, kata-kata itu menggantung di udara. "Apa yang kau maksud?" suaranya lebih serius, dengan sentuhan kekhawatiran yang tersembunyi.
"Mereka yang kau sebut manusia mungkin tidak berdaya, tetapi ada kekuatan yang lebih tua dari kita. Aku tidak bisa melihat sepenuhnya, tapi aku merasakannya. Sebuah kekuatan yang terbangun di luar kendali kita. Mereka yang menciptakan dunia ini, yang mengendalikannya dari balik layar."
Lucifer menghela napas dalam-dalam. "Aku tidak takut pada makhluk seperti itu. Mereka hanya akan menjadi bagian dari rencana ini."
Tapi, meskipun kata-katanya penuh percaya diri, di dalam hatinya, ada sedikit rasa waspada. Setiap perasaan yang masuk ke dalam dirinya semakin kuat sejak ia mendapatkan sistem itu. Emosi yang dulunya asing baginya, kini seperti bagian dari dirinya sendiri. Ia bahkan mulai merasakan kegelisahan, ketidakpastian, sesuatu yang tidak pernah ia alami sebelumnya sebagai iblis.
Namun, Lucifer tidak boleh menunjukkan keraguan. Ia harus terus bergerak maju.
---
Keesokan harinya, sebuah kejadian besar terjadi. Di tengah kota, sebuah pusat riset yang mengembangkan teknologi untuk memanipulasi energi mulai berfungsi dengan cara yang tidak terduga. Para ilmuwan yang mengembangkan teknologi itu sendiri merasa terjebak dalam eksperimen mereka. Mereka menciptakan mesin yang bisa mengubah energi emosional manusia menjadi bentuk energi murni—sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Namun, ketika mesin itu diaktifkan, ledakan besar terjadi. Kekuatan emosi yang terkumpul dalam mesin itu ternyata melampaui kendali mereka, mengubah suasana kota menjadi kacau balau. Beberapa orang terinfeksi oleh gelombang emosi yang tak terkendali, sementara yang lain mulai berubah menjadi makhluk yang sangat berbeda—bukan manusia, bukan iblis, tetapi sesuatu yang lain.
Lucifer, yang berada jauh di atas gedung tinggi, melihat semua ini dengan senyum dingin. "Bagus," katanya, suara penuh kepuasan. "Inilah awal dari keruntuhan."
Namun, saat ia merenung, tiba-tiba rasa tidak nyaman kembali menyusup. Ia merasakan pergeseran energi di bawahnya—sebuah gerakan yang tidak bisa ia kontrol. Beberapa makhluk yang terlahir dari energi itu mulai merangkak ke permukaan, makhluk-makhluk yang lebih kuat, lebih liar, dan lebih tak terkendali daripada manusia biasa. Mereka bukan hasil dari kekuatan iblisnya, tetapi sesuatu yang muncul akibat kekacauan yang ia sebarkan.
Lucifer turun dari gedung tinggi, dan dengan gerakan yang hampir tak terlihat, ia berada di tengah kerusuhan. Makhluk-makhluk itu mulai mendekat, menyerang siapa saja yang ada di dekatnya. Matanya bersinar merah, energi iblis mulai menyelimuti tubuhnya. Namun, ia tidak buru-buru menyerang. Ia ingin mengamati—ini adalah kesempatan yang tepat untuk melihat sejauh mana kekuatan baru ini bisa berkembang.
Satu makhluk besar menyerbu ke arahnya dengan kecepatan luar biasa. Lucifer melangkah mundur sedikit, lalu mengayunkan tangan. Sebuah bola energi gelap terbentuk dan meluncur ke arah makhluk itu. Dengan dentuman keras, makhluk itu terhantam, tubuhnya hancur menjadi serpihan debu yang beterbangan.
Lucifer tidak terpengaruh. Ia menatap tubuh yang hancur itu dengan rasa puas, namun tak lama kemudian, ia merasakan gelombang emosi yang datang dari arah lain. Kali ini, bukan dari makhluk yang muncul, tetapi dari sesuatu yang lebih kuat—sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Di tengah kekacauan, di bawah reruntuhan gedung, sebuah sosok muncul dari bayang-bayang. Seorang pria, mengenakan pakaian yang sangat mirip dengan armor perang, wajahnya tersembunyi oleh helm hitam yang menciptakan aura menakutkan.
"Kau lucu sekali," suara pria itu bergema dengan nada dingin. "Berpikir bisa menguasai dunia ini tanpa menghadapi aku."
Lucifer menatap pria itu dengan penuh perhatian, matanya menyipit. "Siapa kau?"
Pria itu melepaskan helmnya, memperlihatkan wajah yang penuh dengan garis-garis kebencian dan keputusasaan. "Aku adalah seseorang yang akan menghentikan rencanamu. Nama ku... Samael."
Lucifer merasa ketegangan di udara. Samael—sebuah nama yang tidak asing. Ia adalah salah satu dari mereka yang memiliki kekuatan lebih dari sekedar manusia, lebih dari sekedar iblis. Tapi Lucifer tidak merasa gentar. Ini adalah pertempuran yang sudah ia prediksi. Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.
"Maka coba hentikan aku," Lucifer berkata dengan senyum yang lebih tajam dari pedang.