Malam sudah tiba, dan di tengah kota yang terbengkalai, Lucifer berdiri memandang ke cakrawala yang gelap. Pemandangan kota futuristik yang dulu begitu hidup kini tampak kosong. Gedung-gedung megah yang dahulu berdiri tegak, kini runtuh, bekas-bekas pertempuran yang menandakan bahwa masa depan yang dibangun dengan harapan kini berbalik menjadi kehancuran. Namun di dalam dirinya, ada ketenangan yang aneh. Hatinya tidak tergerak, meski segala sesuatu di sekelilingnya hancur.
"Kenapa aku harus peduli?" Lucifer bergumam pada dirinya sendiri. "Aku sudah melampaui semuanya."
Suara lembut dari dalam dirinya—yang datang dari kekuatan sistem yang terus membimbingnya—berbisik dengan dingin. "Emosi negatif diperoleh dengan pengendalian lebih lanjut terhadap kota ini. Keberhasilan dalam misi ini akan meningkatkan kemampuan Anda."
Lucifer hanya mendengus mendengar itu. Dia tahu apa yang harus dilakukannya, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari dirinya yang mulai meresahkan. Sesuatu yang mulai menuntunnya untuk bertanya, meskipun ia tidak ingin mengakuinya. Semua yang telah ia capai, semua yang telah ia hancurkan, tetap tidak memberi kepuasan. Bahkan, semakin ia menguasai lebih banyak, semakin kosong hatinya. "Kekuasaan itu bukan apa yang kuinginkan," pikirnya.
Di bawah sinar bulan yang redup, sebuah bayangan muncul dari sudut jalan. Lucifer mengalihkan pandangannya dan dengan cepat mengidentifikasi siapa sosok itu. Seorang pria tinggi, mengenakan pakaian tempur hitam yang mencerminkan kemampuannya. Wajahnya tampak keras, namun ada sesuatu yang familier dalam cara pria itu bergerak. "Damien."
Damien, seorang mantan pengikutnya—teman, lebih tepatnya—yang telah memilih jalannya sendiri setelah Lucifer berubah menjadi iblis. Dia adalah salah satu orang yang paling mengenal Lucifer dan satu-satunya yang dapat membangkitkan kenangan dari masa lalu. Bahkan setelah sekian lama, Damien masih tetap hidup, masih berjuang.
"Lucifer," Damien berkata dengan suara yang dalam dan tegas, namun tidak ada kebencian di dalamnya, hanya sebuah penyesalan. "Aku tahu kau tidak akan menyerah, tapi apakah kekuasaan itu benar-benar yang kau inginkan?"
Lucifer tidak segera menjawab. Dia menatap Damien dengan mata merah menyala, mencerminkan kebekuan yang telah tumbuh di dalam dirinya. "Aku sudah memilih jalan ini. Tidak ada yang bisa mengubahnya."
Damien tidak terpengaruh oleh kata-kata Lucifer. "Kau bukan iblis seperti yang kau kira. Kau lebih dari itu, Lucifer. Dalam dirimu, masih ada bagian dari yang dulu."
Lucifer terdiam, kata-kata Damien menyentuh bagian yang tersembunyi jauh di dalam hatinya. Ia sudah lama merasa terasing dengan perasaan manusia. Dulu, ia adalah manusia—tapi sejak menjadi iblis, perasaan itu mulai menguap, digantikan oleh kekuatan dan kekejaman. Sekarang, apakah itu benar-benar siapa dirinya? Ia bukan lagi Lucifer yang dulu, bukan lagi manusia yang memiliki kelemahan.
"Kau masih ingin aku kembali seperti dulu?" Lucifer bertanya dengan nada sinis. "Itu tidak mungkin."
Damien melangkah lebih dekat, tatapan penuh keprihatinan di matanya. "Aku tidak ingin kau kembali menjadi manusia. Aku ingin kau kembali menjadi diri sendiri. Bukankah kau dulu punya tujuan yang lebih besar daripada sekadar menguasai dunia ini?"
Lucifer tertawa rendah. "Tujuan? Apakah kau bercanda? Dunia ini adalah alat untukku, Damien. Tidak lebih."
Namun, di dalam dirinya, suara itu—suara yang perlahan-lahan mulai memunculkan keraguan—masih bergaung. Damien benar, entah bagaimana, ada bagian dari dirinya yang masih mencari makna selain kekuasaan. "Apa lagi yang tersisa selain kekuasaan?" pikirnya.
Dengan cepat, Damien menghunus pedangnya, mengarahkannya pada Lucifer. "Jika itu yang kau pilih, maka aku akan menghentikanmu. Ini bukanlah jalan yang benar, Lucifer."
Lucifer tidak terkejut. Dalam sekejap, ia bergerak menghindar, mengeluarkan aura gelap yang melingkupi dirinya. "Cobalah," jawabnya, suaranya penuh tantangan.
Pertarungan antara keduanya berlangsung cepat. Pedang Damien bergerak seperti kilat, namun Lucifer menghindar dengan mudah, menggunakan kekuatan iblisnya untuk mempercepat gerakan dan memblokir setiap serangan. Damien berusaha sekuat tenaga, tetapi setiap serangannya hanya mengenai udara kosong.
"Kau bisa terus bertarung, Damien, tapi itu hanya akan sia-sia," Lucifer berkata dengan tenang, meski dalam dirinya, ada perasaan lain yang tidak bisa ia jelaskan.
Namun, Damien tidak menyerah. "Aku tahu kau tidak akan membunuhku, Lucifer. Kau masih memiliki kemanusiaan dalam dirimu. Itulah yang aku yakini."
Lucifer berhenti sejenak, menatap Damien dengan tajam. Mata merahnya yang menyala mencerminkan konflik batin yang semakin besar. Bagaimana bisa ia mengabaikan kata-kata Damien? Bukankah selama ini, kekuasaan hanya memenuhi kekosongan dalam dirinya?
"Aku sudah memutuskan," Lucifer berkata dengan suara rendah, meski ada ketegangan dalam nada itu. "Tidak ada jalan lain."
Dengan gerakan cepat, Lucifer melontarkan kekuatan iblisnya, memaksa Damien mundur. "Aku akan menghancurkan dunia ini, Damien. Itu sudah keputusan yang aku buat."
Damien terjatuh, terluka parah namun masih bisa tersenyum, meski senyum itu lebih kepada sebuah perpisahan. "Aku hanya ingin kau tahu, Lucifer, bahwa selalu ada pilihan lain."
Lucifer berdiri, menatap Damien yang terbaring. Sekali lagi, perasaan aneh itu menggerogoti dirinya—rasa kehilangan yang tidak bisa ia hindari. Namun, ia mengabaikannya dan melangkah pergi, menuju takdir yang sudah ia tentukan untuk dirinya sendiri.
"Aku akan menjadi penguasa dunia ini," pikirnya dengan tekad. "Tidak ada pilihan lain."