Cahaya biru dari sistem yang mengelilingi tubuh Lucifer berkilau samar, seperti bintang-bintang yang redup di langit malam. Sistem itu, yang dulu memberinya kekuatan tak terhingga, kini terasa lebih seperti belenggu. Setiap kali ia merasa mendekati jawaban, sistem itu selalu mengarahkan langkahnya ke jalan yang lebih gelap, lebih berbahaya, seperti permainan yang tidak bisa dimenangkan tanpa pengorbanan besar.
Namun, dalam kegelapan itu, ada satu hal yang masih membuatnya tetap bertahan: hasrat untuk mengendalikan. Dunia ini, yang kacau dan penuh dengan konflik, membutuhkan penguasa yang kuat. Dan dia, Lucifer, adalah orang yang tepat untuk itu.
Malam itu, langkah kaki Lucifer membawa dirinya ke tengah kota yang hancur. Di bawah langit yang suram, kota ini tidak lebih dari bayang-bayang dari masa lalu yang terlupakan. Bangunan-bangunan yang dulunya megah kini hanya tinggal reruntuhan, namun dari antara puing-puing itu, suara-suara halus mulai terdengar. Orang-orang, yang dulu takut dan tunduk padanya, kini menyembunyikan diri. Mereka tidak tahu bahwa musuh mereka bukan hanya manusia biasa, tetapi juga sesuatu yang lebih gelap, lebih kuat.
Lucifer berhenti di depan gedung tinggi yang terbuat dari baja dan kaca, tempat di mana penguasa kota, yang juga seorang pemimpin dari kelompok oposisi, bersembunyi. Gedung ini adalah markas besar yang melambangkan harapan bagi mereka yang menentang kekuasaan Lucifer. Namun, harapan itu segera akan dipadamkan.
"Sistem, apa instruksinya?" Lucifer bertanya, suaranya dalam dan penuh ketegangan.
Sistem itu menjawab dengan suara yang lembut, hampir tidak terdengar. "Kendalikan kota ini, Lucifer. Ambil alih pemimpin oposisi, hancurkan harapan mereka."
Lucifer mengangguk, meskipun hatinya terasa tidak tenang. Sistem itu memberinya instruksi, namun ia merasakan ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu dicapai. Bukan hanya sekadar mengendalikan kota ini, tetapi juga memahami mengapa dunia ini begitu terpecah.
Di dalam gedung, suara langkah kaki yang berat mengisi ruang besar itu. Pemimpin oposisi, yang dikenal dengan nama Alaric, menunggu dengan tenang di ruang kantornya yang luas. Ia tahu bahwa Lucifer akan datang, dan ia telah mempersiapkan diri untuk pertemuan ini.
"Lucifer," suara Alaric terdengar seperti gema yang dalam, penuh kebencian namun juga rasa hormat. "Aku tahu kau akan datang. Tapi apakah kau tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di dunia ini?"
Lucifer tidak menjawab. Ia melangkah mendekat, matanya berkilau merah di bawah cahaya redup ruangan itu. "Aku datang untuk mengakhiri semua ini, Alaric. Kota ini, pengaruhmu—semuanya akan menjadi milikku."
Alaric tersenyum sinis. "Kau mungkin bisa menghancurkan semua ini, Lucifer, tapi kau tidak bisa mengendalikan hati manusia. Kau hanya melihat dunia ini dengan mata seorang iblis. Tetapi ada sesuatu yang lebih kuat dari yang kau bayangkan. Jika kau terus berjalan di jalan ini, kau akan kehilangan lebih dari yang kau kira."
Lucifer berhenti beberapa langkah darinya, matanya menatap tajam ke Alaric. "Aku tidak peduli dengan hati manusia. Aku peduli dengan kekuasaan."
Alaric berdiri, melangkah maju dengan percaya diri. "Kekuasaan? Kau menginginkan dunia ini sebagai milikmu, tapi apa yang akan terjadi setelah itu? Tidak ada lagi yang tersisa. Tidak ada lagi harapan. Apa kau benar-benar siap menghadapi kekosongan itu?"
Lucifer merasa sebuah gelombang ketidakpastian muncul dalam dirinya. Kata-kata Alaric menyentuh bagian dari dirinya yang bahkan ia sendiri tidak tahu ada di sana. Perasaan yang dulu ia abaikan kini mulai mengemuka—perasaan yang lebih manusiawi. Namun, ia segera menepisnya, berfokus pada tujuannya.
"Apa yang kau inginkan, Alaric?" Lucifer bertanya dengan nada datar, mencoba menguasai perasaannya.
Alaric mengangkat tangan, mengisyaratkan sesuatu di balik tirai gelap yang menggantung di ruang itu. "Aku ingin kau melihat dunia ini untuk apa adanya, Lucifer. Aku ingin kau melihat bahwa meskipun dunia ini rusak, ada mereka yang berjuang untuk tetap hidup—untuk mencari harapan, bahkan di tengah kehancuran."
Lucifer mengangkat alisnya. "Harapan? Apakah itu yang kau sebutkan?"
Tiba-tiba, suara ledakan keras mengguncang ruangan, dan dari balik tirai itu, muncul pasukan pemberontak yang siap untuk bertempur. Alaric tersenyum. "Kau bisa menghancurkan mereka, Lucifer, tetapi kau tidak bisa menghancurkan apa yang ada di dalam hati mereka."
Lucifer mengamati pasukan itu, merasakan gelombang emosi yang tiba-tiba menyerangnya. Ada perasaan yang aneh—perasaan ingin melindungi mereka yang melawan. Namun, itu hanya sekejap. Dengan satu gerakan tangan, Lucifer mengirimkan gelombang kekuatan iblis yang menghancurkan seluruh ruangan. Pasukan pemberontak terlempar ke dinding, tak ada yang selamat.
Namun, di balik kekuatannya, ada sesuatu yang berubah dalam diri Lucifer. Sesuatu yang tidak bisa ia kontrol.
"Apa yang aku lakukan?" bisik Lucifer, meskipun suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri.
Alaric tertawa pahit. "Kau lihat, Lucifer? Kau memang bisa menghancurkan tubuh mereka, tapi kau tidak bisa menghancurkan semangat mereka. Mereka akan selalu berjuang, bahkan setelah kau pergi."
Lucifer berdiri diam, merenung. Sistem memberinya kekuatan, memberinya kemampuan untuk menghancurkan dan mengendalikan, tetapi ia mulai merasakan ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar menghancurkan. Ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang ia perlukan untuk menyelesaikan tujuannya.
"Ini bukan hanya tentang mengendalikan dunia," pikir Lucifer dalam hati. "Ini tentang memahami kenapa dunia ini rusak. Mengapa aku berada di sini."
Saat ia berbalik, meninggalkan ruangan itu dengan langkah yang mantap, Lucifer tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Dia tidak hanya harus melawan mereka yang menentangnya, tetapi juga dirinya sendiri.
Keputusan terbesar dalam hidupnya baru saja dimulai, dan tidak ada jalan kembali.