Kejatuhan yang Terencana
Di luar gedung, kota yang futuristik ini tidak pernah tidur. Gedung-gedung tinggi menjulang dengan kaca yang memantulkan cahaya neon dari kendaraan terbang yang melintas. Teknologi dan sihir saling bersinggungan di setiap sudut jalan. Tidak ada batas antara dunia manusia dan dunia fantastis yang bersembunyi di baliknya. Namun, di balik kilau-kilau kota yang megah, ada kegelapan yang perlahan mulai menyusup ke dalam.
Lucifer berdiri di balkon ruang rapat, menatap ke luar. Hatinya kosong, namun ada semacam kepuasan yang mengalir dalam dirinya. Misi pertama telah tercapai dengan sempurna. Para pemimpin dunia kini mulai terpecah, emosi mereka teracak dan kepercayaan diri mereka mulai runtuh. Sebuah langkah kecil yang sangat penting, namun tak cukup untuk menuntaskan tujuannya.
Ketika ia kembali ke dalam ruangan, wajah para pemimpin yang sebelumnya tampak penuh dengan ketegasan kini berubah. Beberapa dari mereka tampak ketakutan, beberapa tampak bingung, dan yang lainnya—yang mungkin terlalu gegabah—mulai mencoba melawan. Namun mereka tidak tahu bahwa kekuatan yang mereka hadapi bukanlah sesuatu yang bisa mereka kontrol.
"Apa yang kau inginkan, Iblis?" tanya pria besar yang tadi berbicara dengan suara tegas, meski gemetar. "Kami tahu siapa kau."
Lucifer tersenyum tipis, tidak terganggu oleh ancaman itu. "Apa yang aku inginkan? Hmm... apa yang kebanyakan orang inginkan? Kekuasaan, tentu saja."
Namun, senyumannya bukanlah senyuman manusia biasa. Itu adalah senyum yang berasal dari kedalaman kegelapan, senyum yang mengandung kebanggaan dan rasa superioritas. Semua yang ada di ruangan itu tahu—meskipun mereka mencoba menyangkalnya—bahwa tidak ada jalan keluar dari permainan ini.
"Kekuasaan?" tanya wanita tua dengan rambut perak panjang, suara bernada ancaman. "Kau pikir kami akan memberi itu padamu?"
Lucifer mendekat, langkahnya perlahan, namun setiap gerakan terasa seperti bumi yang bergerak. "Kalian tidak akan memberi apapun. Aku yang akan mengambilnya."
Wanita itu menatapnya, namun ada yang berbeda kali ini. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Lucifer merasakan emosi wanita itu. Ketakutan, kebingungan, dan—yang paling berbahaya—kesombongan. Semua itu, energi yang bisa ia manfaatkan.
Wanita itu tiba-tiba mengangkat tangan, sebuah sihir gelap muncul di ujung jarinya. Namun, sebelum ia bisa melancarkan serangan, tubuhnya tampak goyah, seolah seluruh energinya terkuras dalam satu detik. Lucifer tidak bergerak, tetapi senyum di wajahnya semakin lebar. Ia telah memanfaatkan emosi mereka, membiarkan rasa takut dan ketidakpastian menghancurkan konsentrasi mereka.
"Kau... tidak akan menang," kata wanita itu dengan suara lemah.
Lucifer menatapnya dengan dingin. "Kau salah. Aku sudah menang sejak awal."
Dengan sebuah isyarat tangan, energi sihir yang terlepas dari tubuh wanita itu membalik dan menyerang dirinya sendiri. Sebuah ledakan kecil terjadi, dan wanita itu terjatuh ke lantai, tidak bergerak. Semua orang di ruangan itu terdiam.
Lucifer berbalik, memandang semua yang ada di sana. Mereka tampak terpecah—keberanian mereka hancur, dan keraguan semakin menguasai mereka. Ini adalah saat yang tepat. Saat untuk mengambil langkah lebih jauh.
"Kalian tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya," Lucifer berkata dengan suara yang dingin dan tak terbantahkan. "Jika kalian tidak ingin lebih banyak darah yang tertumpah, ikuti saja keinginanku."
Pria besar yang sebelumnya mencoba melawan kini hanya bisa menundukkan kepala. "Apa yang kau inginkan?" suaranya dipenuhi rasa takut.
Lucifer berjalan mendekat, mengangkat dagu pria itu dengan satu gerakan yang sangat lembut, namun penuh tekanan. "Aku ingin kalian menyerahkan kendali negara ini padaku. Mulai sekarang, kalian akan bekerja untukku, dan kalian akan melakukan apa pun yang aku perintahkan. Jangan berpikir untuk melawan."
Di luar, kerumunan manusia yang masih tidak tahu apa yang terjadi mulai mendengar suara-suara aneh. Keadaan di dalam gedung sudah mulai mempengaruhi dunia luar. Kekuatan Lucifer tidak hanya mempengaruhi perasaan mereka, tetapi juga mulai merambah ke sistem kota—teknologi yang ada di sana.
"Apa yang sedang terjadi?" salah seorang dari mereka berteriak, kebingungan. Lampu-lampu kota mulai berkedip, dan sinyal komunikasi mulai terputus.
"Ini baru permulaan," Lucifer berkata pelan, matanya menyala merah menyala. "Kalian akan merasakan kehancuran yang lebih besar jika kalian melawan."
Kota mulai merasakan dampaknya—lebih dari sekadar kekacauan teknologi, tetapi sebuah kesedihan yang aneh. Orang-orang merasakan ketakutan yang tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Mereka mulai menatap sesama mereka dengan rasa curiga. Kepercayaan mereka satu sama lain hancur dalam sekejap, dan itu adalah kekuatan yang diinginkan Lucifer. Setiap ketakutan, setiap keraguan, adalah bahan bakar baginya untuk memperkuat kekuatan yang sedang berkembang.
Sementara itu, di dalam gedung, para pemimpin yang tersisa hanya bisa terdiam, mengetahui bahwa dunia mereka kini berada di ujung kendali Lucifer.
"Sekarang," Lucifer melanjutkan, "kalian akan membuat keputusan yang tepat. Atau aku akan membuatnya untuk kalian."