Setelah kepergian penjaga langit, lian chen teringat ibunya di desa sungai kabut. Ia menarik napas panjang, menatap cakrawala di langit. "Sudah berbulan-bulan aku pergi tanpa kabar," gumamnya pelan. "Ibu pasti khawatir, menunggu dengan cemas tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Keputusan itu akhirnya bulat. Sebelum ia melanjutkan takdirnya sebagai pewaris batu pusaka langit, ia harus kembali memastikan ibunya baik-baik saja. Langkah Tanpa Jejak segera ia gunakan, tubuhnya melesat menembus udara pagi. Setiap langkahnya mengarahkannya lebih dekat pada desa yang kini menjadi kenangan hangat dalam hatinya.
Saat senja mulai turun, ia akhirnya tiba di tepi desa. Desa itu tampak tenang, dengan kabut tipis yang mengelilinginya, menciptakan suasana magis seperti yang ia ingat. Lian Chen melangkah perlahan, menyusuri jalan kecil yang dipenuhi kerikil. Bau masakan rumah menguar di udara, membuatnya menjadi sedikit lapar, teringat masakan ibunya.
Sesampainya di depan rumah kecil berdinding kayu, ia melihat seorang wanita paruh baya duduk di tangga, menatap langit dengan pandangan kosong. Itu ibunya. Meski rambutnya telah memutih sebagian, wajahnya tetap menunjukkan kehangatan yang Lian Chen rindukan.
"Ibu," panggilnya dengan suara berat.
Wanita itu menoleh, terdiam sejenak sebelum air mata mengalir di pipinya. "Lian Chen! Kau pulang, Nak!" katanya dengan nada gemetar. Ia berdiri dan memeluk anaknya erat, seolah takut kehilangannya lagi.
"Ibu, maafkan aku. Aku terlalu lama pergi," ucap Lian Chen, merasa bersalah.juga sambil membalas pelukan hangat ibunya.
"Ibu tidak apa-apa. Yang penting kau selamat. Kau pasti menjalani banyak hal, ya?" jawabnya.
Lian Chen hanya mengangguk. Ia memutuskan untuk tidak menceritakan semua pertempuran dan bahaya yang telah ia lalui. Malam itu, mereka makan bersama. Masakan sederhana ala ibu Lian chen seperti sup sayur dan ikan bakar terasa lebih nikmat daripada apa pun yang pernah ia cicipi selama ini.
Pagi itu, mentari baru saja muncul dari balik pegunungan, memancarkan sinar lembut yang menyelimuti Desa Sungai Kabut. Embun yang menggantung di dedaunan berkilauan diterpa cahaya, menciptakan suasana magis yang menenangkan. Lian Chen berdiri di tepi sungai kecil yang mengalir di tengah desa. Tempat ini dikenal memiliki energi spiritual yang melimpah, tersembunyi dalam aliran air dan kabut yang selalu menyelimuti desa.
Dengan pakaian sederhana yang melambangkan kesederhanaannya, ia memutuskan untuk mengeksplorasi lebih dalam energi spiritual desa ini. Baginya, Desa Sungai Kabut bukan hanya tempat tinggal, melainkan lahan misteri yang belum sepenuhnya ia pahami, terutama sejak batu pusaka langit mulai menyatu dengan tubuh dan jiwanya.
Saat ia melangkah melewati jalan setapak berbatu yang menuju hutan kecil di pinggir desa, tiba-tiba terdengar suara lembut memanggil namanya.
"Lian Chen? Benarkah itu kau?"
Lian Chen berbalik, sedikit terkejut mendengar suara yang terdengar akrab, namun sudah lama tak ia dengar. Seorang wanita muda berjalan mendekat dengan senyuman hangat. Rambut panjangnya yang hitam disanggul dengan hiasan berwarna emas, dan matanya yang bersinar mencerminkan kebahagiaan sekaligus rasa rindu. Ia adalah Li Xueying, teman masa kecilnya.
"Li Xueying?" Lian Chen terpana, tak menyangka akan bertemu dengannya setelah bertahun-tahun.
Li Xueying mengangguk, kemudian tertawa kecil. "Aku tak menyangka kau masih di desa ini. Kukira kau sudah pergi seperti yang lain."
Lian Chen tersenyum kecil. "Desa ini masih punya banyak hal yang menarik, setidaknya bagiku. Tapi bagaimana denganmu? Apa yang membawamu kembali ke Sungai Kabut?"
Li Xueying menghela napas lembut, kemudian berkata, "Kali ini aku datang untuk urusan bisnis. Kota tempatku tinggal membutuhkan pasokan ramuan herbal. Aku mendengar desa ini masih memiliki ladang herbal yang berkualitas tinggi, jadi aku ingin melihat sendiri, mungkin juga membeli beberapa. Tapi aku tak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
Lian Chen mengangguk mengerti. "Kau benar. Desa ini masih memiliki banyak kekayaan alami, terutama energi spiritualnya. Ladang herbal itu terletak tak jauh dari sini. Jika kau mau, aku bisa menemanimu."
Li Xueying tersenyum cerah. "Tentu saja! Siapa lagi yang lebih baik menemaniku selain kau?"
Mereka mulai berjalan bersama melewati jalan setapak menuju ladang herbal. Sepanjang perjalanan, mereka mengenang masa-masa bermain bersama saat kecil. Li Xueying bercerita tentang perjalanannya membangun bisnis, sementara Lian Chen lebih banyak mendengar, tersenyum mengingat betapa dulu ia sering melindungi Li Xueying dari anak-anak lain yang suka mengganggunya.
Lian Chen dan Li Xueying akhirnya tiba di ladang herbal yang berada di sisi bukit Desa Sungai Kabut. Ladang itu tampak subur dan penuh dengan tanaman herbal yang tumbuh lebat. Kabut tipis menyelimuti area tersebut, menciptakan pemandangan yang magis. Beberapa tanaman memancarkan aroma segar dan lembut yang menenangkan.
"Ini luar biasa," ujar Li Xueying kagum, menatap ladang herbal di depannya. Ia berjongkok untuk memeriksa beberapa daun dan bunga yang tampak berkilauan oleh embun pagi. "Tidak banyak tempat seperti ini yang tersisa. Energi di sini terasa sangat murni."
Lian Chen berdiri di sampingnya, tersenyum tipis. "Desa ini memang istimewa. Tapi butuh perhatian dan perawatan agar tetap seperti ini. Jika ada yang ingin memanfaatkan tempat ini tanpa hati-hati, keseimbangannya bisa rusak."
Li Xueying mengangguk penuh pengertian. "Aku akan pastikan pembelianku tidak merugikan desa ini. Aku hanya membutuhkan beberapa untuk kebutuhan tertentu."
Lian Chen tersenyum lega. "Aku tahu kau tidak akan menyalahgunakannya. Kau selalu memikirkan orang lain, bahkan sejak kecil."
Mereka menghabiskan beberapa waktu memeriksa tanaman-tanaman herbal. Li Xueying mencatat beberapa spesies yang unik dan bernilai tinggi untuk diambil dengan izin kepala desa nanti. Setelah selesai, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah Lian Chen. Sepanjang perjalanan, obrolan mereka menjadi lebih santai, dipenuhi dengan tawa dan nostalgia.
Ketika mereka tiba di rumah, ibu Lian Chen tengah menyiapkan makan siang. Wanita itu tampak terkejut sekaligus senang melihat kedatangan Li Xueying.
"Li Xueying? Benarkah ini kau?" Ibu Lian Chen tersenyum lebar sambil menyeka tangannya dengan celemek. "Sudah lama sekali, Nak. Kau semakin cantik!"
Li Xueying membalas senyum hangat itu dan menunduk hormat. "Bibi, terima kasih. Aku senang bisa bertemu lagi setelah sekian lama."
"Ayo masuk! Makan siang hampir siap. Kalian pasti lelah setelah berjalan-jalan," ujar ibu Lian Chen, mengundang mereka masuk ke dalam rumah.
Di meja makan, mereka menikmati makanan sederhana yang dibuat oleh ibu Lian Chen. Ada sup sayur hangat, ikan goreng renyah, dan nasi yang mengepul. Suasana makan siang itu penuh dengan kehangatan. Ibu Lian Chen mendengarkan cerita Li Xueying tentang kehidupannya di kota, sesekali tersenyum atau tertawa kecil mendengar kisah-kisah lucu dari masa lalu mereka.
"Lian Chen, kau beruntung punya teman seperti Li Xueying," ujar ibunya, melirik ke arah Lian Chen dengan penuh arti. "Dia perhatian dan tidak pernah lupa pada asalnya."
"Ibu," sahut Lian Chen dengan nada sedikit malu. "Tentu saja aku tahu itu."
Li Xueying tertawa kecil melihat ekspresi Lian Chen, sementara ibunya tersenyum lebar, tampak puas menggoda anaknya.
Setelah makan siang, mereka bertiga duduk di beranda depan rumah, menikmati udara segar dan teh hangat. Li Xueying terlihat nyaman, berbincang dengan ibu Lian Chen tentang berbagai hal, mulai dari kenangan masa kecil hingga kondisi desa saat ini. Sementara itu, Lian Chen sesekali memandangi mereka, merasakan kehangatan yang hampir ia lupakan.
Malam tiba, dan Li Xueying memutuskan untuk menginap di rumah Lian Chen. Sebelum tidur, ia menyampaikan rasa terima kasihnya. "Bibi, terima kasih atas keramahanmu. Rasanya seperti pulang ke rumah."
"Ibu ini senang kau datang," balas ibu Lian Chen lembut. "Kapan pun kau ingin kembali, pintu rumah ini selalu terbuka untukmu."
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, Lian Chen duduk di halaman rumahnya, memandangi cakrawala. Dalam hati, ia bersyukur atas momen ini, meski ia tahu perjalanan besar yang menantinya belum selesai. Tapi untuk saat ini, ia merasa damai, dikelilingi oleh orang-orang yang ia sayangi.