Masih di dalam Gua Jiwa Mendalam, Lian Chen dikelilingi oleh aura lembut yang memancar dari jiwanya. Udara di gua itu terasa berat namun menenangkan, seolah mendorongnya untuk menyelami pemikiran yang lebih dalam. Setelah melalui ujian Kolam Pemurnian Jiwa, ia merasa ada sesuatu yang perlu ia pahami sepenuhnya—konsep harmoni yang begitu menonjol selama perjalanan kultivasinya.
Dia menutup mata, membiarkan pikirannya tenggelam dalam resonansi energi yang melingkupinya. Kilasan-kilasan masa lalu muncul, mulai dari perjuangan awalnya yang terpaksa meninggalkan ibunya, pertemuannya dengan anggota sekte yang menginginkan batu pusaka langit yang ada padanya, hingga pertempuran melawan para kultivator lainnya. Meskipun ia telah mengatasi banyak rintangan, ia menyadari bahwa semua tindakannya sering kali didorong oleh keinginan untuk bertahan hidup atau menjadi lebih kuat, bukan karena pemahaman sejati akan dirinya dan dunia di sekitarnya.
Lian Chen kemudian membuka pikirannya terhadap harmoni tubuh. Dengan memusatkan energinya, ia menyadari bahwa qi yang mengalir di dalam tubuhnya lebih stabil dari sebelumnya. Namun, masih ada sisa-sisa ketegangan—jejak dari pertempuran dan pelatihan yang keras. Dengan teknik pernapasan yang ia pelajari, ia mulai melepaskan ketegangan tersebut, membiarkan energi mengalir seperti sungai yang bebas. Tubuhnya menjadi lebih ringan, tetapi ia tahu ini baru awalnya.
Saat ia beralih ke harmoni jiwa, ia menatap refleksi dirinya di Kolam Pemurnian Jiwa. Cerminan itu tidak hanya menunjukkan fisiknya, tetapi juga lapisan-lapisan emosinya—ketakutan, kemarahan, kebingungan, dan kebanggaan. Ia ingat saat menghadapi musuh, bagaimana emosinya sering kali mendikte tindakannya. "Bagaimana aku bisa mencapai harmoni jika jiwaku masih dibebani oleh beban-beban ini?" gumamnya pelan. Ia menarik napas dalam-dalam, menerima bahwa emosi ini adalah bagian dari dirinya, tetapi ia tidak boleh membiarkannya menguasai. Dengan setiap napas, ia mencoba mengubah kemarahan menjadi keteguhan, ketakutan menjadi keberanian, dan kebingungan menjadi ketenangan.
Langkah terakhir adalah harmoni dengan alam semesta. Energi gua seolah menari-nari di sekelilingnya, menariknya untuk menyatu dengan siklus alami. Lian Chen mulai memusatkan perhatian pada suara gemericik air, kilauan cahaya dari dinding batu, dan kehangatan samar yang mengalir melalui gua. Dalam pikirannya, ia melihat bagaimana setiap elemen ini saling terhubung—air yang mengalir memberi kehidupan, batu yang kokoh menjadi pondasi, dan cahaya yang menjadi panduan. Ia mulai merasa bahwa dirinya adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Ketika ia membuka matanya, ada kilau pemahaman baru di dalamnya. Mencapai harmoni bukan berarti menghapus perbedaan antara tubuh, jiwa, dan alam semesta, melainkan menyelaraskan semua aspek tersebut sehingga bekerja bersama seperti simfoni. Ia tahu perjalanannya masih panjang, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar berada di jalur yang benar.
Energi dari Kolam Pemurnian Jiwa tiba-tiba berkumpul, menciptakan arus yang mengalir menuju Lian Chen. Cahaya lembut membungkus tubuhnya, menyelaraskan setiap serat tubuh dan jiwanya dengan alam semesta di sekitarnya. Dalam meditasi yang dalam, ia merasakan keterhubungan itu memperkuat tekadnya untuk melanjutkan perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang Dao dan keseimbangan sejati.
Lian Chen perlahan berdiri dari posisi meditasinya, tubuhnya terasa ringan, seperti embun yang menguap di bawah sinar matahari pagi. Energi yang memancar dari Kolam Pemurnian Jiwa terus berputar mengelilinginya, seolah memberkati perjalanan berikutnya. Saat ia memeriksa keadaan tubuh dan jiwanya, sebuah suara lembut namun tegas bergema di pikirannya. Itu adalah suara dari Batu Pusaka Langit, entitas yang telah menjadi penuntunnya selama ini.
"Lian Chen, pemahamanmu tentang harmoni telah membuka pintu menuju tahap yang lebih tinggi. Kini saatnya mempelajari 'Cakar Dimensi Ilahi'. Namun, ingatlah, kekuatan ini tidak semata-mata tentang kehancuran, tetapi tentang keseimbangan dan kebijaksanaan dalam penggunaannya."
Lian Chen mengangguk pelan. Selama ini, ia hanya mengetahui sedikit tentang teknik tersebut dari fragmen informasi yang ia baca dalam teks kuno di gua terdahulu. Teknik itu dikenal sebagai salah satu seni kuno yang sulit dikuasai, dengan risiko yang bisa menghancurkan penggunanya sendiri jika tidak dikuasai dengan harmoni penuh.
Dalam dirinya, ia bisa merasakan bahwa Batu Pusaka Langit telah menyimpan informasi lebih lengkap tentang teknik ini. Ia memusatkan pikirannya pada artefak itu, membiarkan energinya terhubung lebih dalam. Cahaya biru berkilauan dari Batu Pusaka Langit mulai membentuk pola rumit di udara, seperti simbol kuno yang memancarkan aura luar biasa. Lian Chen segera menyadari bahwa pola-pola itu adalah tahapan dari Cakar Dimensi Ilahi.
Tahapan Awal: Membuka Celah Dimensi
Suara Batu Pusaka Langit kembali menggema. "Langkah pertama adalah memahami ruang dan dimensi. Alam ini tidak hanya terdiri dari yang terlihat. Untuk membuka celah dimensi, kau harus merasakan dan menyelaraskan dirimu dengan energi ruang di sekitarmu."
Lian Chen duduk kembali dan menutup matanya. Ia mulai memusatkan perhatiannya pada energi di sekitar gua, membayangkan ruang di antara tiap molekul udara, tiap celah di dinding batu, dan tiap riak di permukaan kolam. Lambat laun, ia merasakan adanya sesuatu yang berbeda—lapisan tipis yang seolah menjadi pintu menuju dimensi lain. Dengan hati-hati, ia mencoba menyentuhnya menggunakan qi miliknya.
Udara di gua mendadak terasa tegang. Sebuah celah kecil muncul di hadapannya, melayang-layang seperti luka pada kain yang tak terlihat. Celah itu mengeluarkan desiran energi yang asing, seperti suara angin yang berhembus dari tempat yang jauh di luar jangkauan dunia ini. Namun, celah itu segera menghilang, meninggalkan Lian Chen terengah-engah.
"Kau telah berhasil menyentuh dimensi, namun ini baru awalnya," ujar Batu Pusaka Langit. "Teknik kuno ini membutuhkan ketekunan dan pemahaman lebih dalam. Jika celah dimensi ini diciptakan tanpa harmoni, ia akan memakanmu sebagai gantinya."
Tekad Baru
Lian Chen menarik napas panjang, tubuhnya masih terasa lelah tetapi pikirannya dipenuhi rasa ingin tahu. Ia mulai memahami mengapa harmoni sangat penting dalam mempelajari teknik ini. Membuka celah dimensi tidak hanya soal kekuatan, tetapi juga soal keseimbangan antara qi dalam tubuhnya, resonansi jiwanya, dan energi ruang di sekitarnya.
Setelah menyelaraskan kembali tubuh dan jiwanya, ia bersiap mencoba lagi. Kali ini, ia tidak memaksakan qi-nya, melainkan membiarkan energi tersebut mengalir secara alami, menyatu dengan irama ruang disekitarnya. Ketika celah dimensi muncul lagi, ia tidak merasa takut. Sebaliknya, ia menyambutnya dengan rasa hormat, membiarkan dirinya menjadi bagian dari energi itu.
Celah itu tetap terbuka lebih lama, dan Lian Chen dapat melihat sekilas dimensi lain di baliknya. Cahaya berwarna-warni yang tak terlukiskan mengalir keluar, membawa rasa dingin yang menusuk namun menenangkan.
"Ini baru awal, Lian Chen. 'Cakar Dimensi Ilahi' adalah perjalanan memahami batas-batas dunia dimensi dan ruang, tetapi ingat, kekuatan ini hanya berguna jika kau paham akan harmoni."
Dengan semangat baru, Lian Chen merasa bahwa setiap langkahnya membawa makna yang lebih dalam. Ia tahu bahwa pelatihan ini tidak akan mudah, tetapi dengan harmoni yang telah ia capai, ia yakin dapat menguasai teknik ini dan menggunakannya untuk melindungi dirinya, orang-orang yang ia sayangi, dan menegakkan keseimbangan di dunia kultivasi. Perjalanan baru telah dimulai, sebuah perjalanan menuju pemahaman ruang, waktu, dan keberadaan itu sendiri.