Chereads / The Ascension of Anemo / Chapter 12 - Lunareth Village (2)

Chapter 12 - Lunareth Village (2)

Anemo berjalan melewati jalan kecil yang penuh dengan dedaunan kering dan ranting patah. Udara di sekitarnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengawasi dari balik bayangan. Ia mencoba fokus, menajamkan indra untuk mencari tanda-tanda yang mungkin relevan dengan misi mereka.

Setiap langkah membawa Anemo lebih dalam ke area desa yang hancur. Bangunan di sekitarnya mulai terlihat seperti pernah terbakar, dengan dinding-dinding yang hangus dan lubang besar di atap. Dalam hatinya, Anemo merasa ada sesuatu yang salah. Tempat ini bukan sekadar desa yang ditinggalkan ini adalah lokasi yang menyimpan luka besar, mungkin lebih dari yang bisa dilihat oleh mata biasa.

Saat ia melewati sebuah rumah kecil dengan pintu yang sudah roboh, Anemo berhenti. Ia merasakan sesuatu, semacam energi yang samar, tetapi familiar.

"Energi ini…" pikirnya. Ia mengerutkan kening, mencoba mengingat di mana ia pernah merasakan hal yang serupa.

Tanpa sadar, tangannya terangkat, dan ia menyentuh dinding rumah tersebut. Tiba-tiba, penglihatannya terganggu oleh kilasan gambar - gambar yang tidak ia pahami. Ia melihat bayangan orang-orang berlarian dalam kegelapan, suara jeritan memenuhi udara, dan simbol aneh yang bersinar di tengah desa.

Anemo mundur dengan terkejut, menarik napas dalam-dalam. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" gumamnya.

Ia memutuskan untuk memeriksa lebih jauh, berharap menemukan petunjuk tentang apa yang terjadi di desa ini, dan mengapa energinya terasa begitu kacau.

Sementara itu, disisi lain, Aedric berdiri di dalam sebuah bangunan tua yang nyaris runtuh, dikelilingi oleh dinding yang dipenuhi lumut dan kayu yang rapuh. Udara di sana dingin, membawa aroma basah dan tanah yang tak asing. Ia diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Ia memikirkan perjalanan yang baru saja ia mulai bersama Anemo dan Metha. Perkenalannya dengan Anemo baru terjadi sehari yang lalu, namun ada sesuatu yang terasa aneh tentang pemuda itu. Bukan karena sikapnya yang pendiam, tetapi lebih kepada aura misterius yang sulit dijelaskan.

"Kenapa aku merasa seolah aku sudah mengenal Anemo lebih lama dari yang sebenarnya?" pikir Aedric. Ia mencoba mengingat apakah ia pernah bertemu dengannya sebelumnya, tapi ingatannya tidak memberikan jawaban.

Tiba-tiba, kepala Aedric terasa berat, seperti ada sesuatu yang menyelinap ke dalam pikirannya. Ia memegang dahinya dengan satu tangan, mencoba menjaga keseimbangan. Lalu, suara berat dan dalam yang misterius terdengar, bukan dari luar, melainkan dari dalam pikirannya sendiri.

"Aedric…"

Aedric tersentak, matanya melebar. "Siapa itu?" bisiknya dengan nada waspada, melihat sekeliling meskipun ia tahu suara itu bukan berasal dari luar.

"Kau tidak curiga tentang Anemo? Kau baru mengenalnya sehari, tapi dia menyembunyikan banyak hal darimu."

Aedric terdiam, mencoba memahami apa yang terjadi. "Apa maksudmu? Kau bicara tentang Anemo?"

Suara itu tertawa kecil, sebuah tawa yang terdengar meremehkan. "Ya, tentang dia. Dia bukan orang biasa, Aedric. Dia menyembunyikan sesuatu yang besar, sesuatu yang bisa menghancurkanmu jika kau tidak berhati-hati."

Aedric menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir suara itu. "Aku tidak tahu siapa kau, tapi aku tidak akan terpengaruh oleh omong kosongmu."

"Omong kosong?" Suara itu berdesis. "Kau sendiri tahu ada yang aneh tentang dirinya. Energinya… auranya… dia bukan seperti orang lain. Pikirkanlah, Aedric. Siapa yang kau percayai di antara teman seperjalananmu? Apakah kau yakin Anemo tidak memiliki agenda tersembunyi?"

Aedric menggertakkan giginya. "Aku tidak tahu siapa kau, tapi aku tidak akan membiarkanmu merusak pikiranku."

Namun suara itu tidak berhenti. "Anemo menyembunyikan identitasnya darimu. Dia menyebut dirinya teman, tapi tidak pernah jujur padamu. Tidakkah kau merasa itu mencurigakan? Apa yang sebenarnya dia cari, dan mengapa dia tidak memberitahumu? Apakah dia menganggapmu terlalu lemah untuk tahu?"

Kata-kata itu menusuk Aedric, meskipun ia mencoba menolaknya. Memang benar, aku tidak tahu apa-apa tentang dia, pikirnya. Tapi, apakah itu berarti dia menyembunyikan sesuatu yang berbahaya?

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. "Aku tidak akan menilai seseorang hanya karena kata-kata dari suara misterius seperti dirimu."

Namun, suara itu hanya tertawa lebih keras. "Oh, Aedric… waktu akan membuktikan siapa yang benar. Kau akan melihat sendiri siapa sebenarnya Anemo, dan pada saat itu, kau mungkin sudah terlambat untuk menyelamatkan dirimu sendiri."

Suara itu menghilang tiba-tiba, meninggalkan Aedric dalam keheningan. Ia berdiri di sana, napasnya memburu, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"Apa itu tadi?" pikirnya, bingung. "Dan siapa sebenarnya Anemo? Apakah dia benar-benar menyembunyikan sesuatu?"

Aedric memegang kepalanya, mencoba mengusir keraguan yang mulai tumbuh. Ia tidak ingin percaya pada suara itu, tetapi ada sesuatu di dalam kata-katanya yang sulit diabaikan.

Namun, ia memutuskan untuk menyimpan semuanya dalam hati. Dia tidak akan membiarkan suara itu memengaruhi hubungannya dengan Anemo… setidaknya, sampai ia menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Disisi lain, Metha melangkah masuk ke dalam bangunan tua yang menyerupai bar minuman kuno. Tempat itu sunyi, hanya ada suara derit kayu yang bergema ketika ia melangkah. Bau apek dan debu memenuhi udara, memberikan kesan bahwa tempat ini telah lama ditinggalkan. Namun, ada sesuatu yang aneh, energinya terasa begitu kuat dan berat, seperti tempat ini menyimpan banyak kenangan gelap.

Ia berjalan perlahan, matanya menyisir sekeliling. Bar kayu di sudut ruangan sudah retak dan tertutup debu tebal. Beberapa botol kaca kosong masih tertinggal di rak, meski sudah berlapis debu. Di atas meja, ada banyak benda yang terlihat kuno, salah satunya yaitu pedang dengan bentuk yang aneh, ukiran logam yang tak dikenalnya, dan beberapa gulungan kertas yang sebagian besar sudah robek atau terkelupas.

Salah satu pedang menarik perhatiannya. Ia memegang pedang itu, merasakan berat dan dinginnya logam. Bentuknya tidak seperti pedang biasa, bilahnya melengkung dengan ukiran rumit di sepanjang sisi. Meski pedang itu tampak tua, Metha bisa merasakan energi yang kuat terpancar darinya.

"Apa tempat ini dulunya?" pikir Metha, mencoba memahami sejarah yang tersembunyi di balik bangunan ini. Namun, perhatian Metha segera tertuju pada sesuatu yang lain. Di meja bar, ada selembar kertas yang tampak lebih baru dibandingkan barang-barang lainnya.

Ia mengambil kertas itu dengan hati-hati dan membacanya. Ketika matanya menyisir tulisan di atasnya, Metha tertegun. Di bagian atas kertas itu tertulis dalam bahasa kuno:

"Vekan Kaitsu, vekan tepon nalem doran! Ru Lunareth vomela soron nik vekan tepon doran, tihan sa rakra, farenai di rutan danan!"

Metha membaca tulisan itu dengan suara pelan, mencoba mengingat pelajaran bahasa kuno yang pernah ia pelajari di Guild Luminous.

"Vekan Kaitsu…" Ia merenung sejenak. "Itu berarti sesuatu tentang 'aliansi kaitsu' Tapi frasa berikutnya… 'Vekan tepon nalem doran'… Aku rasa itu artinya 'aliansi kaitsu harus dihancurkan'"

Namun, di bawah teks kuno itu, ada tulisan lain, kali ini dalam bahasa yang biasa ia gunakan sehari-hari:

"Kepada yang Maha Esa Sang Tuhan yang sebenar-benarnya."

Metha mengernyit, kebingungan. "Bagaimana bisa ada tulisan dalam dua bahasa berbeda di sini? Dan kenapa disebut 'Tuhan yang sebenar-benarnya'? Apa ini semacam doa? Atau peringatan?"

Kertas itu semakin membuat Metha bingung. Ia memutuskan untuk menyimpan kertas itu di sakunya. Jika ia bertemu dengan Anemo atau Aedric, ia akan menunjukkan tulisan ini kepada mereka. Mungkin mereka memiliki petunjuk lebih banyak tentang apa yang sedang terjadi.

Namun, rasa ingin tahunya belum terpuaskan. Ia kembali menyisir ruangan, mencoba menemukan sesuatu yang lain. Tempat ini jelas menyimpan cerita yang lebih besar dari sekadar bar minuman. Energi yang terasa berat dan suram di sini menunjukkan bahwa mungkin ada peristiwa besar – atau tragis – yang pernah terjadi di tempat ini.

Setelah memastikan bahwa tidak ada lagi yang mencolok, Metha menarik napas panjang. Ia harus kembali ke titik awal mereka berkumpul sebelum waktu habis. Meski kebingungannya belum terjawab, ia tahu bahwa kertas itu bisa menjadi kunci untuk memahami apa yang sedang terjadi di Desa Lunareth.

Ia melangkah keluar dari bangunan, sesekali menoleh ke belakang dengan perasaan cemas, seolah-olah ada yang mengawasinya. Namun, tidak ada apa-apa selain bayangan pohon dan sinar redup dari bulan yang terhalang kabut tebal. Ia mempercepat langkahnya, ingin segera bertemu kembali dengan Anemo dan Aedric untuk membahas apa yang ia temukan.

Di puncak sebuah menara tinggi di Guild Luminous, Arthur berdiri memandang ke langit malam. Angin dingin bertiup kencang, membuat jubah panjangnya berkibar di sekeliling tubuhnya. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah tongkat sihir dengan kristal berkilauan di ujungnya. Dengan napas yang perlahan, ia mulai memancarkan energi yang halus namun kuat ke angkasa, seperti aliran cahaya keemasan yang membubung tinggi.

Sembari melakukannya, bibirnya melantunkan doa yang lembut, hampir seperti bisikan. "Kepada para Archon yang agung, yang menjaga dunia ini, aku memohon… lindungilah mereka yang berada di luar sana. Bantu mereka menemukan jalan mereka, dan pastikan mereka kembali dengan selamat."

Namun, di dalam hatinya, kekhawatiran tak kunjung reda. Energi yang ia gunakan adalah jenis sihir pelacakan khusus, yang memungkinkan dia memantau keberadaan dan kondisi tim yang sedang menjalankan misi. Tetapi untuk Tim 02, sesuatu terasa tidak biasa. Energi mereka semakin memudar, bukan karena bahaya fisik, tetapi seperti ada sesuatu yang mengaburkan koneksi mereka dengan sihir ini.

"Kenapa energi mereka melemah?" gumamnya, matanya terpaku pada bintang-bintang yang bersinar samar di atas. "Apakah ada sesuatu yang mengganggu jalannya misi mereka? Atau mungkin... sesuatu yang lebih besar sedang terjadi?"

Arthur memusatkan energinya lebih dalam, mencoba mengatasi gangguan yang menghalangi koneksi dengan Tim 02. Cahaya dari tongkatnya semakin terang, memancarkan warna emas yang hampir menyilaukan. Di matanya, ia bisa melihat garis-garis energi yang menghubungkan Guild Luminous dengan setiap anggota tim di lapangan. Garis yang mengarah ke Tim 02 terlihat semakin tipis, seperti akan putus kapan saja.

"Tidak," katanya pelan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Mereka pasti baik-baik saja. Tim ini dipimpin oleh Anemo. Dia mungkin baru saja bergabung dengan guild, tetapi aku tahu dia memiliki kemampuan luar biasa. Dan Metha serta Aedric adalah anggota yang kompeten. Mereka tidak akan menyerah begitu saja."

Namun, semakin ia mencoba meyakinkan dirinya, semakin besar rasa gelisah yang tumbuh di dadanya. Ia mengarahkan lebih banyak energi ke tongkatnya, mencoba memperkuat koneksi, tetapi sesuatu di ujung lain menolak sihirnya. Seperti ada dinding tak terlihat yang menghalangi. Arthur merasakan energi itu berbalik ke arahnya, hampir membuatnya kehilangan keseimbangan.

Dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan memandang ke bawah. Dalam benaknya, ia menyusun strategi. "Jika aku tidak bisa menghubungi mereka dengan sihir ini, aku harus mempertimbangkan opsi lain. Tapi apa? Aku tidak bisa mengirim tim tambahan tanpa mengorbankan misi yang lain."

Arthur kemudian merapatkan kedua tangannya, menyatukan tongkat sihir di antaranya, dan kembali berdoa. "Para Archon, aku mohon petunjuk. Jika ada sesuatu yang menghalangi mereka, beri aku tanda. Beri aku kekuatan untuk membantu mereka."

Langit tetap diam, tanpa jawaban. Namun, angin di puncak menara terasa lebih dingin, hampir seperti peringatan. Arthur menghela napas, menurunkan tongkatnya. Ia tahu, untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu dan percaya bahwa Tim 02 akan mampu menghadapi apa pun yang mereka temui.

"Semoga kalian aman di sana," katanya pelan, sebelum berbalik dan turun dari menara. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa waktu terus berjalan, dan setiap detik yang berlalu semakin memperbesar rasa cemasnya. Ada sesuatu yang tidak beres, pikirnya. Dan ia bersumpah akan mencari tahu apa itu, secepat mungkin.

Akhir dari Chapter 12.