Daryl menatap lebih dekat luka besar di dada makhluk itu, tempat tombak energinya menembus. Di sekitar area luka itu, ia melihat sebuah pola aneh, goresan melingkar yang tampak seperti simbol atau ukiran. Pola itu tidak tampak seperti luka biasa akibat pertempuran.
Ia menyentuh pola itu dengan hati-hati, aliran energi samar terasa menjalari ujung jarinya. "Lihat ini," kata Daryl sambil menunjuk ukiran itu.
Ryan dan Sani mendekat, mengamati dengan cermat.
"Itu... bukan hasil serangan kita, kan?" tanya Daryl, menatap mereka berdua.
Sani menggeleng, wajahnya penuh kebingungan. "Aku hanya memukul makhluk ini di kakinya dan bahunya. Aku tidak membuat itu."
Ryan mengangkat bahu, menurunkan busurnya. "Panahku juga hanya mengenai kepala makhluk ini. Simbol itu sudah ada di sana sebelum kita melawannya."
Daryl mengernyit, pikirannya berputar. "Kalau begitu, ini dibuat dengan sengaja. Tapi oleh siapa? Dan untuk apa?"
Dengan nada penuh rasa ingin tahu, ia mulai merapal mantra kecil, tangannya membentuk lingkaran cahaya kecil di atas simbol itu. "Biarkan aku melihat lebih jauh. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita pelajari."
Lingkaran cahaya itu perlahan memancar di atas pola ukiran, dan dari dalamnya muncul gambaran samar, bayangan tangan seseorang yang sedang mengukir pola itu ke tubuh makhluk tersebut. Tangan itu bergerak cepat, menggunakan alat yang memancarkan cahaya ungu redup. Namun, wajah pemilik tangan itu tidak terlihat, seolah-olah tertutup oleh kabut magis.
Daryl memfokuskan mantranya lebih dalam, mencoba memperjelas gambaran itu. Namun, tiba-tiba, ia merasakan dorongan balik dari energi simbol tersebut. Lingkaran sihirnya pecah, dan ia terdorong mundur beberapa langkah.
"Argh!" seru Daryl, memegangi dadanya.
Sani segera menopangnya. "Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"
Daryl mengangguk, meskipun wajahnya sedikit pucat. "Aku... aku baik-baik saja. Tapi simbol itu, energinya sangat aneh. Seolah-olah ada kekuatan yang melindunginya. Aku hanya sempat melihat bayangan seseorang yang mengukir simbol itu ke tubuh makhluk ini. Tapi aku tidak bisa melihat siapa atau apa dia."
Ryan menyipitkan matanya, memandang tubuh makhluk itu dengan curiga. "Seseorang menandai makhluk ini? Untuk apa? Apakah itu semacam mantra kontrol atau tanda kepemilikan?"
"Mungkin," jawab Daryl sambil berpikir keras. "Atau mungkin tanda ini digunakan untuk tujuan lain, seperti mengawasi makhluk ini, atau bahkan sebagai pesan bagi seseorang yang menemukannya."
Sani menepuk palunya ke tanah, ekspresi serius terpancar di wajahnya. "Apa pun itu, yang jelas ini berarti ada seseorang di luar sana yang memainkan permainan aneh. Dan fakta bahwa mereka menggunakan makhluk sebesar ini sebagai pion... membuatku tidak nyaman."
Ryan mengangguk setuju. "Jika mereka bisa menandai makhluk seperti ini, mungkin ada lebih banyak lagi makhluk yang telah mereka kendalikan atau gunakan untuk tujuan tertentu. Dan kita bahkan tidak tahu apa tujuan mereka."
Daryl berdiri tegak kembali, wajahnya penuh tekad. "Kita harus melaporkan ini kepada Tuan Arthur begitu kita kembali ke guild. Ini bukan hanya soal hutan Grimhowl lagi. Ini lebih besar dari sekadar mencari pemimpin guild yang hilang."
Sani mengangguk, meskipun ia masih tampak kesal. "Setuju. Tapi sebelum itu, kita harus terus maju. Hutan ini belum selesai dengan kita, dan aku yakin masih ada kejutan lain yang menunggu."
Ryan memeriksa anak panahnya, memastikan semuanya siap. "Kalau begitu, ayo lanjutkan. Tapi kita harus lebih waspada sekarang. Siapa pun yang menandai makhluk ini mungkin tidak jauh dari sini."
Dengan langkah penuh kehati-hatian, ketiganya melanjutkan perjalanan mereka lebih dalam ke Grimhowl Forest. Namun, dalam hati mereka, masing-masing merasa bahwa apa pun yang sedang terjadi di hutan ini lebih gelap dan berbahaya daripada yang pernah mereka bayangkan. Ukiran di tubuh makhluk itu kini menjadi teka-teki yang terus menghantui pikiran mereka.
Tak lama dari itu, Daryl tiba-tiba merasakan tekanan hebat di dalam kepalanya. Seperti ada sesuatu yang asing, energi gelap dan menekan berusaha merasuki pikirannya. Ia terhuyung-huyung ke belakang, memegangi kepalanya dengan kedua tangan sambil mengerang kesakitan.
"Arghhh! Apa ini...?! Kepalaku!" teriak Daryl, suaranya penuh penderitaan.
Sani dan Ryan langsung menghampirinya, panik melihat keadaan Daryl yang tiba-tiba berubah drastis.
"Daryl! Kau kenapa?!" tanya Sani, mencoba mendekat, namun terhenti saat sebuah aura gelap keluar dari tubuh Daryl. Aura itu begitu pekat hingga udara di sekitar mereka terasa berat dan dingin, seperti kabut hitam yang menyesakkan. Hal ini sama seperti yang terjadi kepada Aedric sebelumnya, seperti ada sesosok entitas yang mencoba masuk ke dalam dirinya.
Ryan dengan cepat menarik Sani menjauh. "Jangan dekati dia! Ini... ini bukan hal yang biasa!"
Sani, yang awalnya kebingungan, kini mulai menyadari intensitas energi yang keluar dari tubuh Daryl. "Apa-apaan ini?! Aura ini... seperti kutukan atau semacamnya!"
Aura gelap semakin memekat, melingkupi tubuh Daryl sepenuhnya. Wajahnya tak lagi terlihat, hanya bayangan dengan dua mata merah redup yang samar-samar bersinar. Suara tawa pelan, dingin dan menyeramkan, mulai terdengar di sekitar mereka, seperti berasal dari bayang-bayang yang tak terlihat.
Namun, sebelum aura gelap itu semakin menguasai Daryl, cahaya biru terang tiba-tiba keluar dari dalam tubuhnya. Aura biru itu memancar dengan intensitas yang meningkat, menyelimuti tubuhnya dan menekan energi gelap yang berusaha mendominasi dirinya.
Daryl, meski masih terlihat kesakitan, perlahan berdiri dengan tubuh yang kini diselimuti energi biru. Angin kencang mulai berpusar di sekelilingnya, membuat dedaunan dan debu di sekitar mereka beterbangan.
Sani dan Ryan mundur beberapa langkah, melindungi diri mereka dari pusaran angin yang terus membesar.
"Ryan, apa yang terjadi?!" tanya Sani, suaranya tegang.
Ryan menggeleng, matanya tetap terfokus pada Daryl. "Aku tidak tahu! Tapi dia... sepertinya sedang melawan sesuatu. Apa pun itu, kita tidak bisa membantunya sekarang."
Setelah beberapa saat, angin kencang itu perlahan mereda, menyisakan Daryl yang berdiri dengan tubuhnya masih bersinar oleh aura biru. Matanya, yang sebelumnya terlihat merah, kini bersinar biru terang, menandakan bahwa ia berhasil mengendalikan dirinya kembali.
Daryl menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menatap Sani dan Ryan.
"Jangan khawatir," katanya dengan suara yang lebih tenang tetapi tetap tegas. "Aku baik-baik saja."
Sani, masih dengan napas yang memburu, bertanya. "Daryl, apa yang baru saja terjadi? Apa itu tadi?!"
Daryl memungut tongkat sihirnya, memandang mereka dengan ekspresi serius. "Itu sepertinya... adalah sistem pertahanan diri yang aku kembangkan. Mekanisme ini otomatis aktif jika ada energi asing yang mencoba menyerang atau merasuki pikiranku. Apa pun itu tadi, energinya berbahaya, tapi aku berhasil menghalaunya."
Ryan mengerutkan dahi, masih tidak puas dengan jawaban Daryl. "Tapi dari mana energi gelap itu berasal? Apa ada yang menyerangmu? Atau itu sesuatu dari dalam dirimu?"
Daryl menggeleng. "Aku tidak yakin. Tapi aku merasa... energi itu berasal dari luar. Seolah-olah seseorang atau sesuatu mencoba menjangkau aku atau bahkan menguasai aku."
Sani mengepalkan tangannya, wajahnya menunjukkan ketegangan. "Kalau begitu, ini artinya kita tidak sendiri. Sesuatu atau seseorang ada di sini dan sedang mengincar kita. Kita harus lebih waspada."
Ryan menundukkan kepala, matanya menyapu area di sekitar mereka yang kini sunyi kembali. "Kita berada di Grimhowl Forest. Tempat ini sudah terkenal penuh misteri dan bahaya. Mungkin ini salah satu jebakan dari hutan ini sendiri."
Daryl memandang tubuhnya yang masih bersinar dengan cahaya biru, lalu perlahan energi itu memudar. Ia menghela napas panjang. "Aku tidak tahu apakah ini ulah hutan atau sesuatu yang lain. Tapi satu hal yang pasti, kita harus berhati-hati. Jika ini bisa terjadi pada aku, itu bisa terjadi pada kalian juga."
Sani dan Ryan mengangguk setuju, meskipun masih diliputi rasa khawatir. Mereka bertiga kini lebih siaga dari sebelumnya, dengan pertanyaan besar yang menggantung di pikiran mereka. Apa sebenarnya yang ada di Grimhowl Forest, dan siapa yang memegang kendali atas energi gelap itu?
Disisi lain, Tim 02, yaitu Anemo, Metha, dan Aedric sedang bersiap melanjutkan perjalanan mereka. Cahaya pagi yang temaram menyelimuti tenda sederhana yang mereka dirikan semalam. Metha sibuk mengikat peralatan ke tas punggungnya, sementara Aedric, dengan ekspresi lelah, tengah merapikan senjatanya.
Anemo berdiri agak jauh, pandangannya kosong, seolah memikirkan sesuatu yang tak bisa ia pahami. Namun, ia tiba-tiba merasa dunia di sekitarnya berputar pelan, dan alam bawah sadarnya menariknya masuk. Ia berhenti sejenak, menutup matanya, lalu membiarkan dirinya masuk ke kedalaman pikirannya.
Ketika ia membuka mata, ia sudah berada di sebuah ruang yang ia kenali sebagai alam bawah sadarnya. Di depannya, sosok bayangan dirinya sendiri berdiri, menatapnya dengan sorot mata yang penuh urgensi.
"Anemo," bayangan itu memulai, suaranya dingin tetapi penuh kepastian. "Ada sesuatu yang harus kau ketahui."
Anemo mengerutkan dahi. "Apa yang terjadi?"
Bayangan itu melangkah mendekat, gerakannya halus seperti asap. "Aku merasakan sesuatu... sesuatu yang sangat mirip dengan kejadian yang menimpa Aedric sebelumnya. Namun, kali ini tidak terjadi di sini. Itu jauh, di tempat yang tak bisa kita jangkau sekarang."
Anemo tertegun. Ia tahu bahwa bayangannya adalah perpanjangan dari dirinya, namun ia tak pernah mengira bayangannya bisa mendeteksi sesuatu yang terjadi begitu jauh. "Kau yakin? Bagaimana kau bisa merasakannya?"
Bayangan itu mengangguk perlahan. "Aku tidak yakin bagaimana, tetapi aku tahu ini nyata. Energi itu kuat dan gelap, sama seperti saat Aedric kehilangan kendali. Lokasinya cukup jauh dari sini, tetapi aku bisa merasakannya."
Anemo menghela napas, pikirannya penuh dengan kecemasan. Ia menatap bayangannya, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. "Jika apa yang kau katakan benar, ini berarti ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita kira. Sesuatu yang mungkin terhubung dengan banyak orang."
Bayangan itu mendekat, tatapannya semakin tajam. "Kau tahu, Anemo. Ini adalah tanggung jawabmu. Kau seorang Archon, Dewa. Jika ada sesuatu yang salah di dunia ini, kau seharusnya tahu. Kau harus tahu."
Kata-kata itu menusuk pikiran Anemo. Archon. Dewa. Maha Mengetahui. Gelar itu terasa seperti beban yang semakin berat di pundaknya.
"Aku tahu..." Anemo bergumam, suaranya terdengar lemah. "Tapi... aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku tidak tahu bagaimana seorang Archon seharusnya memahami segala hal di dunia ini. Aku bahkan tidak yakin aku pantas disebut Archon."
Bayangan itu menyeringai tipis, entah meremehkan atau mencoba memotivasi. "Tentu saja kau belum tahu. Tapi kau punya potensi. Aku adalah bagian dari dirimu, dan aku bisa merasakan hal-hal yang seharusnya tidak kau ketahui. Jika aku bisa, kau juga bisa. Kau hanya perlu mendalaminya, belajar memahami kekuatanmu."
Anemo menunduk, merenungi kata-kata bayangannya. "Kalau begitu, tetap siaga. Jika kau merasakan sesuatu lagi, beri tahu aku. Aku khawatir... jika apa yang terjadi pada Aedric benar-benar terjadi juga pada orang lain, maka ini bukan sekadar masalah kecil."
Bayangan itu mengangguk. "Tentu. Aku akan tetap berjaga."
Anemo menarik napas dalam dan kembali memejamkan matanya. Perlahan, ia merasa ditarik kembali ke dunia nyata. Saat ia membuka mata, Metha sudah berdiri di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi bingung.
"Anemo, kau kenapa? Kau terlihat seperti melamun," tanya Metha.
Anemo menggeleng, mencoba menyembunyikan keresahannya. "Tidak apa-apa. Hanya... memikirkan sesuatu."
Metha mengangkat bahu, tampak tidak ingin mendesak lebih jauh. "Baiklah, tapi cepat selesaikan barang-barangmu. Kita harus segera bergerak."
Anemo menatap ke arah Aedric yang masih sibuk dengan senjatanya. Sekilas, ia merasakan kekhawatiran besar tentang apa yang mungkin terjadi di tempat lain, tetapi ia memutuskan untuk tidak memberitahukan apa yang ia rasakan. Belum saatnya Metha dan Aedric tahu.
Akhir dari Chapter 17.