Langkah kuda terdengar bergema pelan di jalan berbatu yang tertutup lumut, membawa Anemo, Metha, dan Aedric semakin dalam ke jantung Desa Lunareth yang hancur. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain puing-puing bangunan yang roboh, pepohonan yang membisu, dan udara yang terasa berat seolah-olah menyimpan rahasia gelap.
"Kita harus tetap bersama, Aku tidak mau kejadian kemarin terulang lagi.", ujar Metha.
Anemo mengangguk tanpa berkata apa-apa, tatapannya menyapu ukiran-ukiran kuno di reruntuhan dinding yang mereka lewati. Ukiran itu menggambarkan simbol-simbol aneh yang tidak dapat ia pahami, seolah-olah menceritakan kisah yang sudah terkubur bersama waktu. Aedric, yang berjalan paling belakang, memungut sebuah pecahan logam yang tidak ia kenali bentuknya.
"Barang apa ini?" gumamnya sambil menatap benda itu. "Aku tidak pernah melihat sesuatu seperti ini sebelumnya."
Anemo berhenti sejenak, memperhatikan benda itu, tetapi menggeleng pelan. "Kita tidak punya waktu untuk mencari tahu. Simpan saja. Mungkin ada gunanya nanti."
Namun, perjalanan yang semula tenang berubah seketika. Setelah melewati tikungan di jalan sempit, mereka menyadari Metha tidak lagi bersama mereka.
"Dia di mana?" tanya Aedric, menoleh ke belakang dengan bingung.
"Mungkin dia... buang air?" tebak Aedric ragu-ragu, mencoba menenangkan diri.
Anemo menggeleng tajam, nada suaranya serius. "Tidak mungkin. Metha tidak akan pergi tanpa memberi tahu kita. Kita harus mencarinya sekarang."
Aedric mengangguk, meskipun ia terlihat bingung. Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, Anemo tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia memegangi kepalanya, wajahnya berubah tegang.
Sebuah suara berteriak di dalam benaknya, menggema dengan intensitas yang membuatnya hampir kehilangan keseimbangan.
"BAHAYA! BAHAYA!"
Suara itu terus berulang, semakin kuat, membuat dadanya sesak. Anemo tiba-tiba tersadar. Ia melompat turun dari kudanya, menoleh ke arah Aedric yang kini terlihat bingung dengan perubahan mendadak itu.
"Aedric, cari tempat yang aman sekarang!" seru Anemo dengan nada tegas.
Tanpa bertanya lebih lanjut, Aedric mematuhi. Ia berlari menuju sebuah bangunan yang masih berdiri setengah, bersembunyi di balik reruntuhan.
Anemo berdiri sendirian di tengah jalan. Ia mengaktifkan mata dewanya, iris matanya bersinar emas dengan pola rumit yang menyerupai lingkaran sihir. Mata itu memungkinkannya mendeteksi ancaman di sekitarnya, tetapi yang mengejutkan... Tidak ada apa-apa.
Udara di sekitarnya terasa sunyi, terlalu sunyi. Bahkan suara angin pun lenyap. Metha tidak terdeteksi. Energi apa pun yang mungkin ada di sekitar tampak seperti menghilang ke dalam kehampaan.
Namun, tiba-tiba, ia merasakan sesuatu. Sebuah kehadiran muncul di belakangnya. Anemo langsung memutar tubuhnya dengan reflek sempurna, mengayunkan pedangnya yang bersinar dengan kekuatan dewa. Ayunannya begitu cepat sehingga menghasilkan angin dahsyat yang memporak-porandakan puing-puing di sekitar.
Ketika ia melihat lebih jelas, sosok itu adalah... Metha.
Tubuh Metha tertebas oleh pedang Anemo. Wajah Metha tampak kesakitan, tetapi Anemo segera menyadari sesuatu yang aneh.
"Ini bukan Metha," gumamnya pelan, menenangkan dirinya sendiri.
Tubuh Metha mulai mengeluarkan aura hitam pekat, dan Anemo sadar bahwa tubuh itu adalah tiruan. Sesuatu sedang mengendalikannya.
Anemo perlahan memasuki wujud Archon-nya, tubuhnya diselimuti cahaya kuning emas yang menyilaukan. Ia melayang beberapa inci di atas tanah, rambutnya berkibar oleh energi ilahi yang menyelimuti dirinya. Matanya bersinar seperti dua matahari kecil, wajahnya memancarkan kekuatan yang menyeramkan.
Ia berbicara dengan nada yang berat dan tegas, seperti seorang dewa yang sedang menghakimi. "Makhluk kotor yang bersembunyi di balik tubuh rekanku, apa yang kau inginkan?"
Tubuh palsu Metha bergetar hebat, aura hitamnya mulai melemah. Anemo mendekatinya perlahan, mengangkat pedangnya dengan tatapan yang dingin.
Tiba-tiba, dari tubuh palsu itu, keluar sosok yang sebenarnya, sosok tersebut ialah Possestor.
Possestor tertawa pelan, suaranya rendah dan menyeramkan. "Kau cepat menyadarinya, Archon muda. Aku hanya ingin bermain-main sebentar."
Tubuh palsu Metha lenyap seketika, meninggalkan bayangan Possestor yang melayang dengan tubuh kurus dan memanjang, matanya yang merah menyala menatap Anemo dengan penuh ejekan.
"Jadi, kau benar-benar Archon," Possestor melanjutkan, nadanya mengejek. "Aku hanya ingin melihat seberapa jauh kau akan melindungi mereka yang kau sebut temanmu."
Anemo menatapnya tajam, mengangkat pedangnya yang kini bersinar semakin terang. "Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh mereka. Jika kau ingin mencoba kekuatanku, datanglah!"
Possestor tersenyum licik, lalu perlahan mundur ke dalam bayangan. "Bukan hari ini, Archon. Tapi kita akan bertemu lagi. Oh, percayalah, kita pasti akan bertemu lagi."
Possestor lenyap, meninggalkan Anemo yang kembali ke wujud manusianya. Ia terengah-engah, tubuhnya berkeringat. Segera, ia berlari menuju tempat Aedric bersembunyi.
"Aedric!" panggilnya, mendapati Aedric yang masih terlihat panik.
"Di mana Metha?" tanya Aedric cemas.
Anemo menatap Aedric yang masih terlihat kebingungan dan cemas setelah pertemuan singkat dengan Possestor. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara.
"Aedric, tetap tenang," kata Anemo dengan nada tegas namun menenangkan. "Aku akan menemukan Metha secepatnya. Kau harus melanjutkan penelusuranmu di desa ini. Jangan terlalu jauh, dan tetap waspada. Jika ada bahaya, lindungi dirimu sendiri."
Aedric ingin membantah, tetapi ekspresi serius di wajah Anemo membuatnya menelan kata-katanya. Ia mengangguk pelan. "Baiklah, tapi... hati-hati, Anemo. Kita tidak tahu apa yang sedang kita hadapi."
Tanpa menjawab, Anemo memejamkan matanya sejenak. Sebuah cahaya lembut melingkupi tubuhnya, dan dalam sekejap, ia menghilang, meninggalkan Aedric sendirian di tengah desa Lunareth yang sunyi.
Aedric berdiri terpaku, merasakan kekosongan yang tiba-tiba. Ia memandang sekeliling, mencoba memastikan tidak ada bahaya yang mengintainya. Perlahan, ia memutar arah dan mulai melangkah ke reruntuhan terdekat, pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang nasib Anemo, Metha, dan bahkan dirinya sendiri.
"Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini?" gumamnya sambil merapatkan pegangan pada pedangnya.
Sementara itu, Anemo kini berada di alam bawah sadarnya, sebuah tempat yang tampak seperti perpustakaan raksasa dengan lorong-lorong tak berujung yang dipenuhi buku-buku dan dokumen kuno. Cahaya biru lembut menyelimuti ruangan itu, memberikan suasana yang tenang namun penuh misteri.
Di depannya, berdiri bayangannya sendiri sosok yang menyerupai dirinya namun tampak lebih gelap, dengan mata bersinar kuning emas seperti dirinya dalam wujud Archon.
Anemo membuka pembicaraan, wajahnya serius. "Bayanganku... aku ingin tahu tentang kekuatan yang aku rasakan tadi. Kekuatan itu berasal dari makhluk yang muncul dari tubuh palsu Metha. Apa yang kau tahu tentang itu?"
Bayangannya mengangguk pelan, seolah telah menunggu pertanyaan itu. "Kekuatan itu bukan kekuatan biasa. Itu berasal dari makhluk yang bernama Possestor."
Anemo mengerutkan kening. "Possestor? Dari mana kau tahu namanya?"
Bayangannya melangkah mendekati salah satu rak besar, jarinya meluncur di sepanjang barisan buku sebelum menarik satu buku dengan sampul hitam legam. Ia membukanya dan memperlihatkan beberapa halaman yang penuh dengan tulisan dan gambar aneh.
"Namanya tertulis di sini, dalam buku ini. Aku menemukannya di perpustakaan ini saat aku mencoba memahami energi yang kita rasakan tadi. Buku ini bercerita tentang sebuah entitas yang disebut Voidkeeper makhluk yang menguasai kegelapan absolut. Voidkeeper memiliki beberapa bawahan yang sangat kuat, dan salah satunya adalah Possestor. Dari ciri-cirinya, tidak ada keraguan bahwa makhluk yang baru saja kita temui adalah Possestor."
Anemo memandang bayangannya dengan serius, mencoba mencerna informasi itu. "Jadi... Possestor adalah bawahan Voidkeeper? Apakah ini berarti Voidkeeper juga ada di dunia ini?"
Bayangannya menggeleng pelan. "Aku tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah bahwa bawahan seperti Possestor tidak bergerak tanpa alasan. Mereka memiliki tujuan yang biasanya berhubungan dengan Voidkeeper itu sendiri."
Anemo terdiam sejenak, lalu bertanya lagi, "Kalau begitu, kau tahu di mana Metha sekarang?"
Bayangan itu menundukkan kepala, ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak tahu lokasi pasti Metha. Namun, aku yakin ia tidak jauh dari Desa Lunareth. Energi Metha terasa samar, seperti ia sedang diikat atau disekap di suatu tempat. Jika kau ingin menemukannya, kau harus mencari jejak energinya."
Anemo mengerutkan kening. "Bagaimana caranya?"
Bayangan itu menatapnya tajam. "Fokus pada energi Metha. Jika energinya terasa semakin kuat, berarti kau semakin dekat dengannya. Itu adalah satu-satunya cara yang aku tahu."
Anemo mengangguk pelan, tetapi matanya tetap dipenuhi pertanyaan. Ia memutuskan untuk bertanya sesuatu yang lain, sesuatu yang selama ini mengganggu pikirannya.
"Aku ingin tahu... tentang diriku sendiri," ujar Anemo dengan nada serius. "Bagaimana aku bisa menjadi sempurna? Aku merasa... aku belum seperti Archon lainnya. Aku tidak memiliki kendali penuh atas kekuatanku. Apa ada cara untuk menyempurnakan diriku?"
Bayangan itu terdiam sejenak sebelum menjawab, suaranya terdengar berat. "Aku tidak tahu jawabannya. Jika kau, yang merupakan inti dari keberadaanku, tidak mengetahui cara untuk menyempurnakan dirimu, maka aku juga tidak akan mengetahuinya. Pengetahuan ini harus kau temukan sendiri."
Anemo menarik napas panjang, menerima jawaban itu dengan berat hati. Ia tahu bayangannya tidak mungkin menyembunyikan sesuatu darinya. "Baiklah," katanya akhirnya. "Kalau begitu, aku akan mencarinya sendiri."
Bayangan itu mengangguk. "Kau harus melindungi dirimu, Anemo. Dunia ini memiliki rahasia yang bahkan aku tidak mampu pahami."
Anemo tidak menjawab lagi. Ia berbalik, meninggalkan perpustakaan itu dan kembali ke dunia nyata, matanya masih bersinar emas saat ia melangkah keluar dari kesadarannya.
Anemo kembali ke realitas, berdiri di tengah jalanan Desa Lunareth yang sunyi. Di kejauhan, ia mendengar suara samar angin yang berhembus, seolah membisikkan peringatan kepadanya. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan energi Metha yang masih samar-samar.
"Aku akan menemukannya," gumamnya dengan nada yakin, sebelum melangkah lebih dalam ke jantung kegelapan Desa Lunareth.