Malam itu terasa semakin sunyi ketika Anemo, Metha, dan Aedric kembali berkumpul di titik awal. Kuda-kuda mereka masih terikat di tempat yang sama seperti saat mereka meninggalkannya. Wajah mereka masing-masing tampak serius, membawa hasil penemuan yang berbeda-beda.
Anemo yang pertama kali berbicara. "Aku menemukan rumah tua yang penuh dengan energi aneh. Ada kilasan penglihatan tentang desa ini, tapi aku tidak tahu apa artinya. Sepertinya ada sesuatu yang sangat salah di sini."
Aedric mengangguk, wajahnya juga tampak gelisah. "Aku juga menemukan sebuah bangunan tua. Tapi... lebih dari itu, aku merasa seperti ada yang berbicara padaku. Suara yang entah berasal dari mana. Itu bukan suara orang biasa, dan aku tidak tahu apakah itu nyata atau hanya ada di pikiranku."
Metha memandang mereka berdua dengan hati-hati sebelum menarik napas panjang. "Aku juga menemukan sesuatu yang menarik... dan agak mengkhawatirkan." Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar kertas tua yang ia temukan di bar kuno tadi.
"Aku menemukan ini di sebuah tempat yang penuh dengan barang-barang aneh. Kertas ini berisi tulisan dalam bahasa kuno dan... sesuatu yang lebih familiar," jelasnya. Ia membuka kertas itu perlahan, memperlihatkan isinya kepada Anemo dan Aedric.
Anemo memandang tulisan itu, matanya menyipit untuk memahami isi teksnya. Namun, saat pandangannya benar-benar terfokus pada huruf-huruf itu, kepalanya tiba-tiba terasa seperti dihantam oleh sesuatu yang berat. Sebuah gelombang pusing menyerang, dan ia merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam dirinya.
"Agh!" Anemo terjatuh ke tanah, memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tubuhnya mengeluarkan aura hitam yang berputar-putar seperti kabut pekat.
"Anemo!" teriak Metha, bergegas menghampirinya.
Aedric juga panik, tetapi ia tetap menjaga jarak, merasa energi yang keluar dari Anemo tidak biasa. "Apa yang terjadi padanya? Ini terlihat tidak normal!"
"Aku tidak tahu!" Metha berteriak dengan suara penuh kekhawatiran. "Anemo, kau baik-baik saja?!"
Anemo, dengan suara yang bergetar, mencoba menenangkan mereka. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir... ini... ini hanya sesaat." Ia berusaha bangkit perlahan, meskipun tubuhnya masih dikelilingi oleh aura hitam. "Biarkan saja. Aku akan mengatasinya sendiri."
Metha dan Aedric saling memandang, tidak yakin harus berbuat apa, tetapi mereka memutuskan untuk tidak memaksa Anemo.
Anemo memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam, dan membiarkan kesadarannya tenggelam ke alam bawah sadarnya.
Anemo membuka matanya di dalam dunia batinnya, tempat yang biasanya cerah dan damai. Namun, kali ini, pemandangan yang ia lihat benar-benar berbeda. Langit yang tadinya biru sekarang diselimuti awan gelap. Tanah di bawah kakinya terasa dingin, dan udara di sekelilingnya penuh dengan ketegangan yang membuat napasnya terasa berat.
"Apa yang terjadi di sini?" gumamnya, menatap sekeliling dengan waspada.
Anemo mengeluarkan cahaya dari tubuhnya cahaya archon yang berkilauan, memancarkan kekuatan ilahi yang ia miliki. Cahaya itu menerangi sekelilingnya, tetapi kegelapan tetap terasa tebal.
Ia mengaktifkan insting dan kemampuan pelacakannya, mencoba mendeteksi apakah ada kehadiran asing atau anomali di alam bawah sadarnya. Namun, tidak ada tanda-tanda apa pun. Seolah-olah kegelapan ini tidak berasal dari sesuatu yang nyata, melainkan dari sesuatu yang lebih abstrak sebuah energi, atau bahkan mungkin sebuah kehendak.
"Ini tidak masuk akal," kata Anemo dengan nada frustrasi. "Kegelapan ini tidak memiliki sumber. Tapi aku tidak bisa membiarkannya ada di sini."
Dengan tekad yang kuat, Anemo mengumpulkan kekuatan penuhnya. Cahaya archon yang ia pancarkan semakin terang, seperti matahari yang membakar semua yang ada di sekitarnya. Ia mengarahkan energinya ke kegelapan yang menyelimuti langit di atasnya, memaksa kegelapan itu untuk pergi.
"Aku tidak akan membiarkan apa pun merusak kedamaian di sini!" teriaknya.
Perlahan-lahan, kegelapan mulai memudar, seperti kabut yang ditiup angin. Langit yang tadinya kelam kembali cerah, memancarkan warna biru yang menenangkan. Alam bawah sadar Anemo kembali seperti semula tenang dan harmonis.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu ini bukan akhir. Kegelapan itu datang bukan tanpa alasan. Ada sesuatu yang mengusik, sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
"Kau boleh pergi sekarang," kata Anemo pelan, berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi aku akan menemukanmu. Apa pun kau sebenarnya."
Dengan itu, ia membuka matanya kembali ke dunia nyata.
Anemo terbangun, masih duduk di tanah dengan Metha dan Aedric memandangnya penuh kecemasan.
"Anemo, apa yang terjadi?" tanya Metha.
Anemo menghela napas, mencoba meredakan ketegangan dalam tubuhnya. "Tidak ada yang serius. Hanya gangguan sementara. Aku sudah mengatasinya."
Aedric memandang Anemo dengan ekspresi tidak percaya. "Kau yakin? Itu tidak terlihat seperti hal kecil. Energi yang keluar darimu tadi... itu tidak normal."
Anemo hanya tersenyum tipis. "Percayalah padaku. Kita harus tetap fokus pada misi ini."
Metha tampak ingin bertanya lebih jauh, tetapi akhirnya memilih untuk diam. Ia merasakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Anemo, tetapi ini bukan waktu yang tepat untuk memaksa jawaban.
Ketiganya saling memandang sejenak, kemudian bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke dalam desa yang penuh misteri. Anemo, meskipun merasa lega karena berhasil mengusir kegelapan tadi, tahu bahwa ini baru awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Sementara itu, Disebuah ruang hampa dengan nuansa abu-abu bercampur ungu berkilauan menjadi tempat bagi entitas misterius itu. Ia tidak memiliki wujud yang pasti seperti bayangan bercahaya yang terus berubah bentuk. Tawa rendah dan penuh hinaan terdengar, menggema di seluruh dimensi.
"Makhluk bodoh," kata entitas itu, suaranya seperti ribuan gema yang bertumpuk. "Kau pikir dengan sedikit cahaya, kau bisa mengusir apa yang tidak kau pahami? Kau hanyalah pecahan kecil, dan aku..." Ia berhenti sejenak, menyeringai, meskipun wujudnya tak memiliki mulut yang nyata.
"Sudah waktunya kau beraksi, Aedric," lanjutnya, memancarkan energi yang mengalir ke dimensi lain.
Saat Anemo, Aedric dan Metha ingin melanjutkan perjalanan, Langit di sekitar mereka tiba-tiba berubah, gelap gulita seperti malam tanpa bintang. Angin yang sebelumnya tenang kini berputar liar, menciptakan tekanan yang menyesakkan. Aedric, yang sebelumnya hanya berdiri diam, mulai memancarkan energi gelap yang sangat kuat dari tubuhnya.
"Aedric!" Metha berteriak dengan cemas, berlari beberapa langkah ke arahnya. Namun, ia segera berhenti saat melihat perubahan yang terjadi pada tubuh Aedric. Matanya kini bersinar putih terang, hampir menyerupai cahaya bulan, sementara auranya terasa mengancam dan tidak wajar.
Energi gelap yang terpancar dari Aedric begitu kuat sehingga menyerupai aura yang pernah Metha rasakan sebelumnya, di Gunung Veldros, saat mereka melawan ular besar yang nyaris tak terkalahkan. Tapi ini... ini jauh lebih intens.
"Apa yang terjadi padamu?!" Metha berteriak, merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
Anemo melangkah maju, mencoba memanggil Aedric. "Aedric, apa yang kau lakukan? Siapa sebenarnya dirimu?"
Namun, ketika Aedric menjawab, suaranya berbeda. Itu bukan suara Aedric yang biasa mereka dengar. Suara itu berat, dalam, dan terasa seperti bukan milik manusia.
"Aku? Aku hanya... ingin tahu siapa sebenarnya kau, Anemo."
Anemo dan Metha menatapnya dengan terkejut. Perkataan itu terasa menusuk, seolah-olah energi asing sedang mengendalikan tubuh Aedric.
Anemo menyipitkan matanya, fokus, dan mengaktifkan Mata Archonnya. Dalam sekejap, ia dapat melihat kebenaran yang tersembunyi. Ia melihat bahwa ada entitas asing yang memanipulasi Aedric, tapi yang membuatnya bingung, Aedric sendiri masih sadar sepenuhnya. Pikiran Aedric tetap utuh, dan ia tampaknya menyadari bahwa dirinya sedang dimanfaatkan.
"Aedric, kau sadar apa yang terjadi padamu?" tanya Anemo dengan nada mendesak.
Tubuh Aedric yang sedang dikuasai itu mengangguk perlahan. "Aku sadar... tapi aku tak bisa mengendalikan ini. Aku... hanya bisa berbicara melalui tubuhku... meski suara ini bukanlah milikku."
"Ini bukan dirimu," kata Metha, mencoba mendekat, tetapi energi dari Aedric mendorongnya mundur.
Entitas yang mengendalikan Aedric berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih mengancam. "Kau menyebut dirimu Archon, makhluk yang agung. Tapi kau bahkan tidak tahu bagaimana caraku memasuki permainan ini. Tunjukkan siapa kau sebenarnya, Anemo."
Anemo menatapnya dengan dingin. "Identitasku tidak penting. Yang penting adalah kau pergi dari tubuhnya."
Namun, entitas itu tidak menyerah. Dalam sekejap, Aedric melompat ke arah Anemo dengan kecepatan luar biasa, membawa gelombang energi hitam yang meledak di sekitarnya. Metha berteriak, mencoba membantu, tetapi angin kencang dan kabut tebal dari ledakan itu membuatnya tidak bisa mendekat.
Ledakan besar mengguncang tanah, menciptakan kabut dan angin yang mengaburkan pandangan mereka.
Ketika kabut perlahan menghilang, sosok Anemo terlihat berdiri di tengah area itu. Namun, ia tidak dalam wujud biasanya. Sekarang, tubuhnya memancarkan aura emas yang luar biasa terang. Rambutnya berubah menjadi cahaya yang melayang seperti api, dan di belakangnya terdapat bentuk seperti lingkaran ilahi yang memancarkan simbol-simbol kuno. Mata putihnya kini bersinar dengan intensitas yang membuat siapa pun yang melihatnya merasa kecil.
Wujud Archon Anemo tampak megah, menakutkan, sekaligus penuh kekuatan.
Di hadapannya, Aedric terjebak dalam sebuah segel kecil berbentuk lingkaran bercahaya emas, mengapung di udara. Segel itu mencegah Aedric bergerak, apalagi mengeluarkan energi apa pun.
"Ini adalah diriku," kata Anemo dengan suara yang tenang namun penuh wibawa. "Jika kau puas, maka sudahi perbuatanmu."
Namun, Anemo tidak hanya berbicara kepada Aedric. Tatapannya yang tajam mengarah ke entitas yang mengendalikan temannya.
"Kepada siapa pun yang ada di sana, berhentilah bermain di balik bayangan. Tunjukkan dirimu, atau aku akan menemukanmu sendiri."
Suasana menjadi hening sejenak, seolah-olah entitas itu sedang mempertimbangkan tantangan Anemo. Tetapi kemudian, suara tawa yang sama seperti sebelumnya terdengar di udara, rendah dan meremehkan.
"Kau berani sekali, Archon," kata suara itu, menggema di sekitar mereka. "Tapi waktuku belum tiba. Akan ada saatnya aku muncul di hadapanmu, Anemo. Kau dan aku akan menyelesaikan segalanya... dengan caraku."
Setelah itu, energi yang menguasai tubuh Aedric perlahan memudar. Aedric kembali normal, tubuhnya limbung, tetapi matanya yang kelelahan tetap terbuka.
Anemo melepaskan segelnya dan mendekati Aedric, membantunya berdiri.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Anemo, kembali ke wujud normalnya.
Aedric mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Napasnya masih tersengal-sengal, dan pikirannya kacau. Ia menatap Anemo, yang kini telah kembali ke wujud manusianya, dengan sorot mata tidak percaya.
"Kau… apa sebenarnya kau?" tanya Aedric dengan suara bergetar. "Itu tadi… kekuatanmu… itu bukan kekuatan manusia biasa!"
Metha, yang berdiri tak jauh dari mereka, menatap Anemo dengan cemas. Ia tahu rahasia ini akhirnya akan terungkap, tetapi tidak menyangka bahwa situasinya akan menjadi seperti ini.
Anemo menatap Aedric dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menghela napas berat, menyadari bahwa sudah tidak ada cara untuk menyembunyikan hal ini lagi. "Aedric," katanya pelan, suaranya tegas tetapi penuh kehati-hatian. "Aku akan menjelaskannya. Tapi dengarkan baik-baik dan jangan panik."
"Aku seorang Archon," kata Anemo dengan tenang, tetapi kata-kata itu seolah menghentikan waktu.
Aedric terpaku, matanya membelalak. "Apa?"
"Aku Archon keempat," lanjut Anemo, suaranya tetap stabil. "Tapi aku tidak seperti Archon terdahulu. Aku bukan makhluk sempurna yang diciptakan langsung oleh Yang Maha Kuasa. Aku hanyalah manusia biasa yang diberi kekuatan ini ketika aku berusia 18 tahun."
Metha menunduk, tidak mengatakan apa-apa, tetapi jelas terlihat bahwa ia sudah mengetahui hal ini sejak lama. Aedric menatap Metha dengan curiga. "Kau sudah tahu?"
Metha mengangguk perlahan. "Aku tahu. Anemo mendapatkan kekuatannya tepat di depan mataku. Tapi itu bukan rahasia yang mudah untuk disampaikan. Jika orang-orang tahu dia adalah Archon, itu hanya akan membawa bahaya bagi dia dan bagi kita semua."
Aedric menggelengkan kepala, mundur selangkah. "Ini… terlalu banyak." Ia menunjuk Anemo dengan ekspresi tidak percaya. "Jadi, kau selama ini menyembunyikan siapa dirimu? Dan aku harus tahu hal ini hanya karena kekuatanmu tadi?!"
"Aedric," kata Anemo dengan sabar, "aku tidak menyembunyikannya untuk menipu. Aku menyembunyikannya untuk melindungi kalian dan diri kita semua. Aku tidak ingin kekuatanku menjadi alasan untuk menciptakan ketakutan atau perpecahan di antara kita."
Aedric menunduk, kedua tangannya mengepal. "Aku… tidak tahu harus berkata apa," katanya dengan suara gemetar. "Tapi ini semua terasa seperti… mimpi buruk. Entitas itu… mimpi-mimpi yang aku alami… semua ini. Apa ada hubungannya denganmu?"
Anemo mengernyitkan dahi, menatap Aedric dengan penuh perhatian. "Apa yang kau maksud dengan mimpi?"
Aedric menghela napas panjang, lalu mulai menjelaskan. "Aku terus bermimpi tentang tempat aneh seperti bangunan kuno. Ada suara-suara, dan mereka menyebutkan sesuatu tentang Voidkeeper. Aku merasa seperti sedang dipanggil oleh sesuatu… sesuatu yang ingin aku temukan. Dan di tempat itu… aku merasa seperti ada hubungannya dengan kekuatanmu."
Ia melanjutkan, suaranya terdengar semakin putus asa. "Di bangunan kuno yang kita temui sebelumnya, aku merasa déjà vu. Seolah-olah aku pernah berada di sana sebelumnya, tetapi aku tidak tahu kapan atau bagaimana. Dan sekarang, entitas itu… Dia mengendalikan tubuhku! Aku sadar sepenuhnya, tetapi aku tidak bisa menghentikannya. Suara itu… dia menyuruhku untuk mencari tahu siapa kau sebenarnya. Dia bilang kau berbahaya."
Metha terkejut mendengar pengakuan itu. "Entitas itu… apa dia bagian dari energi gelap yang kita rasakan di desa ini?"
Anemo mengangguk pelan. "Mungkin. Tapi jelas, entitas itu memiliki agenda sendiri. Dan tampaknya, kau, Aedric, adalah bagian dari rencananya."
Aedric kembali terlihat depresi, seperti beban ini terlalu berat untuk ditanggungnya. Anemo, menyadari hal itu, kembali mendekatinya. Ia meletakkan tangan di bahu Aedric, membiarkan energi lembut memancar dari tubuhnya. Cahaya biru yang hangat menyelimuti Aedric, membuat tubuhnya rileks.
"Aedric," kata Anemo dengan suara lembut. "Aku tahu ini sulit untuk dipahami. Aku tahu kau merasa seperti terjebak di tengah sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri. Tapi aku berjanji, aku akan membantumu. Kau tidak sendirian dalam hal ini."
Aedric mengangkat wajahnya, menatap Anemo dengan mata yang sedikit lebih tenang. "Kenapa kau peduli padaku? Aku baru mengenalmu sehari."
"Karena aku tahu rasanya tersesat," jawab Anemo dengan jujur. "Dan aku tahu bahwa kita tidak akan menemukan jawaban jika kita tidak bekerja bersama. Kau mungkin tidak menyadarinya sekarang, tapi aku percaya kau memiliki peran penting dalam semua ini."
Setelah suasana kembali tenang, Anemo mengalihkan perhatian mereka kembali ke situasi saat ini. "Ada sesuatu yang harus kalian ketahui tentang desa ini. Ketika aku berubah menjadi wujud Archon tadi, aku mendapatkan lebih banyak pengetahuan tentang tempat ini."
Metha menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang kau temukan?"
"Desa Lunareth dulunya adalah pusat kekuatan Aliansi Timor," jelas Anemo. "Aliansi ini adalah salah satu yang terkuat pada masanya, menguasai dunia selama ratusan tahun. Namun, mereka memiliki rival yang kuat: Aliansi Kaitsu."
Metha mengerutkan kening. "Jadi bahasa kuno itu… adalah bahasa mereka?"
"Benar," jawab Anemo. "Bahasa itu adalah simbol identitas mereka, diciptakan untuk membedakan mereka dari aliansi lain. Tapi ada sesuatu yang aneh. Aku tidak tahu mengapa kedua aliansi itu akhirnya punah, atau apa yang sebenarnya terjadi di sini. Desa ini menyimpan energi yang luar biasa kuat, dan aku yakin ada sesuatu yang lebih besar yang sedang bermain di balik layar."
Aedric memandang Anemo dengan wajah yang masih penuh kebingungan. "Lalu, apa hubunganku dengan semua ini? Entitas itu jelas mengincarku. Apa ini ada hubungannya dengan aliansi kuno itu?"
Anemo menghela napas. "Aku tidak tahu pasti, Aedric. Tapi aku yakin kita akan menemukan jawabannya di sini. Kita harus terus maju."
Metha mengangguk, meskipun jelas ia juga bingung dengan semua ini. "Kita semua berada dalam misteri ini sekarang. Jika kita ingin keluar dengan selamat, kita harus bekerja sama."
Ketiganya saling memandang, menyadari bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan jawaban dari misteri ini mungkin akan membawa mereka ke tempat yang lebih gelap dan berbahaya. Namun, di tengah ketidakpastian itu, mereka tahu bahwa satu-satunya jalan adalah maju.
Akhir dari Chapter 13.