Angin malam berdesir pelan, membawa serta aroma lembap dan dingin khas desa yang sudah lama ditinggalkan. Cahaya bulan purnama memantul pada gerbang besar di depan mereka, sebuah struktur yang menjulang tinggi dengan ukiran-ukiran kuno yang menutupi permukaannya. Gerbang itu terlihat usang, dengan besi yang sudah berkarat dan kayu yang tampak rapuh, namun tetap memancarkan aura yang menakutkan.
"Jadi ini… gerbang Desa Lunareth," gumam Metha, suaranya hampir seperti bisikan.
Aedric memandang ke atas, memperhatikan ukiran-ukiran aneh yang menghiasi gerbang itu. "Ukiran ini… sepertinya bukan ukiran biasa," katanya sambil menunjuk ke bagian atas gerbang. "Ada sesuatu yang berbeda di sini."
Anemo melangkah maju, memperhatikan lebih dekat. Matanya menyusuri setiap detail ukiran, mencoba memahami arti dari pola-pola melingkar dan simbol-simbol yang tampaknya acak. Tapi tak ada yang terlihat familiar.
Metha menelan ludah, lalu berbicara dengan nada hati-hati. "Ada mitos tentang gerbang ini. Konon katanya, ini adalah gerbang terkutuk."
Anemo menoleh dengan ekspresi datar. "Gerbang terkutuk?"
Metha mengangguk perlahan. "Mitosnya, jika seseorang melewati gerbang ini, gerbang itu akan menentukan apakah orang tersebut layak atau tidak untuk memasuki desa Lunareth. Jika layak, maka tidak akan terjadi apa-apa. Tapi jika tidak…"
Ia berhenti sejenak, suaranya menurun seperti enggan melanjutkan. "Gerbang ini akan memberikan kutukan berupa nasib buruk yang terus berlanjut, hingga akhirnya kematian menghampiri."
Aedric tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Kedengarannya seperti cerita untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak bermain terlalu jauh dari rumah."
"Tidak sesederhana itu," jawab Metha dengan tegas. "Ada banyak cerita tentang orang-orang yang mencoba memasuki desa ini, tapi tidak pernah kembali. Mereka mengatakan gerbang ini adalah penjaga terakhir desa, penentu nasib siapa yang berhak masuk."
Anemo tetap diam, pandangannya tidak lepas dari gerbang itu. Dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang aneh, seperti aura gelap yang perlahan menyelubungi mereka.
"Jadi, bagaimana kita tahu kita layak atau tidak?" tanya Aedric, nadanya setengah bercanda.
Metha menggeleng. "Tidak ada yang tahu. Itu sebabnya mitos ini begitu menyeramkan. Gerbang ini tidak memberikan tanda-tanda. Kau hanya… tahu setelah kau melewatinya."
Anemo melangkah mendekati gerbang, menyentuh salah satu ukiran dengan tangannya. Saat kulitnya menyentuh permukaan kayu, ia merasakan getaran halus, seperti aliran energi yang mencoba menyusup ke dalam dirinya. Ia menarik tangannya dengan cepat, ekspresi wajahnya berubah sedikit tegang.
"Ada sesuatu di sini," katanya pelan. "Bukan hanya cerita. Energi ini… nyata."
Metha dan Aedric saling berpandangan, rasa ragu terlihat di wajah mereka.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Metha, nada suaranya ragu.
Anemo berpaling kepada mereka, matanya memancarkan ketenangan meskipun dalam hatinya ia merasakan gejolak. "Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus melewati gerbang ini. Misi kita ada di desa Lunareth, dan kita tidak bisa mundur sekarang."
Aedric mengangguk setuju. "Benar. Kalau gerbang ini benar-benar akan menguji kita, maka mari kita buktikan bahwa kita layak."
Metha menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Baiklah. Tapi jika sesuatu terjadi…"
"Kita akan menghadapinya bersama," potong Anemo, suaranya tegas.
Mereka bertiga berdiri di depan gerbang, melangkah maju bersama-sama. Saat mereka melewati ambang pintu, udara di sekitar mereka terasa berubah. Rasanya lebih berat, lebih dingin, seolah-olah gerbang itu menyerap kehangatan dari tubuh mereka.
Dalam hati masing-masing, mereka merasakan sesuatu bukan rasa takut, tapi semacam penilaian, seperti ada mata tak terlihat yang mengamati setiap langkah mereka.
Namun, tidak ada yang terjadi saat mereka melewati gerbang.
Metha menghela napas lega, mencoba mengusir ketegangan. "Sepertinya kita lolos," katanya dengan senyum kecil.
Aedric tertawa. "Lihat? Hanya cerita kosong. Aku bilang juga apa."
Tapi Anemo tidak tersenyum. Dalam hatinya, ia tahu sesuatu telah berubah. Apa pun yang telah menilai mereka, itu belum selesai. Gerbang itu telah membuka pintu lebih dari sekadar ke Desa Lunareth.
Tak lama kemudian, Anemo menghentikan langkahnya beberapa meter setelah melewati gerbang. Ia mengerutkan dahi, merasakan sesuatu yang tak biasa di dalam pikirannya. Sebuah anomali, seperti ada sesuatu yang mengusik kedamaian di alam bawah sadarnya. Perasaan itu mengganggu, tetapi tidak sepenuhnya asing.
"Ada apa?" tanya Metha, menyadari perubahan ekspresi Anemo.
Anemo melirik Metha dan Aedric. "Aku... hanya merasa sedikit pusing. Kalian lanjut saja dulu, aku akan menyusul."
Metha menatapnya dengan ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Baiklah. Jangan terlalu lama."
Saat Metha dan Aedric berjalan lebih jauh ke depan, Anemo memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam. Ia mengalihkan kesadarannya ke dalam, menuju alam bawah sadarnya, tempat di mana ia merasa anomali itu berasal.
Anemo muncul di dalam alam bawah sadarnya sendiri, biasanya ia datang dengan tenang dan teratur. Namun, kali ini ia datang dengan rasa cemas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia berjalan melintasi ruang kosong itu, memeriksa setiap sudut untuk mencari tanda-tanda kerusakan atau gangguan.
Namun, tidak ada apa-apa. Semua tampak normal. Tidak ada keretakan, tidak ada anomali, tidak ada yang rusak.
"Sepertinya aku hanya terlalu khawatir," gumam Anemo pada dirinya sendiri, mencoba meredakan kegelisahannya. Ia berdiri di tengah ruang bawah sadarnya, diam sejenak, mencoba merasakan jika ada yang salah. Tapi tidak ada yang muncul, Dengan sedikit lega, Anemo memutuskan untuk kembali ke dunia nyata.
Namun, saat kesadaran Anemo meninggalkan tempat itu, suasana berubah. Alam bawah sadarnya kini tampak berbeda, meskipun ia tidak menyadarinya. Lanskap yang tadi tenang kini menjadi kabur, seolah-olah terselimuti glitch.
Di tengah ruang itu, sesosok entitas muncul. Tidak ada bentuk pasti yang dapat menggambarkannya. Sosok itu tampak seperti bayangan yang berdenyut, dikelilingi oleh percikan-percikan energi yang tidak stabil.
Entitas itu mengangkat kepalanya, meskipun tidak ada wajah yang terlihat, hanya kekosongan yang gelap. Ia tertawa, suara tawanya menggema, meremehkan.
"Sang Archon" kata entitas itu, suaranya seperti gema ribuan suara sekaligus. "Kau menyebut dirimu dewa? Dewa macam apa yang bahkan tidak menyadari keberadaanku di tempat ini?"
Tawanya kembali menggema, penuh dengan penghinaan. "Kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi di sekitarmu. Kau hanyalah sosok lemah yang diberi kekuatan tanpa tujuan."
Entitas itu melangkah lebih jauh ke dalam glitch yang mengelilinginya. "Aku akan membiarkanmu berpikir bahwa kau berkuasa, Sang Archon Anemo... Tapi ingatlah ini… kau adalah dewa yang bodoh."
Sebelum menghilang, entitas itu menciptakan sebuah portal di depannya. Portal itu berdenyut seperti glitch, memancarkan energi aneh yang membuat ruang di sekitarnya terlihat retak.
Entitas itu melangkah masuk ke dalam portal, suaranya masih menggema meskipun tubuhnya sudah menghilang. "Pertemuan kita berikutnya… mungkin kau akan sedikit lebih pintar. Tapi aku ragu."
Portal itu menghilang, meninggalkan alam bawah sadar Anemo kembali tenang, meskipun jejak-jejak glitch masih terasa di udara.
Anemo membuka matanya, berdiri dengan tubuh yang sedikit lelah. Ia tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang lain kini bersemayam dalam pikirannya.
Metha melambai ke arahnya dari kejauhan. "Kau baik-baik saja?"
Anemo mengangguk sambil berjalan menyusul mereka. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit memikirkan sesuatu."
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tidak bisa menghilangkan rasa bahwa sesuatu sedang mengawasinya.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan kuda melewati jalan setapak yang sempit, dikelilingi oleh pepohonan tua yang menjulang tinggi. Hutan di sekitar mereka semakin sunyi, hanya ada suara langkah kuda yang bergema di antara dedaunan.
Metha menoleh ke arah Anemo yang berada di tengah, terlihat sedikit lebih pucat dari biasanya. "Anemo, kau yakin baik-baik saja? Kau kelihatan tidak seperti biasanya."
Sebelum Anemo sempat menjawab, Aedric menyela dengan nada setengah bercanda. "Mungkin kutukannya sudah masuk ke dalam tubuhnya. Bukankah gerbang tadi memang dikenal dengan mitos kutukan?"
Metha menatap Aedric tajam, jelas tidak senang dengan ucapannya. "Aedric, ini bukan waktunya untuk bercanda. Jangan bicara hal-hal sembarangan seperti itu."
Aedric mengangkat bahu, tetapi ekspresinya berubah sedikit lebih serius. "Aku hanya mengatakan apa yang mungkin saja terjadi. Kita tidak tahu pasti apa efek gerbang itu."
Anemo menarik napas dalam-dalam, lalu menginterupsi. "Sudahlah, kalian berdua. Aku baik-baik saja, sungguh."
Ia memandang keduanya secara bergantian, suaranya lebih tegas. "Aku hanya merasa pusing karena kelelahan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan yang lebih penting, kita tidak boleh berdebat di saat seperti ini. Fokus kita adalah misi, bukan saling menyalahkan atau menciptakan kekhawatiran yang tidak perlu."
Metha dan Aedric saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk.
"Baiklah," Metha akhirnya berkata, suaranya lebih lembut. "Tapi jika ada sesuatu yang tidak beres, kau harus memberitahu kami, Anemo."
"Ya, aku setuju," Aedric menambahkan, meskipun nadanya lebih santai. "Kita ini satu tim. Tidak ada yang boleh mencoba menyelesaikan sesuatu sendirian."
Anemo mengangguk, meskipun dalam hati ia masih merasa tidak tenang. Perasaan aneh di dalam dirinya belum hilang sepenuhnya, tetapi ia tidak ingin membuat Metha dan Aedric semakin khawatir.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan, hanya suara langkah kuda yang kembali menggema. Jalanan mulai menurun, memberikan pandangan sekilas ke sebuah lembah yang gelap dan berkabut di kejauhan. Di tengah lembah itu, mereka bisa melihat struktur bangunan yang sudah rusak sisa-sisa Desa Lunareth.
"Sepertinya kita sudah hampir sampai," Metha berkata, suaranya setengah berbisik, seperti merasa suasana di sekitar mereka menuntut kehati-hatian.
Anemo menatap desa itu dengan mata yang penuh kewaspadaan. Dalam hatinya, ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Dan di depan mereka, misteri yang lebih besar sedang menunggu.
Anemo turun dari pelana dan mengamati area di sekitar mereka. Desa itu dipenuhi bangunan tua yang rusak, sebagian besar ditutupi lumut dan akar pohon yang merambat, memberikan suasana yang suram dan sunyi.
"Kita akan berpencar untuk mempercepat pencarian," kata Anemo dengan nada tegas. Ia mengeluarkan dua petasan kecil dari kantongnya, lalu memberikannya kepada Metha dan Aedric. Petasan itu berwarna merah tua dengan ukiran simbol kecil yang bercahaya samar.
"Ini bukan petasan biasa," jelas Anemo. "Saat dinyalakan, ini akan memancarkan asap merah tebal dan suara ledakan besar. Gunakan hanya jika dalam keadaan darurat atau jika kalian menemukan sesuatu yang penting. Jangan gunakan sembarangan."
Metha memegang petasan itu, memeriksanya dengan hati-hati. "Mengerti. Tapi apa kita benar-benar perlu berpencar? Tempat ini tidak terlihat aman."
"Justru karena itu kita harus hati-hati," jawab Anemo. "Jika kita bersama-sama dan berjalan terlalu lama di satu area, kita bisa kehilangan waktu. Pencarian kita akan lebih efisien jika kita menyebar."
Aedric menyelipkan petasan itu ke dalam kantongnya sambil tersenyum kecil. "Baiklah, kalau begitu. Aku akan pastikan tidak meledakkannya hanya karena menemukan seekor tikus."
Metha melirik Aedric dengan pandangan tajam. "Ini serius, Aedric."
Anemo mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan singkat mereka. "Kita akan kembali berkumpul di sini, titik awal, setelah selesai memeriksa area masing-masing. Jika tidak ada yang ditemukan, setidaknya kita tahu area itu aman."
Metha dan Aedric mengangguk. Setelah mereka membagi area pencarian, ketiganya mulai berjalan ke arah yang berbeda.
Akhir dari Chapter 11.