Di aula utama Guild Luminous, Metha, Aedric, dan Anemo berdiri di depan papan misi yang besar. Guild baru saja mengumumkan pembagian tim untuk misi-misi baru, dan semua anggota berkumpul untuk melihat daftar yang dipasang. Metha, dengan tangan bersilang dan ekspresi santai, memperhatikan papan itu dengan cermat.
"Metha, ayo cari namamu," kata Aedric sambil mendorongnya sedikit ke depan.
Metha menggeleng, menatapnya dengan senyum kecil. "Sabar, sabar. Aku yakin namaku ada di atas sana, kok."
Anemo, yang berdiri di sebelah mereka, hanya diam tetapi matanya fokus pada daftar tersebut. Ketika ia menemukan nama mereka, ia menunjuk dengan jari.
"Di sini," katanya singkat.
Aedric dan Metha mendekat. Ketiganya membaca nama mereka dalam satu kolom yang sama:
Tim 02: Metha, Aedric, Anemo
Aedric tertawa kecil, menatap Metha. "Benar-benar kebetulan, ya? Kita satu tim."
Metha menyeringai. "Ini pasti takdir. Bagaimana mungkin orang sehebat aku tidak ditugaskan bersama dua petarung paling berbakat di guild?"
Anemo menatap daftar itu lebih lama, ekspresinya tetap datar. Tetapi dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Bukan tentang tim, melainkan misi yang tertera di bawah nama mereka.
Misi: Menjelajahi desa Lunareth yang telah lama ditinggalkan. Kumpulkan informasi dan pastikan tidak ada ancaman di sana.
Metha membaca deskripsi misi itu dengan lantang. "Lunareth, ya? Desa tua yang katanya tempat terbunuhnya Archon ke-3. Cerita seram yang cukup terkenal, bukan?"
Aedric mengangguk pelan. "Ya, tapi tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana. Hanya rumor dan spekulasi."
Anemo menatap papan itu dengan pandangan tajam, tetapi tetap diam. Dalam pikirannya, ia mengingat buku yang pernah dibacanya di alam bawah sadar. Tentang Voidkeeper dan Archon ke-3. Desa itu mungkin menyimpan lebih banyak rahasia daripada yang diketahui guild.
"Jadi, kapan kita berangkat?" tanya Aedric, mencoba terdengar antusias meskipun ada nada gugup di suaranya.
Metha melirik catatan kecil di sudut daftar. "Besok pagi. Kita harus bersiap. Desa Lunareth jaraknya cukup jauh, dan katanya penuh dengan aura yang tidak bersahabat."
Aedric menelan ludah. "Tidak bersahabat bagaimana?"
Metha menyeringai. "Ya, kau tahu… aura yang membuat orang hilang akal, mungkin? Atau sesuatu yang menyeretmu ke kegelapan abadi?"
"Metha," potong Anemo dengan nada datar, membuat Metha tertawa kecil.
"Baiklah, baiklah," Metha menyerah. "Tapi tetap saja, kita harus berhati-hati. Desa itu punya reputasi yang buruk."
Malam itu, Anemo duduk di kamarnya, merenung tentang misi tersebut. Jika benar Lunareth adalah tempat Archon ke-3 terbunuh, maka misi ini jauh lebih serius daripada yang disadari Metha dan Aedric. "Voidkeeper… apa ini kebetulan?" pikirnya.
Anemo pun masuk kembali kedalam alam bawah sadarnya, ia berjalan perlahan di antara deretan rak buku yang tampak tidak berujung. Atmosfer di sana tenang seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda, seolah-olah ada kehadiran lain yang menyusup ke tempat itu.
Saat ia melangkah lebih jauh, seberkas glitch muncul di ujung pandangannya. Ruang di depannya bergetar seperti layar retak, menciptakan distorsi yang tidak wajar. Beberapa rak buku tampak kabur, lalu menghilang sejenak sebelum kembali lagi.
Anemo berhenti dan memperhatikan sekelilingnya. "Apa ini? Tempat ini tidak pernah seperti ini sebelumnya…"
Meskipun rasa waspada menghampirinya, ia tetap tenang. Alam bawah sadar ini adalah miliknya, dan ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar menyakitinya di sini. "Aku harus tetap fokus," pikirnya, melanjutkan langkahnya.
Setelah beberapa saat mencari, ia menemukan buku yang dicarinya, sebuah kitab tebal dengan sampul hitam beraksen emas. Itu adalah buku yang sebelumnya ia baca tentang Archon ke-3 dan Voidkeeper. Namun, saat ia membuka halaman pertama, apa yang tertulis di sana bukanlah yang ia harapkan.
Halaman tersebut berjudul:"Doa-Doa Para Manusia."
Anemo tertegun. "Doa? Apa hubungannya ini dengan Archon ke-3?"
Tulisan di halaman itu seolah-olah berbicara langsung kepadanya, setiap kata bersinar lembut di atas kertas:
"Archon adalah penjaga doa. Setiap doa yang dipanjatkan oleh manusia ditujukan kepada Archon. Namun, Archon tidak menciptakan mukjizat. Doa-doa itu diteruskan kepada Sang Penguasa Tertinggi, entitas agung yang dikenal sebagai
Anemo membaca lebih jauh, terkejut dengan apa yang ditemukannya:
"Balasan dari doa-doa tersebut diberikan dalam bentuk berkat, perlindungan, atau bencana, tergantung pada kehendak Supreme Being. Archon harus memahami bagaimana cara mendengar doa tersebut dan memilih jalan yang terbaik untuk dunia."
Anemo menghela napas panjang. "Mendengar doa? Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara memulainya…"
Matanya tertuju pada kalimat terakhir di halaman itu:
"Seorang Archon tanpa kemampuan untuk mendengar doa tidaklah lengkap. Untuk memahami manusia, Archon harus memahami doa mereka. Dan untuk memahami Tuhan, Archon harus menjadi penjaga doa yang setia."
Anemo menutup buku itu perlahan, kebingungan menguasai pikirannya. "Apakah aku benar-benar siap menjadi Archon? Jika aku bahkan tidak tahu bagaimana mendengar doa, bagaimana aku bisa menjalankan tugasku?"
Tiba-tiba, glitch yang sebelumnya ia lihat muncul lagi, kali ini lebih besar dan lebih mengganggu. Seluruh ruang bergetar, dan rak-rak buku di sekitarnya mulai runtuh satu per satu.
Anemo bersikap defensif, mengangkat pedang ilahinya, bersiap menghadapi ancaman yang tak terlihat. "Siapa pun kau, tunjukkan dirimu!" serunya tegas.
Namun, tidak ada jawaban. Glitch itu semakin besar, meluas seperti virus yang menginfeksi alam bawah sadarnya. Di tengah-tengah kekacauan itu, sebuah suara samar terdengar, bukan dari manusia atau makhluk, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih abstrak.
"Mereka tidak akan mengerti… Mereka tidak akan percaya pada yang palsu…"
Anemo mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu?"
Suara itu hilang begitu saja, meninggalkan glitch yang perlahan-lahan menghilang. Alam bawah sadar Anemo kembali stabil, tetapi tanda-tanda kerusakan masih tersisa.
Ia menatap rak-rak yang telah hancur sebagian, dengan rasa tidak nyaman yang mendalam. "Apakah ini peringatan? Atau sesuatu yang lain?"
Anemo membuka matanya, kembali ke dunia nyata. Ia duduk di tempat tidurnya dengan ekspresi serius, mencoba mencerna apa yang baru saja dialaminya. "Aku harus mencari tahu. Aku harus tahu bagaimana menerima doa, jika tidak, aku tidak akan pernah menjadi Archon yang sesungguhnya."
Namun, di lubuk hatinya, ia tahu bahwa glitch itu bukan hanya sebuah kebetulan. Ada sesuatu atau seseorang yang mencoba menyusupi alam bawah sadarnya. Entitas itu mungkin tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang ia sadari.
Anemo menatap langit-langit kamarnya, pikirannya berputar mengingat masa lalu. Saat ia menerima kekuatan sebagai Archon dari Archon ke-3, ada kata-kata yang terus menghantuinya.
"Anemo, dengarkan baik-baik. Fusionisasi tidak terjadi. Kau tidak akan menjadi Archon yang sempurna. Dan itu… akan membawa konsekuensi besar."
Ia memejamkan mata, mencoba memahami maksud dari kata-kata itu. Saat itu, ia terlalu terkejut dan terbebani oleh tanggung jawab besar yang baru saja diserahkan kepadanya. Namun sekarang, kata-kata itu terasa jauh lebih dalam.
"Fusionisasi…" Anemo mengulang kata itu dalam hati. "Apa yang sebenarnya dimaksud dengan fusionisasi? Dan apa hubungannya dengan menerima doa manusia?"
Ia menghela napas panjang, berdiri dari tempat tidurnya dan menatap pedang ilahinya yang bersandar di sudut ruangan. "Kalau aku tidak bisa menerima doa manusia, apakah artinya doa-doa itu tidak sampai kepada Tuhan? Apakah aku hanya menjadi penghalang, bukan perantara seperti seharusnya?"
Pikiran itu membuatnya gelisah. Ia tahu bahwa doa manusia adalah salah satu dan bahkan inti dari tugas seorang Archon. Mereka bergantung pada doa untuk mencari harapan, meminta perlindungan, atau memohon keadilan. Jika ia tidak mampu menerima doa itu, maka tugasnya sebagai Archon menjadi cacat.
Anemo teringat kembali saat ia membaca tentang sistem doa di alam bawah sadarnya. "Archon harus menjadi penjaga doa yang setia. Tanpa itu, ia tidak akan pernah memahami manusia, dan tidak akan pernah benar-benar menjadi Archon."
Sebuah pertanyaan muncul di pikirannya, membuatnya merasa cemas. "Jika aku tidak dapat menerima doa, ke mana doa-doa manusia itu pergi? Apakah mereka terjebak di antara dunia ini dan dunia Tuhan? Atau… apakah mereka hilang begitu saja?"
Ia menggenggam tangannya dengan erat, bertekad untuk menemukan jawabannya. "Jika aku tidak sempurna, maka aku harus mencari cara untuk menjadi lebih baik. Aku tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Aku tidak bisa mengecewakan manusia yang mempercayai Archon."
Dalam hati, ia tahu bahwa ini hanya permulaan. Tidak hanya tugas sebagai Archon yang belum sepenuhnya ia pahami, tetapi juga peran Voidkeeper dan ancaman dari dimensi lain.
Namun, satu hal menjadi jelas bagi Anemo: Jika ia tidak segera memahami bagaimana menerima doa, dunia akan kehilangan koneksi spiritual yang paling penting, dan itu dapat membawa kehancuran yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Anemo.
"Anemo, boleh aku masuk?" suara tenang gurunya terdengar dari balik pintu.
Anemo menghela napas, lalu berdiri untuk membuka pintu. "Tentu, Guru. Ada apa?"
Gurunya masuk dengan senyuman lembut. Wajahnya yang penuh kerutan menunjukkan kebijaksanaan dan ketenangan. "Aku hanya ingin mengingatkanmu, Anemo. Besok pagi kita akan mengadakan doa pagi di kuil dekat rumahku. Aku berharap kau bisa ikut. Ini adalah tradisi yang selalu kita lakukan untuk memulai hari dengan berkah."
Anemo terdiam sejenak. Ia merasa canggung, mengetahui apa arti doa itu bagi Gurunya. Namun, ia juga sadar bahwa besok pagi ia harus berkumpul dengan timnya untuk menjalankan misi ke Lunareth.
"Guru, aku sangat menghargai undanganmu," kata Anemo dengan hati-hati, "tapi besok aku harus pergi lebih awal. Ada misi penting yang harus aku jalankan bersama timku. Aku tidak bisa ikut."
Gurunya mengangguk dengan pemahaman. "Aku mengerti. Misi itu pasti sangat penting. Tapi ingatlah, Anemo, doa adalah cara kita menyelaraskan hati kita dengan kekuatan yang lebih besar. Jangan pernah lupakan pentingnya doa, meskipun kau sibuk dengan tanggung jawabmu."
Ia menepuk bahu Anemo dengan penuh kasih, lalu berbalik menuju pintu. "Aku akan mendoakan keselamatanmu di kuil besok. Semoga kekuatan Archon menyertaimu, anakku."
Saat pintu tertutup, senyuman Anemo memudar. Ia duduk kembali di tempat tidurnya, memandangi pedangnya dengan tatapan kosong.
"Doa..." bisiknya pelan.
Rasa frustrasi menghantamnya seperti gelombang. Ia tahu bahwa doa yang akan dipanjatkan oleh Gurunya tidak akan pernah terkabul, karena ia sendiri sebagai Archon tidak tahu bagaimana cara menerima doa itu, apalagi menyampaikan doa itu kepada Tuhan.
"Aku adalah Archon yang cacat," pikirnya. "Bagaimana aku bisa menjadi perantara antara manusia dan Tuhan, jika aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya?"
Ia menggenggam kepalanya, berusaha mencari jawaban. "Apakah ini sebabnya fusionisasi tidak terjadi? Karena aku tidak siap? Atau karena aku memang tidak pantas untuk menjadi Archon?"
Malam itu, Anemo mencoba menenangkan pikirannya. Namun, rasa bersalah dan kebingungan terus menghantuinya, mempertegas bahwa menjadi Archon adalah tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
Akhir dari Chapter 9.