Cahaya biru kehampaan menyelimuti ruangan yang tak berbatas, seperti dimensi kosong tanpa awal dan akhir. Entitas tak dikenal (Voidkeeper) itu berdiri tegak, tubuhnya memancarkan cahaya ungu pekat yang menyelimuti wujudnya, membuat penampakannya sulit didefinisikan. Suara langkah menggema ketika ia mendekati sosok manusia yang terbaring di atas altar melayang, tubuhnya terikat oleh tali-tali energi bercahaya.
Manusia itu tampak tidak sadarkan diri, tetapi ekspresi wajahnya menunjukkan pergolakan, seolah-olah sedang melawan sesuatu di dalam pikirannya. Entitas itu memandangi manusia tersebut dengan tatapan penuh minat, meskipun ia tidak memiliki mata yang terlihat.
"Menarik," gumam entitas itu, suaranya dalam dan bergema seperti gaung di gua yang tak berujung. Tangan bercahaya ungunya terulur ke arah kepala manusia tersebut. "Mari kita lihat apa yang kau sembunyikan, makhluk kecil."
Ia menyentuh dahi manusia itu, dan tiba-tiba aliran ingatan melesat masuk ke dalam kesadarannya. Gambar-gambar dari dunia yang dikenal sebagai Bumi mulai bermunculan pertempuran Archon ke-3, kehancuran yang diakibatkan oleh entitas itu sendiri, dan akhirnya muncul sosok baru Anemo, Sang Archon ke-4.
Entitas itu mendesis. "Ah… jadi begitu. Penerus yang dimaksudnya pada hari itu akhirnya muncul. Tapi bagaimana bisa?"
Tiba-tiba, dimensi itu terguncang sedikit. Sebuah celah terbuka di udara, dan makhluk lain melangkah masuk. Tubuhnya kecil dibandingkan dengan entitas utama, tetapi kehadirannya membawa hawa dingin yang mematikan. Ia membungkuk sedikit sebelum berbicara dengan suara serak.
"Dewa baru sudah datang," katanya singkat.
Entitas utama berhenti sejenak, lalu tertawa pelan. "Mereka masih saja bermain-main dengan konsep keilahian. Bagaimana mungkin? Bukankah aku sudah menyerap seluruh kekuatan para Archon di tempat itu?"
Makhluk kecil itu mengangguk pelan. "Seharusnya begitu, tapi sepertinya dewa ini adalah penerus ciptaan Iksarion."
Nama itu membuat entitas utama menghentikan tawanya. "Iksarion, ya? Si pecundang itu. Dia yang pertama kali menciptakan konsep hukum yang tak berguna itu. Jadi ini adalah jejak terakhirnya."
Makhluk kecil itu mengangguk lagi, ekspresinya tetap dingin. "Tampaknya begitu. Namun, menurut pengamatanku, dewa baru ini belum sepenuhnya menerima kekuatan ilahi. Ia masih mentah."
Entitas utama melipat tangannya, auranya yang ungu semakin pekat. "Kalau begitu, ia tidak akan menjadi ancaman… untuk saat ini. Aku akan membiarkan permainan ini berjalan. Mari kita lihat apa yang terjadi selanjutnya."
Ia menoleh kembali ke manusia yang masih terbaring di altar, ingatan-ingatan dari sosok itu terus mengalir masuk ke pikirannya.
"Namun, untuk berjaga-jaga, aku harus memahami dunia mereka lebih dalam. Jika Iksarion benar-benar meninggalkan warisan ini, aku ingin tahu sampai sejauh mana permainan ini akan berlanjut."
Makhluk kecil itu berbicara lagi, suaranya terdengar sedikit ragu. "Jika ia berhasil mencapai kekuatan penuh… mungkin ia bisa menjadi ancaman nyata, bahkan untukmu."
Entitas utama tertawa pelan. "Kalau begitu, kita pastikan dia tidak pernah mencapainya. Kita awasi dia dari sini, dan jika waktunya tiba… kita pastikan dia tahu apa artinya melawan kehampaan."
Di kejauhan, suara retakan dimensi terdengar samar-samar, seolah-olah batas antara dua dunia mulai melemah lagi. Entitas itu hanya tersenyum samar, sebuah senyuman yang penuh dengan niat tersembunyi.
"Bermain-mainlah, Anemo. Mari kita lihat apakah kau cukup kuat untuk bertahan hidup dalam permainan yang lebih besar ini."
Manusia itu terbangun dengan napas terengah-engah, matanya terbuka lebar seperti baru saja terlempar dari ketinggian. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, dan tangannya mencengkeram erat selimut yang berantakan di atas kasur.
"Apa… yang barusan terjadi?" gumamnya, matanya mengedar ke seluruh ruangan. Itu adalah kamarnya sendiri, dengan dinding yang dipenuhi poster-poster tua dan meja berantakan dengan buku dan barang-barang kecil. Segalanya tampak normal, tetapi perasaan aneh menyelimuti dirinya.
Ia duduk di tepi tempat tidur, memegang kepalanya yang terasa berat. "Aku ingat pesan itu… dewa baru… Archon ke-4" Suaranya lirih, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Tapi setelah itu, aku…"
Kenangan tentang tempat asing yang dipenuhi cahaya biru dan sosok misterius mulai memenuhi pikirannya, seperti bayangan yang samar namun tak bisa ia abaikan. Ia mengingat suara entitas besar itu suara yang dalam dan bergema dan perasaan tidak berdaya yang menyelimuti dirinya ketika terbaring di altar itu.
"Apa semua itu mimpi?" pikirnya, menggigit bibir bawah. Namun, bagian dari dirinya tahu bahwa itu lebih dari sekadar mimpi. Rasanya terlalu nyata, terlalu jelas untuk diabaikan begitu saja.
Di luar kamarnya, suara langkah kaki terdengar. Seseorang mengetuk pintu dengan pelan.
"Hei, Aedric kau baik-baik saja?" suara seorang wanita terdengar dari balik pintu. Itu adalah kakaknya, Clara.
Ia menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan rasa takut yang menyelimuti dirinya. "Iya, aku baik-baik saja. Hanya mimpi buruk."
Clara menjawab singkat. "Baiklah. Jangan lupa makan, kau belum keluar kamar seharian."
Ketika suara langkah kaki Clara menjauh, pria itu kembali duduk di kasurnya. Ia menatap tangannya, mencoba mencari jawaban dalam kebisuan.
"Apa maksud mereka dengan dewa baru? Dan kenapa aku merasa… apa yang terjadi.." pikirnya dalam kebingungan.
Di tempat lain, jauh di luar pengetahuannya, entitas besar itu memandang ke kejauhan melalui dimensi kehampaan, tersenyum puas.
"Kembali ke duniamu, kecil. Mainkan peranmu tanpa menyadarinya. Pada waktunya, semua benang ini akan bertemu di tengah kekacauan."
Suara tawa kecil mengiringi kesenyapan ruang itu, seiring cahaya biru kehampaan kembali menjadi gelap.
Kamar Aedric terasa hening, hanya suara napasnya yang terdengar. Ia masih duduk di tepi kasurnya, mencoba mencerna segala sesuatu yang terjadi dalam kepalanya. Namun sebelum ia dapat memikirkan lebih jauh, suara Clara kembali terdengar dari balik pintu.
"Aedric, ada seseorang yang menunggumu di luar," katanya, nadanya terdengar penasaran. "Dia bilang dia temanmu."
Aedric mengernyit. Ia jarang menerima tamu, apalagi di rumah. Ia berdiri, melangkah menuju pintu, membuka dengan hati-hati. "Siapa, Kak?"
Clara menunjuk ke arah depan rumah, di mana seorang pria berdiri dengan tangan bersilang di dada. Pakaian tempurnya penuh dengan bekas perjalanan panjang, dan meskipun wajahnya terlihat lelah, ada semangat yang terpancar di matanya.
"Metha?" gumam Aedric dengan nada terkejut.
Metha menoleh begitu mendengar namanya. Wajahnya yang serius melunak sedikit saat melihat Aedric. "Kau butuh waktu lama untuk keluar, Aedric. Aku hampir pergi mencari masuk sendiri."
Aedric melangkah mendekat, masih kebingungan. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak pernah datang tanpa alasan."
Metha tersenyum samar, meskipun jelas ada sesuatu yang mendesak di balik sikapnya. "Aku di sini karena ada urusan penting. Pimpinan guild memanggil seluruh anggota untuk berkumpul di base. Aku diutus untuk memastikan kau datang."
Aedric mengangkat alis. "Semua anggota? Apa sesuatu yang besar sedang terjadi?"
Metha menepuk bahu Aedric dengan penuh arti. "Lebih dari sekadar besar. Ini mungkin hal yang paling penting sejak kau bergabung. Tidak ada waktu untuk menjelaskan di sini. Kau harus ikut."
Clara, yang mendengar percakapan mereka dari dekat, menatap Aedric dengan khawatir. "Apa ini berbahaya?"
Aedric menoleh ke Clara, mencoba menenangkan dirinya sekaligus kakaknya. "Aku tidak tahu, tapi aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir."
Tak lama dari itu, Aedric dan Metha tiba di depan pintu besar base guild, sebuah bangunan megah yang berdiri di tengah kota. Cahaya bulan memantulkan ukiran-ukiran tua di pintu kayu yang menjulang, menggambarkan simbol kebanggaan dan kekuatan guild itu.
"Kau terlihat lebih tegang dari biasanya," Metha menggoda Aedric, melirik sekilas ke arahnya.
"Aku tidak biasa dipanggil dalam pertemuan sebesar ini," jawab Aedric sambil menarik napas panjang. "Apa ini soal sesuatu yang kita kerjakan sebelumnya?"
Metha tersenyum kecil. "Mungkin. Aku juga tidak tahu."
Metha mendorong pintu itu dengan yakin, dan keduanya masuk ke dalam aula utama guild.
Aula utama sudah dipenuhi anggota guild. Semua berdiri dalam kelompok kecil, bisik-bisik memenuhi ruangan. Di tengah aula, berdiri sebuah panggung kecil yang biasanya digunakan untuk pengumuman besar. Di dekat panggung, seorang pria muda dengan jubah kuning sederhana berdiri dengan tenang. Anemo.
Aedric memperhatikan Metha yang langsung melangkah ke arah Anemo. Ekspresi Metha berubah lebih santai begitu melihat sosok itu, senyum lebar menghiasi wajahnya.
"Hei, kau di sini juga," Metha menyapa sambil menepuk pundak Anemo.
Anemo tersenyum tipis. "Tentu saja aku di sini. Panggilan seperti ini jarang terjadi."
Aedric menatap bingung. "Metha, siapa dia? Kau kenal dengannya?"
Metha mengangguk, memutar tubuh ke arah Aedric sambil tersenyum. "Tentu saja. Ini Anemo. Dia sudah dua tahun di guild ini. Dia salah satu orang terbaik yang pernah aku kenal."
Aedric mengerutkan kening. "Kenapa aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya?"
Anemo tertawa kecil. "Aku lebih sering bekerja di balik layar. Mungkin kita belum pernah berada di misi yang sama."
Metha menambahkan, suaranya penuh keyakinan. "Percayalah, kau akan belajar banyak darinya."
Aedric hanya mengangguk pelan, meski ia masih merasa ada sesuatu yang ganjil. Ia tidak bisa mengabaikan aura yang berbeda dari Anemo, seolah pria itu membawa sesuatu yang lebih besar dari yang terlihat.
Tak lama dari itu, Pemimpin guild, Arthur, melangkah ke panggung, suara bisikan langsung terhenti. Semua mata tertuju padanya.
"Terima kasih telah berkumpul di sini malam ini," suara berat Arthur bergema di seluruh ruangan. "Aku tahu kalian semua memiliki pertanyaan tentang kenapa kita semua dipanggil, dan aku akan menjelaskan."
Arthur menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Dunia kita sedang berubah.
Metha menatap Anemo dengan serius, tetapi Anemo hanya mengangguk kecil, ekspresinya tetap tenang.
"Kami menerima laporan tentang makhluk-makhluk aneh yang muncul di berbagai wilayah. Kehancuran yang mereka bawa tidak biasa, dan kami mencurigai bahwa ini bukan hanya masalah dunia kita." Arthur berhenti sejenak, matanya menyapu ruangan. "Untuk menghadapi ini, kita perlu bekerja bersama. Kita akan membagi tim untuk menyelidiki berbagai lokasi. Tidak ada waktu untuk bersantai. Dunia membutuhkan kita."
Ketika pertemuan selesai, Metha, Aedric, dan Anemo melangkah keluar bersama. Aedric masih merasa bingung dengan suasana tegang itu.
"Jadi, kau sudah tahu soal ini?" tanya Aedric pada Metha.
"Aku tahu sebagian," jawab Metha jujur. Ia menatap Anemo sebelum melanjutkan, "Tapi Anemo mungkin tahu lebih banyak."
Aedric menoleh ke Anemo, yang hanya mengangguk kecil. "Ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan sekarang. Tapi percayalah, kita semua berada di sini untuk alasan yang sama."
"Kau selalu berbicara penuh teka-teki," keluh Aedric sambil menghela napas.
Anemo hanya tersenyum kecil. "Dan itu membuat segalanya lebih menarik, bukan?"
Metha tertawa. "Percayalah, Aedric. Dia mungkin penuh misteri, tapi dia bisa diandalkan."
Meski masih banyak pertanyaan di kepala Aedric, ia memutuskan untuk menunda rasa ingin tahunya. Ia tahu bahwa waktu akan memberikan jawaban, terutama dengan ancaman besar yang kini menghadang di depan mereka semua.
Di sudut dimensi yang tidak dikenal, gelap dan tanpa batas, entitas misterius itu berdiri di depan sebuah retakan raksasa yang melayang di udara. Retakan itu tampak seperti luka besar di realitas itu sendiri, bercahaya redup dengan warna-warna yang tampak tidak alami ungu pekat, hitam pekat dengan kilatan hijau bercahaya.
Entitas tersebut mengamati retakan itu dengan penuh rasa puas, suaranya bergema dalam kehampaan. "Akhirnya… setelah sekian lama mencoba, aku berhasil membuka jalan ini."
Ia melangkah maju, cahaya redup dari robekan memantul pada sosok kabur tubuhnya. Tubuh itu tampak tidak solid, lebih seperti kabut yang terus bergerak, dengan mata merah terang bersinar dari balik kabutnya. Tawanya pecah, menggema seperti petir di kehampaan.
"Kau pikir keseimbangan dunia kalian akan bertahan selamanya, bukan?" gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya penuh dengan ejekan. "Namun, sekarang... dengan jalan ini terbuka, dunia itu akan menjadi milikku."
Makhluk kecil yang sebelumnya berbicara dengannya melayang mendekat, ekspresi panik tergambar di wajah mungilnya. "Tuanku… apakah ini bijaksana? Membuka portal sebesar ini bisa membawa dampak yang tidak terduga. Bahkan untukmu."
Entitas itu menoleh dengan gerakan lambat, suaranya dingin dan penuh kekuatan. "Dampak yang tidak terduga? Tidak ada yang di luar kendaliku."
Makhluk kecil itu tampak ragu, tetapi ia melanjutkan dengan hati-hati. "Jika ini tentang dewa baru itu, bukankah lebih baik kita menunggu? Dia bahkan belum memahami kekuatannya sepenuhnya. Melakukan langkah sebesar ini mungkin… terlalu dini."
Entitas itu tertawa lagi, kali ini lebih lembut, tetapi tetap mengandung ancaman. "Terlalu dini? Tidak, ini adalah waktu yang tepat. Dunia mereka sudah rapuh, keseimbangan yang dulu dipegang Archon ke-3 telah hilang. Dan sekarang, dengan munculnya dewa baru itu, kita akan melihat apakah dia benar-benar layak menyandang gelar itu."
Entitas itu kembali menatap robekan besar di hadapannya. Dari dalam robekan, bayangan-bayangan besar terlihat bergerak, seolah-olah sesuatu sedang menunggu perintah untuk keluar. Suara gemuruh rendah terdengar dari dalam, seperti dengungan dunia lain yang membuat kehampaan itu terasa semakin berat.
Akhir dari Chapter 8.