Di tengah lembah yang subur dan luas, berdirilah Desa Orion, desa terbesar di bumi, yang keindahannya memikat hati siapa saja yang melihatnya. Desa ini tidak seperti desa lain tata letaknya membentuk pola unik menyerupai rasi bintang Orion, hasil karya Archon ke-2, sang Pencipta Bumi. Setiap bangunan, setiap jalan, bahkan sungai kecil yang mengalir di dalamnya, dirancang dengan harmoni yang sempurna.
Namun, di tengah keindahan ini, ada satu hal yang tak bisa disembunyikan Orb Orion di pusat desa, sebuah artefak sakral, kini gelap gulita. Orb itu, yang seharusnya bersinar terang sebagai tanda keberadaan seorang Archon, telah padam selama lebih dari seratus tahun sejak wafatnya Archon ke-3.
Penduduk desa menganggap Orb itu sebagai simbol harapan dan keberadaan para Archon yang menjaga keseimbangan dunia. Namun kini, kegelapan Orb membuat mereka hidup dalam keraguan. Mitos dan bisikan tentang dunia tanpa Archon mulai menggema di antara mereka.
Sani, Pemimpin Desa Orion, berdiri di depan Orb yang gelap. Ia adalah pria tua dengan rambut putih panjang dan tongkat kayu yang selalu menggantung di tangan kanannya. Raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran, meskipun ia berusaha menyembunyikannya dari warga desa.
Di belakangnya, sekelompok pemuda desa berkumpul. Mereka adalah anggota Guard of Orion, penjaga yang diwariskan tugas untuk menjaga Orb sekaligus mencari tanda-tanda kebangkitan Archon.
"Apa ada perubahan, Sani?" tanya Kiva, salah satu penjaga muda dengan mata penuh semangat. Rambut pendeknya tertiup angin sore yang sejuk.
Sani menggeleng pelan. "Tidak ada... Orb tetap padam. Namun aku merasakan sesuatu, Kiva. Ada perubahan di udara. Keseimbangan dunia mungkin mulai bergeser."
Kiva mengerutkan kening. "Apa yang kau maksud? Apakah itu pertanda baik atau buruk?"
Sebelum Sani bisa menjawab, sebuah suara gemuruh datang dari arah barat desa, membuat tanah di bawah mereka bergetar. Penduduk berhamburan keluar rumah, melihat ke arah sumber suara.
Langit malam yang tadinya pekat tiba-tiba berubah. Sebuah cahaya kuning misterius muncul, memancar begitu terang hingga seolah menggantikan matahari. Cahayanya menyelimuti seluruh desa, bahkan gunung dan lembah di sekitarnya, membuat malam yang gelap menjadi siang seketika.
Kiva mendongak, matanya membelalak. "Apa itu?!"
Cahaya itu tidak diam. Ia bergerak dengan kecepatan yang tidak masuk akal, mengarah ke pusat desa, tepat ke Orb yang gelap. Penduduk desa hanya bisa menatap dengan mulut ternganga saat cahaya itu melesat cepat, seperti komet yang jatuh dari langit, menghantam Orb dengan kekuatan yang tidak terlihat, namun terasa.
Orb Orion, yang telah padam selama lebih dari seratus tahun, tiba-tiba mulai bercahaya. Warna kuning yang sama seperti cahaya di langit meresap ke dalamnya, memenuhi Orb dari dalam seperti air yang mengisi bejana kosong. Orb itu berdenyut, sekali, dua kali, kemudian memancarkan cahaya terang yang menusuk mata. Desa Orion berubah menjadi lautan cahaya.
Namun cahaya itu tidak bertahan lama. Saat Orb sepenuhnya terisi oleh energi misterius itu, ia tiba-tiba melepaskan sebuah ledakan angin dahsyat. Tidak seperti angin badai yang biasa, angin ini tidak menyebabkan kehancuran atau melontarkan apa pun. Sebaliknya, ia membawa keheningan yang dalam.
Penduduk desa terdiam, tubuh mereka tetap berdiri, tetapi mata mereka terpejam satu per satu, seolah tertidur. Bukan hanya di Desa Orion, melainkan di seluruh dunia. Dari kota besar hingga desa terpencil, semua manusia, tanpa terkecuali, mulai jatuh ke dalam alam bawah sadar yang sama.
Di alam bawah sadar tersebut, hanya ada satu sosok yaitu, Anemo.
Di tengah padang emas yang kosong, suara bisikan ribuan manusia memenuhi udara. Wajah-wajah mereka miliaran jumlahnya muncul di sekeliling Anemo, bingung dan takut, saling bertanya tanpa suara tentang apa yang sedang terjadi. Mereka bukan hanya penduduk Desa Orion, melainkan seluruh umat manusia dari penjuru dunia.
Di tengah keramaian ini, Anemo berdiri sendirian, memegang pedang ilahinya yang bersinar lembut. Tubuhnya mulai memancarkan cahaya emas yang kian lama kian terang. Dalam hitungan detik, cahaya itu meliputi seluruh tubuhnya, mengubah wujudnya menjadi sesuatu yang tak lagi manusiawi.
Tubuh Anemo kini bercahaya seperti matahari, namun lebih redup, sehingga tetap bisa dilihat oleh mereka yang ada di alam bawah sadar. Matanya berwarna putih bercahaya, tanpa pupil, memancarkan aura kebijaksanaan dan kekuatan. Jubah emas ilahi melayang di sekeliling tubuhnya, sementara pedangnya kini melayang di sampingnya, bersinar dengan intensitas yang sama.
Anemo terangkat ke udara perlahan, melayang di atas kepala miliaran jiwa. Semua mata, yang tadinya bingung dan gelisah, kini memandangnya dengan takjub. Cahaya ilahinya memberikan rasa hangat dan tenang, seolah menenangkan kegelisahan yang telah lama mereka pendam.
Anemo mengangkat tangannya perlahan, dan suara yang keluar dari dirinya bergema di seluruh alam bawah sadar itu. Suaranya dalam, agung, dan penuh wibawa.
"Umat manusia, dengarkan aku!" serunya, suaranya mengguncang udara tetapi tidak menakutkan. "Aku adalah wujud penerus, wujud yang dipilih oleh takdir untuk menjaga keseimbangan dunia ini!"
Wajah-wajah di sekitarnya masih terlihat bingung, tetapi bisikan-bisikan mulai mereda saat suara Anemo berlanjut.
"Kematian Iksarion bukanlah akhir dari segalanya. Ia telah berkorban untuk menyelamatkan dunia yang kita cintai ini, dan juga memberi jalan pada era baru, sebuah era di mana dunia harus menemukan kembali jalannya. Namun aku kini telah dipanggil untuk memikul tanggung jawab itu. Aku adalah pemimpin baru yang akan menjaga dunia ini dari kehancuran."
Sebuah dentuman suara keras terdengar di udara, tetapi itu bukan ancaman. Itu adalah suara Orb Orion, yang kini memancarkan cahayanya ke dalam alam bawah sadar semua orang, seolah mengukuhkan kata-kata Anemo.
Anemo mengulurkan kedua tangannya, menyebarkan cahaya yang memancar dari tubuhnya ke setiap individu di alam itu. Dalam kehangatan cahaya itu, setiap orang merasakan sesuatu yang baru sebuah pengertian mendalam tentang keberadaan mereka.
"Kalian semua telah menyaksikan kehampaan yang ditinggalkan oleh kematian seorang Archon. Namun aku di sini untuk membawa harapan. Aku bukan hanya dewa yang kalian sembah. Aku adalah penjaga keseimbangan, pelindung dunia ini. Hormat dan ibadah kalian adalah kekuatan yang akan membantu dunia ini tetap berdiri."
Mata para manusia di sekelilingnya kini tidak lagi memancarkan rasa takut, tetapi kekaguman dan ketundukan. Anemo melanjutkan, suaranya melembut tetapi tetap penuh dengan kekuatan ilahi.
"Dunia ini tidak lagi sama seperti dulu. Kita berada di ambang perubahan besar. Akan ada tantangan, ada bahaya, tetapi aku akan selalu berdiri di antara kalian dan kehancuran. Percayalah padaku, hormati aku, dan dunia ini akan tetap menjadi tempat di mana kehidupan dapat berkembang."
Setelah selesai berbicara, cahaya yang memancar dari Anemo berubah menjadi ribuan partikel emas yang mengalir ke setiap individu di alam tersebut. Wajah mereka berseri-seri, tubuh mereka kembali ke posisi semula di dunia nyata, tetapi hati mereka kini dipenuhi keyakinan baru. Mereka tidak lagi merasa kosong atau putus asa, mereka tahu bahwa dunia ini telah memiliki seorang Archon baru.
Di Desa Orion, tubuh Kiva tiba-tiba tersentak. Ia membuka matanya dan melihat ke arah Orb yang kini bersinar terang, memancarkan kehangatan yang luar biasa. Halam berdiri di sampingnya, wajahnya basah oleh air mata, matanya tidak lepas dari Orb itu.
"Dia... dia benar-benar Archon baru," bisik Halam, suaranya gemetar oleh rasa syukur dan kekaguman.
Orb terus berdenyut, dan seluruh desa, bahkan seluruh dunia, kini tahu bahwa seorang Archon baru telah bangkit. Anemo, wujud yang harus disembah dan dihormati, telah membawa secercah cahaya ke dunia yang gelap.
Di Gunung Veldros, suasana hening menyelimuti. Langit malam yang tadinya gelap kembali dihiasi bintang-bintang, seolah tak terjadi apa-apa. Namun, di tengah reruntuhan goa, Anemo berdiri tegak dengan tubuhnya yang masih memancarkan sisa-sisa aura ilahi. Pedang di tangannya bergetar lembut, memancarkan kilatan cahaya keemasan yang meresap ke dalam tanah.
Di dekatnya, Metha masih duduk bersandar pada batu besar. Tubuhnya terlihat lelah, tetapi matanya bersinar penuh kekaguman, memandang Anemo yang kini terlihat begitu berbeda.
Anemo menatap tangannya, merasa seolah baru saja terhubung dengan sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang melampaui batas pemahamannya. Ia masih bisa merasakan kehadiran miliaran manusia di alam bawah sadarnya, meski mereka telah kembali ke dunia nyata. Cahaya pada tubuhnya perlahan mereda, namun kekuatan ilahi itu tetap terasa bukan lagi sebagai beban, tetapi sebagai tanggung jawab yang tak terhindarkan.
"Metha," katanya pelan, suaranya terdengar jauh lebih dalam, lebih tegas daripada sebelumnya, "Aku... Aku baru saja melakukan sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Aku terhubung dengan semua orang di dunia ini. Mereka semua... melihatku."
Metha tersenyum lemah, namun penuh rasa hormat. "Itu adalah tanda, Anemo. Kau bukan lagi manusia biasa. Kau adalah Dewa, Sang Archon, penjaga dunia ini. Apa yang baru saja kau lakukan membuktikan bahwa dunia mempercayakan takdirnya padamu."
Anemo mengangguk pelan, tetapi keraguan masih menghantui pikirannya. Ia menatap ke kejauhan, ke langit yang luas. "Namun, Metha... aku merasa belum cukup. Aku baru saja mendapatkan kekuatan ini, tapi aku belum mengerti bagaimana menggunakannya dengan benar. Ada begitu banyak hal yang belum aku ketahui tentang dunia ini tentang manusia, tentang alam, dan tentang keseimbangan yang harus aku jaga. Aku tidak bisa hanya mengandalkan kekuatanku. Aku harus belajar. Aku harus memahami."
Ia menutup matanya sejenak, dan tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang luar biasa. Alam bawah sadarnya kini bukan sekadar tempat di mana ia terhubung dengan orang lain, itu adalah dunia tersendiri, sebuah ruang tanpa batas yang penuh dengan potensi. Di sana, ia merasa mampu mengatur segala sesuatu mengamati, mempelajari, bahkan mengubah apa yang perlu diubah.
Anemo membuka matanya kembali, wajahnya kini dipenuhi tekad. "Aku menyadari satu hal, Metha. Dengan kekuatan ini, aku bisa masuk ke dalam alam bawah sadarku kapan pun aku mau. Dan di sana, aku akan belajar. Aku akan memahami dunia ini, isinya, dan bagaimana aku bisa menjadi Archon yang benar-benar pantas untuk mereka."
Metha menatap Anemo dengan mata berkilauan, merasakan kebesaran yang terpancar darinya. Tanpa sadar, ia berlutut dan menundukkan kepala dalam-dalam. "Anemo... kau adalah Archon. Kau adalah sosok yang layak kami sembah dan hormati. Aku hanya seorang manusia kecil dibandingkan denganmu."
Namun sebelum Metha dapat menyelesaikan kata-katanya, Anemo melangkah mendekat dan menempatkan tangan lembut di pundaknya. "Jangan, Metha. Jangan pernah bersujud kepadaku."
Metha mendongak, kebingungan. "Tapi kau adalah Archon, Anemo. Kau adalah penjaga dunia ini..."
Anemo tersenyum tipis, menatap Metha dengan pandangan penuh rasa syukur. "Metha, kau adalah temanku. Sejak pertama kali aku memasuki Guild Luminous, kau adalah orang yang membimbingku. Kau yang membagikan ilmu pengetahuan, strategi, dan kekuatan yang membawaku sejauh ini. Tanpa dirimu, aku tidak akan pernah sampai di titik ini. Akan sangat aneh jika aku menerima sujud dari orang yang aku anggap sebagai sahabat."
Metha menatap Anemo, terharu. "Tapi sekarang kau telah menjadi sesuatu yang jauh lebih besar. Kau berbeda, Anemo. Kau adalah seorang dewa."
"Memang," jawab Anemo, suaranya tetap tenang. "Aku seorang Archon. Tapi itu tidak berarti aku melupakan siapa aku sebelumnya. Aku akan tetap menjadi Anemo, temanmu. Aku akan menghormati apa yang kau lakukan untukku, seperti aku berharap kau akan terus mendukungku di masa depan."
Metha akhirnya berdiri, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. "Baiklah," katanya dengan senyuman kecil. "Tapi jangan salah paham, aku masih akan sangat kagum padamu, Archon."
Anemo tertawa kecil, sebuah tawa yang terasa ringan setelah segala beban yang ia pikul. "Kagum boleh, tapi jangan lupa mengingatkan aku jika aku salah. Kalau aku lupa daratan, aku akan butuh orang seperti kau untuk menegurku."
Dengan itu, keduanya memutuskan untuk beristirahat di dekat reruntuhan, sementara dunia mulai bergerak menuju fajar baru. Anemo tahu, perjalanannya untuk menjadi Archon yang layak baru saja dimulai. Dan di sampingnya, Metha tetap menjadi teman yang ia percaya bukan sebagai penyembah, tetapi sebagai sahabat sejati.
Akhir dari Chapter 6.