Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah dataran terbuka yang dikelilingi tebing-tebing tinggi. Di tengahnya berdiri sebuah bangunan kuno yang megah meski sudah diliputi keruntuhan. Pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran simbol-simbol misterius menopang atap yang sebagian besar telah runtuh. Dinding-dindingnya penuh dengan pahatan yang menggambarkan sosok-sosok besar dengan sayap cahaya, seolah menggambarkan kisah-kisah para Archon.
"Ini… luar biasa," Metha berbisik kagum, matanya menyapu seluruh bangunan. "Tempat ini jelas peninggalan kuno. Tapi kenapa ditinggalkan begitu saja?"
Di bagian tengah ruangan utama bangunan itu, mereka menemukan sebuah pintu besar yang terbuat dari logam berkilauan, tampak tidak terpengaruh oleh waktu. Di tengah pintu tersebut, terdapat sebuah slot berbentuk seperti bulan sabit, sama seperti lambang yang ada di dada penjaga yang menghadang mereka.
"Pintu ini… membutuhkan kunci," Metha berkata sambil menyentuh permukaan pintu.
"Sepertinya hanya ada satu cara untuk mengetahuinya," Metha berkata, mendesaknya untuk mencoba.
Saat mereka merenungkan bagaimana cara mendapatkan kuncinya, Tanah di bawah kaki Metha tiba-tiba runtuh. Dari celah itu muncul ekor besar bersisik, melilit tubuh Metha dan menariknya ke bawah sebelum ia sempat bereaksi. "Anemo!" Metha menjerit, panik, saat ekor itu menyeretnya ke dalam kegelapan.
Anemo berlari ke arahnya, tetapi tanah mulai berguncang hebat. Bangunan kuno itu runtuh lebih banyak, dan serpihan batu beterbangan di mana-mana. Suara gemuruh menggelegar memecah kesunyian, diikuti oleh kemunculan makhluk raksasa dari celah tersebut.
Makhluk itu adalah seekor ular raksasa yang aneh bersisik mengkilap seperti perak, dengan sepasang tangan berotot dan kaki belakang yang kuat. Matanya bersinar merah menyala, dan tubuhnya bergerak dengan kelincahan yang tidak biasa untuk ukurannya. Makhluk itu mengangkat tubuhnya setengah ke udara, memegangi Metha dengan cengkeraman tangan berbentuk cakar.
"A-apa ini…" Anemo tergagap, tubuhnya gemetar ketakutan. Matanya terpaku pada makhluk besar itu, yang kini menatapnya dengan tatapan tajam. Nafas ular raksasa itu menghembuskan udara panas, membuat Anemo merasakan kengerian yang luar biasa.
"Anemo! Lari! Tinggalkan aku!" Metha berteriak, meski suaranya penuh rasa sakit karena lilitan cakar makhluk itu.
Namun, Anemo tidak bergerak. Kakinya tertanam di tempat, meskipun tubuhnya gemetar. Ia menggenggam belati pemberian Metha dengan erat, tangannya berkeringat dingin. "Tidak… Aku tidak akan meninggalkanmu!"
"Anemo, kau tidak bisa melawan makhluk ini!" Metha memekik, mencoba meyakinkannya untuk menyelamatkan diri. Tapi Anemo menggertakkan giginya, berusaha melawan rasa takut yang mencekiknya.
Ular raksasa itu mengeluarkan suara geraman rendah, kemudian melesatkan kepalanya ke arah Anemo. Refleksnya membuat ia melompat ke samping, menghindari serangan yang membuat tanah di belakangnya hancur berantakan. Debu dan serpihan batu beterbangan, membuat penglihatannya kabur.
Anemo mencoba mengatur napasnya. Ia tahu bahwa melarikan diri adalah pilihan yang masuk akal, tetapi melihat Metha dalam bahaya membuatnya tidak bisa berpaling. "Aku harus melakukan sesuatu… Aku tidak akan lari lagi." pikirnya, meskipun otaknya berteriak kebalikannya.
Ular raksasa itu tiba-tiba berbicara dengan suara menggelegar, seperti bergema di dalam gunung itu sendiri. "Veldros uta tem su, ika ko pila pu rok!" Ucapan itu penuh amarah dan kuasa, meski artinya tidak langsung Anemo pahami. Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, makhluk itu melayangkan Metha yang masih digenggamnya ke arah tanah dengan kekuatan luar biasa.
"METHA!" teriak Anemo, kakinya langsung bergerak mengejar tempat Metha jatuh.
Debu dan reruntuhan melayang di udara ketika tubuh Metha menghantam tanah. Anemo mendekat dengan panik, menyusuri celah dan reruntuhan yang kini tampak seperti sebuah lorong menuju kedalaman. Setelah beberapa langkah, ia menemukannya Metha tergeletak di atas tanah keras, tubuhnya terlihat lemah dengan luka-luka menganga di beberapa bagian.
"Metha! Aku di sini!" Anemo berlutut di samping Metha, tangannya gemetar saat ia memeriksa kondisi sahabatnya. Wajah Metha pucat, napasnya berat, dan matanya setengah tertutup. "Jangan bergerak terlalu banyak. Aku akan menyelamatkanmu… aku… aku akan mencari bantuan!"
Namun Metha menggeleng lemah, menahan tangan Anemo. "Tidak... Anemo... lihat sekeliling," bisiknya, suaranya hampir tidak terdengar.
Anemo mengikuti arah pandangan Metha. Mereka ternyata telah berada di dalam sebuah goa besar, dengan dinding berkilauan seperti kristal. Di tengah goa itu, hanya beberapa langkah dari mereka, terdapat sebuah batu besar yang memancarkan cahaya samar. Dan di batu itu, tertancap sebuah pedang.
Pedang itu tidak biasa. Bilahnya panjang, terbuat dari logam berwarna perak yang tampak hidup, dengan ukiran-ukiran halus yang bercahaya lembut di sepanjang bilahnya. Gagangnya dihiasi permata biru yang bersinar, seolah memiliki nyawa. Cahaya pedang itu memberikan rasa damai, sekaligus membangkitkan aura kekuatan yang luar biasa.
"Metha..." Anemo menoleh kembali, suaranya bergetar. "Ini… pedang ini… apa ini yang kita cari?"
Metha tersenyum lemah. "Sepertinya begitu... Anemo. Goa ini… adalah tujuan kita. Pedang itu… mungkin jawabannya. Tapi... ular itu... dia masih di luar."
Anemo melirik ke arah pintu masuk goa, di mana ular raksasa itu terlihat diam, memperhatikan mereka dengan tatapan penuh ancaman. Tubuhnya menjalar di sekitar pintu masuk, seperti menunggu sesuatu, tidak menyerang tetapi juga tidak pergi.
"Aku tidak tahu apa maksudnya," Anemo berkata, matanya kembali ke pedang yang tertancap. "Tapi aku tidak akan membiarkanmu mati di sini. Kalau pedang itu bisa membantu kita... aku akan mengambilnya!"
Metha mencoba mencegah, meskipun lemah. "Hati-hati, Anemo. Pedang seperti itu... tidak mungkin sembarang orang bisa menyentuhnya."
Namun Anemo mengabaikan peringatannya. Dengan tekad yang membara, ia berdiri dan berjalan mendekati batu itu. Setiap langkah terasa berat, seolah udara di sekitarnya menjadi lebih padat dan panas. Ia merasakan sesuatu, seperti energi yang memancar dari pedang itu, menyentuh jiwanya dan menguji keberaniannya.
Ketika ia akhirnya mencapai batu itu, Anemo berhenti sejenak, mengumpulkan keberanian. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi," pikirnya. "Tapi aku tidak punya pilihan lain."
Ia meletakkan tangannya di gagang pedang, merasakan dinginnya logam yang anehnya terasa nyaman.
Anemo menguatkan dirinya, kedua tangannya menggenggam gagang pedang itu dengan erat. Ia menariknya dengan sekuat tenaga, otot-otot tubuhnya tegang. Pada awalnya, pedang itu tidak bergerak sedikit pun, tetapi perlahan, ia merasakan sebuah energi besar merespons usahanya.
Tiba-tiba, aura terang berwarna kuning muncul dari celah antara pedang dan batu. Cahaya itu makin lama makin terang, menyelimuti seluruh ruangan. Suara mendesing mengiringi tarikan terakhir Anemo, dan dengan satu hentakan kuat, pedang itu tercabut dari batu.
Saat pedang itu bebas, aura yang terpancar menjadi lebih kuat. Cahaya kuning membanjiri goa, menerangi kegelapan, seolah sebuah matahari kecil meledak di tempat itu. Anemo merasakan gelombang energi yang luar biasa menghantam tubuhnya, membuatnya tidak mampu berdiri lagi. Ia terlempar ke belakang, sementara cahaya itu meledak dalam kilatan besar, membuat segala sesuatunya menjadi putih.
Ketika Anemo sadar kembali, ia mendapati dirinya melayang di tengah kegelapan. Tidak ada tanah, tidak ada langit hanya kehampaan. Tubuhnya terasa ringan, seperti tidak memiliki bobot sama sekali.
"Di mana aku?" bisiknya, tetapi tidak ada jawaban.
Namun, dari kejauhan, muncul sebuah cahaya kuning megah. Cahaya itu semakin dekat, dan Anemo mulai mengenali sosok di dalamnya. Itu adalah sosok yang pernah ia lihat sebelumnya, ketika ia pingsan di sungai Celestara. Sosok itu memiliki sayap cahaya yang lebar, tubuhnya diselimuti jubah emas berkilauan, dan di atas kepalanya bertengger sebuah mahkota bercahaya. Sosok itu penuh dengan keagungan, namun wajahnya memancarkan ketenangan dan kebijaksanaan.
Sosok itu melayang mendekati Anemo, berhenti hanya beberapa langkah darinya. "Anemo," suaranya bergema di kegelapan, dalam dan penuh kewibawaan. "Kau akhirnya menemukan jalur takdirmu."
Anemo menatap sosok itu dengan bingung. "Siapa… siapa kau?"
"Aku adalah bayangan dari masa lalu," jawab sosok itu. "Aku adalah Archon ke-3. Dan kau, Anemo, adalah ciptaanku sang penerus yang telah dipilih."
Anemo terdiam, tidak tahu harus berkata apa. "Ciptaanmu? Aku? Aku tidak mengerti… Apa maksudmu?"
Sosok itu melangkah lebih dekat, cahaya di sekelilingnya membuat kegelapan mundur. "Dengarkan aku, Anemo. Ribuan tahun yang lalu, aku, Archon ke-3, menciptakan kehidupan dan hukum di dunia ini bersama Archon lainnya. Namun, dalam siklus Archon, ada sesuatu yang disebut fusionisasi proses di mana seorang Archon yang lama akan mewariskan esensinya kepada penerusnya, menjadi satu dengan mereka, memastikan kesinambungan kekuatan."
Ia berhenti sejenak, menatap Anemo dengan lembut. "Namun, aku tidak sempat melakukannya. Aku terbunuh sebelum proses itu selesai. Dan tanpa fusionisasi, penerusku tidak bisa diciptakan secara sempurna. Tapi aku tahu bahwa takdir akan membawa ciptaanku kepadamu, pedang itu. Dan melalui pedang itulah kau akan menyadari siapa dirimu sebenarnya."
Anemo menggelengkan kepala, matanya bergetar. "Tunggu… kau mengatakan aku adalah penerusmu? Archon ke-4? Aku bahkan bukan dewa. Aku hanya manusia biasa!"
"Tidak, Anemo," sosok itu menjawab tegas. "Kau bukan manusia biasa. Kau adalah makhluk yang kubentuk sebelum aku wafat, satu-satunya yang memiliki esensi yang cukup untuk menjadi penerusku. Tapi kau akan menjadi Archon yang tidak sempurna, karena fusionisasi tidak terjadi. Meski begitu, takdir telah menuntunmu ke pedang itu, ke takdirmu yang sebenarnya."
Anemo mulai merasa dunianya runtuh. "Tapi… aku bahkan tidak tahu bagaimana menjadi seorang Archon. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
Sosok itu tersenyum. "Kau tidak harus tahu segalanya sekarang. Perjalananmu baru saja dimulai. Dunia akan mengujimu, dan kau akan belajar, sebagaimana aku dulu belajar. Tapi ingat, Anemo, takdirmu bukan hanya milikmu sendiri. Dunia ini membutuhkanmu."
Kegelapan di sekitar mereka mulai runtuh, digantikan oleh cahaya terang yang memaksa Anemo memejamkan matanya. Suara sosok itu menjadi lebih lembut, seolah menjauh. "Bangkitlah, Anemo. Terimalah takdirmu, dan jadilah cahaya bagi dunia ini…"
Anemo tersentak kembali ke dunia nyata, tubuhnya masih terlempar jauh ke udara akibat ledakan besar di dalam goa. Angin dingin menerpa wajahnya, tetapi fokusnya tertuju pada pedang di tangannya pedang itu memancarkan cahaya keemasan yang intens, terasa hidup, dan penuh kekuatan yang tak terbayangkan. Tubuhnya terasa ringan, namun pikirannya berat dengan kesadaran akan apa yang baru saja ia alami.
Ketika ia akhirnya mendarat dengan keras di tanah, seluruh area di sekitarnya terasa sunyi. Namun, tak jauh darinya, ular raksasa itu masih menunggu. Matanya yang besar seperti lampu menyala, memperhatikan Anemo dengan penuh kewaspadaan. Tubuh besar ular itu melingkar mengelilingi reruntuhan goa, menciptakan aura ancaman yang nyata.
Anemo segera teringat pada Metha. "Metha!" Ia berteriak panik, mencoba mencari sosok sahabatnya di sekitar. Namun ia tidak melihat tanda-tanda Metha, hanya reruntuhan yang masih mengepul dan ular raksasa itu yang tetap tak bergerak, seolah menunggu langkah berikutnya.
Kekhawatiran Anemo berubah menjadi rasa sakit dan kemarahan yang mendalam. Ia merasakan sesuatu bangkit dari dalam dirinya emosi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, percampuran antara kehilangan, ketakutan, dan kekuatan yang membuncah. Dadanya terasa seperti meledak, dan dalam sekejap, tubuhnya mulai bercahaya.
Dalam waktu kurang dari dua detik, tubuhnya berubah total. Kulitnya memancarkan warna emas menyala, sayap cahaya tumbuh dari punggungnya, dan matanya bersinar putih terang. Aura putih yang sangat kuat mengelilinginya, membentuk gelombang energi yang menyapu seluruh area. Langit yang sebelumnya cerah berubah mendung, penuh dengan awan gelap berkilat petir.
Ular raksasa itu menggeram, mencoba menilai kekuatan baru yang muncul di hadapannya. Namun, sebelum ia sempat bereaksi, tubuh Anemo memancarkan shockwave yang begitu kuat hingga tanah di sekitarnya retak, menciptakan kawah besar.
Anemo mengangkat pedangnya, yang kini menyatu dengan energi ilahinya, lalu melesat ke arah ular itu. Kecepatannya melampaui segala sesuatu yang bisa dipahami oleh makhluk fana 2 sextilion kali kecepatan cahaya. Dalam hitungan sepersekian detik, ia sudah berada di depan ular raksasa itu, pedangnya terangkat tinggi.
Ular itu hanya sempat membuka mulutnya, mungkin untuk berbicara, mungkin untuk menyerang. Namun sebelum satu kata pun terucap, pedang Anemo telah menebas tubuhnya. Cahaya emas yang muncul dari tebasan itu begitu terang sehingga seluruh Gunung Veldros terselimuti cahaya, seolah siang hari telah kembali.
Ketika cahaya mereda, tubuh ular itu sudah terbelah menjadi dua, tergeletak tak bernyawa di tanah. Energi yang terpancar dari tubuh Anemo mulai menghilang perlahan, tetapi perubahan pada dirinya tetap terasa. Ia tidak lagi sama. Kini ia tahu apa artinya menjadi penerus seorang Archon, dan kekuatan itu telah menjadi bagian dari dirinya.
Dengan napas terengah, ia kembali berlari menuju reruntuhan goa, berteriak mencari Metha. "Metha! Kau di mana?!"
Setelah beberapa saat mencari, ia menemukan Metha terbaring di bawah batu besar, terlindung dari ledakan. Kondisinya masih lemah, tetapi ia hidup. Anemo jatuh berlutut di sampingnya, memegang tangannya.
Metha membuka matanya perlahan, senyumnya tipis. "Kau berhasil… kau melakukannya, Anemo…"
Air mata menetes di pipi Anemo. Ia menggenggam tangan Metha lebih erat, merasakan kelegaan luar biasa. "Aku tidak akan membiarkanmu mati. Kita akan keluar dari sini bersama."
Langit yang gelap mulai cerah kembali, menunjukkan bahwa ancaman besar telah berlalu. Namun di dalam hati Anemo, ia tahu ini baru permulaan dari perjalanan panjangnya sebagai Archon yang belum sempurna. Takdir telah mulai memperlihatkan jalannya.
Akhir dari Chapter 5.