Angin dingin berhembus menusuk kulit saat Anemo berdiri di hadapan gerbang besar Gunung Veldros. Gerbang itu terbuat dari batu hitam legam dengan ukiran-ukiran kuno yang terlihat memudar oleh waktu. Di atasnya, ada simbol-simbol yang di ukir oleh
Namun, hati Anemo tidak tenang. Pikiran-pikiran meragukan mulai menyeruak, menutupi semangat yang sebelumnya membakar jiwanya.
"Bagaimana kalau semua ini hanya ilusiku? Bagaimana kalau aku hanya orang gila yang mencoba mencari arti dari sesuatu yang tidak pernah ada?" gumamnya sambil menatap ke kejauhan, seolah mencari jawaban di puncak gunung yang tertutup kabut itu
Metha, yang sedari tadi berjalan di sisinya, menghentikan langkahnya. Dengan tatapan lembut, ia memegang pundak Anemo.
"Anemo," katanya pelan namun tegas. "Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan kita temukan di sini. Tapi mengurung diri dalam ketakutan tidak akan membawamu ke mana pun. Kau telah sampai sejauh ini. Jika ini semua memang ilusi, maka buktikanlah bahwa itu salah. Dan jika ini kenyataan, bukankah kau ingin mengetahuinya? Satu-satunya jalan adalah dengan melangkah maju."
Kata-kata Metha seperti embusan angin segar yang menghapus kabut di hatinya. Anemo menarik napas dalam-dalam, menenangkan debar jantungnya.
"Kau benar," jawabnya dengan suara yang mulai mantap. "Aku tidak akan berhenti di sini. Jika ini semua memang tak nyata, maka aku sendiri yang akan menghancurkan ilusi ini."
Dengan keberanian yang baru ditemukan, Anemo dan Metha melangkah melewati gerbang itu.
Di balik gerbang, suasana berubah drastis. Jalan berbatu yang mereka lalui penuh dengan kristal-kristal biru yang menyala lembut. Pepohonan tinggi dengan daun perak bergemerisik saat angin lewat, menciptakan melodi yang menenangkan sekaligus menyeramkan. Suara air mengalir terdengar dari kejauhan, sementara burung-burung aneh dengan bulu bercahaya beterbangan di langit.
Namun, ada sesuatu yang ganjil. Di sepanjang perjalanan, mereka mulai menemukan reruntuhan bangunan kecil. Beberapa di antaranya masih utuh, seperti altar dan patung-patung yang menggambarkan sosok bersayap.
"Sepertinya ini peninggalan para Aliansi kuno," Metha berkata sambil menyentuh salah satu patung. "Apakah ini berhubungan dengan Archon?"
Anemo menatap patung bersayap itu dengan penuh perhatian. Ada sesuatu yang aneh. Begitu ia mendekat, tubuhnya terasa hangat, seperti ada arus energi yang mengalir dari patung itu menuju dirinya.
"Metha," kata Anemo perlahan, matanya tetap terpaku pada patung itu. "Aku bisa merasakan sesuatu… Energi yang sangat kuat. Seolah-olah patung ini dapat berkomunikasi dengan diriku."
Metha menoleh dengan alis mengerut, memperhatikan perubahan di sekitar mereka. "Energi? Kau yakin ini bukan ilusi lagi?"
Anemo mengangguk. "Tidak, ini nyata. Dan ini mengingatkanku pada sesuatu."
"Guruku pernah bercerita tentang Archon. Katanya, mereka hanya pernah mengunjungi Bumi 4 kali sepanjang sejarah."
Metha mendengarkan dengan seksama, rasa ingin tahunya terlihat jelas di wajahnya. "Empat kali? Kapan saja itu?"
Anemo menatap patung bersayap itu lagi, seolah mencoba memahami maknanya. "Pertama, saat Bumi diciptakan. Archon turun untuk membentuk dunia ini dari kehampaan."
Ia berhenti sejenak, mencoba merangkai kata-kata berikutnya. "Kedua, saat kehidupan diciptakan. Mereka datang untuk memberi nafas pada makhluk-makhluk pertama di dunia ini."
"Ketiga?" Metha bertanya, terhanyut dalam cerita itu.
"Ketiga, saat hukum alam diciptakan. Waktu itu mereka datang untuk memastikan keseimbangan dunia: siang dan malam, hidup dan mati, cahaya dan kegelapan."
Anemo terdiam sebentar, tatapannya penuh keraguan dan beban. "Tapi yang keempat…"
Metha menyipitkan matanya. "Apa yang terjadi pada kunjungan keempat mereka?"
"Itulah yang menjadi misteri," jawab Anemo pelan. "Tidak ada yang tahu. Guruku hanya mengatakan bahwa Archon pernah mengunjungi Bumi untuk keempat kalinya, tapi tidak ada catatan atau cerita tentang apa yang mereka lakukan atau kapan itu terjadi. Bahkan ia sendiri tidak tahu."
Metha menghela napas, mencoba memahami implikasi dari apa yang baru saja didengarnya. "Jadi… patung ini, reruntuhan ini, mungkin merupakan peninggalan yang berkaitan dengan kunjungan mereka?"
"Aku tidak tahu," Anemo mengakui. "Tapi aku merasa… ini lebih dari sekadar kebetulan. Tempat ini, energi yang kurasakan… semuanya seperti mencoba menyampaikan sesuatu."
Saat mereka bersiap melanjutkan perjalanan, Metha tiba-tiba menyipitkan mata, memperhatikan lebih dekat permukaan patung bersayap itu.
"Anemo, tunggu sebentar," katanya, sambil menunjuk ke bagian bawah patung. "Ada ukiran di sini. Sepertinya aku melewatkannya tadi."
Anemo mendekat, berjongkok di samping Metha untuk melihat lebih jelas. Ukiran itu halus namun masih terbaca. Tulisannya membentuk kalimat dengan huruf-huruf melengkung yang terasa asing namun tidak sepenuhnya tak dikenal. Metha menyentuh ukiran itu, matanya penuh konsentrasi.
"Sis ni tier pu goa, Veldros wa ji um sia," Metha membaca perlahan.
Anemo mengerutkan dahi. "Apa itu? Aku tidak mengerti bahasanya."
Metha duduk bersila di depan patung, masih memeriksa ukiran itu dengan saksama. "Ini bahasa kuno. Aku pernah membacanya dalam manuskrip di perpustakaan Guild Luminous. Bahasa ini dikenal sebagai Bahasa Dewa, yang katanya diciptakan oleh Archon kedua untuk mempermudah komunikasi antar makhluk hidup pertama."
Anemo terlihat terkejut. "Bahasa yang diciptakan Archon kedua? Jadi ini… benar-benar peninggalan mereka?"
"Itu masih menjadi mitos," jawab Metha sambil menggeleng pelan. "Tidak ada bukti pasti, tapi memang banyak peninggalan Aliansi kuno yang menggunakan bahasa ini."
Ia kembali menatap ukiran itu, mencoba mengingat pelajaran-pelajaran lamanya. "Aku tahu sedikit tentang cara mengartikan bahasa ini. Tapi kalimat ini… rumit."
"Kau bisa menerjemahkannya?" Anemo bertanya, rasa ingin tahunya semakin besar.
Metha mengangguk ragu. "Aku bisa mencoba. Kalimat ini terfragmentasi, tapi mari kita lihat… Sis ni tier bisa diartikan sebagai 'Dia yang terpilih.' Kemudian, pu goa… mungkin berarti 'ke dalam gua.' Dan bagian terakhir, Veldros wa ji um sia…" Metha berhenti sejenak, berpikir keras.
"Veldros adalah nama gunung ini," katanya akhirnya. "Tapi kata-kata berikutnya, ji um sia, aku rasa itu berarti sesuatu seperti 'akan menemukan jalan.' Jadi… mungkin kalimat ini berbunyi, 'Dia yang terpilih akan menemukan jalan ke dalam goa Veldros.'"
Anemo merenung sejenak, mencoba mencerna arti dari kata-kata itu. "Dia yang terpilih… Apa ada goa di gunung ini yang harus kita cari?"
Metha berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang berdebu. "Bisa jadi. Kalimat ini jelas semacam petunjuk."
Anemo mengangguk perlahan. "Kalau begitu, kita harus menemukan goa itu."
Metha tersenyum tipis, meski rasa gugup masih menyelimuti dirinya. "Sepertinya jalan kita baru saja dimulai."
Mereka melanjutkan perjalanan, kini lebih waspada terhadap setiap petunjuk yang mungkin mengarahkan mereka ke goa yang dimaksud. Jalan berbatu berubah semakin curam, dan suara gemuruh air terdengar semakin dekat, seperti memanggil mereka menuju sesuatu yang besar.
Di benaknya, Anemo bertanya-tanya apakah ini semua benar-benar nyata, atau hanya permainan takdir yang membawa mereka lebih dekat kepada sesuatu yang belum siap mereka hadapi.
Namun, perjalanan mereka tiba-tiba terhenti ketika sekelompok penjaga muncul dari balik pepohonan. Mereka mengenakan jubah hitam dengan lambang kuno yang menyerupai bulan sabit di dada mereka, dan setiap dari mereka memegang senjata, mulai dari tombak hingga pedang panjang. Wajah mereka tertutup topeng kayu, hanya mata mereka yang tampak bersinar tajam di baliknya.
"Sampai di sini saja perjalanan kalian," ujar salah satu penjaga dengan suara berat. "Gunung Veldros adalah wilayah terlarang. Kalian tidak diizinkan untuk melangkah lebih jauh."
Metha maju satu langkah, mencoba berbicara. "Kami tidak berniat merusak apapun. Kami hanya mencari jawaban atas—"
"Pergi sekarang," potong penjaga itu kasar, senjatanya terangkat. "Gunung ini telah tertutup sejak Archon ke-3 wafat, 500 tahun lalu. Tidak ada yang diizinkan masuk, dan alasanmu tidak berarti apa-apa di sini."
Anemo melangkah maju, mencoba ikut menjelaskan. "Tunggu, dengarkan kami. Aku merasa ada sesuatu di sini—"
"Kami tidak peduli!" bentak salah satu penjaga. "Keluar, atau kami akan memaksa kalian!"
Para penjaga mulai bergerak mendekat, mengangkat senjata mereka. Metha menatap Anemo dengan gugup, tahu bahwa mereka tidak akan bisa berbicara lebih jauh. Namun, di tengah kekacauan itu, pandangan Metha jatuh pada sesuatu yang tergeletak di tanah, sebatang tombak tua yang tampaknya milik salah satu penjaga.
Tanpa berpikir panjang, Metha meraih tombak itu dengan cepat dan menyerang salah satu penjaga, menghantamnya hingga tersungkur. Serangan mendadak itu membuat kelompok penjaga terkejut, memberi Metha waktu untuk menyerang penjaga lainnya.
Anemo berdiri terpaku sejenak, tak tahu harus berbuat apa. Namun, dalam ingatannya, ia teringat pada sebuah dagger yang pernah diberikan Metha sebelumnya. Dengan tangan gemetar, ia meraih dagger itu dari balik sabuknya.
"Aku tidak akan membiarkan Metha bertarung sendiri," gumamnya pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan dirinya untuk melawan.
Ketika salah satu penjaga mendekat, Anemo dengan gugup namun sigap menusukkan dagger ke arah penjaga itu. Serangan itu tidak terlalu kuat, tetapi cukup untuk membuat penjaga tersebut mundur. Metha memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang balik, menghabisi penjaga satu per satu.
Meski Anemo
Dalam beberapa menit, mereka berhasil mengalahkan para penjaga. Beberapa dari mereka melarikan diri, sementara sisanya tergeletak tak berdaya di tanah.
Metha menarik napas panjang, berdiri dengan tombak di tangannya. "Kau baik-baik saja, Anemo?"
Anemo mengangguk, meski tubuhnya gemetar karena adrenalin.
Anemo menatap para penjaga yang jatuh itu dengan perasaan campur aduk. "Mereka menyebut gunung ini terlarang sejak Archon ke-3 wafat… Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Metha menggeleng. "Aku juga ingin tahu. Tapi jawaban itu mungkin ada di dalam gunung ini. Dan kita tidak akan menemukannya jika kita berhenti sekarang."
Dengan keberanian yang diperbarui, mereka berdua melanjutkan lagi dan lagi perjalanan mereka, semakin dalam menuju misteri yang disembunyikan oleh Gunung Veldros.
Anemo dan Metha melanjutkan perjalanan mereka, menapaki jalan setapak yang semakin sunyi dan tertutup oleh pepohonan berdaun perak. Cahaya kristal-kristal biru di sekitar mereka mulai meredup, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Meski lelah dan terluka setelah pertempuran sebelumnya, keduanya terus berjalan dengan tekad yang tak tergoyahkan.
Setelah beberapa jam berjalan, mereka tiba di sebuah dataran terbuka yang dikelilingi tebing-tebing tinggi. Di tengahnya berdiri sebuah bangunan kuno yang megah meski sudah diliputi keruntuhan. Pilar-pilar besar yang dihiasi ukiran simbol-simbol misterius menopang atap yang sebagian besar telah runtuh. Dinding-dindingnya penuh dengan pahatan yang menggambarkan sosok-sosok besar dengan sayap cahaya, seolah menggambarkan kisah-kisah para Archon.
"Ini… luar biasa," Metha berbisik kagum, matanya menyapu seluruh bangunan. "Tempat ini jelas peninggalan kuno. Tapi kenapa ditinggalkan begitu saja?"
Di bagian tengah ruangan utama bangunan itu, mereka menemukan sebuah pintu besar yang terbuat dari logam berkilauan, tampak tidak terpengaruh oleh waktu. Di tengah pintu tersebut, terdapat sebuah slot berbentuk seperti bulan sabit, sama seperti lambang yang ada di dada penjaga yang menghadang mereka.
"Pintu ini… membutuhkan kunci," Metha berkata sambil menyentuh permukaan pintu.
"Sepertinya hanya ada satu cara untuk mengetahuinya," Metha berkata, mendesaknya untuk mencoba.
Saat mereka merenungkan bagaimana cara mendapatkan kuncinya, tiba-tiba..
Akhir dari Chapter 4.