Chereads / The Ascension of Anemo / Chapter 3 - Anemo

Chapter 3 - Anemo

Ketika tidak menemukan apa-apa di meja, ia beralih ke lemari tua di sudut ruangan. Pintu lemari itu sedikit berderit saat dibuka, menampakkan kain-kain lusuh dan beberapa kotak kayu kecil. Ia merogoh kotak-kotak itu, mengabaikan debu yang menyelimuti tangannya.

"Tidak ada apa-apa di sini... Atau mungkin..."

Pandangan Anemo tertuju pada peti kayu besar yang tersimpan di bawah tempat tidur gurunya. Peti itu terkunci dengan rantai kecil yang sudah berkarat. Jantungnya berdegup kencang.

"Apa ini? Kenapa dia menyembunyikannya?" Anemo berbisik pada dirinya sendiri.

Tanpa berpikir panjang, ia menggunakan dagger yang diberikan oleh Metha untuk memutus rantai itu. Peti terbuka dengan suara berat. Di dalamnya, ia menemukan sesuatu yang membuat napasnya tertahan:

Sebuah jurnal tua dengan sampul kulit yang mulai lapuk. Di halaman pertama, tertulis dengan tinta tebal:

"Kematian Sang Dewa"

Tangannya gemetar saat memegang jurnal itu. Ia membuka halaman berikutnya dengan perlahan, matanya menyapu tulisan tangan yang tidak asing lagi tulisan gurunya sendiri.

Namun, sebelum ia sempat membaca lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. Anemo membeku, menoleh, dan mendapati gurunya berdiri di sana. Tatapan pria tua itu tajam, namun di balik matanya tersirat kesedihan mendalam.

"Anemo... apa yang kau lakukan?" tanya gurunya dengan nada datar, tetapi ada kekuatan di balik suaranya yang membuat Anemo merasa bersalah.

Namun, Anemo tak bisa menahan dirinya lagi. Dengan suara bergetar, ia bertanya,

"Siapa aku sebenarnya, Guru? Siapa orang tuaku? Apa yang kau sembunyikan dariku?"

Gurunya terdiam, memandang Anemo seolah sedang menimbang apakah waktunya sudah tiba untuk mengungkap kebenaran yang selama ini disimpan rapat.

Gurunya menatap Anemo dalam-dalam, lalu menarik napas panjang, seolah sedang mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Suasana di ruangan itu menjadi sunyi, hanya suara desir angin dari celah jendela yang terdengar.

"Aku tahu saatnya akan tiba... saat kau menanyakan pertanyaan ini." kata pria tua itu dengan suara rendah, seraya melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Ia berjalan perlahan ke meja, mengambil kursi, lalu duduk di hadapan Anemo yang masih menggenggam jurnal tua itu.

"Anemo." katanya, suaranya berat, "Aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya. Aku juga tidak tahu siapa orang tuamu. Satu-satunya hal yang aku tahu... adalah bagaimana aku menemukanmu."

Anemo menatap gurunya dengan penuh kebingungan dan harapan, mencari kebenaran dalam setiap kata yang akan diucapkan.

"Delapan belas tahun lalu." lanjut gurunya, matanya menerawang seolah mengingat sesuatu yang jauh, "aku sedang dalam perjalanan menyusuri lembah di utara sini, di dekat Sungai Celestara. Hari itu, aku mendengar tangisan. Tangisan bayi."

Anemo menggigit bibirnya, hatinya berdebar-debar mendengar cerita itu.

"Saat aku mendekati sumber suara, aku menemukanmu," gurunya melanjutkan, "Terbungkus dalam kain lusuh, diletakkan di tepi sungai. Tidak ada tanda-tanda siapa yang meninggalkanmu di sana. Hanya kau... dan air yang mengalir membawa daun-daun, seolah alam sendiri menjagamu agar tetap hidup."

Gurunya terdiam sejenak, tatapannya melembut. "Kau sangat kecil, rapuh, dan dingin. Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi aku tahu aku tidak bisa meninggalkanmu di sana. Jadi aku membawamu pulang."

Anemo merasa matanya memanas, emosinya bercampur aduk antara rasa syukur dan kebingungan. "Dan kau memberiku nama Anemo?"

Gurunya mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya. "Ya. Nama itu terlintas begitu saja dalam pikiranku. 'Anemo' berarti 'angin' dalam bahasa kuno. Entah kenapa, angin di sekitar kita terasa begitu tenang saat aku menemukanmu. Seolah ada sesuatu yang menjaga dan mengawasi kita."

Anemo memandang jurnal di tangannya, suaranya bergetar saat bertanya, "Tapi... kenapa aku tidak pernah diberitahu sebelumnya? Kenapa kau tidak pernah cerita tentang ini?"

Pria tua itu menunduk, seolah merasa bersalah. "Karena aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya padamu. Aku juga tidak ingin kau merasa... kehilangan. Kau adalah anakku, Anemo, meski bukan dari darahku. Aku hanya ingin kau merasa memiliki tempat di dunia ini."

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Anemo menatap jurnal tua itu, lalu menatap gurunya dengan tatapan yang dipenuhi pertanyaan.

"Jadi... apa maksud jurnal ini? Apa hubungannya dengan aku?"

Gurunya tampak terkejut, matanya menatap jurnal itu dengan tajam. "Jurnal itu... aku menuliskan banyak hal di sana, termasuk beberapa hal yang tidak bisa kumengerti tentang masa lalu. Celestara, sungai tempat aku menemukanmu, bukan sungai biasa. Ada legenda tentangnya... bahwa sungai itu pernah menjadi saksi kuasa seorang Archon. Tapi aku tidak tahu apakah itu hanya mitos atau kenyataan."

"Archon?" tanya Anemo dengan suara berbisik.

Gurunya mengangguk. "Archon ke-2. Dikatakan bahwa ketika dia turun ke bumi, ia mengukir sungai Celestara dengan kekuatannya, sungai itu membentang sangat jauh, dipercaya jika sungai tersebut langsung terhubung dengan surga, namun lagi-lagi aku tidak tahu apakah itu hanya mitos atau nyata."

Anemo menggenggam jurnal itu lebih erat. Pikirannya berkecamuk, antara rasa tak percaya dan ketertarikan pada kebenaran yang perlahan muncul.

"Kalau begitu." katanya pelan, "aku harus menemukan jawabannya. Aku harus tahu siapa aku sebenarnya... dan kenapa aku ditemukan di sana."

Gurunya terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Aku tahu suatu hari kau akan mengatakan itu. Kalau begitu, pergilah, Anemo. Tapi ingatlah ini: dunia di luar sana tidak selalu ramah. Apa pun yang kau temukan, hadapilah dengan hati yang teguh. Karena meskipun aku tidak tahu dari mana asalmu, bagiku, kau adalah seorang anak yang luar biasa."

Dengan itu, sebuah perjalanan baru mulai tergambar di hati Anemo, perjalanan untuk menemukan asal-usulnya dan menjawab misteri yang melingkupinya.

Tak lama dari itu, Anemo berjalan dengan langkah mantap menuju Sungai Celestara. Udara di sekitarnya terasa semakin berat, seolah menyelimuti tubuhnya dengan keheningan yang menggetarkan. Sungai itu terlihat tenang, aliran airnya yang jernih berkilauan di bawah sinar matahari yang perlahan mulai tenggelam di balik pegunungan. Namun, sesuatu yang tak tampak di sana seolah mengundang Anemo untuk mendekat.

Saat kakinya menginjak tanah yang basah di dekat tepi sungai, sebuah getaran halus mulai terasa. Perlahan, getaran itu berubah menjadi kekuatan yang semakin kuat, merasuki tubuhnya hingga ke tulang belulang. Setiap langkah yang diambilnya seolah mengundang lebih banyak energi yang mengalir dari dalam bumi, menggetarkan udara sekitar dengan kekuatan yang tak terlihat.

Anemo berhenti sejenak, merasakan bahwa kekuatan ini semakin menyusup ke dalam dirinya. Suara desiran air terdengar begitu jelas, namun seiring dengan itu, suara lain mulai terdengar di telinganya, seperti bisikan jauh dari kedalaman dunia. Kekuatan itu seakan meremas dirinya, tubuhnya mulai lemas dan pusing. Anemo merasakan tekanan yang begitu hebat, seolah tubuhnya tak bisa menahan energi yang mengalir begitu deras.

"Ahh...!" teriaknya perlahan, sebelum akhirnya tubuhnya jatuh ke tanah, terhempas oleh kekuatan yang begitu dahsyat.

Namun, meskipun tubuhnya lemah, hatinya tetap tegar. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Anemo bangkit perlahan, menegakkan tubuhnya, meskipun gemetar. Dari dalam dirinya, rasa penasaran dan keberanian membara, seolah ada sesuatu yang menariknya untuk terus berdiri.

Ia menatap sungai yang tenang di hadapannya dan kemudian berteriak, suaranya menggelegar di udara yang hening.

"Siapa aku sebenarnya?! Kenapa aku ditemukan di sini?! Apa hubungan aku dengan kekuatan ini? Apa yang terjadi di sungai ini?!"

Teriakannya menggema di sekitar, melayang di atas permukaan sungai yang luas. Tetapi, selama beberapa detik yang terasa seperti keabadian, tidak ada jawaban yang datang. Hanya angin yang berdesir pelan, dan gemericik air yang terus mengalir, seolah alam tidak peduli.

Anemo terdiam, hatinya mulai dipenuhi keraguan. Mungkin ia telah keliru. Mungkin sungai ini memang tidak ada hubungannya dengan dirinya. Dia merasa tak ada yang akan memberi jawaban padanya. Tiba-tiba, rasa kecewa menyelimutinya.

Dengan langkah lemas, Anemo memutuskan untuk berbalik dan berjalan pulang. Ia mulai melangkah menjauh dari sungai, berusaha mengatasi kekecewaan dalam hatinya. Namun, saat ia baru saja berbalik, tiba-tiba... suara itu terdengar.

Suaranya tidak jelas, seperti datang dari kejauhan yang tak terjangkau. Tapi meskipun samar, suara itu memanggil namanya, bergema di telinga Anemo.

"Anemo... Anemo..."

Anemo terhenti. Kakinya terasa membeku, jantungnya berdegup lebih cepat, dan seluruh tubuhnya merinding. Suara itu... datang dari mana? Ia menoleh dengan cepat, berharap bisa menemukan siapa atau apa yang berbicara. Tapi tak ada siapa-siapa di sekitar sungai. Hanya semak-semak dan pohon-pohon yang tampak diam.

"Siapa itu?!" teriaknya, suaranya mengandung kekaguman dan ketakutan.

Namun, lagi-lagi, hanya kesunyian yang menjawab. Sebuah angin ringan berhembus, menyapu wajah Anemo, dan suara itu kembali terdengar, lebih jelas, lebih dalam.

"Anemo... kamu... adalah bagian dari takdir... sebuah takdir yang terhubung dengan kami."

Kali ini, suara itu terdengar lebih jelas, seolah berasal dari dalam dirinya. Kekuatan yang mengalir dari sungai itu semakin kuat, dan Anemo merasa sesuatu yang jauh lebih besar sedang mengamati dirinya, seperti sesuatu yang tak tampak, namun sangat nyata.

Tersentak, Anemo merasakan jantungnya berdegup sangat cepat. Ia mulai merasakan kedalaman dari apa yang sedang terjadi. Sungai ini... mungkin lebih dari sekadar tempat biasa. Ini adalah tempat yang penuh dengan misteri, dan ia kini terjebak dalam jaring takdir yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

"Takdir?" gumamnya, tubuhnya tergetar oleh kata itu. "Apa yang kamu maksudkan?"

Anemo menatap sungai dengan penuh kebingungan, pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Takdir? Apa yang dimaksud dengan takdir yang terhubung dengannya? Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, tiba-tiba dunia sekitarnya mulai bergetar. Tanah di bawah kakinya mulai terasa tidak nyata, dan angin yang semula berhembus lembut kini berubah menjadi angin kencang yang memutar-mutar sekitarnya.

Dalam sekejap, Anemo merasakan tubuhnya terangkat, seolah-olah ia tersedot ke dalam kekosongan yang tak terlihat.

Tubuhnya terhuyung-huyung di udara yang gelap, terombang-ambing tanpa arah, seolah berada di ruang yang tak lagi terikat oleh waktu atau ruang. Ia merasa seperti melayang di tengah kegelapan yang luas, tidak tahu di mana ia berada, hanya ada dirinya dan kehampaan yang membungkusnya. Ketakutan mulai merayapi dirinya, tetapi di saat yang bersamaan, ada perasaan aneh, perasaan bahwa ia sedang menuju ke suatu tempat yang penting.

Lalu, di tengah kegelapan itu, sebuah cahaya tiba-tiba muncul, menyinari ruang kosong di sekitarnya. Cahaya itu berwarna kuning keemasan, lembut namun begitu kuat, menyinari dirinya dengan kehangatan yang tak terlukiskan. Cahaya itu membesar dan membentuk sosok yang megah. Seolah cahaya itu membentuk tubuh dari entitas yang tak tampak, sosok yang tak dapat dijelaskan, tetapi jelas memancarkan kekuatan yang luar biasa. Tubuhnya berkilauan, penuh dengan cahaya, dengan sayap yang terbentang luas, seolah-olah ia adalah malaikat atau makhluk yang berada di atas segala sesuatu yang biasa.

Anemo tertegun, terpesona oleh kehadiran sosok itu. Entitas tersebut memandangnya dengan mata yang tampak seperti menyinari kegelapan dengan kebijaksanaan yang tak terhingga.

"Anemo..." suara itu menggema dengan keheningan yang dalam, namun sangat jelas dan penuh kekuatan. "Aku adalah takdir yang terhubung dengan dirimu. Aku adalah entitas yang melingkupimu, yang membimbing jalammu, yang menjadi bagian dari perjalananmu yang tak terhindarkan."

Anemo merasa jantungnya berdegup cepat. Setiap kata yang keluar dari sosok tersebut seperti membangunkan sesuatu yang sangat mendalam dalam dirinya, tetapi juga membingungkan.

"Takdir?" tanya Anemo, suaranya bergetar. "Apa maksudmu? Apa yang harus aku cari? Apa yang harus aku ketahui?"

Entitas itu mengangkat tangannya, dan seketika itu juga, seluruh kegelapan yang melingkupi Anemo terbelah. Di sekelilingnya, gambar-gambar bayangan mulai muncul—gambar-gambar yang berkaitan dengan masa lalu yang tak ia ingat. Ia melihat gambaran dirinya sebagai seorang bayi di tepi sungai Celestara, kemudian berubah menjadi remaja yang dibesarkan oleh gurunya. Semua bayangan itu berputar, seperti sebuah roda waktu yang bergerak cepat.

"Kau harus mencari tahu apa aku, Anemo," suara itu kembali terdengar, lebih tegas namun penuh kehangatan. "Kau harus mencari tahu siapa dirimu, karena hanya dengan mengetahui siapa dirimu, kau akan mengetahui siapa aku. Takdirmu dan takdirku telah terjalin sejak lama, dan perjalananmu baru saja dimulai. Jika kau berhasil menemukan jawabannya, maka kau akan mengetahui segalanya tentang dunia ini, tentang asal-usulmu, dan tentang kekuatan yang mengalir dalam dirimu."

Anemo merasa dunia di sekelilingnya semakin terungkap, dan suatu pemahaman mulai menyusup dalam dirinya. Ada sebuah kekuatan yang terpendam, tersembunyi dalam dirinya yang selama ini tidak ia sadari. Ia merasa seolah-olah ia telah dipersiapkan untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak hanya berhubungan dengan dirinya, tetapi juga dengan keseimbangan dunia itu sendiri.

"Tapi, bagaimana aku bisa menemukan jawabannya?" tanya Anemo, kini dengan tekad yang lebih kuat. "Dimana aku harus mulai?"

Entitas itu tersenyum, meskipun tidak ada ekspresi wajah yang jelas, senyuman itu terasa melalui getaran suara yang keluar dari dalamnya.

"Jawaban itu ada dalam perjalananmu. Kau akan menemukannya dalam setiap langkah yang kau ambil. Dan ingat, Anemo, hanya dengan memahami takdirmu, kau akan mengerti kekuatan yang sebenarnya ada di dalam dirimu."

Setelah mengatakan itu, cahaya kuning yang membentuk sosok itu mulai meredup, dan seiring dengan berkurangnya cahaya, sosok itu menghilang, menyisakan Anemo kembali dalam kegelapan yang hening.

Anemo terbangun dengan tubuh yang terasa lelah dan bingung. Matanya membuka perlahan, disambut oleh langit biru yang cerah dan udara segar yang mengalir di sekitar sungai Celestara. Ia terbaring di tepi sungai, dikelilingi oleh rerumputan yang basah oleh embun pagi. Kepalanya masih terasa pusing, dan ingatan tentang apa yang baru saja terjadi berputar-putar di benaknya seperti mimpi yang sulit dijelaskan.

Saat ia mencoba untuk duduk, sebuah suara familiar terdengar dari sampingnya. "Anemo, kau akhirnya bangun." suara itu penuh kelegaan, dan ketika Anemo menoleh, ia melihat Metha berdiri di sampingnya, tatapannya penuh kecemasan.

"Metha?" Anemo bertanya dengan suara serak, masih berusaha memahami apa yang terjadi. "Kapan kau sampai di sini?"

Metha menghela napas, tampak lega meskipun wajahnya masih penuh kekhawatiran. "Aku menemukannmu pingsan di tepi sungai ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi aku cukup khawatir setelah melihatmu terjatuh begitu saja."

Anemo mengingat kembali kejadian sebelum ia pingsan, pertemuannya dengan entitas cahaya, pernyataan tentang takdir, dan suara yang memanggil namanya. Semua itu terasa begitu nyata, namun sekarang, ia terbangun di sini, di pinggir sungai ini, tanpa tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Mungkin aku... hanya pusing." Anemo berkata pelan, mencoba untuk berdiri, dibantu oleh Metha. "Aku merasa ada sesuatu yang besar terjadi, Metha. Aku... aku merasa seperti aku baru saja diberi tahu sesuatu yang sangat penting."

Metha menatapnya dengan cemas, tetapi tidak berkata apa-apa. Mereka berdua berjalan bersama menuju ke markas Guild, tempat yang sudah menjadi rumah kedua bagi Anemo. Setibanya di markas, Anemo merasa seolah-olah ada sesuatu yang harus ia temukan, sesuatu yang berkaitan dengan takdirnya, dan dia tahu itu ada di sini.

Sesampainya di dalam markas, Anemo langsung menuju ruang arsip, tempat di mana berbagai catatan tentang sejarah dan objek-objek penting disimpan. Di dalam ruangan itu, di antara tumpukan perkamen dan buku tua, Anemo menemukan sebuah papan besar yang menampilkan daftar objek-objek yang terkait dengan Archon ke-3.

"Tunggu, lihat ini." Anemo berkata kepada Metha, menunjuk pada papan yang memuat tulisan besar yang tertulis dengan tinta merah. Di bawah tulisan itu ada beberapa gambar dan deskripsi tentang objek-objek yang diyakini pernah ditempati atau digunakan oleh Archon ke-3.

Salah satu gambar menarik perhatian Anemo. Itu adalah gambar sebuah pedang kuno yang terukir dengan simbol yang sama dengan yang ia lihat dalam mimpinya. Pedang itu terlihat sangat tua, namun aura kekuatannya begitu kuat, seolah-olah pedang tersebut memiliki kemampuan luar biasa yang dapat mengubah nasib dunia.

"Ini... ini pedang yang aku lihat dalam visiku." Anemo bergumam, matanya membesar saat ia mengamati lebih dekat. "Aku merasa seperti ini adalah bagian dari takdirku. Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang pedang ini."

Metha mengangguk, meskipun masih merasa bingung dengan perubahan mendalam yang dialami oleh Anemo. "Ini bisa jadi petunjuk penting. Jika pedang ini benar-benar memiliki hubungan dengan Archon ke-3, maka mungkin ada sesuatu yang besar yang menantimu."

Anemo merasa hatinya berdebar semakin cepat. Ia tahu bahwa perjalanan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak hanya melibatkan dirinya, tetapi juga seluruh dunia yang sedang berada di ambang kehancuran akibat perpecahan antar desa dan kekosongan yang ditinggalkan oleh wafatnya Archon ke-3.

"Kita harus menemukannya," kata Anemo, penuh tekad. "Ini adalah bagian dari takdirku. Aku harus tahu siapa aku, dan apa yang harus aku lakukan untuk mengubah dunia ini."

Metha terlihat kebingungan saat mereka berjalan di sepanjang lorong markas Guild. Walaupun ia sudah lama mengenal Anemo, ia tidak pernah melihat temannya tampak sebingung dan seberat ini. Anemo yang biasanya ceria dan penuh semangat, kini hanya terlihat serius dan terus merenung, seolah-olah ada beban berat yang menghimpitnya.

"Anemo," Metha akhirnya memberanikan diri bertanya, "apa sebenarnya yang terjadi padamu? Kenapa tiba-tiba kau ingin mencari tahu siapa dirimu? Selama ini aku tahu kau merasa tidak memiliki masa lalu, tapi kenapa sekarang ini menjadi begitu penting?"

Anemo menghela napas panjang, menatap rekannya dengan mata yang penuh keraguan. "Aku… aku tidak tahu, Metha. Aku merasa ada sesuatu yang besar yang telah disembunyikan dariku, sesuatu yang berhubungan dengan takdirku. Aku… merasa seperti aku harus mencari tahu siapa aku sebenarnya, meskipun itu berarti aku harus menggali masa lalu yang terlupakan."

Metha berhenti berjalan sejenak, matanya masih bingung. Ia memang tahu sedikit tentang masa lalu Anemo, bahwa ia ditemukan oleh gurunya di pinggir Sungai Celestara saat masih bayi, namun dia tidak pernah tahu lebih banyak dari itu. "Aku… aku tidak mengerti. Kenapa tiba-tiba kamu merasa perlu tahu tentang itu sekarang?"

Anemo tidak langsung menjawab. Ia terus berjalan dengan langkah yang sedikit ragu, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Aku tidak tahu, Metha. Tadi di sungai… aku merasakan sesuatu yang kuat. Sesuatu yang menghubungkanku dengan takdir ini. Dan entah kenapa, suara itu, suara misterius itu, sepertinya tahu lebih banyak dari yang aku bayangkan. Rasanya… rasanya aku sedang dipandu untuk mencari sesuatu. Tapi kenapa sekarang? Kenapa setelah aku ke sana, setelah aku mendengar suara itu?"

Sebelum Metha bisa melanjutkan percakapan, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas dari sebelumnya. Suara yang berbisik langsung ke telinga Anemo, membuat tubuhnya serasa tersentak.

"Veldros... Veldros... Veldros..." Suara itu berulang kali menyebut nama gunung tersebut, seolah-olah itu adalah tempat yang sangat penting bagi takdir Anemo.

Anemo berhenti tiba-tiba, matanya terbelalak, kebingungan bercampur rasa takut. "Itu… itu lagi," gumamnya pelan. "Kenapa aku mendengarnya sekarang? Kenapa nama Gunung Veldros terus berulang-ulang dalam pikiranku?"

Metha menoleh ke Anemo dengan cemas. "Ada apa, Anemo? Apa yang kamu dengar?"

Anemo memejamkan matanya sejenak, mencoba meresapi suara itu, berusaha untuk memahami maknanya. "Suara itu… aku mendengarnya lagi. Nama Gunung Veldros terus terngiang di telingaku. Aku rasa… aku harus pergi ke sana. Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa setelah aku pergi ke Sungai Celestara? Ada apa dengan tempat itu?"

Metha semakin bingung, tapi ia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang sangat besar yang sedang terjadi pada Anemo. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan mudah. "Anemo, aku tahu kau merasa terikat dengan takdirmu, tapi kenapa harus Gunung Veldros? Apa hubungannya dengan semua ini?"

Anemo berjalan mundur beberapa langkah, bingung dan terperangah. "Itu yang aku tidak tahu, Metha. Seperti aku sedang dibimbing oleh sesuatu yang lebih besar, namun aku tidak tahu siapa atau apa itu. Aku tidak tahu kenapa takdirku harus membimbingku ke kebenaran, seolah-olah aku tak bisa menemukannya sendiri."

Anemo berhenti sejenak, menatap Metha dengan mata yang penuh pertanyaan. "Kenapa aku tidak bisa mencari jawabannya sendiri? Kenapa suara itu, atau apapun yang mengendalikan takdirku, harus ikut campur?"

Metha mengangkat bahu, masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada temannya. "Aku tidak tahu, Anemo. Mungkin ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi. Tapi satu hal yang aku tahu, kau tidak bisa mengabaikan ini. Jika kamu merasa dipanggil ke Gunung Veldros, kita harus pergi ke sana. Mungkin itu akan membawa kita pada jawaban yang kau cari."

Anemo merasa hatinya berdegup lebih cepat. Ia merasa tak bisa mengabaikan suara itu lagi. Sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya di Gunung Veldros, dan ia tahu itu bukan kebetulan. Takdir yang mengarahkannya ke sana.

"Saatnya kita pergi," kata Anemo dengan penuh tekad, meskipun hatinya dipenuhi dengan keraguan dan kebingungan. "Aku harus tahu apa yang tersembunyi di sana, dan apa yang sebenarnya terjadi pada diriku."

Dengan tekad yang baru, mereka berdua melangkah keluar dari markas Guild, siap untuk perjalanan baru yang membawa mereka ke Gunung Veldros tempat yang disebutkan oleh suara misterius itu. Anemo tahu bahwa perjalanan ini akan mengungkapkan banyak hal yang tidak ia mengerti, tapi ia juga merasa bahwa inilah jalur yang harus ia tempuh, meskipun penuh dengan ketidakpastian.

Akhir dari Chapter 3

  1. Celestara adalah sungai yang diciptakan oleh Archon ke-2, dan adalah sungai tertua yang diciptakan pada planet tersebut, sungai ini awalnya diciptakan sebagai perantara antara dunia fana dengan Heavenly Imperion, namun saat Archon ke-2 wafat, sungai ini tidak lagi memiliki kemampuan untuk menghubungkan dunia fana dan Heavenly Imperion.
  2. Pedang ini adalah pedang yang dimiliki oleh Archon ke-3, pedang ini tersimpan di suatu tempat yang tidak diketahui tempatnya, Archon ke-3 menaruh pedang ini dengan sengaja agar dirinya dapat menyerap energi pedang ini secara langsung dari jarak jauh dan tidak perlu membawanya kemana mana.
  3. Gunung Veldros adalah gunung suci yang di percaya tempat berdoanya para manusia saat Archon ke-3 masih hidup.