Tok tok tok Suara ketukan pintu terdengar di pagi yang sunyi.
Anemo yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, menoleh ke arah pintu. Ia berhenti dan perlahan berjalan ke pintu.
Trek... trek... langkah sepatunya bergema di lantai kayu.
Saat tangannya meraih kenop pintu, ia langsung membukanya.
Krekk
Di depan pintu, seorang pria berdiri dengan senyuman lebar. Sosok itu begitu akrab, dan ia adalah rekan Anemo yang bernama Metha(L), Anemo sudah lama tidak berjumpa dengan Metha dikarenakan ia pergi menjalankan misi besar dari ketua
Metha adalah sosok yang sangat berarti bagi Anemo, terutama sejak ia pertama kali bergabung dengan Guild
Dalam setiap latihan, Metha selalu ada di samping Anemo, memberinya semangat dan menunjukkan cara menggunakan pedang serta strategi bertarung. Bahkan, Metha sering berbagi cerita tentang petualangannya untuk menginspirasi Anemo agar terus berusaha menjadi lebih kuat.
"Hey, Anemo! Apa kabar!", sapanya dengan nada ceria.
Anemo terkejut sesaat sebelum membalasnya dengan tersenyum.
"Wiih, kabar baik, bro!", jawabnya sambil menepuk bahu Metha dengan ramah. "Gimana misimu? lancar?"
Rekannya tertawa kecil, penuh percaya diri.
"Lancar dong! lihat nih.. aku bawain oleh-oleh buat kamu!"
Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berwarna emas. Mata Anemo berbinar, penasaran dengan isi bungkusan itu.
"Wah, apaan nih? Serius buat aku?" tanyanya sambil mengambil bungkusan itu dengan hati-hati.
Rekannya hanya mengangguk sambil tersenyum penuh arti.
"Buka aja, pasti kamu suka."
Bungkusan itupun dibuka oleh Anemo, yang ternyata isinya adalah sebuah dagger. Ia teringat sebelum rekannya pergi menjalankan misi, ia sempat meminta sebuah dagger kepadanya, karena ia terinspirasi dengan gurunya yang selalu memakainya saat menjalankan misi.
"Wahh! dagger!", ucapnya dengan sangat bahagia. "Kamu masih ingat ya dengan permintaanku? padahal itu sudah 3 tahun yang lalu"
"Tentu saja aku ingat, kata katamu selalu terngiang di kepala ku untuk mencari dagger ini" jawabnya dengan lega.
Anemo pun mengajak Metha untuk masuk kedalam rumahnya untuk sarapan bersama.
Anemo menggeser kursi di meja makan kayu sederhana, mengundang Metha untuk duduk.
"Duduklah, Metha. Kebetulan aku baru selesai menyiapkan sarapan. Kau pasti lapar setelah perjalanan panjang." ujar Anemo sambil tersenyum.
Metha, tanpa ragu, melepas jubahnya yang berdebu dan menggantungnya di dekat pintu. "Wah, aku tidak akan menolak tawaran itu. Bau roti panggang dan teh herbalmu sudah bikin perutku berteriak."
Keduanya duduk berhadapan di meja makan. Di atas meja, ada semangkuk sup hangat, roti panggang yang masih mengepul, dan sebotol kecil madu. Suasana santai terasa, tapi dari sorot mata Metha, Anemo tahu ada cerita berat yang ingin disampaikan.
Saat menyantap makanan, Metha mulai berbicara.
"Anemo, misiku kali ini... jujur, jauh lebih berat dari yang kubayangkan." ucapnya sambil memandang mangkuk supnya.
Anemo meletakkan sendoknya, tatapannya serius. "Apa yang terjadi? Bukankah ini misi biasa dari Guild?"
Metha menghela napas panjang sebelum melanjutkan.
"Misi ini terkait bentrok antar desa yang semakin memanas. Semua ini dimulai setelah wafatnya Archon ke-3. Ketika dia masih ada, dia menjadi penjaga satu dimensi, pelindung kepercayaan dan tradisi di seluruh wilayah. Tapi sekarang... desa-desa mulai terpecah."
"Terpecah bagaimana?" tanya Anemo penasaran.
"Setelah
Anemo terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.
"Metha... apakah kau berhasil menghentikan bentrokan itu?"
Metha mengangguk, tapi wajahnya tampak suram.
"Sebagian berhasil. Tapi... Anemo, ini hanya sementara. Kebencian dan perbedaan kepercayaan di antara mereka terlalu dalam. Aku tahu, jika tidak ada sosok yang bisa menyatukan mereka seperti Archon ke-3 dulu, perang yang lebih besar hanya tinggal menunggu waktu."
Suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara angin dari luar jendela.
Anemo akhirnya berkata, "Metha, apakah Guild punya rencana untuk mencari penerus Archon?"
Metha menatap Anemo tajam. "Itulah masalahnya. Tidak ada yang tahu bagaimana menemukan penerus Archon. Kekuatan itu... hanya bisa diwariskan, dan Archon ke-3 tidak sempat memberitahu siapa penerus selanjutnya sebelum dia tiada. Bahkan para penyihir terhebat pun tidak bisa melacak jejak kekuatan Archon."
Anemo menatap ke jendela, melihat langit yang perlahan cerah. Dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang sedang dipersiapkan oleh takdir, sesuatu yang akan mengubah segalanya. Tapi untuk saat ini, dia hanya berkata, "Kau telah melakukan yang terbaik, Metha. Dunia ini... memang sedang mencari arah."
Metha tersenyum kecil, meskipun sorot matanya tetap penuh kecemasan. Di dalam ruangan kecil itu, mereka melanjutkan sarapan mereka dengan diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
Setelah menghabiskan suapan terakhir dari sup hangatnya, Metha menegakkan punggungnya dan menghela napas puas. Ia mendorong kursinya perlahan, lalu berdiri sambil meraih jubahnya yang tergantung di dekat pintu.
"Baiklah, Anemo. Terima kasih untuk sarapannya. Roti panggangmu benar-benar enak, seperti biasa." ucap Metha dengan senyum lebar, seraya mengenakan jubahnya.
Anemo tertawa kecil, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Kapan pun kau mau, Metha. Aku selalu punya roti dan teh untukmu. Tapi, kau yakin tidak mau istirahat dulu? Kau kelihatan lelah."
Metha menggeleng, menepuk bahu Anemo dengan ringan. "Aku harus pulang. Orang tuaku pasti sudah menunggu. Aku bawa oleh-oleh juga untuk mereka, dan aku tak sabar melihat wajah mereka saat menerimanya."
Anemo mengangguk, meski sorot matanya menunjukkan sedikit kekhawatiran. "Baiklah, hati-hati di jalan. Kalau kau butuh apa-apa, kau tahu di mana mencariku."
Metha tersenyum hangat, lalu membuka pintu. Sebelum melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi. "Oh, dan Anemo... tetaplah waspada. Dunia sedang berubah. Aku merasa ini baru permulaan dari sesuatu yang besar."
Angin pagi berhembus masuk saat Metha melangkah keluar. Anemo berdiri di ambang pintu, menyaksikan rekannya berjalan menjauh.
"Orang tua… ya…" gumam Anemo pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara desir angin yang menerobos celah pintu.
Saat pintu tertutup, ia bersandar sejenak, menatap kosong ke lantai. Sebuah pikiran muncul dari relung hatinya, memecah kesunyian pagi. "Siapa orang tuaku?"
Pertanyaan itu bergema di benaknya, menimbulkan rasa aneh yang tak bisa ia abaikan. Ia mencoba mengingat, memaksa pikirannya menggali kenangan masa kecil, tapi yang muncul hanyalah bayangan-bayangan kabur, seolah terselimuti kabut tebal.
"Kenapa aku tidak bisa mengingat mereka? Wajah mereka... suara mereka... bahkan nama mereka... tidak ada yang terlintas." bisiknya dalam hati.
Keresahan menguasai dirinya. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat lebih keras, namun hanya kekosongan yang ia temukan. Satu hal yang ia tahu dengan pasti: ia telah dibesarkan oleh gurunya, seorang pria tua bijaksana yang selalu mengajarinya tentang dunia, tetapi tak pernah menceritakan masa lalunya.
Tiba-tiba, dorongan kuat muncul dalam dirinya.
"Aku harus tahu... Aku harus mencari jawabannya sekarang."
Dengan langkah cepat, Anemo menuju kamar gurunya. Ruangan itu sederhana namun penuh buku dan perkamen yang bertumpuk rapi. Cahaya matahari yang masuk dari jendela kecil menciptakan bayangan di lantai, tapi Anemo tak peduli. Ia mulai menggeledah meja, membuka laci-laci, mencari sesuatu, apa pun, yang mungkin menjawab pertanyaannya.
Ketika tidak menemukan apa-apa di meja, ia beralih ke lemari tua di sudut ruangan. Pintu lemari itu sedikit berderit saat dibuka, menampakkan kain-kain lusuh dan beberapa kotak kayu kecil. Ia merogoh kotak-kotak itu, mengabaikan debu yang menyelimuti tangannya.
"Tidak ada apa-apa di sini... Atau mungkin..."
Akhir dari Chapter 2.