"Ayo makan. Sambil makan, coba ceritakan kejadian yang membuatmu sampai datang ke sini," ujar Tanio tanpa basa-basi.
Mizel mulai bercerita singkat, "Perkenalkan, pria di sampingku namanya Kaldestin Bumantara. Aku menemukannya jatuh dari langit, tepat di sampingku, saat sedang berburu di hutan." Tanio mendengar dengan seksama, di akhir kalimat sesaat ia memasang ekspresi terkejut.
"Kamu bisa memanggilku Ekal," ujar Ekal melanjutkan dengan sedikit canggung. "Seperti yang dikatakan Mizel, benar, aku... terjatuh. Itu terjadi karena tanpa sengaja aku masuk ke lubang hitam yang kutemukan di tepi pantai."
"Maksudnya adalah, dia bukan berasal dari dunia kita, melainkan dari dunia lain. Dia tidak sama dengan kita," Mizel mengangkat kedua alis, ekspresinya seolah berkata, 'Aneh, kan?'
Tanio mengerutkan kening berpikir, setelah diam cukup lama, ia akhirnya bicara, "Portal menuju dunia lain tidak dapat digunakan. Sudah lama aku mempelajari tentang portal itu, dan tidak ada tanda-tanda bahwa portal tersebut aktif. Aku tidak tahu pasti kenapa, mungkin portalnya ditutup, atau rusak." Wajah nya mulai kembali tenang.
"Benar, aku juga sudah mengetahui hal itu. Makanya aku datang ke sini untuk meminta bantuanmu. Kami ingin kau mengantar kami ke Desa Centaurus. Di dunia Ekal, Centaurus juga ada. Kami berspekulasi bahwa nenek moyang bangsa Centaurus mungkin mengalami hal yang sama dengan Ekal," jelas Mizel dengan nada serius.
Tanio tersenyum kecil, lalu menjawab, "Anggap saja begitu. Zaman dulu kita memang bisa bebas pergi ke dunia lain, berpindah-pindah galaksi. Banyak bangsa di sini adalah pendatang yang menetap. Tapi tidak ada kemungkinan Centaurus berasal dari dunia asal Ekal. Kau tidak bisa begitu saja menghubungkan kejadian portal ini. Kau tahu zaman dulu, portal masih normal, belum rusak. Apa yang membuatmu berpikir mereka berhubungan? Anggap saja mereka dari dunia yang sama, tapi portal sekarang sudah rusak. Apa yang mau kau tanyakan pada mereka?"
Mizel menjelaskan lebih rinci, "Karena cara mereka datang. Menurut bangsa-bangsa tetangga, mereka berkata bahwa Centaurus lahir dari bintang. Tapi kami berpikir, mereka tidak benar-benar lahir dari bintang, melainkan jatuh dari langit atau mungkin keluar dari portal dunia. Kau tahu sendiri, kan? Ketika kita keluar dari portal dunia, kita tidak jatuh. Portal itu mengantar kita melayang turun dengan selamat. Hal itu yang ingin kami tanyakan: apa yang sebenarnya terjadi? Jika mereka memang dari dunia lain, dan kejadian yang menimpa mereka sama dengan Ekal, mungkin kita bisa mengetahui bagaimana cara mengembalikan Ekal."
Tanio menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Dengar, Zel. Biar ku ulang. Portal zaman dulu belum rusak. Lagipula, ada beberapa cara berpindah dunia, jadi ada kemungkinan sama seperti yang terjadi pada Ekal jatuh dari ketinggian. Portal dunia memang hanya bisa muncul di langit. Dan soal cerita Centaurus lahir dari bintang, itu benar adanya. Dua ratus delapan puluh satu bintang bergabung menjadi satu, membentuk Centaurus."
"Benarkah?" Mizel bertanya dengan nada ragu. "Tapi setidaknya, kita bisa bertanya pada mereka tentang portal. Mereka lebih berpengetahuan daripada kita."
Tanio menghela napas. "Kau memaksa sekali... Baiklah, kalau memang itu yang kau mau. Kita sudah lama berteman, jadi aku akan membantumu. Sebentar lagi pagi. Besok kita berangkat. Istirahat saja dulu. Tengah hari kita pergi juga tidak masalah. Oh iya, di mana Neyla?"
"Ah, aku menitipkan Neyla pada Nenek Leyya. Dia memaksa ingin ikut, tapi aku bilang jangan," jawab Mizel.
"Hahaha, begitu, ya? Kasihan sekali," Tanio tertawa kecil, lalu berdiri. Diikuti Mizel dan Ekal, ia mengantarkan kedua tamunya ke kamar.
Kamar Ekal tidak begitu luas, tetapi sangat mewah. Jika dianimasikan, bintang-bintang kecil tampak berkelap-kelip di setiap sudut ruangan.
"Wuah, bagus sekali kamar ini," ujar Ekal, mengitari ruangan sambil memperhatikan benda-benda di sana dengan takjub.
Setelah itu, ia melempar ranselnya sembarangan, menghempaskan tubuh ke ranjang, dan memejamkan mata. Meski matanya tertutup, pikirannya masih melayang-layang, mengingat kejadian hari ini. Ia bertemu makhluk-makhluk yang sebelumnya hanya ada di cerita fantasi—pengalaman yang membuatnya gugup, takut serta bahagia.
Namun, di balik perasaan senang itu, ia sadar bahwa dunia ini bukan tempat yang cocok untuk manusia biasa seperti dirinya. Menakjubkan, sekaligus berbahaya.
Sang Surya menengadah, memancarkan cahaya dengan sombong.
Tengah hari begitu terik. Ketiga pria dari bangsa yang berbeda itu telah bersiap menuju desa Centaurus. Karena Tanio adalah seorang penyihir, mereka memutuskan menggunakan teleportasi untuk sampai ke sana. Tanio menggambar pola di lantai. Hanya perlu membaca mantra, maka portal akan siap digunakan.
"Kalian siap? Ayo berkumpul, pegang tanganku, jangan ada yang keluar dari lingkaran, dan tolong tutup mata," perintah Tanio.
Mereka pun berpegangan tangan. Cahaya biru perlahan keluar dari garis-garis pola. Semakin lama, cahaya itu semakin menyatu, membentuk kilau terang benderang. Dalam beberapa detik, cahaya menghilang tak berbekas.
Pada saat bersamaan, cahaya biru muncul di tengah-tengah hutan akasia, wilayah kekuasaan Centaurus. Mereka bertiga telah tiba.
"Wah, pohonnya besar-besar sekali. Aku yakin pohon ini sudah tumbuh ratusan tahun," ujar Ekal setelah cahaya teleportasi menghilang. Barulah mereka bisa melihat pemandangan di sekitar dengan jelas. Ia takjub melihat pohon-pohon raksasa yang ukurannya bahkan lebih besar daripada rumah pohon milik Tanio.
"Salah. Bukan ratusan, melainkan jutaan tahun. Pohon-pohon ini lebih tua daripada suku Centaurus," jawab Tanio dengan senyum, meralat ucapan Ekal sambil berjalan melewatinya.
Mizel mengikuti di belakang Tanio. Ketika berada di samping Ekal, ia memperhatikan pria itu yang terus terpesona memandang pepohonan, hingga tak sadar bahwa yang lain sudah berjalan.
"Hei, mau ikut tidak?" tegur Mizel.
Ekal tersadar dan menatap Mizel sambil tersenyum.
"Kenapa senyum-senyum? Cepat jalan! Kau di depan, nanti malah hilang," perintah Mizel.
"Iya, iya," jawab Ekal seraya berjalan lebih cepat, kini berada di depan Mizel.
Selama perjalanan, mereka menemui Centaurus yang berdiri di samping pohon-pohon besar. Awalnya hanya satu, tapi semakin lama berjalan, semakin banyak Centaurus yang berjejer. Tak ada di antara mereka yang menyapa.
Ekal terus memandang satu per satu makhluk itu. Meskipun terasa tidak sopan, ia menahan diri untuk tidak bertanya kepada Tanio. Ia hanya berjalan mengikuti arah langkah penyihir itu, dengan perasaan senang dan bersemangat. Ia masih sulit percaya bahwa Centaurus, yang selama ini dianggap mitos, kini berada di sekitarnya.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah altar batu. Di sana, seekor Centaurus yang berukuran lebih besar dari yang lain berdiri tegak sambil memegang tombak. Tak ada senyuman ramah menyambut mereka, juga tak ada sapaan persahabatan. Hanya tatapan serius yang terpancar dari matanya.
Tanio tetap tersenyum, lalu mengajak kedua kawannya naik ke atas altar. Sesampainya di sana, ia bersujud, diikuti oleh Mizel dan Ekal.
"Kami memberi salam kepada Chiron Sang Bijaksana," ucap Tanio dengan nada penuh hormat.
"Kami memberi salam kepada Chiron Sang Bijaksana," Mizel dan Ekal mengikuti dengan serempak.
"Bangunlah!" seru Chiron. "Seminggu yang lalu aku melihat bintang di langit. Setitik air bercampur dengan madu. Apakah kedatanganmu ke sini karena hal itu, Tanio?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
"Apa maksudnya 'setitik air bercampur dengan madu'?" Tanio bangkit dari sujudnya, menatap Chiron dengan penuh rasa ingin tahu.
"Dia memang berbeda," jawab Chiron dengan nada datar. "Tapi keberadaannya hanya memberikan sedikit bantuan."
Tanio mengerutkan alis. "Ah, maksudmu pria ini?" Ia mendorong tubuh Ekal ke depan, mendekati Chiron.
"Dia berbeda dari kita. Beberapa hari lalu, dia keluar dari portal dunia. Itulah alasan kami datang ke sini untuk bertanya apakah portal dunia masih bisa digunakan," jelas Tanio.
Chiron menggeleng pelan, ekspresinya tetap serius. "Tidak, portal itu sudah rusak ribuan tahun lalu. Jika benar portal itu kembali aktif, para bintang pasti sudah memberitahuku."
Chiron melangkah mendekati Ekal, tubuhnya yang besar membuat Ekal tampak kecil. Wajah Ekal tak bisa menyembunyikan senyum bersemangat.
"Bagaimana caranya kau bisa masuk ke sini, anak muda?" tanya Chiron sambil menyentuh bahu Ekal.
"Aku terjatuh ke dalam lubang. Sepertinya ada seseorang yang menolakku," jawab Ekal dengan mata berbinar, takjub melihat makhluk setengah manusia setengah kuda itu berdiri tegap di hadapannya dua kali lebih tinggi dari manusia biasa.
"'Seseorang'?" Chiron menegaskan, matanya menyipit, seakan mencoba membaca lebih dalam.
"Aku tidak tahu pasti apa itu," kata Ekal jujur. "Aku memang tidak mendengar langkah kaki atau suara apa pun, tapi aku yakin ada sesuatu yang mendorongku."
Chiron mengangguk perlahan. "Oh, begitu. Jadi, mengapa kau datang ke sini? Apa kau ingin pulang?"
"Ya, benar," jawab Ekal. "Walaupun di sini sangat nyaman, kurasa kehidupan di sini tidak cocok denganku."
Chiron mendengus ringan. "Benar sekali. Dunia ini bukan rumahmu. Jadi, kau ingin meminta bantuanku untuk keluar dari sini?"
"Ya, kumohon, bantulah aku keluar dari dunia ini," pinta Ekal penuh harap.
Chiron diam sejenak, menimbang. "Hmm, aku bisa membantumu, tapi hanya berupa petunjuk. Bagaimana?"
"Petunjuk pun tak masalah," jawab Ekal mantap.
"Baiklah, kalau begitu. Sebelum itu, aku ingin bercerita. Duduklah. Pertama-tama, aku akan menceritakan padamu legenda Pedang Api."
Mereka pun duduk di atas altar, sementara kumpulan Centaurus tetap berdiri berjaga di bawah, memandang tanpa kata.
"Pada zaman dahulu kala, dunia yang damai dikuasai oleh dua kerajaan besar: Kerajaan Iblis dan Kerajaan Naga. Keduanya hidup berdampingan, saling membantu menjaga keseimbangan," Chiron memulai ceritanya, suaranya dalam dan tegas.
"Kerajaan Iblis dipimpin oleh Vrazi Kral, seorang raja yang memiliki kekuatan luar biasa. Dalam sekali serangan, ia bisa menghancurkan sebuah kerajaan. Namun, kekuatannya sebanding dengan kekejamannya. la memaksa budak-budaknya menambang besi, menyiksa, dan membiarkan mereka mati kelaparan."
Mata Ekal membelalak, mendengarkan setiap detail.
"Vrazi Kral memiliki seorang putra bernama Balakosa Deepa. Seperti ayahnya, Balakosa juga kuat dan kejam. Namun, berbeda dengan Vrazi, temannya, Archandra, pemimpin Kerajaan Naga, adalah sosok yang baik dan bijaksana. Archandra memiliki jiwa naga putih, sangat kuat hingga membuat Vrazi enggan mencari masalah dengannya."
Chiron berhenti sejenak, memberi waktu bagi mereka yang mendengarkan untuk mencerna ceritanya.
"Archandra memiliki seorang putri bernama Abigail, cantik jelita dan sangat dihormati. Banyak yang melamarnya, tapi tak satu pun diterima, termasuk Balakosa Deepa. Penolakan itu memunculkan dendam di hati Balakosa. Dengan keji, ia menculik dan melecehkan Abigail hingga hamil."
Kejamnya kisah itu membuat suasana hening sejenak.
"Abigail melahirkan sepasang bayi kembar: Mizel, putra yang mewarisi roh naga iblis kuno, dan Muna, putri dengan roh naga putih seperti kakeknya. Ketika Archandra mengetahui apa yang terjadi, ia mengamuk. Kemarahannya meluluhlantakkan Kerajaan Iblis,memicu perang besar-besaran."
Chiron melanjutkan, "Perang itu menghancurkan desa-desa yang tak terlibat, menyebabkan kelaparan dan kematian di mana-mana. Di tengah kekacauan, seorang penyihir bernama Sphinix muncul, membawa Pedang Api yang dapat membasmi pasukan naga dan iblis. Namun, Vrazi dan Archandra bersatu untuk membunuh Sphinix karena merasa terancam."
"Saat Sphinix tewas, perang kembali terjadi. Abigail mencoba melarikan diri bersama kedua anaknya melalui portal dunia, tetapi Vrazi Kral menghancurkan portal itu sebelum mereka berhasil kabur. Dalam kemarahan, Archandra mengerahkan seluruh kekuatannya. Pedang Sphinix, yang tertarik pada kekuatan naga, menyatu dengan Archandra. Dengan senjata itu, ia akhirnya berhasil membunuh Vrazi Kral."
Chiron menghentikan ceritanya. Suasana menjadi hening. Angin berdesir pelan, dedaunan bergemerisik seolah ikut menyampaikan duka dari kisah itu.
🌿🌿🌿
Mohon buka dan baca catatan penulis di bawah(っ.❛ ᴗ ❛.)っ