Chereads / ARAKATA; The Guardian / Chapter 10 - Martha

Chapter 10 - Martha

Senja terlihat begitu muram, menyaksikan Martha yang berdiri di depan makam. Air mata gadis itu mengalir, mengenang kepergian kedua orangtuanya. Kini, ia hanya bisa berdiri sendiri di dunia yang terasa asing dan keras, tempat yang tidak pernah ia inginkan untuk tinggal. Pelukan hangat yang biasa ia rasakan di saat-saat kesedihan kini hilang selamanya.

Martha telah meletakkan ibunya berdampingan dengan makam ayahnya, tak ada yang tersisa selain kenangan pahit. Dua ratus tahun telah berlalu, namun setiap detil kenangan tentang bagaimana ibunya meninggal masih jelas dalam ingatannya. Amarah dan dendam terhadap para penyihir masih menyala di dalam hatinya. Meski begitu, ia berhasil menahan emosi, tergantikan tekad yang semakin kuat untuk keluar dari pulau neraka ini.

Sudah berulang kali ia mencoba melarikan diri, namun semua upayanya selalu gagal. Pengawasan yang ketat membuat setiap usaha tak pernah berhasil. Semua ini bermula dari seorang pemandu yang berhasil kabur sekitar lima ratus tahun lalu pemandu yang juga menjadi alasan ibunya kehilangan nyawa. Jika saja pemandu itu tidak kabur dan membawa tumbal, ibunya mungkin tidak akan menjadi pengganti yang harus membawa kematian.

Suasana di jalan begitu ramai dengan penyihir-penyihir yang berlalu-lalang, pedagang-pedagang yang menawarkan berbagai barang di sepanjang jalan. Namun kali ini, ada sesuatu yang membuat jalanan terasa semakin sesak. Kerumunan menyelimuti satu titik, menarik perhatian orang-orang yang ingin tahu. Martha tahu apa yang sedang terjadi, meski tak perlu melihat lebih dekat.

Sudah pasti itu tumbal berikutnya. Seratus tahun lalu, desa ini menemukan satu penyihir yang membawa korban dari luar pulau. Setiap kali pedang Sphinix memancarkan cahaya merah, para penyihir akan segera mencari tumbal untuk pengorbanan, percaya bahwa darah adalah sumber kekuatan bagi pedang tersebut.

Namun, Martha tak peduli. Ia terus melangkah melewati kerumunan itu, tak menghiraukan apa yang terjadi. Pekerjaan di toko parfum Aora jauh lebih penting. Toko itu adalah satu-satunya tempat yang mau mempekerjakannya sejak dulu, bahkan sebelum ibunya meninggal. Di desa ini, hampir semua penyihir menghindari Martha, Penyihir-penyihir lain di desa ini seperti Fobia pada dirinya, fobia pada kemiskinan Martha.

'Kring kring' lonceng di pintu berbunyi saat Martha memasuki toko. Pintu terbuka dan tertutup dengan cepat, membawa udara pagi yang segar ke dalam ruangan.

"Selamat siang semua! Aku sudah meminta ramuan pemikat dari Balai Alkimia. Ini dia, nanti tagihan bayar di akhir bulan bersama pesanan kita sebelumnya," kata Martha sambil meletakkan bingkisan berisi botol-botol ramuan di atas meja kasir.

"Ya, aku tahu. Tidak perlu kau ingatkan," jawab kasir dengan ketus tanpa menatap Martha. Ia segera menyimpan botol-botol ramuan itu ke dalam laci dengan gerakan terburu-buru.

Respon seperti itu sudah biasa bagi Martha. Ia terbiasa dengan perlakuan dingin dan kasar dari orang-orang di sekitarnya. Namun, itu tidak berarti ia akan bersikap baik. Sebaliknya, ia tak segan untuk membalas kata-kata kasar dengan kata-kata pedas atau bahkan melakukan tindakan yang lebih keras. Ia beranjak dari meja kasir, melayani pelanggan lain yang datang. Satu per satu mereka pergi, hingga malam tiba. Itu sudah menjadi rutinitas sehari-harinya. Terkadang, di waktu libur, ia melarikan diri ke hutan untuk berburu—meski itu lebih untuk melarikan diri dari kenyataan yang menyesakkan.

Setelah bekerja, seperti biasanya, ia tidak langsung pulang. Martha pergi ke Tower Keamanan Pulau, tempat di mana ia bisa mengetahui kapan pengawasan akan mengendur.

Cahaya bulan menerangi langit malam, diiringi oleh deburan ombak yang menenangkan. Angin laut terasa menyapu wajahnya, membawakan aroma asin yang menenangkan. Beberapa puluh tahun lalu, Martha menanam sebuah pohon besar di samping tower itu. Pohon itu tidak hanya menjadi tempat perlindungannya, tetapi juga sebagai tempat untuk menguping percakapan para penjaga.

"Kita beruntung kali ini bisa menemukan bangsa naga. Tidak hanya satu, tapi ada tiga!" tawa penjaga pertama terdengar riuh, diikuti tawa temannya yang lain.

"Sayang sekali, salah satunya cacat," sahut penjaga kedua, tawa mereka mereda.

"Ah, itu tidak masalah. Yang penting dia memiliki darah naga. Aku yakin Pendang Sphinix akan sangat suka," jawab penjaga ketiga.

"Ya, benar. Kita juga punya waktu untuk mencari penyihir pengganti Bastian," penjaga pertama kembali membuka percakapan.

"Sayang sekali, padahal dia masih muda," lanjutnya, suara mereka meredup seiring berjalannya waktu.

Martha mendengarkan percakapan itu dengan seksama. Empat penjaga berada di sana, namun hanya satu yang pendiam, sangat jarang ikut serta dalam percakapan tak merasa perlu bertanya lebih lanjut. Para penjaga akhirnya pergi untuk patroli, dan Martha mengetahui bahwa tidak ada informasi penting selain kabar bahwa desa mereka membutuhkan pemandu baru.

Ia segera pulang, memutuskan untuk berbicara dengan Kepala Desa keesokan harinya. Ini bukan pertama kalinya ia melamar sebagai pemandu. Sudah berkali-kali ia melamar, namun tidak pernah diterima. Namun, tekadnya tidak pernah surut. Ia terus mencoba, berharap suatu saat ada kesempatan yang datang.

Pagi tiba, Martha terburu-buru menuju rumah Kepala Desa. Ia begitu tidak sabar untuk segera meninggalkan pulau ini. Saking terburu-burunya, ia bahkan tak sempat sarapan. Jalanan terlihat seperti hari-hari biasa, dipenuhi ibu-ibu yang sedang berbelanja. Namun, keramaian itu tidak seheboh kemarin.

Rumah Kepala Desa terletak di tengah pulau, di bawah sebuah bukit. Lokasi ini sengaja dipilih agar memudahkan pelaksanaan upacara dan penjagaan Pedang Sphinix. Martha memandang dengan takjub pada rumah itu, walaupun terbuat dari kayu, rumah ini begitu megah. Dicat dengan warna merah yang mencolok, memiliki ratusan anak tangga kecil yang membawa ke atas, atap menjulang tinggi, dan tiang-tiang besar yang kokoh.

Di belakang rumah, terdapat bukit yang dikelilingi pohon-pohon besar dan tinggi. Suasana di sana sangat suram, dan Martha yakin di sanalah Pedang Sphinix disimpan tempat yang sesuai dengan kelakuan pemiliknya, pikirnya.

Martha menaiki ratusan anak tangga dengan napas tersengal. Sesampainya di atas, dua penjaga pintu menyambutnya. Tanpa basa-basi, Martha langsung memberi tahu alasan kedatangannya. Salah satu penjaga masuk untuk melapor, sementara yang lainnya tetap berdiri menjaga pintu.

Martha tak diizinkan masuk sampai mendapat izin. Sambil menunggu, ia mencoba mengajak bicara penjaga yang ada di sana, namun tak mendapat respon. Merasa canggung, ia memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah.

Rumah ini... atau lebih tepatnya istana, terlalu besar untuk disebut rumah biasa. Setiap detailnya tampak megah: ukuran kediaman, tiang-tiang raksasa, pintu, dan jendela—semuanya tampak luar biasa besar, kecuali penghuninya.

Di ujung teras, sebuah gazebo bambu yang menawan menyambutnya, di samping sebuah danau yang indah. Pohon willow yang besar membungkuk dengan anggun bercermin pada air, daunnya seperti tirai yang menari lembut tertiup angin.

Namun, sebelum sempat duduk, penjaga keluar dan memanggil Martha. Ia segera bergegas kembali ke pintu.

"Maaf, Nona Martha," kata penjaga itu. "Kepala desa mengatakan saat ini desa tidak membutuhkan penyihir pemandu. Silakan pulang dan lanjutkan kegiatan Anda seperti biasa."

Martha tahu itu bohong. Kepala desa pasti takut dia kabur seperti yang dilakukan pemandu-pemandu sebelumnya.

Tidak langsung pergi, Martha memohon izin pada penjaga untuk duduk di gazebo. Penjaga itu mengizinkan, dengan syarat dia tetap dalam jangkauan pengawasan mereka. Jika sudah tidak terlihat, Martha akan diusir.

Tentu saja, Martha tidak benar-benar duduk santai. Pikirannya penuh dengan apa yang didengarnya tadi malam tentang calon persembahan. Ini pertama kalinya ia mendengar bahwa bangsa naga masih ada. Selama ini, ia hanya tahu bahwa bangsa naga telah punah setelah perang besar melawan bangsa iblis.

Dengan hati-hati, Martha menggunakan sihir telepati untuk berkomunikasi dengan tanaman sekitar, terutama pohon willow yang berada di dekatnya. Ia bertanya dengan hati-hati.

"Para tumbuhan di sekitar ku, apakah kalian tahu ada makhluk asing di rumah ini? Mereka dibawa dari luar pulau."

Suaranya terdengar lembut, seakan melodi angin yang menenangkan.

"Ya, ada empat dari mereka. Mereka dimasukkan ke dalam ruangan bawah tanah," jawab pohon willow tak kalah lembut, suaranya mengalir merdu bersama hembusan angin bagaikan buaian pengantar tidur.

Martha tersenyum mendengar jawaban itu, merasa puas dengan informasi yang didapat. Sebelum pergi, ia mengucapkan terima kasih pada pohon willow, lalu meninggalkan tempat itu dengan langkah tenang.