Chereads / ARAKATA; The Guardian / Chapter 16 - Kehancuran Pulau Oreon

Chapter 16 - Kehancuran Pulau Oreon

Mizel membasmi semua bangsa iblis dengan cepat dan tanpa ampun. Usai yang sudah di depan mata, ia terbang mengejar sisa bangsa iblis yang mencoba melarikan diri dengan sayap lebarnya. Petir menyambar, memperlihatkan sayapnya yang penuh percikan darah. Sekali semburan api para Iblis itu lenyap dalam terbakar hingga ke tulang.

Sementara itu, aspidochelone—makhluk kolosal berbentuk kura-kura raksasa—mulai menarik kepalanya ke dalam air, diikuti tempurungnya yang perlahan tenggelam. Getarannya membuat seluruh permukaan "pulau" di punggungnya terguncang hebat. Rumah-rumah roboh, benda-benda berguling liar, dan jeritan warga menggema di udara.

Mizel, Tahu bahwa Tanio dan yang lain telah meninggalkan tempat itu, tetapi pikiran Mizel tak tenang. karena di antara makhluk-makhluk yang hidup di punggung aspidochelone, hampir semua penyihir kuat telah ia bantai bersama bangsa Iblis. ia menatap bayangan tempurung besar yang perlahan tenggelam. Sekeping rasa bersalah menyelinap ke dalam hatinya Ia kembali ke tempat itu, mengepakkan sayapnya untuk melawan angin badai. Sesampainya di atas pemukiman yang kacau, sayap mengepak mengaktifkan perisai. "Cepat pergi dari sini, Pulau ini akan tenggelam!" teriak Mizel dengan tegas.

Ia terbang, melintasi rumah-rumah warga. "Siapapun yang bisa menggunakan sihir, bantu mereka untuk pergi!" teriaknya lagi.

Namun, bukan terima kasih yang ia terima. Dari balik jendela yang hampir patah, seorang kakek tua berteriak dengan suara parau, "Pergilah kau! Semua ini karena pedang Spinix yang kalian ambil! Kau pembawa kehancuran!"

Sorakan penuh kemarahan menyusul, disertai lemparan benda-benda seadanya—botol kaca, batu, bahkan sihir-sihir kecil. Mizel hanya berdiri diam, membiarkan tubuhnya menerima lemparan itu tanpa menghindar.

Mizel hanya memperhatikan mereka sejenak, mencari siapa yang masih layak diselamatkan. Matanya tertuju pada seorang anak kecil berbaju compang-camping yang berlari ke balik sekat rumah. Tanpa ragu, ia menurunkan diri, mengambil anak itu meskipun ada perlawanan. Lemparan warga masih terus mengikuti, namun ia tidak peduli.

"Ya sudah," rasa bersalahnya menghilang tergantikan sumpah serapah, Memang sejak awal Mizel bukan orang baik.

Setelah anak itu aman di genggamannya Mizel kembali mengepakkan sayap dan berkata, "Semoga kalian semua mati," ucapnya dengan nada datar sebelum meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.

Warga Desa Oreon, meskipun keturunan penyihir, telah kehilangan banyak kemampuan mereka karena darah penyihir yang semakin memudar, warga desa oreon saat ini keturunan ke sepuluh dari generasi pertama, hanya seperempat saja yang memiliki kemampuan ini. Sayangnya seperempat itu tersisa lima orang itupun hanya kemampuan dasar, sementara Dion satu-satunya yang mencapai tingkat tinggi.

Dengan gempa dan tsunami yang menghantam, tak banyak yang bisa mereka lakukan selain berdoa dan pasrah. Ibu dan anak berpelukan, pria melindungi keluarganya, sementara air terus meninggi, menenggelamkan desa itu.

Pagi pun tiba, Sudah dua jam Tanio dan Ekal terdiam tidak ada percakapan di antara mereka. Tanio duduk di sofa, sementara Ekal berdiri, menatap kotak penyimpanan Pedang Naga. Mereka masih bingung tentang apa yang harus dilakukan dengan Pedang Api, yang bisa mengundang ancaman besar jika diaktifkan.

Nayla dan Martha berada di perpustakaan Mereka sedang membaca buku, meninggalkan Tanio dan Ekal dengan masalah mereka sendiri.

Akhirnya Ekal membuka suara memecah keheningan. "Tanio," panggilnya pelan.

"Yah?" jawab Tanio singkat.

"Aku ingin bertanya, ini agak di luar konteks, tapi sejak kemarin aku penasaran, berapa usiamu? Kenapa Nayla memanggilmu kakek, padahal kamu masih tampak muda?"

Tanio menatap Ekal sejenak, sedikit bingung. "Seumuran dengan Chiron, mungkin," jawab Tanio ragu, matanya teralih ke atas, mencoba mengingat dengan seksama.

Ekal tercengang mendengar itu.

"Hahaha" Tanio tertawa ringan, "Tenang saja, usiaku memang sudah tua, tapi wajahku masih tampan." ia menggerakkan kedua alisnya jahil.

"Aku jadi bingung harus memanggilmu apa, kakek?" Ekal ikut tertawa.

"Hahaha… Panggil saja seperti biasanya. Biar ku jelaskan agar kau lebih mengerti, di dunia ini ada banyak makhluk diantaranya sebagian besar Immortal, dan ada yang tidak Immortal tapi tetap bisa hidup lama. Lalu siapa saja yang Immortal dan unimmortal?

Setiap makhluk memiliki inti jiwa, Tanpa inti jiwa mereka disebut cacat jadilah Unimmortal. Ada yang memiliki inti jiwa tingkat rendah yang hidup hanya lima ratus tahun, tingkat menengah ke bawah hidup hingga dekapan ratus tahun, tingkat menengah ke atas satu juta tahun, dan tingkat atas Immortal atau tak terbatas."

"Apakah inti jiwa bisa di tingkatkan?" Tanya Ekal penasaran, ia mendekati Tanio dan duduk di samping pria itu.

Tanio tersenyum, "Tentu saja. Ada berbagai cara untuk meningkatkan kekuatan inti jiwa. Beberapa makhluk yang beruntung mereka tidak perlu berusaha karena terlahir dengan inti jiwa tingkat atas, seperti bangsa naga."

"Bagaimana denganmu?" tanya Ekal lagi.

"Aku penyihir. Sayangnya, aku terlahir dengan inti jiwa cacat. Hampir hilang, tapi masih ada. Meskipun begitu, aku tetap bisa berkembang," jawab Tanio dengan nada sedikit suram.

Ekal terdiam, merasa bersalah telah menanyakan hal itu. "Maaf, aku tidak tahu. Tapi kau sekarang menjadi master agung kau sudah hebat."

"Hahaha, Master Agung? Tapi ya, hebat kan, aku sendiri tidak menyangka bisa sampai di tahap ini" jawab Tanio, setengah tertawa.

"Yah, kamu harus bangga. Kamu sudah hebat," balas Ekal, tersenyum penuh kekaguman.

"Darimana kau tau aku Master agung?" Tanya Tanio penasaran.

"Neyla, dia sangat membanggakan kakeknya. Haha" Mereka tertawa bersama,

Percakapan keduanya berlanjut hingga sore tiba.

---

Mizel akhirnya mendarat di hutan sekitar Desa Lengkuas setelah perjalanan panjang. Ia memutuskan untuk tidak langsung menuju rumah Tanio karena khawatir mata-mata bangsa iblis bisa mengendus jejaknya. Mizel tahu, jika ia pergi terlalu terburu-buru, risikonya terlalu tinggi.

Mizel mengubah wujudnya menjadi manusia, meskipun ia merasa sedikit kecewa karena tidak memiliki kemampuan shapeshifting untuk berubah menjadi orang lain. Namun, ia tetap melanjutkan langkahnya dengan tenang menyusuri hutan.

Sebentar lagi matahari menyusut meninggalkan bulan. ia tidak punya waktu berlama-lama di sini tapi tidak bisa begitu saja memanggil Tanio di tengah hutan, ia harus mencari penginapan agar lebih aman.

Sementara itu sebelum ia mencari penginapan Mizel tidak mau repot-repot memelihara anak jadi dia meninggalkan anak kecil yang ia bawa di panti asuhan. Tidak ada perlawanan darinya, Mizal memberikan sekantong koin emas kepada kepala panti asuhan sebagai bantuan agar anak-anak bisa makan dengan baik.

Entahlah, Mizel sangat suka membunuh ketika melihat darah nafsunya menggebu-gebu. Tapi, di sisi lain dia juga sangat mudah merasa kasihan meski hanya sebentar. Mizel sendiri bingung atas sikapnya.

Dirasa semua urusannya telah selesai, setelah beberapa waktu Mizel memilih salah satu penginapan khusus tempat hiburan, sengaja memilih penginapan ini karena di sini cukup ramai, risiko ia diserang kemungkinan kecil.

Mizel memasuki penginapan yang megah glamor, dan besar. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu kristal besar yang memancarkan cahaya lembut ke seluruh ruangan. Karpet merah tebal membentang di sepanjang lantai, sementara ornamen emas menghiasi setiap sudut dinding. Suasana begitu mewah Mizel sempat terpukau.

Seorang pemandu penginapan dengan pakaian rapi mendekatinya, wajahnya ramah namun profesional. "Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara lembut, penuh hormat.

Mizel mengangguk kecil. "Saya hanya butuh kamar kecil, cukup untuk satu orang," ujarnya singkat, menahan pandangannya agar tidak terseret oleh kemewahan ruangan.

Pemandu mengerti. "Tentu, Tuan. Namun, apakah Anda yakin? Kami memiliki kamar suite dengan layanan terbaik, termasuk spa dan ruang makan pribadi," tawarnya dengan senyuman hangat.

Mizel menggeleng pelan. "Tidak perlu, cukup kamar kecil saja."

Pemandu mengangguk, lalu mempersilahkannya untuk mengikuti. Saat mereka berjalan menuju meja resepsionis, mata Mizel sempat tertuju pada pemandangan di sekitarnya Meja-meja makan tersusun acak di sepanjang pinggiran ruangan, sementara di tengah ruangan terdapat sebuah altar bulat. Di atasnya, tiga wanita menari dengan anggun. Gerakan mereka begitu memukau, dipadu dengan kain panjang berwarna pastel yang menjuntai dari tubuh mereka, melambai-lambai mengikuti setiap gerakan.

Musik lembut mengiringi tarian itu, menciptakan atmosfer yang memanjakan mata dan telinga para tamu. Namun, Mizel hanya memandang sesaat sebelum kembali melangkah. Ia terlalu lelah untuk menikmati semua ini, ia ingin segera pulang dan memeluk ponakannya.

Selama kakinya memijak anak tangga Mizel merasa ada yang tidak beres Instingnya berkata waspada, meskipun ia tidak tahu siapa yang mengawasinya. Langkahnya begitu hati-hati matanya melirik sekitar menilai situasi. Di lantai atas, terlihat beberapa wanita penghibur menggoda pengunjung pria.

Mizel tetap acuh, melewati mereka tanpa memberi perhatian. Para wanita itu melontarkan kata-kata menggoda, bahkan ada yang berani menyentuhnya. Tentu saja, hal ini membuatnya merasa terganggu, sehingga ia menghempaskan tangan mereka tanpa ragu. Meski seumur hidup belum pernah memadu kasih, Mizel bukanlah pria yang haus akan buaian. Ia tidak akan tergoda begitu mudah.

Setelah sampai di kamarnya, Mizel tidak langsung memanggil Tanio. Instingnya masih gelisah. Ia memutuskan untuk menggunakan teknik indra penglihatan, sebuah kemampuan yang memungkinkannya menembus benda apa pun dan melihat makhluk yang ada di sekitarnya.

Sepanjang pengamatannya, Mizel menyadari bahwa semua makhluk di penginapan itu telah dirasuki oleh roh bangsa iblis. Ia berdecak kesal. Tidak ada rencana lain yang terlintas di pikirannya selain membereskan mereka semua.

Tiba-tiba, lima orang mendekati jendela kamarnya. Udara di sekitarnya mulai terasa aneh, dan asap tipis perlahan masuk melalui celah-celah ruangan. Mizel segera memahami bahwa bangsa iblis sedang beraksi.

'Bangsa iblis sialan ini memberiku bius murahan. Kalian benar-benar meremehkanku,' pikir Mizel dengan kesal.

Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, berpura-pura tertidur namun tetap waspada. Instingnya tajam, menyadari bahwa cepat atau lambat mereka akan mulai bergerak.

Para bangsa iblis, mengira Mizel telah terpengaruh oleh asap bius, saling bertukar pandang sebelum memberi tanda kepada rekan-rekan mereka untuk memulai aksi.

Suasana di penginapan menjadi suram. Tidak ada lagi suara pengunjung, tawa wanita penghibur, atau bahkan suara langkah kaki. Semua lampu mati, hanya ada titik-titik cahaya yang bergerak liar menuju kamar Mizel. Cahaya itu berasal dari mata semua orang di dalam penginapan; pengunjung, pemilik, petugas, bahkan wanita penghibur.

Kini Mizel mengerti mengapa instingnya berkata waspada. Hal ini malah membuatnya merasa kesal, lelah setelah pertempuran panjang dan perjalanan. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan mereka begitu saja. Saatnya untuk menyelesaikan masalah ini.